Ada PNS yang mendukung ormas yang ingin mendirikan negara Islam.
Sikap intoleransi telah menyusup ke dalam masyarakat termasuk birokrasi, kata staf khusus Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, yang mendasarkan kesimpulan ini dari data intelejen di daerah.
Pramodhawardani mengungkapkan temuan intelejen di daerah menemukan ada Pengawai Negeri Sipil (PNS) yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam.
“Bahkan sampai diceritakan PNS di suatu daerah demo dengan organiasi Islam garis keras ini dan mendapatkan sanksi dari atasannya, tetapi itu hanya sebagian kecil,” jelas dia dalam diskusi tentang Kebebasan Agama, Gerakan Takfiri dan Deradikalisasi, di Jakarta, hari Senin 22 Februari 2016.
Dia mengatakan birokrasi pemerintahan tidak steril dengan nilai-nilai fundamentalisme dan itu tidak dapat dikontrol.
Ketika ditanya mengenai wali kota Bogor yang hadir dalam acara organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Pramodhawardani mengatakan kondisi seperti itu tidak terjadi di semua daearah.
Tetapi, menurut dia, seharusnya negara yang diwakili oleh pemimpin tidak seharusnya bekerja sama atau berkompromi dengan kelompok-kelompok intoleran.
Soal kesan bahwa negara membiarkan kelompok-kelompok intoleran melakukan aksi penekanan dan kekerasan terhadap kelompok lain, Pramodhawardani mengatakan sikap pemerintah pusat dan Presiden Jokowi menolak segala bentuk intoleransi, seperti dalam program Nawacita.
Hanya saja dalam pelaksanaannya, sering kali berbeda dalam menerjemahkan perintah, termasuk oleh aparat kepolisian.
“Menerjemahkan sebuah perintah itu kita memiliki mindset yang berbeda-beda, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda, sehingga butuh sebetulnya di tingkat implementasi penjelasan yang mendetail sehingga tidak ada distorsi perintah,” jelas dia.
Pramodhawardani mengatakan masalah intoleransi ini merupakan program prioritas pemerintahan Jokowi yang akan segera dicari penyelesaiannya.
Pendekatan hukum
Dalam diskusi yang digelar International Center for Islam and Pluralism, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman Sejuk, dan kedutaan Kanada, terungkap kasus-kasus intoleransi juga terjadi akibat adanya sikap ekslusivitas dari kelompok tertentu, termasuk dalam bentuk yang mudah mengkafirkan orang lain atau Takfiri.
Sementara itu dalam sesi terpisah Abdul Mu’ti, sekretaris umum PP Muhamadiyah mengatakan negara tidak boleh diam dalam masalah agama yang menyangkut relasi umat beragama dengan pendekatan hukum.
“Dalam hubunganya dengan kasus yang terjadi akhir-akhir terjadi peyesatan dan pengkafiran itu bentuk kekerasan teologis. Seseorang yang dinyatakan dirinya kafir itu tidak bahagia. Kekerasan teologis itu kemudian diikuti oleh kekerasan fisik. Ini berdampak serius terhadap kebebasan beragama bahkan dalam hubunganya dengan keamanan warga negara,” jelas dia.
Kasus kekerasan yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang berada di pengungsian, menurut Abdul Mu’ti merupakan konsekuensi dari takfiri tersebut.
“Mereka mengungsi di negara mereka sendiri, itu lebih merupakan konsekuensi dari Takfiri. Oleh karena itu maka negara tak boleh membiarkan para pengungsi berada dalam pengungsiaannya dan terus menerus berada dalam ketakutannya. Mereka berhak mendapatkan hak konstitusional untuk menjalankan keyakinan mereka,” jelas dia.
Dalam pendekatan hukum, menurut Abdul Mu’ti, takfiri bisa disebut dengan hate speech dengan argumen dalil agama dan tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, tetapi juga agama lain.
“Pemerintah sebaiknya menyelesaikan pesoalan itu dengan pendekatan hukum bukan politis ataupun teologis,” jelas dia.
Gerakan Wahabi
Ketua PBNU Said Agil Siraj mengatakan gerakan radikal, antara lain yang diusung Wahabi, masuk ke Indonesia sejak masa penjajahan Belanda, meluas mulai 1980-an, dan menguat setelah reformasi.
“Gerakan Wahabi menyebar menjamur di Indonesia tahun 1980 dari situlah mulai adanya Yayasan Wahabi,” jelas Said Agil.
Menurut dia ajaran Wahabi ini bukan teroris, tetapi mendekati terorisme.
“Wahabi bukan teroris, Wahabi antiteror tetapi ajarannya satu digit lagi jadi teroris. Ini sesat, ini neraka, ini bi’ah, ini murtad, satu tinggal tunggu kesempatan atau kemampuan atau keberanian jadi teroris,” jelas dia.
Said Agil mencontohkan tiga murid salah satu pesantren di Cirebon yang beraliran Wahabi yang menjadi pelaku bom bunuh diri masing-masing di Masjid Kantor Polresta Cirebon, bom di JW Marriot dan Gereja Bethel di Solo.
Sementara itu Kementerian Agama menyebutkan upaya untuk meningkatkan toleransi di kalangan umat beragama dilakukan melalui dialog lintas agama, dengan melibatkan para guru dan siswa.
Hasil Survei Nasional Kerukunan Umat beragama yang dilakukan Kemenag pada 2015 lalu,menunjukkan rata-rata kerukunan umat beragama mencapai 75,36 yang masuk kategori tinggi.
Temuan peneliti LIPI menyebutkan penyebaran paham radikal meningkat di kalangan anak muda setelah reformasi.
(BBC-Indonesia/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email