Pesan Rahbar

Home » , , , » Mu’awiyah Melaknati Imam Ali as. Dalam Setiap Pidato Jum’at!…Para Aparat Pemerintahan Mu’awiyah Memaksa Umat Islam Mencaci dan Melaknati Imam Ali as… Dokumen Rahasia Di Balik Politik Pelaknatan!

Mu’awiyah Melaknati Imam Ali as. Dalam Setiap Pidato Jum’at!…Para Aparat Pemerintahan Mu’awiyah Memaksa Umat Islam Mencaci dan Melaknati Imam Ali as… Dokumen Rahasia Di Balik Politik Pelaknatan!

Written By Unknown on Saturday, 6 September 2014 | 13:35:00


Politik Jahat Mu’awiyah (la) Terhadap Islam!
Untuk membuktikan kekejian unsur dan keburukan jiwanya, Mu’awiyah memuntahkan kedengkiannya kepada Nabi Islam dan Ahlulbaitnya, utamanya Imam Ali as. dengan melancarkan program pelaknatan dan pencaci-makian terhadap Imam Ali as. dan menghukum siapa pun yang berani menentangnya dalam masalah ini. Dengan tanpa malu dan penuh kekejian dan kebencian, Mu’awiyah memerintah kaum Muslim dan pembesar para sahabat di kota suci Manidah dan dari mimbar Nabi saw. agar mereka mencaci-maki Imam Ali as.

Imam Muslim mengabadikan kejahatan Mu’awiyah di atas dalam kitab Shahihnya, ia me riwayatkan ‘Âmir ibn Sa’ad ibn Abi Waqqâsh dari ayahnya, ia berkata:

أَمَرَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سَعْدًا فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا التُّرَابِ فَقَالَ أَمَّا مَا ذَكَرْتُ ثَلَاثًا قَالَهُنَّ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَنْ أَسُبَّهُ لَأَنْ تَكُونَ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَهُ خَلَّفَهُ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ خَلَّفْتَنِي مَعَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نُبُوَّةَ بَعْدِي وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَتَطَاوَلْنَا لَهَا فَقَالَ ادْعُوا لِي عَلِيًّا فَأُتِيَ بِهِ أَرْمَدَ فَبَصَقَ فِي عَيْنِهِ وَدَفَعَ الرَّايَةَ إِلَيْهِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا وَفَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَقَالَ اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلِي

“Mu’awiyah ibn Abi Sufyan memerintah Sa’ad, ia berkata, ‘Apa yang mencegahmu mencaci Abu Thurâb[1]?! Sa’ad menjawab, “Selama aku mengingat tiga sabda Rasulullah saw. untuknya yang andai satu saja untukku itu lebih aku sukai dari dunia dan seisinya maka aku tidak akan mencacinya. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ketika beliau meminta Ali tinggal (tidak ikut-serta) dalam sebagian peperangan beliau, lalu Ali berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, mengapakah Anda tinggalkan aku bersama para wanita dan kanak-kanak?’ Maka beliau saw. bersabda, ‘Tidakkah engkau rela kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada kenabian sepeninggalku.” Aku mendengar beliau saw. bersabda pada hari parang Khaibar, ‘Aku akan serahkan bendera kepanglimaan ini kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.’ Maka Allah memenangkannya, dan ketika turun ayat ‘Katakan, ‘Marilah, kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian… ,’ Rasulullah saw. memanggil Ali, Fatimah , Hasan dan Husain dan bersabda, ‘Ya Allah hanya merekalah Ahli/keluarga-ku.‘[2]
Sa’ad juga mengancam akan keluar dari masjid jika Mu’awiyah bersikeras melaknat Imam Ali as. dari atas mimbar Nabi saw. di masjid nabawi suci.[3]

Al Wâqidi meriwayatkan bahwa Mu’awiyah sepulangnya dari Irak setelah kesepakatan perdamaian dengan Imam Hasan as. dan manusia bersatu di bawah pemerintahannya, ia berpidato, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Sesungguhnya engkau akan menjabat sebagai Khalifah sepeninggalku, maka pilihlah negeri suci, di dalamnya terdapat wali-wali abdâl.’ Dan aku telah memilih kalian, maka laknatilah Abu Thurab! Lau mereka pun melaknatinya. Dan keesokan harinya, Mu’awiyah menulis surat ketetatapan, dan mengumpulkan mereka lalu membacakannya, di dalamnya terdapat: “Ini adalah surat Amirul Mukminin Mu’awiyah,pengemban wahyu Allah yang mengutus Muhammad sebagai nabi, dan ia adalah seorang yang buta huruf; tidak mampu membaca dan menulis. Lalu Allah memilihkan untuknya dari keluarganya seorang wazîr/pembantu, penulis wahyu yang terpercaya. Dan adalah wahyu turun kepada Muhammad dan aku menulisnya, dia tidak mengetahui apa yang aku tulis. Dan tiada seorang pun antara aku dan Allah.”

Maka seluruh hadirin berkata, ‘Benar engkau wahai Amirul Mukminin.

Mu’awiyah Melaknati Imam Ali as. Dalam Setiap Pidato Jum’at!
Al Jâhidz melaporkan bahwa Mu’awiyah selalu menutup pidato jum’atnya dengan pelaknatan atas Imam Ali as. dengan kata-katanya, “Ya Allah! Sesungghunya Ali telah kafir terhadap agama-Mu, mencegah dari jalan-Mu. Maka kutuklah dia dengan kutakan yang berat dan siksalah dia dengan siksa yang pedih!”.

Dan ia menuliskan teks kutukan itu sebagai penutup pidato ke berbagai penjuru wilayah. Dan kata-kata itulah yang menjadi penutup pidato di atas mimbar-mimbar sampai masa kekhalifahan Umar ibn Abdil Aziz.[4]

Wasiat Mu’awiyah Untuk Mughîrah ibn Syu’bah.
Mu’awiyah tidak akan ketinggalan memesankan hal penting itu kepada seluruh aparat pemerintahannya yaitu agar mereka tidak teledor dalam menjalankan program pelaknatan Imam Ali as., dan mereka pun segera dengan senang hati melaksakan program Mu’awiyah untuk pelaknatan Imam Ali as. Mughîrah ibn Syu’bah ketika ditunjuk Mu’awiyah sebagai Gubernur Kufah tahun 41 H Mu’awiyah memanggilnya dan berpesan kepadanya, “Amma ba’du, … sesungguhnya aku bermaksud mewasiatkan kepadamu banyak hal, namun aku tinggalkan karena aku mengandalkan kecerdasanmu. Tetapi untuk yang satu ini aku tidak akan meninggalkan untuk berpasan kepadamu; ‘Janganlah engkau tinggalkan mencaci dan menghinakan Ali, dan memohonkan rahmat dan ampunan untuk Utsman. Cacatlah para pendukung Ali dan jauhkan mereka, dan pujilah Syi’ahnya Utsman dan dekatkan mereka!.’”[5] Maka Mughîrah dalam pidatonya selalu mencaci Imam Ali as. dan ia juga memerintahkan banyak khathib untuk mencaci Imam Ali as.[6]

Sejarah mencatat bahwa Mughîrah ibn Syu’bah memaksa Hujr ibn Adi –seorang shabat setia Imam Ali as. agar berdiri di hadapan umum dan melaknati Ali as., ia menolak dan Mughîrah pun mengancamnya, maka Hujr berdiri dan berkata, “Wahai manusia sesungguhnya Amir kalian memerintahku untuk melaknati Ali, maka laknati dia.” Maka penduduk Kufah yang hadir melaknatinya. Yang ia maksud dengan kata ganti orang ketika dalam kata-katanya: maka laknati dia, adalah sang Amir bukan Imam Ali as.

Karena sikap gigihnya dalam membela kebenaran dan Ahlulbait as. maka Mu’awiyah memerintahkan agar Hujr bersama rekan-rekannya dihukum mati! Hasan al Bashri berkata mengecam Mu’awiyah, “Ada empat perkara pada Mu’awiyah andai satu saja ada padanya niscaya sudah cukup menyebarbkan kebinasaan baginya:
  1. Ia merampas kekuasaan tanpa musyawarah sementara masih banyak sahabat mulia.
  2. Mengangkat Yazid si pemabok, si pemakai baju sutra dan pemain musik sebagai Khalifah.
  3. Mengakui Ziyâd sebagai anak ayahnya, padahal Nabi saw. bersabda, ‘Anak itu milik si pemilik ranjang dan bagi si pezina adalah dicegah (dari mengakui anak hasil zinanya dalam nasab).’
  4. Ia mebunuh Hujr dan rekan-rekannya. Celakalah dia dia dari Hujr dan rekan-rekannya! Celakalah dia dia dari Hujr dan rekan-rekannya![7]

Para Aparat Pemerintahan Mu’awiyah Memaksa Umat Islam Mencaci dan Melaknati Imam Ali as.
Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu Hâzim dari Sahl ibn Sa’ad, ia berkata:

أَسْتُعْمِلَ عَلَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ مِنْ آلِ مَرْوَانَ قَالَ فَدَعَا سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ فَأَمَرَهُ أَنْ يَشْتِمَ عَلِيًّا قَالَ فَأَبَى سَهْلٌ فَقَالَ لَهُ أَمَّا إِذْ أَبَيْتَ فَقُلْ لَعَنَ اللَّهُ أَبَا التُّرَابِ فَقَالَ سَهْلٌ مَا كَانَ لِعَلِيٍّ اسْمٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَبِي التُّرَابِ وَإِنْ كَانَ لَيَفْرَحُ إِذَا دُعِيَ بِهَا

“Seorang dari keluarga Marwân ditunjuk sebagai Gubernur kota Madinah, lalu ia memanggil Sahl ibn Sa’ad dan memerintahnya agar mencaci Ali. Sahl menolak. Ia memaksa dengan mengatakan, ‘Jika engkau enggan menyebut nama terangnya maka hendaknya engkau caci dia dengan menyebut nama Abu Thurab!’ Sahl menjawab, Itu nama paling dicintai Ali … “Ibnu Asâkir juga meriwayatkan dari Sammâk ibn Harb ia berkata kepada Jabir, ‘Mereka (para penguasa) memintaku agar mencaci-maki Ali.’ Jabir bertanya, ‘Apa yang engkau lakukan?’ jawab Sammâk, ‘Aku sebutnya dia dengan Abu Thurab.’ [8]

Rahasia Di Balik Politik Pelaknatan!
Lugulah anggapan yang mengatakan bahwa program pelaknatan atas Imam Ali as. yang dipaksakan Mu’awiyah ke atas kaum Muslimin diilhami oleh permusuhan antara dua keluarga basar yaitu Bani hasyim dan bani Umayyah atau sekedar kebijakan politik demi kekuasaan… akan tetapi lebih dari itu, ia dimaksudkan mengubur Islam dalam-dalam agar semua jerih payah da’wah Nabi saw. dan perjuangan Imam Ali as. menguap dan umat manusia pun akan terus hidup  dalam kesasatan.
Imam Ali dan Ahlulbait Nabi as. sebagai pilar utama Islam harus tidak boleh dikenal.. umat Islam mesti harus dibutakan terhadapnya. Demikian ditegaskan sendiri oleh Mu’awiyah. Ada beberapaa orang dari bani Umayyah mengusulkan kepada Mu’awiyah agar menghentikan pelaknatan dan pencacian terhadap Ali, “Engkau telah mencapai semua yang engkau cita-citakan, mengapakah engkau tidak menghentikan pelaknatan atas  orang itu (Ali maksudnya)?! Maka Mu’awiyah menjawab, “Tidak! Demi Allah tidak, sehingga anak kecil tumbuh besar dan yang tua biar menjadi bangka dan tidak lagi ada seorang yang menybeutnya dengan keutaman.[9]

Semua politik jahat yang dijalankan Mu’awiyah utamanya dalam sikapnya terhadap Imam Ali dan keluarga Nabi pembawa Risalah ilahi adalah ia maksudkan untuk mengubur agama Nabi saw. Mathraf putra Mughîrah ibn Syu’hab menceritakan, “Aku bersama ayahku menemui Mu’awiyah, -dan ayahku biasa menemuinya dan berbincang-bincang dengannya berduaan, kemudian ia menemuiku lalu memujinya dan kehebatan akal dan pandangannya-. Pada suatu malam sepulang dari menemui Mu’awiyah ayahku mencegah diri dari makan malam dan ia terlihat sedih dan gaduh pikirannya. Aku menantinya sejenak, aku mengira itu disebabkan ada kejadian di antara kami. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai ayah, mengapakah aku melihatmu bersedih? Ia menjawab, ‘Wahai anakku, aku baru saja datang dari menemui manusia paling kafir dan paling busuk.” Aku bertanya, ‘Mengapa?’ ia menjawab, ‘Aku telah berbincang-bincang berduaan dengannya (Mu’awiyah) dan berkata kepadanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, engkau telah berusia tua, andai engkau menampakkan sikap adil dan menebar kebaikan. Buklankah engau sudah mulai lanjut usia, andai engkau memperhatikan nasib saudara-saudaramu dari bani Hasyim; andai engkau ambil kekerabatan mereka. Demi Allah tidak ada lagi sesuatu yang ditakutkan dari mereka. Sikap baik itu akan membuat nama anda harum dan sebutan Anda dan juga memberikan pahala. Maka ia menajwab, ‘Tidak! Tidak! Sebutan baik apa yang aku bisa harapkan. Saudaraku dari suku Taim (Abu Bakar) berkuasa, ia berlaku adil dan berbuat apa yang ia perbuat, lalu setelah ia mati, matilah bersamanya sebutan nya. Orang hanya menyebut, ‘Abu Bakar! Abu Bakar! Kemdian saudara dari suku Adi (Umar) berkuasa, ia bersungguh-sungguh dalam mempimpin selama sepuluh tahun, lalu setelah ia mati, matilah bersamanya sebutan nya. Orang hanya menyebut, Umar! Umar!. Sementara itu anaknya si Abu Kabsyah[10] namanya dipekikkan lima kali setiap hari, Asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Perbuatan apa yang akan abadi, sebutan apa yang akan abadi setelah ini. celaka engkau. Tidak! Demi Allah kecuali nama itu aku kuburkan![11]
Inilah hakikat rahasia di balik semua politik jahat Mu’awiyah terhadap Imam Ali dan Ahlulbait as.!


[1] Gelar Imam Ali as. yang sangat dibanggakan, walaupun oleh mush-musuh Imam Ali as. dijadikan bahan cemoohan dan ejekan.
[2] Shahih Muslim (dengan syarah an Nawawi)15/175.
[3] Al Iqdu al Farîd,2/300.
[4] Syarah Nahjul Balâghah,4/56-58.
[5] Tarikh ath Thabari,5/253, Ansâb al Asyrâf,5/252 dan al Kâmil Fi at Târîkh,2/488.
[6] Al Mustadrak,3/509 hadis no.5898 dan Siyar A’lâm an Nubalâ’,3/31.
[7] Al Khilafah wa al Mulk; Abul A’la al Maududi:106.
[8] Târîkh Damasqus; Ibnu ‘Asâkir (khusus bagian sejarah Imam Ali as.) Jilid I/31 hadis no. 30 dan 31.
[9] Syarah Nahjul Balâghah,4/57.
[10] Dan penyebutan Nabi mulia saw. dengan sebutan itu dimaksudkan sebagai penghinaan dan pelecehan!
[11]Ibid.5/129.

Hadis Semoga Allah Tidak Mengenyangkan Perut Muawiyah
Hadis ini termasuk hadis shahih yang menjadi korban distorsi sebagian ulama sepanjang masa. Apalagi di zaman sekarang distorsi ini menjadi begitu nyata di kalangan para pengikut salafiyun. Mengapa? Karena hadis ini secara zahir mengandung celaan kepada sahabat yang dipuja-puja pengikut salafy yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan. Distorsi yang agak luar biasa karena hadis yang menjadi celaan bagi Muawiyah disulap menjadi hadis keutamaan Muawiyah. Distorsi ini bisa jadi dibuat untuk membantah sebagian orang dari kalangan syiah yang menjadikan hadis ini sebagai celaan bagi Muawiyah. Kali ini kami akan membahas secara objektif bagaimana sebenarnya makna hadis ini.

حدثنا محمد بن المثنى العنزي ح وحدثنا ابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا أمية بن خالد حدثنا شعبة عن أبي حمزة القصاب عن ابن عباس قال كنت ألعب مع الصبيان فجاء رسول الله صلى الله عليه و سلم فتواريت خلف باب قال فجاء فحطأني حطأة وقال اذهب وادع لي معاوية قال فجئت فقلت هو يأكل قال ثم قال لي اذهب فادع لي معاوية قال فجئت فقلت هو يأكل فقال لا أشبع الله بطنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna Al ‘Anziy dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Khalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Hamzah Al Qashaab dari Ibnu Abbas yang berkata “aku bermain bersama anak-anak kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, aku bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan menepuk pundakku seraya berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali dan berkata “ia sedang makan”. Kemudian Beliau berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya” [Shahih Muslim 4/2010 no 2604].


Hadis dengan lafaz doa Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini juga disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/359 no 2746, Dalail Nubuwwah Al Baihaqi 6/242-243, Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/134, dan Thabaqat Al Muhaddisiin Abu Syaikh no 245 hanya saja dalam riwayat Abu Syaikh kata Muawiyah diganti dengan “fulan”.

Kemudian kisah ini juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 1/240 no 2150, 1/291 no 2651, 1/335 no 3104, Adh Dhu’afa Al Uqaili 3/299 no 1306 dan Asy Syari’ah Al Ajurriy 5/149 no 1873 tanpa menyebutkan lafaz doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Dalam sebagian riwayat seperti riwayat Ath Thayalisi, Ahmad, Baihaqi, Al Uqaili dan Al Ajurriy disebutkan kalau Muawiyah adalah penulis [wahyu] bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pembahasan Matan Hadis.
Siapapun yang membaca hadis ini dengan baik maka akan melihat bahwa hadis ini menceritakan suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang ada keperluan dengan Muawiyah, untuk itu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Ibnu Abbas agar memanggil Muawiyah. Ternyata saat itu Muawiyah sedang makan, seyogianya tentu seorang muslim yang baik pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mengutamakan panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi Muawiyah malah lebih meneruskan makannya. Setelah beberapa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali mengutus Ibnu Abbas untuk memanggil Muawiyah ternyata Muawiyah juga masih sedang makan dan ia lebih memilih meneruskan makannya daripada memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena kelakuan Muawiyah ini maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”.

Kisah ini jelas menunjukkan sikap Muawiyah yang aneh [baca: tidak layak ] di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apalagi dalam sebagian riwayat disebutkan kalau Muawiyah adalah penulis wahyu. Apakah begitu seharusnya sikap penulis wahyu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya?. Bagaimana mungkin ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya berkali-kali, ia masih saja enggan memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih meneruskan makannya. Tidak bisakah menghentikan makan barang sejenak demi Allah SWT dan Rasul-Nya!. Terdapat perbedaan yang cukup nyata antara sikap Muawiyah dengan sikap sebagian sahabat Nabi lain yang bergegas mengikuti dan memenuhi panggilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu sangat wajar kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Muawiyah agar Allah SWT tidak mengenyangkan perutnya.

Pembelaan Syaikh Al Albaniy
Sebagian ulama berusaha membela Muawiyah dengan menyulap hadis ini sebagai keutamaan bagi Muawiyah. Keutamaan yang dimaksud adalah Muawiyah sebagai penulis wahyu bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya Syaikh Al Albani berkata

و قد يستغل بعض الفرق هذا الحديث ليتخذوا منه مطعنا في معاوية رضي الله عنه ،و ليس فيه ما يساعدهم على ذلك ، كيف و فيه أنه كان كاتب النبي صلى الله عليه وسلم ؟ ! و لذلك قال الحافظ ابن عساكر ( 16 / 349 / 2 ) ” إنه أصح ما ورد في فضل معاوية ” فالظاهر أن هذا الدعاء منه صلى الله عليه وسلم غير مقصود ، بل هو ما جرت به عادة العرب في وصل كلامها بلا نية كقوله صلى الله عليه وسلم في بعض نسائه ” عقرى حلقى ” و ” تربت يمينك ” . و يمكن أن يكون ذلك منه صلى الله عليه وسلم بباعث البشرية التي أفصح عنها هو نفسه عليه السلام في أحاديث كثيرة متواترة

Sebagian kelompok berpegang pada hadis ini untuk mencela Muawiyah padahal hadis ini tidaklah mendukung apa yang mereka katakan. Bagaimana tidak, karena didalam hadis itu ternyata Muawiyah adalah juru tulis [penulis] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?, Oleh sebab itu Al Hafizh Ibnu Asakir berkata “ini adalah hadis tershahih tentang keutamaan Muawiyah” [2/349/16]. Maka secara zahir bahwa doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dimaksudkan untuk mencela. Ini hanya merupakan kebiasaan orang arab untuk mengatakan perkataan yang tidak diniatkan. Seperti perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebagian istrinya “kemandulanku adalah nasib malangku” atau “tangan kananmu berdebu”. Mungkin hal seperti ini termasuk bahasa khas Beliau sebagai manusia yang nampak dalam banyak hadis lagi mutawatir [Silsilah Ahadits Ash Shahihah Syaikh  no 82].

Pernyataan syaikh Al Albani tentu akan diaminkan oleh mereka yang tidak memahami riwayat tersebut dengan baik dan mereka yang cenderung suka membela keburukan Muawiyah. Mengenai perkataan syaikh kalau Muawiyah adalah juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka memang itulah yang nampak dalam riwayat tersebut tetapi ini tidaklah membuat Muawiyah menjadi kebal akan aib dan sifat-sifat tercela. Keduanya adalah entitas yang berbeda. Nampak dalam zahir riwayat di atas kalau sikap Muawiyah sebagai juru tulis Nabi sangatlah tidak layak. Bagaimana mungkin mau dikatakan layak, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkali-kali memanggil Muawiyah tetapi Muawiyah malah lebih meneruskan makannya?. Bukankah nampak dalam riwayat ini kalau Muawiyah sang juru tulis lebih mementingkan makan daripada memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Itukah yang disebut keutamaan?.
Kedudukan Muawiyah sebagai salah satu dari juru tulis Nabi sama halnya dengan kedudukan Muawiyah sebagai salah seorang sahabat Nabi. Jika sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak terlepas dari beberapa sifat buruk atau tercela maka begitu pula halnya juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah masyhur dalam sejarah seorang sahabat yang menjadi penulis wahyu yaitu Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh yang pernah murtad di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga terbukti dalam hadis shahih salah seorang juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat azab dari Allah SWT.

عن أنس بن مالك قال  كان منا رجل من بني النجار قد قرأ البقرة وآل عمران وكان يكتب لرسول الله صلى الله عليه و سلم فانطلق هاربا حتى لحق بأهل الكتاب قال فرفعوه قالوا هذا قد كان يكتب لمحمد فأعجبوا به فما لبث أن قصم الله عنقه فيهم فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها ثم عادوا فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها ثم عادوا فحفروا له فواروه فأصبحت الأرض قد نبذته على وجهها فتركوه منبوذا

Dari Anas bin Malik yang berkata “di antara kami ada seorang laki-laki dari Bani Najjar yang telah membaca surah Al Baqarah dan surah Ali Imran dan ia seorang penulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Kemudian ia pergi melarikan diri dan bergabung bersama Ahli Kitab yang menyanjungnya. Mereka berkata ”Orang ini pernah menjadi penulis wahyu bagi Muhammad” sehingga mereka pun mengaguminya. Tidak beberapa lama kemudian Allah menimpakan bencana pada orang itu hingga kematiannya. Mereka para ahli kitab menggali kuburan untuknya dan menguburkannya. Keesokan harinya bumi telah memuntahkan jasad orang itu ke permukaan. Mereka ahli kitab itu pun menggali kuburan kembali dan menguburkannya tetapi keesokan harinya bumi kembali memuntahkan jasad orang itu. Lagi-lagi mereka menggali kuburan dan menguburkan jasad orang itu dan begitu pula keesokan harinya bumi memuntahkan kembali jasad tersebut. Akhirnya mereka ahli kitab membiarkan jasad orang itu terbuang. [Shahih Muslim 4/ 2145 no 14].

Jadi keutamaan sebagai juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan keutamaan yang mutlak tetapi terikat dengan akhlak orang tersebut. Jika akhlak perbuatannya baik maka kedudukan itu menjadi keutamaan baginya jika tidak maka kedudukan itu tidak menjadi keutamaan apa-apa baginya. Sejarah mencatat kalau Mughirah bin Syu’bah juga dikenal sebagai salah satu juru tulis [penulis] Nabi tetapi sejarah juga membuktikan bahwa Mughirah adalah salah satu sahabat yang berkhutbah mencaci Imam Ali di atas mimbar, padahal terdapat hadis shahih kalau mencaci Ali berarti mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini salah satu contoh kedudukan seseorang sebagai juru tulis Nabi tidak mencegahnya untuk melakukan perbuatan tercela.

Diantara sebagian orang juga ada yang berlebihan dengan logika piciknya kalau mencela Muawiyah dimana ia penulis wahyu berarti menodai kesucian Al Qur’an sebagai wahyu. Bagaimana mungkin wahyu ditulis oleh orang yang tercela?. Tidak perlu susah untuk menjawab logika parah seperti ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya punya satu juru tulis Muawiyah, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam punya banyak juru tulis [penulis]. Siapapun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kemampuan baca tulis akan mendapat kedudukan sebagai juru tulis Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya salah satu juru tulis tercela atau menjadi murtad maka tidak akan menodai tulisan atau wahyu yang ia tulis karena telah masyhur kalau wahyu ditulis oleh banyak sahabat. Apalagi jika dikatakan bagaimana mungkin wahyu ditulis oleh orang tercela, lha itu sama saja dengan perkataan bagaimana mungkin wahyu dibaca oleh orang tercela?. Jawabannya ya mungkin mungkin saja, gak ada korelasi khusus kalau ia penulis atau pembaca wahyu maka ia akan suci dari sifat-sifat tercela, semuanya kembali kepada manusianya masing-masing.

Mengenai perkataan syaikh kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak dimaksudkan untuk mencela dalam arti tidak diniatkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam atau hanya sekedar bahasa gaya orang arab maka kami katakan perkataan ini keliru sama sekali. Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini maqbul sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu riwayat diantaranya

حدثنا أبو صالح الفراء ومحمد بن حاتم وإسحاق قالوا حدثنا الحجاج بن محمد الأعور حدثنا شعبة عن أبي حمزة قال سمعت ابن عباس يقول مر بي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا ألعب مع الغلمان فاختبأت منه خلف باب فدعاني فحطأني حطأة ثم بعثني إلى معاوية فرجعت إليه فقلت هو يأكل، ثم بعثني إليه فقلت هو يأكل بعد فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا أشبع الله بطنه قال أبو حمزة فكان معاوية بعد ذلك لا يشبع

Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Faraa’ dan Muhammad bin Haatim dan Ishaq [mereka] berkata telah menceritakan kepada kami Al Hajjaaj bin Muhammad Al A’war yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Hamzah yang berkata aku mendengar Ibnu Abbas berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lewat dan aku sedang bermain bersama anak-anak maka aku bersembunyi dari beliau di belakang pintu, Beliau memanggilku dan menepuk pundakku kemudian mengutusku kepada Muawiyah, maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan” kemudian Beliau mengutusku lagi kepada Muawiyah dan aku berkata “ia sedang makan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”. Abu Hamzah berkata “maka Muawiyah setelah itu tidak pernah kenyang” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 5/134].

Hadis ini sanadnya shahih sesuai syarat Muslim. Semuanya adalah para perawi tsiqat kecuali Abu Hamzah ia seorang tabiin yang dijadikan hujjah oleh Muslim dalam Shahihnya.
  • Abu Shalih Al Faraa’ adalah Mahbub bin Musa Abu Shalih Al Antakiy perawi Abu Dawud dan Nasa’i. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mutqin memiliki keutamaan”. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 85]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/161]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5303].
  • Muhammad bin Hatim bin Maimun Al Baghdadi adalah syaikh [gurunya] Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Abu Dawud. Ibnu Qani’ berkata “shaduq”. Ibnu Adiy dan Daruquthni menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 135].
  • Ishaq bin Abi Israil adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Daruquthni, Al Baghawi menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “Syuraih bin Yunus seorang syaikh yang shalih shaduq dan Ishaq bin Abi Israil lebih tsabit darinya”. Shalih Al Jazarah menyatakan ia shaduq dalam hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 1 no 415]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat ma’mun [Tahrir At Taqrib no 338].
  • Hajjaj bin Muhammad Al A’war adalah perawi yang tsiqat. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Hanbal. Ahmad menyatakan kalau Hajjaj lebih tsabit dari Aswad bin ‘Amir. Ali bin Madini menyatakan Hajjaaj bin Muhammad tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 708].
  • Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang disepakati tsiqat. Ia seorang hafizh, tsiqat mutqin dan Ats Tsawri menyatakan kalau ia amirul mukminin dalam hadis [At Taqrib 1/418]
  • Abu Hamzah Al Qashaab adalah ‘Imraan bin Abi ‘Athaa’ tabiin yang dijadikan hujjah oleh Muslim dalam Shahihnya. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah yang berarti Syu’bah menganggapnya tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya shalih al hadits”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan Nasa’i berkata “tidak kuat” [At Tahdzib juz 8 no 234]. Pendapat yang rajih ia seorang tsiqat yang hadisnya hasan, jarh Abu Hatim dan Nasa’i tidak bersifat menjatuhkan apalagi ia telah ditsiqatkan oleh yang lain maka hadisnya hasan.
Riwayat ini merupakan bukti nyata yang membantah semua penakwilan untuk membela Muawiyah karena di dalam riwayat ini Abu Hamzah sebagai perawi yang mendengar langsung dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa setelah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu Muawiyah tidak pernah kenyang. Itu berarti doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabulkan oleh Allah SWT. Jadi perkataan syaikh kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu hanyalah perkataan yang tidak diniatkan jelas tertolak sama sekali.

Pembelaan Yang Tidak Nyambung
Hujjah yang lebih aneh lagi adalah hujjah sebagian orang yang menggunakan hadis dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau siapa saja yang beliau cela atau laknat dan orang tersebut tidak layak mendapatkannya maka celaan dan laknat itu menjadi rahmat baginya.

حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبي حدثنا الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اللهم إنما أنا بشر فأيما رجل من المسلمين سببته أو لعنته أو جلدته فاجعلها له زكاة ورحمة

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “ Ya Allah sesungguhnya aku hanyalah manusia, laki-laki mana saja dari kalangan kaum muslimin yang aku caci atau laknat atau cambuk maka jadikanlah itu sebagai pembersih dan rahmat baginya” [Shahih Muslim 4/2007 no 2601].

Berhujjah dengan hadis ini untuk membela Muawiyah jelas tidak mengena [alias gak nyambung]. Mereka yang berhujjah dengan hadis ini berarti mereka menganggap kalau Muawiyah itu tidak layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perut Muawiyah. Disinilah letak keanehannya?. Apa ukuran atau dalil mereka mengatakan Muawiyah tidak layak untuk mendapatkan celaan atau doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut?. Kami tidak menafikan hadis ini tetapi hadis ini harus dipahami dengan benar, masalah tidak layak untuk mendapatkan celaan atau laknat, itu semuanya harus dikembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Terkait dengan hadis Abu Hurairah [dan hadis serupa lainnya] di atas hanya Allah SWT dan Rasul-Nya yang berhak menentukan apakah seseorang itu tidak layak mendapatkan celaan yang dimaksud sehingga celaan itu menjadi rahmat baginya. Jadi hadis di atas tidak bisa dikenakan sekenanya untuk membela Muawiyah. Siapapun dapat bertanya apa buktinya Muawiyah tidak layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berupa celaan itu?. Jika kita melihat hadis itu dengan baik maka Muawiyah sangat layak mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perutnya karena Muawiyah lebih mementingkan makan daripada mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Apalagi telah terbukti dalam riwayat kalau doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu dikabulkan maka sangat jelas kalau Muawiyah layak mendapatkan doa tersebut.

Muawiyah Pasca Doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Selepas peristiwa ini Muawiyah tidak pernah kenyang seberapapun banyak dan seringnya ia makan. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah menyebutkan kalau Muawiyah makan sampai tujuh kali dalam sehari. Bisa dibayangkan jika seseorang terjebak dalam keadaan seperti ini maka semakin lama tubuhnya akan semakin gemuk dan perutnya semakin lama akan semakin besar. Fakta sejarah membuktikan memang begitulah kondisi Muawiyah bahkan karena tubuhnya yang seperti itu, ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan khutbah di hadapan kaum muslimin. Sehingga masyhur dalam sejarah kalau Muawiyah adalah orang yang pertama kali menyampaikan khutbah sambil duduk karena tubuhnya yang kegemukan dan perutnya yang besar.

حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ أَوَّلُ مَنْ خَطَبَ جَالِسًا مُعَاوِيَةُ حِينَ كَبِرَ وَكَثُرَ شَحْمُهُ وَعَظُمَ بَطْنُهُ

Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Asy Sya’bi yang berkata “orang yang pertama kali khutbah sambil duduk adalah Muawiyah, [ia melakukannya] ketika badannya kegemukan dan perutnya begitu besar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/68 no 36885].

Atsar Asy Sya’bi ini shahih dan Asy Sya’bi lahir di masa Umar jadi ia menyaksikan dan bertemu langsung Muawiyah bin Abi Sufyan. Asy Sya’bi adalah seorang yang dikenal tsiqat faqih dan memiliki keutamaan [At Taqrib 1/461]. Yang meriwayatkan dari Asy Sya’bi adalah Mughirah bin Muqsim Adh Dhabiy seorang yang tsiqat dan mutqin [At Taqrib 2/208] dan yang meriwayatkan dari Mughirah adalah Jarir bin Abdul Hamid perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/158].

Kami tidak perlu berkomentar lebih jauh, atsar di atas membuktikan bagaimana keadaan Muawiyah pasca makbulnya doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah tidak mengenyangkan perutnya. Sebelum kami akhiri pembahasan ini kami sempat membaca sebagian kaum awam yang ikut-ikutan mencari takwil untuk membela Muawiyah. Diantara pernyataan mereka adalah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semoga Allah SWT tidak mengenyangkan perutnya itu berarti semoga rezekinya Muawiyah tidak berujung. Mereka berdalih dengan mengatakan begitulah orang arab menggunakan ungkapan untuk menyatakan orang yang banyak rezekinya. Perkataan seperti ini cuma mengada-ada dan tidak bernilai hujjah selain klaim-klaim mengatasnamakan orang arab atau bahasa arab padahal yang bersangkutan justru tidak paham bahasa arab sedikitpun.

Sikap Kami terhadap Muawiyah.
Bagian ini kami tujukan kepada mereka yang merasa keberatan soal tulisan tulisan kami yang terkesan menyudutkan Muawiyah. Kami pribadi tidak memiliki hak untuk mencela atau menghukum perbuatan seseorang atau kedudukan seseorang. Apa yang kami katakan tentang Muawiyah sama seperti pembahasan tentang sahabat lainnya adalah berlandaskan pada hadis-hadis shahih. Jika hadis-hadis tersebut menyiratkan sesuatu yang buruk maka itulah adanya begitu pula sebaliknya jika hadis-hadis tersebut menyiratkan hal yang baik maka itu pulalah adanya.

Kami tidak punya keinginan untuk mencela Muawiyah. Berbagai tulisan yang kami tulis tentang penyimpangan Muawiyah adalah untuk meluruskan berbagai distorsi sejarah yang gencar dilakukan salafiyun [terkait dengan kedudukan Muawiyah]. Dimana sebagian mereka menganggap kalau Muawiyah adalah sahabat yang memiliki banyak keutamaan sehingga tidak jarang mereka menulis thread khusus untuk membuktikan keutamaan Muawiyah dan mendistorsi hadis-hadis yang dikatakan menyudutkan Muawiyah. Hadis di atas adalah salah satu contoh hadis yang disimpangkan artinya oleh sebagian ulama demi membela Muawiyah.

Kami juga tidak menganjurkan siapapun untuk melaknat atau mencela Muawiyah. Bagi kami perkara seperti itu tidak ada gunanya. Agama islam tidak tegak atas dasar mencela. Kecintaan terhadap Ahlul Bait juga tidak tegak atas dasar mencela. Muawiyah dan putranya Yazid telah menghadap Allah SWT dan bagaimana keadaan mereka, semuanya kembali kepada Allah SWT. Yang kami bahas dalam blog ini hanyalah hadis-hadis shahih yang berbicara tentang Muawiyah dan kami tidak akan memanjangkan lisan kami lebih dari apa yang tertulis pada hadisnya.

Jadi kepada saudara kami pengikut syiah, kami sarankan agar tidak mengisi komentar di blog ini dengan berbagai celaan yang tidak perlu. Begitu pula buat saudara kami yang sunni dan yang salafy tidak perlu mengumbar tuduhan bahwa blog ini syiah atau rafidhah. Tulisan ini hanya memaparkan dalil jika tidak setuju maka silakan ditanggapi dengan dalil. Mengungkap tentang Muawiyah bukanlah penentu syiah atau tidaknya seseorang, cukup banyak para ulama sunni yang menyudutkan Muawiyah seperti Syaikh Al Ghumari, Syaikh Hasan As Saqqaf, Syaikh Muhammad bin Aqil Al Alawiy, Syaikh Hasan bin Farhan Al Maliki dan yang lainnya. Merekapun juga memiliki salaf dalam perkara ini diantaranya Ubaidillah bin Musa, Abdurrazaq, An Nasa’i dan yang lainnya. Apakah mereka semua adalah syiah rafidhah?. Akhir kata  jangan biarkan kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku zalim.
Salam Damai
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: