Pasca kemerdekaan, pers larut dalam aroma persaingan politik. Watak pers pun berubah dari pers perjuangan yang berisi gagasan-gagasan kebangsaan dalam rangka meraih kemerdekaan menjadi pers yang partisan terhadap kekuatan politik atau partai politik tertentu. Hal ini merupakan dampak dari persaingan politik yang mulai memanas pasca dicapainya kemerdekaan tersebut.
Di awal kemerdekaan, Pers menikmati kebebasannya. Seiring dengan praksis kebebasan politik yang membuncah, kebebasan pers pun berkecambah. Kondisi ini berlangsung selama demokrasi parlementer. Kebebasan pers ini berkurang ketika Indonesia masuk pada periode demokrasi terpimpin.
Meskipun Bung Karno sendiri dekat dengan kalangan pers, namun di era demokrasi terpimpin, pers harus hidup di bawah kontrol pemerintah. Pers yang ingin tetap jalan harus mau menjadi alat pemerintah untuk melakukan amplifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara itu, Pers independen yang tidak mau tunduk terpaksa menutup penerbitannya. Mereka yang menolak kebijakan pemerintah ketika itu dan tidak menutup sendiri penerbitannya, pada akhirnya dibredel. Pers lain yang dibredel adalah pers partisan dari partai politik yang mendukung pemberontakan.
Ketika itu, media yang ingin tetap hidup, khususnya harian dan majalah, harus mendapatkan surat izin terbit dan menandatangani kesanggupan dan persetujuan. Penerbit surat kabar harus sanggup dan setuju menjadi pendukung pemerintah seperti menjadi pendukung dan pembela manifesto politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945, Pancasila, Sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Peran Penting Pers
Langkah pemerintahan Orde lama terhadap pers ketika itu, dilihat dari konteks sekarang tentu bukan hal yang diharapkan, di mana pers dikontrol ketat, harus mendapatkan surat izin terbit, dan harus mau mendukung berbagai program pemerintah. Namun demikian, dilihat dari sisi positifnya, terlihat bahwa pers tetap diperlakukan sebagai entitas yang penting.
Di satu sisi pers terlihat dimanfaatkan penguasa, dalam hal ini Bung karno, untuk kepentingan kekuasaannya. Di sisi lain, dari langkah yang dilakukan tersebut, kita melihat pentingnya peran pers di mata Bung karno.
Presiden pertama Republik Indonesia ini amat sadar akan peran penting pers. Bung Karno dikenal dekat dengan kalangan pers. Tak jarang ia bertemu dengan kalangan pers. Jauh sebelum munculnya era informasi sekarang ini, Bung Karno sudah “sadar informasi”. Hal ini tidak mengherankan karena bung Karno sendiri sejak muda telah bergelut dalam dunia publikasi media. Ia mengelola beberapa majalah, antara lain Fikiran Ra’jat. Bersama para pejuang kemerdekaan lainnya seperti Bung Hatta, Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Bung Karno telah biasa menggunakan media, misalnya surat kabar Oetoesan Hindia, sebagai alat untuk menyampaikan gagasan kepada rakyat.
Di era pemerintahan Bung Karno, pers diyakini sebagai entitas yang mampu melakukan amplifikasi berbagai kebijakan pemerintah. Sembilan belas pasal yang harus ditandatangani media yang ingin tetap hidup dan mendapatkan surat izin terbit ketika itu merupakan bukti pengakuan pentingnya pers bagi penguasa. Pers dinilai pemerintah ketika itu memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi publik. Pers memiliki peranan besar dalam berbangsa dan bernegara.
(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email