Pesan Rahbar

Home » » Cara Raja Bone Melawan Belanda. Besse Kajuara, raja Bone ke-28, memerintahkan semua kapal berbendera Belanda yang berlabuh di pelabuhan Bajoe membalikkan benderanya

Cara Raja Bone Melawan Belanda. Besse Kajuara, raja Bone ke-28, memerintahkan semua kapal berbendera Belanda yang berlabuh di pelabuhan Bajoe membalikkan benderanya

Written By Unknown on Monday, 28 March 2016 | 21:47:00

Kiri-kanan: Rajah Goa, Mangi-Mangi Karaeng Bontonompo, Raja Bone La Mappanjoeki, dan Raja Boetoeng Laode Hamidi di Makassar, 1947. (Foto: KITLV).

SUATU waktu di tahun 1857, sebuah kisah terjadi di pelabuhan Bajoe. Raja Bone ke-28, seorang perempuan, Besse Kajuara memerintahkan semua kapal yang berlabuh dan berbendera Belanda, merah-putih-biru harus membalikkannya menjadi biru-putih-merah.

Besse Kajuara (nama panjangnya We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Sultana Ummulhadi Matinroeri Majennang), memerintah antara 1857-1860, menggantikan suaminya, Raja Bone ke-27, La Parenrengi Arumpugi Sultan Ahmad Saleh Muhiddin. La Parenrengi adalah raja yang gencar menentang pendudukan Belanda di tanah Bone. Dia mengirim surat kepada gubernur Hindia Belanda di Makassar mengajak berperang.

Dalam Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, sejarawan Mattulada menulis, genderang perang yang dikobarkan La Parenrengi disebabkan ulah Belanda menjalankan politik adu domba dan mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan Bone dalam sengketa keluarga. Dalam persiapan perang itu, sang raja mengirim utusan kepada raja-raja, yang masih ada hubugan keluarga, ke Wajo, Soppeng, dan Aja’tappareng, untuk bersama melawan Belanda.

Sejak upaya penyerangan Belanda ke Bone (1824-1830), pimpinan ekspedisi itu adalah Jenderal Jenderal Mayor van Geen, dengan persiapan kekuatan 1.400 personel, satu divisi Angkatan Laut (delapan kapal perang, tiga kapal meriam), dan sekitar 3.200 laskar dari Gowa, seribu laskar dari Selayar, dan pasukan berkuda yang diperbantukan untuk menyerang semua lini pertahanan Bone. Pada Januari 1825, pasukan Belanda memasuki wilayah Bone.

Di saat bersamaan meletus Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Pasukan Jenderal Mayor van Geen beberapa hari telah menyusuri Sungai Cenrana dan mengalami kondisi kritis, karena hujan berhari-hari dan air meluap. Ratusan pasukannya terserang malaria dan disentri. Melihat hal tersebut, Belanda menunda penyerangan dan mengalihkan pasukannya ke Jawa.

Setelah Perang Jawa selesai dan Diponegoro ditawan di Makassar, persiapan penaklukkan Bone dimulai lagi dalam jumlah yang lebih besar. Raja Bone ke-26, Sultan Saleha Rabiatuddin dan panglima perangnya Arung Lompo, tak gentar dan tetap menentang kerjasama dengan Belanda. Tapi, dua pembesar ini meninggal dunia pada 1835.

Sementara itu, Mangkubumi Kerajaan Bone La Mappangara yang lebih moderat melakukan negosiasi dengan pemerintah Hindia Belanda di Makassar. Bone meminta pengampunan dan menggalang persekutuan. Menurut Mattulada, alasan La Mappangara memilih negosiasi karena daerah taklukkan akan mendi ata (budak) dari penakluk. Jika menjadi sekutu maka Bone tetap sejajar, bukan negeri taklukan.

Kerjasama dengan Belanda menjadi buah tangannya, dan tetap dipertahankan penerusnya La Parenrengi. Namun, beberapa tahun kemudian terjadi percekcokan antara sang raja dan La Mappangara yang membuatnya harus meninggalkan tanah Bone menuju Camba di Maros. La Parenrengi pun semakin memperlihatkan ketidaksukaannya pada Belanda. Ketegangan-ketegangan dalam beberapa hal kerap terjadi. Persekutuan akhirnnya retak.

Pada Februari 1857, La Perenrengi meninggal dunia. Pemerintah Hindia Belanda suka cita dan menyambut baik pengangkatan Besse Kajuara. “Belanda berpikir, raja perempuan akan lebih mudah diajak kerjasama dan dilunakkan,” kata Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin.

Kenyataannya di luar dugaan Belanda. Besse Kajuara, kata Nurhayati, lebih militan. Dalam beberapa perang, dia ikut berperang dengan menggunakan pakaian perang. “Dia raja yang tidak hanya mendengar laporan. Dia ikut bersama rakyatnya dan bersama memegang senjata,” katanya.

Keengganan Besse Kajuara kerjasama dengan Belanda ditunjukkan saat B.F. Mathhes, seorang penginjil dan ahli bahasa –yang kemudian dikenal bersama Colli Pujie karena jasanya menyalin epos I La Galigo– ditentangnya masuk ke tanah Bone. “Besse Kajuara, memerintahkan rakyatnya mencuri kuda Mathhes agar dia tak bisa kemana-mana,” kata Nurhayati. “Bayangkan, Mathhes dari wilayah Bone itu harus berjalan kaki hingga ke Camba (wilayah Kerajaan Maros), yang jaraknya puluhan bahkan mencapai seratusan kilometer.”

Akhirnya, perang tak terhindarkan. Belanda menyerang Bone dan menaklukkannya pada 1859. Besse Kajuara yang menolak tunduk memilih wilayah Suppa sebagai tempat bermukim dan menyatakan diri tak akan kembali lagi ke Bone.

Pada 1862, Besse Kajuara meninggal dunia di Suppa dan diberi gelar anumerta Matinnroeri Majennang (meniggal di Majennang daerah Suppa). Penggantinya, Ahmad Singkeru Rukka dilantik menjadi raja Bone ke-29 pada 31 Januari 1862. Pada masa pemeritahan inilah Bone yang awalnya berstatus Bondegenoots-chap (sekutu) diturunkan menjadi Leenvorstendon (kerajaan pinjaman), di mana semua kebijakan dan tata pemerintahan harus sepengetahuan pemerintah Hindia Belanda.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: