Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz bersama empat putrinya - Sahar, Maha, Jawahir, dan Hala. (Foto: nypost.com)
Ditawan ayah di Kota Jeddah
Mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz telah menyekap empat putrinya - Sahar, Maha, Jawahir, dan Hala - sejak 2001.
Puluhan orang pada sebuah Sabtu, Mei tahun lalu, berkumpul di depan Kedutaan Arab Saudi beralamat di 30-32 Charles Street, Ibu Kota London, Inggris. Mereka bukan ingin mengantre visa buat umrah.
Mereka mengecam sekaligus mengutuk Raja Abdullah bin Abdul Aziz as-Saud telah menyekap empat putrinya - Sahar, Maha, Jawahir, dan Hala - sejak 2001. Para pengunjuk rasa tergabung dalam kampanye Free The 4 menuntut penguasa Kerajaan Saudi segera melepaskan keempat puteri itu.
Para demonstran itu adalah penyokong Puteri Alanud al-Fayiz, janda Raja Abdullah. Alanud telah bercerai dengan lelaki 89 tahun itu pada 1985 dan sudah lama menetap di London.
Unjuk rasa hari itu sekaligus menandai kondisi mengenaskan menimpa Sahar bersama Jawahir. Sudah 60 hari pasokan makanan dan minuman dihentikan. Mereka juga dilarang memesan keluar. Hanya akses Internet tidak diputus.
Puteri Sahar bersama Puteri Jawahir disekap dalam sebuah istana milik Raja Abdullah di kota pelabuhan Jeddah. Sahar tidak tahu seberapa luas ukuran istana itu. Yang pasti begitu besar, megah, dan mewah.
"Kami diisolasi sendirian," kata Sahar, 42 tahun, saat dihubungi surat kabar the New York Post melalui telepon selulernya pertengahan April 2014. "Kami adalah tawanan. Tak seorang pun bisa mengunjungi kami dan kami tidak bisa bertemu orang lain."
Sahar menyalahkan ayahnya, Raja Abdullah serta saudara tirinya, Pangeran Abdul Aziz dan Pangeran Mutaib, sebagai pemberi perintah.
Puteri Alanud mengungkapkan alasan penyekapan keempat putrinya itu lantaran Raja Abdullah tidak suka mereka berbicara lantang mengenai pembatasan berlaku bagi kaum hawa di negeri Dua Kota Suci itu. Sahar dan ketiga adiknya menentang ketidakadilan diterapkan kepada para perempuan Saudi. Mereka tidak boleh bersekolah tinggi-tinggi, bekerja, bepergian, dan bahkan menyetir.
Empat bersaudara ini juga menentang kebijakan ayahnya memperlakukan tahanan politik. "Ketidakadilan kami lihat (terhadap perempuan Saudi) begitu mengerikan dan kami harus mengatakan sesuatu," ujar Alanud.
Kehidupan keempat putri Raja Abdullah itu kini sungguh mengenaskan. Padahal semasa kecil mereka hidup begitu nyaman dengan perlakuan sungguh istimewa sebagai anak raja. Mereka menetap dalam kompleks istana seluas 343.983 meter persegi.
Dengan kekayaan Raja Abdullah senilai Rp 171,18 triliun, Sahar, Maha, Jawahir, dan Hala hidup bak penghuni surga. Semua mereka mau tersedia.
Tapi sekarang ironis. Raja Abdullah dikenal ramah menyambut tetamu Allah ingin berumrah dan berhaji malah bersikap bengis dengan menyekap keempat putrinya. Kota Jeddah bermakna kota reuni Adam dan Hawa sekarang berganti menjadi kota pemutus ikatan ayah dan anak.
Puteri Jawahir (kiri) dan Sahar bersama dua anjing mereka di lokasi penyekapan. (Foto: nypost.com)
Aib istana nista raja
Puteri Sahar dan Jawahir kini tinggal tanpa pelayan bersama dua anjing dan satu kucing di tempat sekapan.
Bau busuk itu mulai tercium Maret tahun lalu setelah Puteri Alanud al-Fayiz, janda Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz as-Saud, mengirim seorang wartawan perempuan. Dia ditugaskan mengunjungi istana tempat keempat putrinya disekap di Kota Jeddah, Arab Saudi.
Alanud ingin jurnalis itu menyaksikan langsung nasib buruk menimpa Sahar, Maha, Jawahir, dan Hala. Rupanya sulit menembus benteng setinggi dua meter. Para pengawal menahan wartawan itu selama 50 menit.
"Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaannya (wartawan itu)," kata Alanud saat diwawancarai program televisi Eye on Democracy April 2014. "Para pengawal itu kemudian mengambil paspor, kartu pers, dan semuanya, lantas menyuruh dia pergi."
Segera setelah itu, kata Alanud, pasokan makanan dan minuman bagi Sahar dan Jawahir dihentikan.
Alanud mengungkapkan empat anak perempuannya itu telah disekap sejak 2001. Saban tahun hak-hak mereka dikurangi secara bertahap. "Mereka tidak bersalah. Ini urusan dengki," ujarnya tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut.
Sahar dan Jawahir diwawancarai dalam acara televisi serupa menjelaskan pasokan mereka saat itu tinggal sedikit makanan kaleng dan pasta kering sudah kadaluarsa. Untuk air minum, mereka harus menyuling air laut.
Sahar berjilbab dan Jawahir terlihat kurus. Mereka telah empat tahun tidak mendapat layanan kesehatan. "Sudah tiga tahun terakhir tidak ada orang lain di sini. Hanya saya dan Jawahir," tutur Sahar, 42 tahun. "Para pekerja dan pelayan sudah tidak ada."
Keduanya kini tinggal bersama dua anjing dan satu kucing. Karena pasokan makanan telah disetop, mereka harus mengirit agar bisa berbagi makanan dengan tiga hewan peliharaan mereka itu.
Kondisi Sahar bersama Jawahir masih mendingan. Situasi dialami Maha dan Hala jauh lebih buruk. Mereka sakit parah dan perlu pertolongan segera. keduanya sudah sepuluh tahun tidak mendapat perawatan kesehatan.
Maha dan Hala saban beberapa bulan menghubungi ibunya. Kejiwaan mereka tertekan. "Mereka tidak omong apa-apa kecuali, 'Saya ingin mati.' Itu saja saya dengar dari mereka: tangisan minta tolong," kata Alanud.
Mulanya Maha dan Hala masing-masing ditawan dalam sebuah vila sekompleks dengan istana tempat Sahar dan Jawahir disekap. Namun keduanya dipindahkan dari sana setelah Sahar dan Jawahir berusaha membebaskan mereka. Alanud mengaku tidak tahu di mana lokasi Maha dan Hala sekarang.
Menurut Alanud, kesehatan Maha dan Hala terus memburuk lantaran makanan dan minuman keduanya dicampur obat Epidrin. Efek obat ini bisa menyebabkan orang marah-marah tidak terkendali dan bersikap aneh. Sahar dan Jawahir juga mengalami nasib serupa.
Mereka berhasil menyadari hal itu dan mulai mengurangi makan makanan dari istana. Bukti kian kuat setelah seorang pelayan seraya menangis mengakui mereka dipaksa untuk menaruh oabt dalam makanan buat empat anak perempuan Raja Abdullah itu.
Malang benar nasib keempat puteri itu. Untung saja aib dari dalam istana itu terkuak. Raja Abdullah begitu harum lantaran ramah menerima dan melayani tetamu Allah, kini tercoreng nista sebab memasung darah dagingnya sendiri.
Puteri Alanud al-Fayiz, janda Raja Abdullah bin Abdul Aziz, bersama keempat putrinya. (Foto: nypost.com)
Jeritan hati puteri nurani raja terkunci
"Saya tidak bisa memahami itu. Bagaimana mungkin ayah bisa menghilangkan perasaan terhadap anak-anaknya?" kata Sahar.
"Kami tidak akan menyerah tanpa berjuang meski kehilangan berat badan dan energi," tulis Puteri Sahar binti Raja Abdullah bin Abdul Aziz as-Saud dalam akun Twitternya Mei tahun lalu.
Sahar (42 tahun), Maha (41 tahun), Hala (39 tahun), dan Jawahir (38 tahun) kini tersekap atas perintah ayah mereka. Sahar bareng Jawahir ditawan dalam sebuah istana di Kota Jeddah. Sedangkan Maha dan Hala telah dipindahkan di lokasi belum diketahui.
Sejak Maret 2014 pasokan makanan, minuman, dan air bagi Sahar bersama Jawahir dihentikan. Listrik juga sering dipadamkan. Sedangkan Maha dan Hala dalam kondisi sakit parah dan perlu segera ditangani dokter.
Namun layanan itu belum diterima Maha dan Hala dalam satu dasawarsa terakhir. Sahar sekaligus Jawahir juga bernasib serupa empat tahun belakangan.
Kamar ditempati Sahar dan Jawahir tidak nyaman. Mereka kerap merasa gerah karena penyejuk udara tidak berfungsi. Kepinding dan tikus juga berkeliaran di sana.
Empat bersaudara ini sudah ditawan sejak 2001. Setahun setelah ibu mereka, Puteri Alanud al-Fayiz kabur ke Ibu Kota London, Inggris, Raja Abdullah mulai menekan darah dagingnya. Makanan dan minuman mereka dicampur dengan obat bius. Hubungan telepon dengan sang ibu dilarang.
"Mereka telah merasa mendapat tekanan sebelum saya pergi," kata Alanud kepada surat kabar the New York Post April 2014. "Ketika dia mengetahui saya telah lari, dia bersumpah membunuh anak-anak saya pelan-pelan."
Raja Abdullah sebenarnya sudah membujuk Alanud agar mau pulang. Dia berjanji membatalkan perceraian dan membebaskan Sahar, Maha, Hala, dan Jawahir. "Saya tahu itu tidak benar, saya tidak bisa mempercayai dia," ujar Alanud. Dia menyebut istana tempat empat anak perempuannya disekap seperti kandang.
Alanud sudah mengadu ke pelbagai pihak, termasuk Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama baru-baru ini melawat ke Arab Saudi. Namun sampai sekarang tidak ada tanggapan.
Pengacaranya, Roland Duma, telah menyurati Raja Abdullah. Dia meminta bertemu untuk membahas persoalan keluarga ini baik-baik. Tapi permintaan mantan menteri luar negeri Prancis itu ditolak.
Alanud geram dengan pemimpin dunia dan organisasi internasional membiarkan kasus itu berlarut. "Bagaimana mereka bisa membiarkan ini terjadi? Hanya karena seseorang dengan kekuasaan dan uang ingin ini terjadi? Ini benar-benar memalukan."
Bukan sekadar siksaan mental, mereka juga mendapat penganiayaan fisik, kadang oleh saudara tiri lelaki mereka. "Mereka masuk dan memukuli kami dengan tongkat," tutur Sahar. "Mereka berteriak kepada kami dan mengatakan kami akan mati di sini."
Meski situasi mereka hadapi begitu sulit, Sahar dan Jawahir bertekad tetap bertahan hingga mereka berhasil bebas. Sahar bersumpah menggugat Raja Abdullah dan putranya, Abdul Aziz serta Mutaib, ke pengadilan. "Kami hidup di tengah reruntuhan. Kalian menyebut istana padahal kami tidak merasa hidup dalam istana," katanya.
Sahar menegaskan dia bersama tiga adiknya benar-benar disekap. Mereka tidak boleh bertindak atas kemauan sendiri. Semua dikontrol oleh Raja Abdullah, Pangeran Mutaib, dan Pangeran Abdul Aziz. "Tidak seorang pun peduli kondisi kami, baik itu anggota keluarga atau seseorang di luar keluarga kami," ujarnya.
Hanya cinta dan kasih sayang sang ibu membuat mereka mampu bertahan. "Bahkan jika mereka telah mengambil pasokan udara buat kami, kami tetap teguh dan kami belajar semua itu dan ibu kami," tutur Jawahir. Dia mengakui hubungannya dengan sang ayah tidak berjalan normal dan baik. Dia mengaku tidak ingat hal-hal manis semasa kecil bersama ayahnya.
Sahar tidak habis pikir bagaimana ayahnya bisa begitu membenci anak-anaknya setelah bercerai dengan ibu mereka. "Saya tidak bisa memahami itu. Bagaimana mungkin ayah bisa menghilangkan perasaan terhadap anak-anaknya?" katanya.
Tapi itulah kenyataannya. Nurani Raja Abdullah terkunci meski hati keempat putrinya menjerit.
Puteri Alanud al-Fayiz, janda mendiang Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, bersama dua putrinya. (Foto: thetimes.co.uk)
Sikap jahiliyah Raja Abdullah
Raja Abdullah menceraikan istrinya, Puteri Alanud al-Fayiz, karena malu tidak memiliki anak lelaki.
Enam belas abad silam, sebelum Nabi Muhammad dilahirkan dan diangkat menjadi rasul, penduduk di jazirah Arab memiliki tradisi pandir. Mereka merasa malu memiliki anak perempuan. Kelahirannya dianggap aib bagi keluarga.
Rupanya pandangan dan tradisi zaman jahiliyah ini tidak sepenuhnya lenyap meski Rasulullah sudah berdakwah. Walau Islam telah menyebar ke penjuru dunia. Bahkan sikap itu ditunjukkan oleh penguasa dua kota suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz as-Saud dari Arab Saudi.
Raja Abdullah merasa malu mempunyai empat putri - Sahar, Maha, Hala, dan Jawahir - dari hasil pernikahannya dengan Alanud al-Fayiz. Mereka berumah tangga pada 1972. Saat itu Alanud berusia 15 tahun dan Abdullah 48 tahun.
Perjodohan itu tanpa persetujuan Alanud. "Setelah saya dipaksa menikahi dia, Abdullah akan datang ke kamar tidur saya seperti seorang pengunjung selama beberapa jam," kata Alanud kepada surat kabar the New York Post April 2014. "Kemudian dia akan mengunjungi ruang tidur istrinya yang lain."
Alanud langsung hamil. Dalam empat tahun pertama perkawinannya, dia empat kali hamil. Nahasnya, semua anaknya perempuan. Raja Abdullah tidak bisa menerima kenyataan itu.
Raja Abdullah memiliki 30 istri dan dikaruniai lebih dari 40 anak. Dia lantas menceraikan Alanud pada 1985 karena tidak bisa melahirkan anak lelaki. Sang istri baru mengetahui kabar dia telah menjanda dua tahun kemudian. Meski melanggar syariat Islam, di Saudi sudah menjadi kebiasaan suami bisa menceraikan istrinya tanpa sepengetahuan teman seranjangnya itu.
"Benar banget, dia telah berkali-kali menalak saya. Dia menganiaya saya, memukuli saya dan para pengawal saya," ujar Alanud. Bila melawan, penganiayaan dia terima bakal makin berat.
Alanud tidak kuat lagi bertahan. Hingga satu malam pada 2001, dengan bantuan seorang pengawal Abdullah, dia berhasil keluar dari dalam istana dan pergi ke Bandar Udara Raja Abdul Aziz, Jeddah. Lewat bantuan sebuah organisasi hak perempuan, dia dapat kabur ke luar negeri.
Bagi Alanud, tindakan itu bukan hal mudah karena dia harus meninggalkan empat putrinya. Abdullah segera menahan paspor empat anak perempuannya. Alanud tidak pernan membayangkan kenekatannya itu membuat Sahar, Maha, Hala, dan Jawahir menderita hingga kini.
"Meninggalkan anak-anak saya amat sulit tapi saya tidak pernah berpikir mereka bakal menjadi korban," tutur Alanud. "Bagaimanapun juga mereka adalah putri raja."
Rupanya menjadi anak raja Saudi tidak enak. Raja Abdullah memaksa Sahar berhenti bekerja dari sebuah bank. Dia bersama tiga adiknya pun tidak bisa kuliah. Hanya Maha mampu menyelesaikan studinya jurusan psikologi. "Kami dilarang segalanya: sekolah, bekerja, dan hidup," kata Puteri Jawahir.
Sungguh memalukan sekaligus ironis. Penguasa sebuah negara mengklaim sebagai pelaksana syariat Islam malah tidak bersikap islami. Raja Abdullah gagal mencontoh teladan nabi. Bukan menghargai hak perempuan, dia malah melecehkan dan menghancurkan masa depan kaum hawa di negara itu.
Rupanya pandangan dan tradisi jahiliyah masih hidup di negeri tempat nabi dilahirkan.
(Al-Balad/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email