Johannes David Mesman (1790-1836) diangkat sebagai residen di distrik Maros, Sulawesi bagian selatan pada 1820. Karesidenannya terletak di desa Soradjirang. Pemerintah kolonial Inggris memberikan kawasan tersebut kepada Mesman pada 1816 sebagai pengakuan atas bantuannya dalam perjuangan melawan penguasa Bone. (Foto: Lukisan oleh Antoine Payen, sekitar 1824/repro Being “Dutch” in the Indies)
SETELAH menghabiskan tiga hari perjalanan dari Lombok, Alfred Russel Wallace mencapai Makassar pada 2 Agustus 1856. Sehari kemudian bertemu gubernur Hindia Belanda untuk wilayah Makassar. Atau pula mengunjungi raja Gowa guna meminta izin memasuki wilayah hutan.
Di Makassar, Wallace menghabiskan waktu selama tiga bulan (September-Desember 1856) menempati sebuah rumah panggung di daerah Mamajang (dituliskannya sebagai Mamajam). Lalu ke Gowa menempati rumah penduduk yang dikosongkan atas perintah raja.
Pada Desember 1856, Wallace berlayar ke Kepulauan Aru, dan kembali lagi ke Makassar pada Juli 1857. Kedatangan kedua ini, menjadikan Maros sebagai titik tujuan. Di tempat ini, Wallace tinggal di sebuah tempat yang dituliskannya sebagai Amasanga dan bermukim antara Juli hingga November 1857.
Bagaimana Wallace melakukan perjalanan ke tempat-tempat asing dengan mudah? Dalam catatannya, The Malay Archiplego (Kepulauan Nusantara), saat pertama kali mencapai Makassar, dia membawa surat perkenalan diri pada seorang Belanda bernama Mr. Mesman dan seorang penjaga toko berkewarganegaraan Denmark (tak disebutkan namanya). Dari dua orang kenalan ini, akses bertemu para penguasa wilayah dengan mudah didapatkan.
Dalam catatan perjalanan itu, Wallace menulis dua Mesman: Mr. Mesman yang tinggal di Makassar dan Mesman yang tinggal di Maros.
Mesman yang berada di Makassar adalah Willem Leendert Mesman. Dan yang berada di Maros adalah Jacob David Mathijs Mesman. Dua Mesman ini bersaudara. Orangtua mereka adalah pasangan Johannes David Mesman dan J. Helena Peters.
Johannes David Mesman adalah seorang pegawai sipil pemerintah Beanda di Makassar hingga masa peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Menjadi pemimpin landraad (pengadilan) dan sekretaris tambahan untuk urusan kewarganegaraan. Dia juga ikut berjuang melawan orang-orang Bugis.
Guru Besar Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar, Rasyid Asba, dalam makalah untuk seminar nasional; Tjollie Pujie sebagai Pahlawan Nasional di Bone pada 12 Juli 2004 menuliskan, pada 1826 ketika dilakukan penyerangan ke Tanete untuk menumpaskan perlawanan La Patau, Belanda menggandeng kerajaan Sidenreng, Maros, dan Pangkejene. Dan ikut serta perwakilan sipil yakni Mayor Mesman sebagai komisaris pemerintah Belanda.
Johannes David Mesman diberikan penghargaan dari pemerintah berupa perkebunan di Marana dan Atapang, yang disebutkan sebagai pengambilalihan dari tangan musuh (Bugis). Dia menjadi kepala kampung sendiri, memberlakukan pelayanan wajib pajak atas sepertiga hasil bumi.
Putra tertua Johannes David Mesman adalah Jacob David Matthijs (1818-1858) yang menamatkan sekolah penerjamah pada Ilustrasi untuk Bahasa Jawa di Surakarta. Dikisahkan dalam Being Dutch in the Indies A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, saat kembali ke Makassar, Jacob dikenal dengan sapaan Tuan Solo.
Tuan Solo tak menetap di Makassar, dia memilih Maros sebagai tempatnya bermukim. Memiliki ratusan hektar perkebunan dan puluhan ekor sapi. Saat Wallace mengunjunginya pada 1857, Mesman digambar sebagai seorang petualang. Menikmati kehidupannya bersama alam, bergantung pada senapan dan anjing pemburu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Babi hutan yang gemuk dan sesekali waktu menembak rusa. Menanam padi dan kopinya sendiri, serta memelihara banyak bebek dan unggas. Dan sapi yang menghasilkan persediaan susu melimpah.
Namun, setahun setelah kunjungan Wallace, pada 1858 Jacob Mesman meninggal dunia.
Putra lainnya adalah Willem Leendert Mesman, mengambil kursus bahasa Bugis dan Makassar. Kursus ini menjadikannya dapat bercakap-cakap dengan penduduk pribumi dan dapat mengamankan kepentingan bisnisnya. Terbukti, kepiawaian ini diperlihatkan saat menemani Wallace bertemu raja Gowa. Wallace, menuliskannya seperti pertemuan dua orang sahabat.
Sejak usia 35 tahun, Willem Mesman telah sukses membangun usaha bisnisnya. Dia tinggal di wilayah pinggiran kota dan menjadi seorang tuan tanah, memiliki ternak, gudang, pegawai dan beberapa pelayan. Dalam Being Dutch in the Indies A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, Mesman selalu mengawali harinya dengan sarapan, lalu mengganti pakaiannya dengan balutan jas lenin putih bersih dan berangkat ke kantornya menggunakan kereta kuda (bendi) di kota, di mana tertulis W.L Mesman, negotie-en commisiehandel en reders (W.L Mesman, Pedagang, Agen Bisnis, dan Pemilik Kapal).
Menurut Wallace, Willem Mesman adalah seorang pedagang kopi dan opium. Memiliki perkebunan kopi di Bontyne (sekarang Bantaeng) dan sebuah perahu untuk berdagang mutiara dan tempurung penyu dari New Guinea.
Di areal tanahnya juga, terdapat selusin kuda, dua puluh ekor sapi, dan sebuah kampung kecil yang dihuni para budak dari Timor dan pelayan dari Makassar. Meskipun pada 1854, perdagangan budak dinyatakan ilegal, yang kemudian ikut pula mengakhiri posisi Makassar sebagai pusat perdagangan budak.
Keluarga Mesman adalah keluarga penting di Makassar. Saya mencoba mencari yang tersisa dari keluarga ini. Tak ada kuburan. Di Makassar, pekuburan orang-orang penting Belanda di tempatkan di jalan bagian ujung Hoge Pad –sekarang Jalan Ahmad Yani. Kuburan-kuburan para pembesar Belanda di tempat ini, sekarang menjadi kawasan bisnis di sekitar Makassar Trade Centre (MTC) di depan lapangan Karebosi.
Saya juga menemukan salah satu jalan penghubung yang menggunakan nama Mesman Laan. Jalan ini, tak begitu panjang, hanya sekitar 300 meter dan menghubungkannya dengan jalan Ranggong daeng Romo. Sekarang Mesman Laan pun berubah menjadi Jalan Andi Makkassau.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email