Dalam kehidupan sehari-hari kita akrab dengan istilah “peradaban”. Peradaban, merujuk kepada makna kehidupan dunia dalam skala apapun yang sarat dengan “adab” sebagai unsur dasar yang membentuknya. Itu artinya, manusia merindukan sebuah tata lingkungan sehari-hari yang teratur, harmoni, penuh toleransi, sarat nilai-nilai kebaikan, sebagaimana yang biasa tergambar dalam teks-teks kitab suci maupun filosofi ilmu pengetahuan. Saya pribadi, sesungguhnya lebih akrab dengan kata “budaya” maupun “kebudayaan” dibanding “adab” atau “peradaban”. Entah apa alasannya, bisa jadi sebab istilah “kebudayaan” cenderung lebih Indonesia banget, lebih lokal. Dan, oleh karenanya memiliki relasi kontekstual yang intim sekaligus terang untuk mengurai berbagai persoalan.
Namun, dibalik semua itu, saya pikir istilah peradaban maupun kebudayaan pada banyak titik memiliki banyak persamaan. Jika pada masa kini orang-orang awam bahkan para penceramah agama cenderung memahami kebudayaan sebagai sebatas perayaan, parade atau upacara, atau dalam hal yang lebih banal lagi, mereduksi makna budaya untuk menjelaskan segala sesuatu yang konservatif atau klenik, di sanalah kita wajib mereposisinya kembali.
Atau, jika ingin merukunkan alias mengishlahkan kembali kedua istilah tersebut, kita bisa saja membuat alur semacam ini.
Baru beberapa saat lalu, terjadi demo besar di Jakarta yang dilakukan oleh sopir taksi bluebird yang menuntut Pemerintah untuk mengatur regulasi bagi grab/uber taxi. Sebelumnya, Ignasius Jonan juga sempat menurunkan seruan agar gojek (layanan ojek online) berhenti beroperasi, namun beruntung Presiden Jokowi menolak rekomendasi tersebut. Jokowi nampaknya sadar betul, yang sedang kita hadapi saat ini lebih daripada masalah teknis, lebih dari itu adalah masalah kebudayaan.
Pertanyaannya, di mana posisi Islam saat peristiwa semacam ini terjadi? Berapa banyak umat Islam di Indonesia yang merespon sebuah peristiwa besar semacam ini dengan kesadaran yang terbentuk dari cara pandang berislamnya?
Terlalu banyak persoalan yang tidak dapat kita bereskan dengan regulasi, infrastruktur, atau modal, karena inti persoalannya adalah masalah kebudayaan. Apalagi belakangan perkembangan teknologi digital telah menciptakan lingkungan kebudayaan baru yang asing. Lingkungan baru yang kerap menimbulkan culture shock, atau perasaan gelisah akibat kehilangan simbol, penanda, dan praktik yang familiar dalam relasi kultural lama.
(Sumber: liputan6.com)
Jaman dahulu, para wali dan alim ulama sadar betul akan hal ini. Beliau semua menyadari bahwa sejarah kehidupan menuntut perkembangan atau dinamisasi yang bergerak maju. Sebuah zaman selalu membawa hal baru, dan setiap hal baru menciptakan budaya baru. Itulah sebabnya, para wali dan alim ulama, dalam lintasan sejarahnya, selalu memilih untuk sangat fokus memperlakukan Islam sebagai alat untuk meneropong kebudayaan manusia secara menyeluruh, bukan sekadar hukum atau sebatas syariat.
Peristiwa budaya menuntut adanya kesalehan sosial, sedang peristiwa ibadah ubudiyah berkaitan dengan kesalehan pribadi. Budaya, adalah seluruh hal yang meliputi seluruh simbol, gerak, peristiwa serta fenomena yang bergerak dalam lintas sejarah kemanusiaan. Itulah wajah Islam di masa lalu hingga ia dapat diterima di hampir seluruh pulau Jawa dan Sumatra.
Tradisi Pesantren
Tradisi pesantren merupakan fragmen untuk tidak merasa asing pada relasi sosial kebudayaan. Metode “mondok” atau asrama diatur sedemikian rupa sama dengan kehidupan bermasyarakat. Ada lurah, ada pengurus, ada batas wilayah, ada peraturan, ada kegiatan. Ada nuansa formal sekaligus ketidakformalan. Ada nuansa sakral sekaligus profan. Ada privasi, namun juga kebersamaan.
Jika Al Attas dalam Konsep Pendidikan dalam Islam menjelaskan penyebab lemahnya umat Islam dalam memahami ilmu pengetahuan dalam tiga fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta aplikasinya, ketiadaan adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang, maka metode pesantren telah sejak lama melawan hal tersebut. Pesantren, sebagaimana pesan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam Adabu al-Alim wa al-Muta’allim paham betul bahwa menuntut ilmu haruslah kepada guru yang tepat, harus dalam jangka waktu yang lama dan paling penting dengan adab yang tepat.
Dengan demikian, metode belajar di emperan-emperan masjid, dengan sembarang orang, dan ilmu tak penuh yang disampaikan dengan metode indoktrinasi yang menyebabkan taqlid buta, dan lebih menyedihkan lagi disertai dengan misi-misi politis tertentu, dapat saya katakan: sesat menyesatkan.
Tokoh dan Tradisi Ahlussunah
Kita selalu bisa belajar dari para tokoh. Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, misalnya, beliau adalah seorang intelektual dengan puluhan karya tulis mutakhir, pendidik yang menghasilkan kiai-kiai besar tanah Jawa, pemimpin yang pandai bersiasat sejak zaman Belanda, sekaligus budayawan yang paham bagaimana menghadapi masyarakat. Bukankah telah dikisahkan bahwa beliau mendirikan pesantren dahulu, banyak orang Indonesia yang menjadi pengkhianat karena pro-Belanda memberontak kepada beliau, mengganggu aktivitas pesantren, bahkan mencelakai santri ketika sedang asyik-masyuk dengan kitab? Hadratus Syaikh justru mengutus para santri untuk belajar bela diri dan kesenian agar bisa bertahan sekaligus berdakwah.
Tersebutlah juga seorang Gusdur. Siapa yang ingat bahwa selain menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama puluhan tahun, mantan Presiden keempat itu adalah juga seorang Ketua Dewan Kesenian Jakarta?
Seorang lulusan pesantren saja tidak akan mungkin memiliki sikap seluwes Gus Dur, apalagi pendidikan tingginya juga berasal dari Timur Tengah, bukan Negara Barat. Ternyata, masa muda Gusdur memang sangat akrab dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta, untuk bidang apa saja, baik kesenian, hukum, maupun sosial masyarakat. Dari sanalah, jiwa kepemimpinannya terus diasah dalam menghadapi berbagai jenis manusia dan persoalan. Selama puluhan tahun itu pula, Gus Dur produktif menghasilkan tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media massa untuk mengartikulasi isu-isu bangsa dan Negara, sebuah kebudayaan pada aras zamannya.
Sebagai penutup, sikap-sikap tersebut bukanlah merupakan sikap yang mengherankan, sebab begitulah tradisi Ahlussunnah mengajarkan kita. Dalam perdebatan panjang para ulama yang bersifat dinamis tentang terminologi Ahlussunah, tiga karakter yang kita sepakati bersama antara lain:
Pertama, at tawasut, yang berarti bahwa seorang Muslim harus berbuat secara moderat dalam berbagai bidang kehidupan. Ini berdasarkan Al Qur’an (1:143) : “Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.
Kedua adalah al-I’tidal, yang berarti bahwa muslim harus menegakkan keadilan berdasarkan Al qur’an (5:8): “Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ketiga, adalah at-tawazun, yaitu seorang muslim harus menunjukkan keseimbangan dalam perbuatan mereka. Ini berdasarkan Al Qur’an (27:25): “Kami sungguh mengutus para rasul Kami dengan bukti yang nyata, dan mengirimkan melalui mereka wahyu dan keseimbangan agar manusia dapat memutuskan yang terbaik.”
Allahumma Sholli ala Muhammad.
Wallahu a’lamu bisshowab.
*Kalis Mardiasih. Menulis Esai dan Menerjemah. Dapat disapa di @mardiasih atau kalis.mardiasih@gmail.com
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email