Pesan Rahbar

Home » » Bom di Tengah Konferensi Asia-Afrika. Sebuah Pesawat Meledak di Kepulauan Natuna dan Nyaris Menggagalkan Konferensi Asia-Afrika di Bandung

Bom di Tengah Konferensi Asia-Afrika. Sebuah Pesawat Meledak di Kepulauan Natuna dan Nyaris Menggagalkan Konferensi Asia-Afrika di Bandung

Written By Unknown on Thursday, 17 March 2016 | 19:05:00


KASHMIR Princess, sebuah pesawat carteran milik Air India berjenis Lockheed L-7492A, lepas landas dari Bandara Kai Tak, Hong Kong, pada 11 April 1955. Sebelumnya, ia mengisi bahan bakar dan menjalani pemeriksaan rutin usai menempuh perjalanan dari Bombay, India. Pesawat membawa delegasi China, juga wartawan dari berbagai negara, yang akan menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Rencananya, pesawat itu pula yang akan mengangkut Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri China Zhou Enlai.

Sekira lima jam perjalanan, pada jam tujuh malam, kru mendengar ledakan. Api berhembus ke arah lubang tangki bahan bakar nomor tiga. Dengan cepat pilot mematikan mesin nomor tiga, menyisakan tiga mesin yang menggerakkan pesawat. Dalam waktu sepuluh menit, situasi memburuk. Penumpang ngeri melihat api mulai melahap sayap pesawat dan membayangkan kematian di depan mata. Asap juga memasuki kabin dan kokpit. Kru sempat mengirimkan sinyal bahaya; memberi tahu posisi mereka di atas Kepulauan Natuna, sebelum radio terputus.

Tak ada pilihan bagi pilot kecuali mencoba mendaratkan pesawat di laut. Para kru mengeluarkan jaket pelampung dan membuka pintu darurat. Pesawat menghujam ke laut. Sayap kanan menghantam air terlebih dahulu, merobek pesawat menjadi tiga bagian. Enambelas orang tewas. Tiga orang selamat: Anant Shridhar Karnik, teknisi perawatan pesawar Air India International Cooperation; kapten perwira pertama Dixit; dan navigator penerbangan J.C. Pathak.

“Kami jatuh ke dalam air. Ketika saya menyembul ke permukaan, ada api besar di laut. Mr Dixit mengalami patah tulang di bagian leher sementara tangan saya patah. Arus sangat kuat. Kami, entah bagaimana, berenang selama sembilan jam di perairan gelap hingga akhirnya mencapai pantai... Kami akhirnya diselamatkan penduduk setempat, memakai kapal ke Singapura, kemudian dibawa ke Mumbai oleh kapal Angkatan Laut Inggris atas perintah Pandit Nehru,” kenang Karnik seperti dimuat Asian Age, 9 April 2005. Karnik menerbitkan buku tentang insiden ini berjudul Kashmir Princess.

Sehari setelah insiden itu, Kementerian Luar Negeri China mengeluarkan pernyataan yang menuding keterlibatan dinas rahasia Amerika Serikat (CIA) dan Ching Kai-shek. Mereka, sebagaimana dikutip dari Steve Tsang, The Cold War’s Odd Couple, “berencana menyabot pesawat carteran Air India, menjalankan rencana mereka untuk membunuh delegasi kami ke Konferensi Bandung yang dipimpin oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, dan untuk menggagalkan Konferensi Bandung.”

Chiang Kai-shek adalah pemimpin Koumintang –juga dikenal dengan nama KMT atau Partai Nasionalis China– yang berhadapan dengan kubu komunis pimpinan Mao Zedong dalam perang saudara. Mao memenangi perang dan memproklamasikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949 sementara Chiang Kai-shek melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan.

Pemerintah Indonesia, juga peserta konferensi, terhenyak mendengar kabar kecelakaan itu. Mereka tak ingin konferensi terganggu karena sudah merancangnya jauh-jauh hari; dari usulan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1953, Konferensi Kolombo di Sri Lanka pada April 1954, hingga pematangannya dalam Konferensi Bogor pada Desember 1954. Mereka akhirnya bisa bernafas lega ketika tahu Zhou Enlai tak berada dalam pesawat naas itu.

Untuk menyelidiki penyebab kecelakaan, pemerintah Indonesia membentuk komisi penyelidikan. Komisi mewawancarai sejumlah saksi mata, mengunjungi lokasi kejadian, melakukan pencarian fakta di Singapura, Jakarta hingga Hong Kong, serta menelisik reruntuhan pesawat.

Pada 26 Mei, setelah menyelamatkan hampir 90% reruntuhan pesawat di perairan dangkal Pulau Natuna di Laut Cina Selatan, komisi mengatakan bahwa mereka menemukan “bukti positif adanya sebuah ledakan di roda depan bagian kanan pesawat yang disebabkan bom waktu,” tulis majalah Time, 6 Juni 1955. Kesimpulannya: sabotase.

Bom berjenis detonator MK-7 buatan Amerika dan besar kemungkinan dipasang ketika pesawat berada di Hong Kong. Bom itu hanya bisa dipasang oleh seseorang dengan akses ke pesawat ketika berada di Bandara Kai Tak, di mana pemerintah RRC telah meminta pemerintah Hong Kong untuk melindunginya. Artinya, ini bukan kecelakaan biasa melainkan upaya pembunuhan dengan target Zhou Enlai. Tak jelas siapa yang menempatkan bom itu.

Pengumuman itu mengejutkan pemerintah Hong Kong. Mereka menawarkan HK $ 100.000 (hadiah tertinggi yang pernah ditawarkan di Hong Kong) atas informasi pelaku dan menginterogasi 71 orang yang berhubungan dengan perawatan pesawat.

Menariknya, Zhou Enlai bukan tak tahu upaya pembunuhan atas dirinya. “Bukti sekarang menunjukkan bahwa Zhou mengetahui rencana itu sebelumnya dan diam-diam mengubah rencana perjalanan, kendati dia tak menghentikan sebuah delegasi kader yang lebih rendah untuk mengambil tempatnya,” tulis Steve Tsang dari Universitas Oxford dalam “Target Zhoe Enlai”, yang dimuat China Quarterly edisi September 1994.

Mulanya, untuk membawa delegasi ke Konferensi Asia-Afrika, Peking menyewa Kashmir Princess yang berkapasitas lebih dari 100 penumpang. Para agen Taiwan tampaknya menduga bahwa pesawat itu akan membawa Zhou dan membuat rencana untuk meletakkan bom pada pesawat itu di bandara Hong Kong.

Peking maupun Zhou Enlai memiliki semua detail rencana itu. Tapi mereka membiarkan operasi itu berlanjut tanpa memberi tahu Air India, utusan Inggris di Peking, pemerintah Hong Kong, dan para penumpang pesawat. Mao menyuruh Zhou mengubah rute dan tak naik pesawat itu. Rencana perjalanan Zhou disimpan rapat-rapat. Penjelasan resmi atas perubahan itu: Zhou terkena radang usus buntu dan perlu operasi.

“Kerahasiaan perjalanan Zhou menyelamatkan jiwanya dan malapetaka bagi Kashmir Princess. Pesawat Air India itu pula yang dijadwalkan terbang ke Rangoon menjemput Zhou untuk perjalanan ke Indonesia,” tulis www.chinadaily.com, 21 Juli 2004.

Pada 7 April, Zhou bersama delegasi meninggalkan Beijing dan tiba di Kunming. Dia bermaksud menghabiskan beberapa hari di sana untuk mempersiapkan diri dalam Konferensi Asia-Afrika dan memulihkan diri pascaoperasi. Empat hari kemudian mereka mendengar berita ledakan pesawat Kashmir Princess. Mereka berdukacita dan memberikan penghormatan bagi para korban.

“Kami merasa persoalan menjamin keamanan Perdana Menteri Zhou sangat serius,” tulis Huang Hu, diplomat China yang loyal pada Zhou Enlai, dalam memoirnya, seperti dimuat www.globaltimes.cn. “Wakil Perdana Menteri Chen Yi mengatakan kepada semua komrad untuk memperhatikan keamanan Perdana Menteri Zhou. Dia mengatakan kita semua adalah pengawalnya. Dalam suratnya kepada istrinya, Deng Yingchao, Perdana Menteri Zhou kemudian mengatakan bahwa bahaya tak dapat dihindari dalam pertempuran militer dan juga perempuran sipil.”

Pada 14 April, Zhou terbang ke Rangoon, ibukota Burma untuk bertemu dengan Perdana Menteri U Nu, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, serta perdana menteri dari Mesir, Pakistan, Ceylon, dan Vietnam sebelum melanjutkan ke Bandung.

Mengapa Zhou tak bertindak untuk mencegah kecelakaan? Tujuannya: mendesak otoritas Hong Kong untuk menindak jaringan rahasia agen-agen Koumintang di Hong Kong.

“Segera setelah kecelakaan itu, Zhou mengatakan kepada pemerintah Inggris bahwa mereka bisa mengandalkan dukungannya dalam penyelidikan, jika mereka bersedia bekerjasama dalam menghancurkan jaringan spionase. Secara politik, ini akan meningkatkan hubungan antara Inggris Raya dan China, membangun kemajuan yang dicapai dalam (Konferensi) Jenewa,” tulis Barbara Barnouin dan Yu Changgen dalam Zhoe Enlai: A Political Life.

Menurut Jung Chang dalam Mao: Kisah-kisah yang Tak Diketahui, Peking segera menyatakan bahwa agen-agen Taiwan memasang bom di pesawat itu. Zhou Enlai lalu memberi Inggris nama-nama yang menurut Peking harus diusir dari Hong Kong. Inggris menyetujui dan sepanjang tahun berikutnya mendeportasi lebih dari 40 agen Nasionalis penting yang tercantum dalam daftar Zhou, meski di pengadilan tak ada cukup bukti untuk menuntut mereka dengan tuduhan tindak kejahatan. Ini membuat sebagian besar jaringan Chiang Kai-sek di Hong Kong lumpuh.

Lantas, siapa pemasang bom itu? Menurut Steve Tsang, yang menelusuri arsip-arsip Inggris, Taiwan, Amerika, dan Hong Kong, agen-agen Kuomintang yang beroperasi di Hong Kong sebagai pelaku pemboman –dokumen China yang sudah dibuka untuk publik pada 2005 juga menunjukkan dinas rahasia Koumintang bertanggung jawab atas pengeboman. Pada Maret 1955, mereka merekrut Chow Tse-ming alias Chou Chu, yang menjadi tukang bersih Hong Kong Aircraft Engineering Co sejak 1950. Nasionalis menawarkan uang dalam jumlah fantastis untuk ukuran saat itu sebesar HK$ 600.000 (saat ini sekira Rp 700 juta) dan tempat perlindungan di Taiwan, jika perlu.

Sialnya, Chow bukanlah orang yang cerdik. Dia membual kepada temannya tentang apa yang dia lakukan. Dia juga menghabiskan uang dalam jumlah besar. Setelah empat bulan mencari jejak, polisi Hong Kong mengeluarkan surat perintah untuk menangkap Chow. Tapi ketika polisi hendak menangkapnya, Chow melarikan diri naik pesawat Civil Air Transport milik CIA dalam penerbangan ke Taiwan. Konsul Inggris di Taiwan menuntut Chow dikembalikan ke Hong Kong untuk diadili, tapi Nasionalis menolak.

Bagaimana dengan keterlibatan CIA? Seperti halnya Chiang Kai-shek, “Amerika takut konferensi akan sukses dan menjadi pemersatu dan oposisi bagi imperialisme and kolonialisme. Pemerintah Amerika meminta para kepala misi diplomatik di seberang lautan untuk merencanakan sebuah konspirasi, dan membuat sebuah rencana untuk menyabotase konferensi itu. Mereka berupaya agar konferensi hanya membicarakan masalah budaya dan ekonomi dengan mengesampingkan masalah politik dan pelucutan senjata, dan menjadikannya pembicaraan minum teh di sore hari. Mereka mengirim sekira 70 koresponden untuk menyebarkan rumor dan distorsi demi menyabotase konferensi,” tulis Huang Hua.

Menurut Steve Tsang, CIA tak terlibat, meski awalnya juga punya rencana untuk menghabisi Zhou Enlai. Ketika diangkat menjadi wakil direktur CIA pada 1954, Jenderal Lucian Truscott menemukan bahwa CIA berencana membunuh Zhou Enlai. Selama perjamuan akhir di Bandung, seorang agen CIA akan membubuhkan racun ke mangkuk nasi Zhou yang tak akan bereaksi selama 48 jam hingga Zhou kembali ke China. Truscott menghadap Direktur CIA Allen Dulles dan memaksanya menghentikan operasi itu.

Dalam Konferensi Asia-Afrika, Zhou Enlai menjadi bintang. Dengan tenang dia menangkis pidato delegasi negara lain yang menyerang China dan komunisme. Zhou juga menjadi pendamai ketika terjadi kebuntuan antara negara-negara yang berpihak dan negara-negara bebas-aktif. Zhou pula yang mengusulkan suatu Deklarasi Perdamaian. Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung 18-24 April di Gedung Merdeka, Bandung, berjalan lancar dan menghasilkan dokumen penting yang disebut Dasasila Bandung.

Ledakan pesawat Kashmir Princess, yang merupakan upaya pembunuhan atas Zhou Enlai, menjadi warna pedih dalam upaya perdamaian dunia yang diusung Konferensi Asia-Afrika.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: