Pesan Rahbar

Home » » Nasionalisme Saudara Tionghoa

Nasionalisme Saudara Tionghoa

Written By Unknown on Wednesday 23 March 2016 | 19:11:00


Sekitar tahun 1920-an Bung Karno berkunjung ke kantor Harian Sin Po. Kunjungan itu hendak meminta masukan dan bantuan untuk sebuah majalah yang akan diterbitkan oleh Bung Karno. Harian Sin Po merupakan koran Melayu Tionghoa yang dikelola oleh para jurnalis keturunan Tionghoa yang dikenal dekat dan punya hubungan sangat baik dengan para pemimpin pergerakan kemerdekaan karena sering memuat tulisan mereka.

Bung Karno paham peran saudara Tionghoa dalam menyebarkan paham Indonesia dan menyemai nasionalisme di zaman pergerakan kemerdekaan. Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dekat dengan peran dan keterlibatan mereka melalui gerakan pemuda Tionghoa. Setidaknya ada beberapa nama, Sie Kok Liong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie, para pemuda Tionghoa yang terlibat aktif menyiapkan Sumpah Pemuda. Ketika itu Sie Kok Liong malah menyediakan rumahnya dijadikan tempat menyelenggarakan kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Rumah itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya Jakarta.

Sejarah mencatatnya, Harian Sin Po adalah koran pertama yang mempublikasikan teks lagu INDONESIA RAYA yang diciptakan oleh WR Supratman. Peran yang penting Harian Sin Po adalah mempelopori penggunaan kata INDONESIA bumiputera menggantikan penyebutan Hindia Belanda atau Belanda inlander dalam semua penerbitannnya sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Langkah itu kemudian segera diikuti oleh banyak media pers lain. Atas upaya ini semua pers ketika itu lalu bersepakat memberi apresiasi dan terima kasih dengan mengganti penyebutan “Tjina” menjadi “Tionghoa”.

Bung Karno menjunjung nasionalisme persatuan Indonesia. Baginya dalam satu nation Indonesia itu tidak dikenal minoritas atau mayoritas, karena semua rakyat adalah warga negara Republik. Pesan itu ditegaskan Bung Karno saat berpidato membuka Kongres Nasional ke-8 Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Republik Indonesia) pada 14 Maret 1963, seperti berikut;

…”Tujuan dari Revolusi Indonesia adalah nation building Indonesia. Nation building bukan di dalam arti yang sempit, sekadar membentuk satu “nation” Indonesia. Tidak lebih dari itu pula. Nation Indonesia yang bahagia, nation Indonesia yang berkepribadian tinggi, nation Indonesia yang hidup di dalam satu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Nation building dalam arti yang seluas-luasnya…

Dan tidak boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisah-pisahkan majoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada mayoritas dan dibuat majoritas ini benci kepada minoritas. …di Indonesia kita tidak mengenal minoritas.

Dan saya tidak mau mengenal minoritas di lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal suku-suku. Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dajak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu- adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab mnanakala ada minorltas, ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada majoritas, dia lantas exploitation de la minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit. Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa itu di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa lndonesia.”

Di Indonesia kita tidak mengenal minoritas, kita semuanya adalah bangsa Indonesia. Karena kita semuanya adalah warga negara Indonesia, seharusnya pula tidak ada lagi sebutan warga negara asli atau tidak asli, seperti pertanyaan Bung Karno pada peserta kongres Baperki itu: “Apa Saudara bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa. …saya sendiri tidak tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan antara asli dengan tidak asli. Tidak.”

Seperti juga saudara-saudara Tionghoa yang mencintai Indonesia, semua warga bangsa Indonesia seharusnya dapat memahami dan melakukan pesan nasionalisme itu. Bung Karno adalah nasionalis Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah-air-nya Indonesia dalam satu jiwa ingin bersatu. Karena itu kepada setiap rakyat, seluruh warga bangsa, dari semua suku-suku dan agama-agama, semua kita bisa bergerak saling menyapa “engkau bangsa Indonesia” sebab “kita semua bangsa Indonesia”.

(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: