Sejumlah warga eks-Gafatar meninggalkan permukiman mereka yang dibakar massa saat hendak dievakuasi dari kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, Selasa 19 Januari 2016 Permukiman di lahan seluas 43 hektar tersebut dibakar sejumlah oknum masyarakat sebelum 796 warga eks-Gafatar berhasil dievakuasi pemda setempat. (Foto: Antara)
Pemerintah dinilai gagal mengantisipasi peristiwa-peristiwa terorisme. Pembiaran terhadap kasus-kasus intoleransi bisa berujung pada gerakan radikal.
Selama 9 tahun terakhir, kasus-kasus intoleransi terusterjadi tanpa ada perhatian dan tindakan khusus pemerintah. Akibatnya terjadi proses radikalisasi yang berujung pada terorisme. Hal ini ditegaskan Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi.
Menurutnya, selama sembilan tahun terakhir, pihaknya melansir kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Isu ini penting, karena secara langsung berhubungan dengan kasus-kasus intoleransi hingga peristiwa kekerasan dan teror bom di Sarinah 14 Januari 2016.
“Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi menjadi titik awal dari munculnya radikalisme dan terorisme,” katanya dalam jumpa pers Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia 2015 di Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Menurut Hendardi, pembiaran pemerintah terhadap praktik-praktik intoleran telah menyuburkan radikalisme yang merupakan awal dari terorisme. Tidak adanya sikap tegas pemerintah terhadap kasus-kasus intoleransi menyebabkan ada pihak-pihak yang membenarkan kekerasan atas nama agama.
Dia mengingatkan, dalam Nawa Cita dan Rencana Pembanguan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, Jokowi-JK berjanji akan menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Namun sejauh ini tidak ada bukti nyata apa yang dilakukan pemerintah, gagasan Nawa Cita gagal diterjemahkan oleh para menteri kabinet kerja hingga para kepala daerah,” ujarnya.
Peneliti Setara Institute, Halili menuturkan, pada 2015 terjadi 197 peristiwa dan 236 tindakan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah ini meningkat dari tahun 2014 di mana terjadi 134 peristiwa dan 197 tindakan. Dalam satu peristiwa, bisa terjadi banyak tindakan pelanggaran, misalnya kekerasan terhadap kelompok minoritas agama dilakukan dengan cara mengusir, membakar properti, hingga kekerasan fisik.
Berdasarkan sebaran wilayah, lima daerah dengan kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi adalah Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan DIY. Aktor pelaku negara antara lain, pemerintah kota/kabupaten, Kepolisian, dan Satpol PP, sementara pelaku non negara antara lain warga masyarakat, ormas, hingga tokoh agama.
“Sungguh ironi, aparatur negara yang harusnya melindungi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, ternyata menjadi pelaku pelanggaran, ini membuktikan pengaruh Nawa Cita tidak sampai ke tingkat daerah,” sebutnya.
Halili melihat, saat ini tingkat intoleransi masyarakat Indonesia sudah luar biasa. Sedikit pemicu saja bisa menimbulkan ledakan masalah yang sangat besar. Dia mengimbau pemerintah dan masyarakat ntuk berhenti pura-pura toleran, rukun, dan menghargai perbedaan.
“Pemerintah tidak punya grand design untuk mencegah intoleransi. Kita mengingatkan isu intoleransi tidak dapat diselesaikan dengan kata-kata tapi harus tampak dalam kebijakan pemerintah,” tandasnya.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani menerangkan, negara adalah subjek utama dalam penegakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pihaknya terus menagih janji Jokowi-JK soal pemajuan HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maraknya intoleransi semakin mendukung tranformasi radikalisme jadi terorisme. “Untuk menjadi teroris, orang akan mengalami radikalisasi, ini sudah tampak dari sejumlah pelaku teror,” katanya.
Pembiaran kasus-kasus intoleransi akan berujung pada kegagalan program deradikalisasi yang dibuat pemerintah. Sementara regenerasi aktor terorisme terus terjadi. “Kita perlu mendorong energi sosial antiterorisme menjadi gerakan nyata untuk mengembangkan toleransi,” imbuhnya.
Rohaniawan Romo Benny Susetyo menekankan, setiap rantai kekerasan harus diputus. Dia mengusulkan agar pemerintah mengembangkan mata pelajaran pendidikan agama yang biasa mengajarkan kemajemukan dan kebhinnekaan. “Selama ini ruang publik cenderung dikuasai kelompok ekstrim, tidak ada counter ideologi,” katanya.
Pihak Kepolisian juga harus menindak tegas setiap kekerasan atas nama agama agar para pelakunya tidak merasa kebal hukum.
Dia mengajak pemerintah dan masyarakat untuk keluar dari kepalsuan dan kepura-puraan dengan terus menyatakan bangsa Indonesia rukun, cinta damai, dan antikekerasan, namun antikeragaman. “Kita harus menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila di semua ruang hidup masyarakat,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, masih perlu pembenahan dalam program deradikalisasi gerakan terorisme. Menag mengakui, tantangan yang dihadapi kian bertambah sehingga pelaku teror masih melakukan aksi radikal di Indonesia. “Kita sadar ada hal yang perlu dibenahi, kekurangan yang ditutupi,” ujar Lukman di Jakarta, kemarin.
Namun, Menag membantah jika pada kasus aksi teror di Sarinah, pemerintah disebut kecolongan dan program deradikalisasi mengalami kegagalan. “Kita tidak merasa gagal. Problem deradikalisasi terus berjalan, tentu tantangannya bertambah. Ini masalah yang kompleks,” katanya.
(Antara-News/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email