Kampung Baru Makassar, 1910. (Foto: KITLV)
NATURALIS asal Inggris, Alfred Russel Wallace, menjejakkan kakinya di Makassar antara September-November 1856. Sebelum menyambangi mengumpulkan serangga atau burung –dan beberapa spesimen makhluk hidup lainnya– dia menuliskan kekagumannya akan kota itu.
Makassar dalam gambaran Wallace adalah kota tercantik yang dibangun pemerintah Belanda di bagian timur Nusantara: rumah-rumah penduduk Eropa, Tionghoa dan pribumi ditata dengan elok; jalan-jalan disiram setiap sore hampir tak ada debu; sampah-sampah dikelola dengan baik.
“Jalan-jalan dijaga agar bersih dari sampah, pipa-pipa bawah tanah membawa semua kotoran dan mengalirkan ke saluran penampungan terbuka. Air kotor akan masuk ke penampungan saat arus pasang dan hanyut saat surut,” tulis Wallace dalam The Malay of Archipelago.
Dari mana Makassar dan kota ini bermula? Pada 1669, ketika Belanda menundukkan kerajaan Gowa dan memaksa Sultan Hasanuddin sebagai raja menandatangani perjanjian Bongaya, semua benteng dihancurkan. Kecuali benteng Ujung Pandang (saat ini dikenal sebagai Benteng Rotterdam) yang letaknya tepat di pesisir pantai Losari.
Benteng Rotterdam menjadi pusat pemerintahan Belanda sekaligus titik utama pengembangan kota. Pada akhir abad ke-17, permukiman baru di sekitar benteng dibangun, seperti Vlaardingen dan Kampung Baru. Pada bagian selatan benteng, berkembang permukiman yang dihuni kelompok etnis, seperti Melayu, Cina, Belanda, Bugis, Jawa dan masyarakat dari daerah sekitar.
Sejarawan Universitas Hasanuddin, Dias Pradadimara, dalam makalahnya “Penduduk Kota, Warga Kota, Dan Sejarah Kota: Kisah Makassar,” menyebutkan bahwa pada 1930 terdapat hampir 3.500 Eropa, lebih dari 15.000 Cina, dan lebih dari 65.000 bumiputra dari berbagai daerah di Hindia.
Pada awal abad 20, Makassar dengan cepat menjadi kota kosmopolitan. Menurut Dias, Pasarstraat (sekarang Jalan Nusantara) menjadi tempat yang selalu sibuk. Di sana ada tiga toko pakaian besar: Hotchand Kemchand, Bombay Moerah, dan Liberty. Tak jauh dari lokasi itu, di Tempelstraat (sekarang Jalan Sulawesi), toko pakaian berbahasa Prancis, Au Bon Marche berdiri dengan megah.
Bila kebutuhan akan pakaian sudah dapat dipenuhi, maka kebutuhan hasil-hasil peternakan bisa dihubungi boerderij Frisia di Goaweg (sekarang Stadion Matoanging) yang menyediakan susu segar dari sapi Australia maupun sapi dari Frisland di ujung utara Negeri Belanda. Sang pemilik seorang keturunan Eropa Timur, U. Hudoffsky, juga menyediakan yoghurt Bulgaria dan mentega.
“Inilah sebuah kota kosmopolitan dengan segala fasilitasnya yang telah menjadikan kota ini sebagai bagian dari sebuah jaringan komunikasi dan transportasi yang menghubungkannya dengan segala penjuru dunia,” tulis Dias.
Namun demikian, berkembangnya permukiman di sekitar Benteng Rotterdam menandakan terputusnya garis sejarah dari pusat utama kerajaan Gowa di Somba Opu, yang pada awalnya menjadi pusat perdagangan. “Kota Makassar (yang kita kenal sekarang) adalah kota kolonial yang tidak hanya berbeda namun berhadap-hadapan dan bersaing dengan kota lama di sebelah selatannya yang menjadi simbol kekuasaan Gowa yang sudah memudar,” tulis Dias.
Gelombang dan Migrasi Warga Kota
Perkembangan kota Makassar secara pesat, dimulai setelah penaklukan penguasa-penguasa lokal di Sulawesi Selatan oleh pemerintah Belanda tahun 1905-1906. Pada 1905, jumlah penduduk kota ini diperkirakan 26.000 orang. Dua puluh lima tahun kemudian, menurut hasil sensus tahun 1930, penduduknya menjadi tiga kali lipat mencapai lebih dari 84.000 orang. “Ini membuat Makassar menjadi kota besar kedua di luar Jawa setelah Palembang.”
Survey yang dilakukan peneliti dari Universitas Hasanuddin tahun 1972, penduduk Makassar (termasuk anak dari migran gelombang pertama tahun 1950-1960-an) yang lahir di kota ini tidak mencapai separuh dari total penduduk atau 42,6%. Meski demikian, pada masa itu, lebih banyak penduduk kota lahir di daerah lain di Sulawesi Selatan, terutama di wilayah berbahasa Bugis.
Diperkirakan sekitar 30% penduduk kota lahir di daerah berbahasa Bugis, sedang 12,4% lahir di daerah berbahasa Makassar di luar kota. Mereka yang lahir di daerah berbahasa Toraja dan Mandar tidak mencapai 6% dari total penduduk kota. Demikian pula mereka yang lahir di luar Sulawesi Selatan tidak mencapai 9%.
Akhirnya, dengan tingkat keberagaman penduduk, baik dari wilayah dalam Sulawesi Selatan hingga warga Tionghoa, Makassar tidak bisa lagi disebut kota bagi orang berbahasa Makassar.
Dias berpendapat, perubahaan nama kota pada 1971 menjadi Ujung Pandang, sebagai upaya melepaskan konotasi etnis kota ini. “Dan setelah itu seorang berasal dari Majene atau berdarah Madura atau Cina tanpa ragu menyebut dirinya, orang Ujung Pandang, satu hal yang tak dapat dilakukannya sebelumnya dengan sebutan orang Makassar,” kata Dias. “Nama Ujung Pandang adalah simbol keb-baru-an masyarakat kota Makassar yang sudah mulai dibentuk diawal abad ke 20."
(Historia/berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email