Pemerintahan para penjahat melancarkan propaganda hingga ajaran itrah ahlul bait menjadi asing ditengah tengah umat.
Pendapat yang pernah dikemukakan oleh Mahmud Abu Rayyah dalam “Adhwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”
(Telaah Atas Sunnah Muhammad) patut dipertimbangkan di sini. Dia
mengatakan dalam buku itu yang membuat saya terkesima saat membacanya
pertama kali dan selalu saya ingat hingga sekarang: menurut informasi
dari Imam Bukhari sendiri, dia menyeleksi dari sekitar 300 ribu hadis
untuk menyusun kitab koleksi hadisnya yang dianggap sebagai paling
otoritatif oleh umat Islam itu. Sebagaimana kita tahu, Sahih Bukhari
hanya memuat sekitar 2600an hadis.
Kata Abu Rayyah: bayangkan, Imam Bukhari menyuling 2600an
hadis yang dianggap valid dari 300 ribuan hadis. Apa yang bisa
disimpulkan dari fakta ini? Kata Abu Rayyah: dengan rasio
300.000:2600an, kita bisa mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah
palsu atau lemah. Yang valid hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita
berbicara mengenai era Imam Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu,
betapa pervasif dan luas sekali persebaran hadis-hadis palsu atau
minimal lemah. Begitu luasnya persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah
membuat semacam hukum: hadis yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah “exception“.
MENiNGGAL KAN iTRAH AHLUL BAiT = MENiNGGALKAN ALQURAN.. Itrah ahlul bait dan Al Quran adalah satu dan tak terpisahkan.
Hadis hadis TENTANG SEMUA SAHABAT ADiL, hadis hadis
jaminan surga kepada 3 khalifah, hadis hadis pujian kepada Mu’awiyah
dan sejenisnya hanyalah hadis hadis politik REKAYASA PENGUASA dan
ulama penjilatnya.
Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (al-khulafa’ al-rashidun)
berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis
literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih
politik.
masalah hadis-hadis politik, tinggal bagaimana kearifan
kita dalam memahaminya. iya to! alias tak seluruhnya dari turats klasik
kita itu BAIK. jangan hanya “taken for granted”.
Selamanya kaum munafik tidak akan pernah mencintai Imam Ali
as…. semua upaya mereka hanya akan tercurah pada bagaimana mereka dapat
melampiaskan kedengkian dan kebencian mereka kepada Imam Ali as. dengan
berbagai cara:
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk
mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apa yang ditradisikan
oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as.
seperti apa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah
tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi
saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan
tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau
Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin
hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar
tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan
keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh
Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menandingi keistimewaan Imam
Ali dan Ahlulbait as.
Situasi politik dan keamanan pada saat pengumpulan hadis
hadis sunni tidak kondusif bagi suasana ilmiah yang netral, buktinya
antara lain :
- Imam Al Nasa’i, pengarang sunan Al Nasa’i dipukul dan
dianiaya hingga sekarat didalam Masjid karena menyatakan : “saya tidak
mengetahui keutamaan apapun dari Mu’awiyah kecuali Allah tidak pernah
mengenyangkan perutnya”
- Pemakaman Ibnu Jarir Al Thabary dipekuburan Islam
dihalangi dan dicegah karena beliau menshahihkan hadis hadis Ghadir Kum
dan menghimpun riwayat riwayat nya hingga mencapai tingkat mutawatir..
Beliau akhirnya dikubur dipekuburan Kristen dan hartanya dirampas
- Al ‘Amary yang meriwayatkan hadis burung panggang (yang
menunjukkan keutamaan Imam Ali) di usir dari tempat duduk nya dicuci
karena dianggap najis
- Imam Syafi’i dianiya karena mengucapkan syair syair yang memuji ahlulbait, bahkan beliau nyaris dihukum mati.
Sebagian hadis hadis sunni berlabel shahih ternyata PALSU dan PENUH REKAYASA POLiTiK, fakta sejarah :
1. Pihak kerajaan Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz)
selalu menghina dan mengutuk Ali dan keturunannya.. Bahkan Yazid
membantai Imam Husain beserta pendukungnya… Tetapi mereka memuliakan
Abubakar, Umar, Usman dan sahabat sahabat lainnya melalui pembuatan
hadis hadis politik jaminan surga dan lain-lainnya
2. Pihak kerajaan Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz)
sangat membenci Imam Ali dan menuduh nya sebagai pendukung pembunuh
USMAN
3. Imam Ahmad bin Hambal pada masa kerajaan Abbasiyah yang pertama kali mengusulkan Ali sebagai bagian dari Khulafaurrasyidin
4.Imam Ahmad bin Hambal mendha’ifkan hadis hadis shahih
karena perawinya yang pro ahlulbait mengkritik Abubakar Umar USman dan
loyalisnya, mereka diberi label “rafidhah”… Ulama ulama hadis sunni
yang lain jauh lebih radikal dari Ahmad bin Hambal
5. Sepeninggal Nabi SAW pihak penguasa bersikap keras dan
kejam kepada Imam Ahlulbait dan para pengikutnya, misalnya : Al
Mutawakkil yang digelari “Khalifah Pembela Sunnah Nabi” melakukan :
- Membongkar kuburan imam Husain.
- Melarang ziarah kubur ke makam Imam Ali dan Husain.
- Memberikan hadiah kepada setiap orang yang mencaci maki Imam Ali.
- Membunuh setiap bayi yang diberi nama Ali.
- Berupaya membela kelompok Nawasib.
Para peneliti juga mengetahui bahwa Mu’awiyah, politikus
penipu yang ulung itu, telah memerintahkan untuk mengumpul ‘para
Sahabat’, agar menyampaikan hadis hadis yang mengutamakan para Sahabat
Abu Bakar, Umar dan Utsman untuk mengimbangi keutamaan Abu Turab (Ali
bin Abi Thalib). Untuk itu, Mu’awiyah memberikan imbalan berupa uang dan
kedudukan kepada mereka.
Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif alMada’ini, dalam bukunya, alAhdats,
Mengutip sepucuk surat Mu’awiyah kepada bawahannya: ‘Segera setelah
menerima surat ini, kamu harus memanggil orang orang, agar menyediakan
hadis hadis tentang para Sahabat dan khalifah; perhatikanlah, apabila
seseorang Muslim menyampaikan hadis tentang Abu Turab (Ali), maka kamu
pun harus menyediakan hadis yang sama tentang Sahabat lain untuk
mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan saya, dan mendinginkan hati
saya dan akan melemahkan kedudukan Abu Turab dan Syi’ahnya’.
Ia juga memerintahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan mimbar (fi kulli kuratin wa’ala kulli minbarin).
Keutamaan para Sahabat ini menjadi topik terpenting di kalangan para
Sahabat, beberapa jam setelah Rasul wafat, sebelum lagi beliau
dimakamkan. Keutamaan ini juga menjadi alat untuk menuntut kekuasaan dan
setelah peristiwa Saqifah topik ini masih terus berkelanjutan. Para
penguasa dan para pendukungnya membawa hadis hadis tentang keutamaan
sahabat untuk ‘membungkam’ kaum oposisi, dan demikian pula sebaliknya.
Dalam menulis buku sejarah, seperti tentang peristiwa
Saqifah, yang hanya berlangsung beberapa jam setelah wafatnya Rasul
Allah saw, harus pula diadakan penelitian terhadap para pelapor,
prasangka prasangkanya, keterlibatannya dalam kemelut politik, derajat
intelektualitas, latar belakang kebudayaannya, sifat sifat pribadinya,
dengan melihat bahan bahan sejarah tradisional yang telah dicatat para
penulis Muslim sebelum dan setelah peristiwa itu terjadi. Tulisan
sejarah menjadi tidak bermutu apabila penulisnya terseret pada satu
pihak, dan memilih laporan laporan tertentu untuk membenarkan
keyakinannya.
Imam Bukhari takut pada tekanan, sehingga sedikit bergaul
dengan alawiyyin pada masa Abbasiyah…Bergaul dengan alawiyyin akan
membahayakan keselamatannya, masa itu mengaku sebagai orang kafir jauh
lebih selamat nyawa daripada mengaku sebagai syi’ah…
Penguasa Bani Umayyah ( kecuali Umar bin Abdul Aziz ) dan
Separuh Penguasa Bani Abbasiyah KEKEJAMAN NYA melebihi Firaun, mereka
dengan mudah membunuh orang orang yang tidak bersalah hanya karena ia
syi’ah…Inilah yang membuat Bukhari menjauhi syi’ah…
Jumlah hadis-hadis yang bersumber dari Imam Kelima dan
Keenam lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis yang bersumber dari
Nabi Saw dan para Imam yang lain. Akan tetapi, pada akhir hayatnya, Imam
Ja’far Shadiq ( Imam Keenam) dikenai pencekalan secara ketat oleh
Khalifah Abbasiyah, Mansur, yang memerintahkan seperti penyiksaan dan
pembunuhan berdarah dingin terhadap keturunan Nabi Saw yang merupakan
kekejaman terhadap penganut Syiah sehingga perbuatannya melebihi
kekejaman dan kebiadaban Bani Umayyah.
Atas perintah Mansur, mereka ditangkap secara berkelompok,
beberapa dilemparkan ke penjara gelap dan pengap kemudian disiksa hingga
mati, sementara yang lainnya dipancung atau dikubur hidup-hidup di
bawah tanah atau di antara dinding-dinding bangunan, dan dinding
dibangun di atas mereka. Hisyam, Khalifah Umayyah, memerintahkan agar
Ja’far Shadiq Imam Keenam ditangkap dan dibawa ke Damaskus. Kemudian,
Imam Ja’far Shadiq ditangkap oleh Saffah, Khalifah Abbasiyah, dan dibawa
ke Irak. Akhirnya, Mansur menangkap Imam Ja’far Shadiq dan membawanya
ke Samarra di mana Imam disekap, diperlakukan secara kasar dan beberapa
kali berusaha untuk membunuh Imam.
Kemudian, Imam Ja’far Shadiq diperbolehkan untuk kembali ke
Madinah di mana Imam Ja’far Shadiq menghabiskan sisa-sisa umurnya dalam
persembunyian, hingga ia diracun dan syahid melalui intrik licik
Mansur.
Bisakah anda menulis sesuatu dengan sempurna jika nyawa
anda taruhannya ? Kodifikasi hadis seperti kitab Bukhari Muslim dan
lain-lain terjadi pada masa Abbasiyah bukan ? Wajarlah ilmu itrah ahlul
bait dalam kitab hadis Aswaja Sangat sedikit …Menangislah … menangislah…
Para pembaca…
Pada masa khalifah Mutawakkil sedang memuncak periwayatan
hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu…
Pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadis.
Paham ini didukung negara sehingga hadis hadis sunni menjadi mudah di
intervensi dengan penambahan penambahan yang di lakukan ULAMA ULAMA
BUDAK kerajaan.
Ahlul hadis sunni hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadis hadis yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW
.
Karena fanatisme mazhab, orang orang pada masa tersebut
mengarang ngarang hadis agar mazhab nya tetap tegak. Dulu kita tidak
tahu, tetapi kini di era informasi semakin mudah didapat bukti bukti…
Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia
dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as.
Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait
as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang
dia kumpulkan adalah otentik. Beliau hanya melakukan koleksi, maka
beliau tentunya tidak melakukan penelitian baik sanad ataupun matan dari
hadits tersebut.
Kalau ente menemukan Imam Ja’far bersabda….begini dan
begitu.. artinya dia hanya mengutip apa yang disabdakan oleh nabi saw
melalui jalur moyangnya seperti Ali bin Abi Talib, Hasan, Husein, Ali
bin Husein dan Muhammad bin Ali. Maka ucapan para Imam = ucapan Nabi
saw. Adapun hadis hadis dha’if dalam kitab syi’ah bukanlah hadis Nabi
SAW tapi ucapan ucapan yang dinisbatkan pada Imam imam… Dalam kitab
syi’ah tidak ada hadis Nabi SAW yang dha’if apalagi pemalsuan atas nama
Nabi SAW.
Hadis Nabi SAW, Imam Ali disampaikan oleh Imam Ja’far
secara bersambung seperti :[..dari Abu Abdillah (ja’far) dari Ayahnya (
Al Baqir ) dari kakeknya ( zainal ) dari Husain atau dari Hasan dari
Amirul Mu’minin ( Imam Ali ) yang mendengar Nabi SAW bersabda …] ada
lebih dari 5.000 hadis.
Adanya pertentangan dan kontradiksi diinternal hadis sunni
MEMBUKTiKAN bahwa sebagian hadis sunni yang ditolak (syi’ah
imamiyah) adalah hadis BUATAN rezim penjahat…
Menghujat sahabat adalah kafir rafidhah ? bagaimana
dengan muawiyah yang memerintahkan untuk menghujat Imam Ali Di mimbar
masjid yang diikuti mayoritas khalifah bani umayyah ? Apa muawiah
kafir?
Syi’ah Imamiyah Menerima Hadis Hadis Mazhab Sunni Jika :
“Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama syi’ah dan
Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan syi’ah”.
Lalu bagaimana sikap mereka terhadap riwayat yang berasal
dari Ahl al-Sunnah ? Ulama Syiah membolehkan hal ini dengan beberapa
ketentuan:
- Hadits itu diriwayatkan dari para imam yang ma’shum.
- Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah.
- Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan mereka.
Salah satu yang melandasi pandangan ini adalah apa yang diriwayatkan Ja’far al-Shadiq bahwa ia mengatakan, “Jika
kalian mengalami suatu perkara yang tidak kalian temukan hukumnya dalam
apa yang diriwayatkan dari kami, maka lihatlah dalam apa yang mereka
(sunni) riwayatkan dari Ali a.s, lalu amalkanlah ia.”.
Oleh sebab itu, sebagian kelompok Syiah juga mengamalkan
apa yang diriwayatkan oleh beberapa perawi Ahl al-Sunnah,-seperti Hafsh
ibn Ghiyats, Ghiyats ibn Kallub dan Nuh ibn Darraj- dari para imam
madzhab Imamiyah sesuai dengan syarat tersebut di atas.
Bisakah rawi rawi sunni diterima riwayatnya ? ya bisa asal
riwayatnya benar dan orangnya jujur ( hanya saja riwayatnya paling
tinggi statusnya HASAN ).
Di dalam Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah ( mazhab resmi Iran ), ada 4 kitab hadis :
a. Kitab hadis Al – Kafi, dikumpulkan oleh Syaikh
Kulaini, terdapat sekitar 16000 hadis.. Dengan perincian sbb :5.072
hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq ( hadis yang
di riwayatkan perawi bukan syi’ah tetapi dipercayai oleh
syiah), 302 hadis Qawiy ( kuat ) dan 9.480 hadis dhaif.
Sangat-sangat banyak hadis dhaif dalam Kitab Al Kafi (
lebih separuh kitab ini hadisnya dha’if ).. Ulama Syiah lain,
Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111H) telah mendha’ifkan sebagian besar hadits-hadits yang ada dalam kitab al-Kafy dalam kitabnya, Mir’at al-‘Uqul.
Menurut pengakuan Fakhruddin At Tharihi ada 9845 hadits yang dhaif dalam kitab Al Kafi, dari jumlah 16119 hadits Al Kafi.
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup panjang,
selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya. Al-Kulaini meriwayatkan
hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama ahl al-bait.
Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang
mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan 144
buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy 302 buah
hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[sumber :Ayatullah Ja’far
Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi”
dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic
Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.].
Hadis-hadis dalam al-Kafi al-Kulaini, khususnya al-Furu’
memang memuat beragam kualitas, dari sahih, hasan, muwassaq, qawiy,
bahkan dha’if. Jadi isi keseluruhan al-Furu’ al-Kafi berjumlah 10.474
hadis, dengan perincian jilid III berisi 2049 hadis, jilid IV berisi
2424 hadis, jilid V berisi 2200 hadis, jilid VI berisi 2727 hadis, dan
jilid VII berisi 1074 hadis.
Dalam kitab Masadir Al Hadits Inda As Syi’ah Al Imamiyah
yang ditulis oleh Allamah Muhaqqiq Sayid Muhammad Husain Jalali.. Beliau
mengklasifikasikan hadis dalam kitab Al Kafi Kulaini dengan perincian
sebagai berikut :
Jumlah hadis secara keseluruhan : 16.121 ( termasuk riwayat dan cerita )
Hadis lemah / dha’if : 9485
Hadis yang benar / hasan : 114
Hadis yang dapat dipercaya / mawtsuq : 118 Hadis yang kuat / Qawi : 302
Hadis shahih : 5702.
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani
menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis
Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai
oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al
Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah
Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja
dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif.
Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah(yaitu selain
hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan
jumlah hadis dalam Shahih Bukhari.
al-Kulaini hidup di zaman sufara’ al-arba’ah (empat wakil
Imam al Mahdi). Selain itu tahun wafatnya adalah 328 H / 329 H
(939/940). Beliau dikebumikan di pintu masuk Kufah.
b. Kitab hadis Man la yahdarul fiqh Ditulis oleh
Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein Lahir tahun 305 Hijriah
dan wafat tahun 381 Hijriah..Terdapat sekitar 6000 hadits tentang
Syariah…
c. Kitab hadis Tazhibul Ahkam Ditulis oleh Syaikh Abu
Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi Lahir di Khurasan tahun 385 Hijriah,
dan wafat pada tahun 460 Hijriah Terdapat sekitar 13590 Hadits dalam
kitab ini.
d. Kitab hadis Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar
Ditulis oleh Syakih Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi..Lahir di
Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah..Terkumpul
sekitar 5511 hadits dalam kitab ini.
Di bawah derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami’ yang besar. Antara lain:
Kitab Bihârul Anwâr. Disusun oleh Baqir al Majlisi. Terdiri
dalam 26 jilid.Kitab al Wafie fi ‘Ilmi al Hadis. Disusun oleh Muhsin al
Kasyani. Terdiri dalam 14 juz. Ia merupakan kumpulan dari empat kitab
hadis.
Kitab Tafshil Wasail Syi’ah Ila Tahsil Ahadis Syari’ah.
Disusun oleh al Hus asy-Syâmi’ al ‘Amili. Disusun berdasarkan urutan
tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami’ Kabir yang dinamakan Asy-Syifa’
fi Ahadis al Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla at-Tabrizi.
Kitab Jami’ al Ahkam. Disusun oleh Muhammad ar-Ridla
ats-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan terdapat
pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di bawah kitab-kitab
yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara lain: Kitab
at-Tauhid, kitab ‘Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al ‘Amali.
Kaum Syi’ah, juga mengarang kitab-kitab tentang rijal
periwayat hadis. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak
antara lain: Kitab ar-Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali an-Najasyi (w.450 H.),
Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita Ma’alim ‘Ulama karya Muhammad
bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj al Maqâl karya Mirza
Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal karya Syaikh
Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya Syaikh
Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya.
Kulaini tidak mensyaratkan membuat kitab yang 100% shahih
ia hanya mengumpulkan hadis. Di sisi Syiah tidak ada kitab hadis 100%
shahih. Jadi masalah akurat dan tidak akurat harus melihat dulu apa
maksudnya Al Kulaini menulis kitab hadis. Ulama-ulama syiah telah banyak
membuat kitab penjelasan Al Kafi dan sanad-sanadnya seperti Al Majlisi
dalam Miratul Uqul Syarh Al Kafi, dalam kitab ini Majlisi menyebutkan
mana yang shahih dan mana yang tidak.
Satu yang perlu dicatat: Mayoritas hadis Syi’ah merupakan
kumpulan periwayatan dari Abi Abdillah Ja’far ash-Shadiq. Diriwayatkan
bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun kalangan khawas,
telah meriwayatkan hadis dari beliau. Oleh karena itu, Imamiah dinamakan
pula sebagai Ja’ fariyyah. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan
dari masa ‘Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad al Hasan al ‘Askari
mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam hadis.
Para imam memandang bahwa hadis-hadis Rasulullah saw itu
didengar dari beliau baik tanpa perantara maupun dengan perantaraan
leluhur mereka. Oleh karena itu, dalam banyak pe- riwayatan tampak bahwa
Imam ash-shadiq as berkata, “Menyampaikan kepadaku bapakku dari Zain
Al-’Abidin dari bapaknya Al- Husain bin’ Ali dari ‘ Ali Amirul Mukminin
dari Rasulullah saw. Periwayatan semacam ini banyak terdapat dalam
hadis-hadis mereka.
Diriwayatkan dari Imam ash-Shidiq bahwa ia berkata,
“Hadisku adalah hadis bapakku. Hadis bapakku adalah hadis kakekku.”
Melalui cara ini mereka menerima banyak hadis dari Nabi saw dan
menyampaikannya tanpa bersandar kepada para rahib dan pendeta,
orang-orang bodoh, atau pribadi-pribadi yang menyembunyikan kemunafikan.
Sebagian hadis lain mereka ambil dari kitab Imam Amirul
Mukminin yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan dicatat oleh ‘Ali as.
Para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad telah menunjukkan beberapa kitab ini.
‘Ali as memiliki buku khusus untuk mencatat apa yang
didiktekan oleh Rasulullah saw. Para anggota Keluarga Suci telah
menghapalnya, merujuk padanya tentang banyak topik, dan me- nukil
teks-teksnya tentang ber.bagai pennasAlahan. Al-Hurr Al-’Amili dalam
kitabnya Al-Mawsu’ah Al-Haditsiyyah telah menyebarluaskan hadis-hadis dari kitab tersebut menurut urutan kitab-kitab fiqih dari bab bersuci (thaharah) hingga bab diyat (denda). Barang- siapa yang mau menelaahnya, silakan merujuk pada kitab Al- Mawsu’ah Al-Haditsiyyah.
Imam ash-Shidiq as, ketika ditanya tentang buku catatan
itu, berkata, “Di dalamnya terdapat seluruh apa yang dibutuhkan manusia.
Tidak ada satu permasAlahan pun melainkan tertulis di dalamnya hingga
diyat cakaran.”.
Kitab ‘ Ali as merupakan sumber bagi hadis-hadis Keluarga
Suci itu yang mereka warisi satu persatu, mereka kutip, dan mereka
jadikan dAlil kepada para penanya.Abu Ja’far Al-Baqir as berkata kepada
sAlah seorang sahabatnya-yakni Hamrin bin A’yan-sambil menunjuk pada
sebuah rumah besar, “Hai Hamran, di rumah itu terdapat lembaran (shahifah) yang
panjangnya tujuh puluh hasta berisi catatan ‘Ali as dan segAla hAl yang
didiktekan oleh Rasulullah saw. KAlau orang-orang mengangkat kami
sebagai pemimpin, niscaya kami menetapkan hukum berdasarkan apa yang
Allah turunkan. Kami tidak akan berpAling dari apa yang terdapat dalam
lembaran ini.”.
Imam ash-Shadiq as memperkenalkan kitab ‘ Ali as itu dengan
mengatakan, “la adalah kitab yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi
hAl-hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan’ Ali bin Abi ThAlib
mencatat dengan tangannya sendiri. Demi Allah, di dalamnya terdapat
semua hAl yang diperlukan manusia hingga hari kiamat, bahkan diyat
cakaran, cambukan, dan setengah cambukan.”
Sulaiman bin KhAlid berkata: Saya pernah mendengar Ibn
‘Abdillah berkata, “Kami memiliki sebuah lembaran yang panjangnya tujuh
puluh hasta berisi hAl-hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan
dicatat oleh ‘Ali as dengan tangannya sendiri. Tidak ada yang halal dan
haram melainkan termuat di dalamnya hingga diyat cakaran.”.
Abu Ja.far Al-Baqir as berkata kepada seorang sahabatnya,
“Hai Jabir, kAlau kami berbicara kepada kalian menurut pendapat dan hawa
nafsu kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka. Melainkan
kami berbicara kepada kalian dengan hadis- hadis yang kami warisi dari
Rasulullah saw.”.
Imam al-Shadiq dan Imam al-Ridha –dua diantara imam mereka- seringkali mengatakan, “Sesungguhnya
kami tidak pernah berfatwa kepada manusia berdasarkan pendapat kami
sendiri. Sesungguhnya jika kami berfatwa kepada manusia dengan pendapat
kami sendiri, niscaya kami akan termasuk orang yang binasa. Namun (kami
memberi fatwa kepada mereka) berdasarkan atsar-atsar dari Rasulullah
saw, yang kami wariskan dari generasi ke generasi. Kami menyimpannya
seperti manusia menyimpan emas dan perak mereka.” (Miqyas al-Hidayah fi
‘Ilm al-Dirayah: ‘Abdullah al-Mamqany (1351 H). Tahqiq: Muhammad Ridha al-Mamqany. Mu’assasah Alu al-Bait, Beirut. Cetakan pertama 1991 M.).
Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah Imamiyah.
Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma’shum. Meski sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah hujjah dan sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya.
hadis hadis syi’ah biasanya dengan redaksi misalnya : Dalam
Al KAfi ada hadis : Zurarah mendengar Abu Abdillah ( Ja’far Ash Shadiq )
bersabda : Amirul Mu’minin ( Imam Ali ) bersabda “hiburlah hatimu agar
ia tidak menjadi keras”.
Hadis seperti tadi banyak dalam kitab syi’ah… Yang diteliti
adalah sanad dan matannya dari Zurarah sampai dengan Kulayni, sementara
dari Imam Ja’far sampai dengan Imam Ali tidak diperiksa lagi karena
dari Ja’far sampai dengan Imam Ali sanad nya pasti bersambung oleh tali
kekeluargaan dan tidak mungkin Imam Ja’far mendustai ayahnya, kakek,
buyut hingga Imam Ali
Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa sanad-sanad hadits mereka semuanya bersambung kepada para imam melalui perantara kitab-kitab al-Ushul yang ada pada mereka.
Dr. Muhammad At-Tîjâni as-Samâwie –seorang Sunni yang
kemudian membelot ke Syi’ah, ketika melakukan kajian komparatif antara
Sunnah dan Syi’ah, memberikan judul bukunya tersebut: Asy-Syî’ah Hum
Ahlu Sunnah.
Peringatan :
Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan
besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat
dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan
keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka
tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan
matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah
tentang kedudukan hadis tersebut.
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh
Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20
tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang
menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan
riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti
para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul
hadis-hadis dari Ahlul Bait as.
Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua
hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama
sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan
setiap hadisnya.
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al Kafi
maka seyogyanya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang
menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti
dalam Al Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai
diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis
sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama
Syiah.
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan
syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada
satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat
tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh
ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa
Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni.
Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu
mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang
sekali.
Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan
membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja.
Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah(Rijal An
Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat
Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama
Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku
tersebut.
Jika ada hadis yang bertentangan dengan Al Quran maka kami
menilainya tidak shahih maka masalahnya selesai ! Kalau ada hadis hadis
aneh dalam kitab kitab mu’tabar syi’ah maka setelah meneliti sanad dan
matannya maka ulama syi’ah langsung memvonisnya dha’if dan hadis
tersebut tidak dipakai !
Yang dimaksud dengan berpedoman pada tsaqalain adalah
mengikuti petunjuk Al Quran dan orang orang terpilih dari ahlul
bait…SEMENTARA EMPAT KiTAB HADiS TERSEBUT ADALAH CATATAN CATATAN REKAMAN
UCAPAN, PERBUATAN, DAN AKHLAK AHLUL BAiT.. YANG NAMANYA CATATAN MEREKA
TENTU ADA YANG AKURAT DAN ADA YANG TiDAK AKURAT… YANG AKURAT DiNiLAi
SHAHiH DAN YANG TiDAK AKURAT DiNiLAi DHA’iF.
Jika seseorang membawa sebuah hadis yang lemah dari USHUL
AL KAFi dan kemudian mengarti kan hadis tersebut secara salah sebagai
alat propaganda kesesatan syi’ah, maka hal itu tidak menggambarkan
keyakinan syi’ah!
Kenapa banyak sekali hadis dha’if ? Apa kulaini lemah dalam
keilmuan ?Jawab: Syi’ah imamiyah itsna asyariah sangat ketat dalam ilmu
hadis, sehingga ribuan hadis berani kami dha’if kan .. Tindakan
pendha’ifan ribuan hadis ini menunjukkan bahwa kami SANGAT SANGAT SERiUS
DALAM menilai keshahihan sesuatu yang dinisbatkan pada agama….Tidak ada
kompromi dalam hal seleksi hadis… Pertanyaannya adalah Sunnah mana yang
asli dan mana yang bukan….. Adapun hadis hadis dha’if dalam kitab
syi’ah bukanlah hadis Nabi SAW tapi ucapan ucapan yang dinisbatkan pada
Imam imam… Dalam kitab syi’ah tidak ada hadis Nabi SAW yang dha’if
apalagi pemalsuan atas nama Nabi SAW.
Jadi 50 % hadis lemah itu bukanlah masalah bagi Syiah,
karena mereka memiliki para ulama yang menyaring hadis-hadis tersebut.
Saya rasa itulah tugas para ulama setelahnya, mereka memberi penjelasan
atas kitab Al Kafi, baik menjelaskan sanad hadis Al Kafi … ….
Saya lebih suka menganalogikan Al Kafi itu dengan kitab
Musnad Ahmad atau bisa juga dengan Ashabus Sunan yaitu Sunan Tirmidzi,
Nasai Abu dawud dan Ibnu Majah. Tidak ada mereka secara eksplisit
menyatakan semua isinya shahih, tetapi kitab mereka menjadi rujukan.
Apa yang dimaksud dengan hadis lemah/dha’if ? Jawab : Jika
salah satu seorang dari rantai penulis hadis itu tidak ada, maka hadis
itu lemah dalam isnad tanpa melihat isinya… Ada hadis dalam Al Kafi yang
salah satu atau beberapa unsur dari rangkaian periwayatnya tidak ada,
oleh sebab itu hadis hadis demikian isnad nya dianggap lemah.
Dalam Rasa’il fi Dirayat Al Hadits jilid 1 hal 395
disebutkan mengenai syarat hadis dinyatakan shahih di sisi Syiah yaitu
apa saja yang diriwayatkan secara bersambung oleh para perawi yang adil
dan dhabit dari kalangan Imamiyah dari awal sanad sampai para Imam
maksum dan riwayat tersebut tidak memiliki syadz dan illat atau cacat!.
Memang bukan kitab shahih tetapi bukan berarti seluruhnya
dhaif. Jumlah hadis yang menurut Syaikh Ali Al Milani shahih dalam Al
Kafi jumlahnya hampir sama dengan jumlah seluruh hadis dalam shahih
Bukhari. Dengan cara berpikir anda hal yang sama bisa juga dikatakan
pada kitab hadis sunni semisal Musnad Ahmad, Sunan Daruquthni, Musnad Al
Bazzar, Mu’jam Thabrani Shaghir dan Kabir, Al Awsath Thabrani dan
lain-lain yang banyak berisi hadis dhaif. Anehnya kutub as sittah
sendiri terdapat hadis-hadis dhaif dan palsu seperti yang ada pada
Ashabus Sunan.
Kulaini tidak mensyaratkan membuat kitab yang 100% shahih
ia hanya mengumpulkan hadis. Di sisi Syiah tidak ada kitab hadis 100%
shahih. Jadi masalah akurat dan tidak akurat harus melihat dulu apa
maksudnya Al Kulaini menulis kitab hadis.
Ulama-ulama syiah telah banyak membuat kitab penjelasan Al
Kafi dan sanad-sanadnya seperti Al Majlisi dalam Miratul Uqul Syarh Al
Kafi, dalam kitab ini Majlisi menyebutkan mana yang shahih dan mana yang
tidak.
Saya rasa itulah tugas para ulama setelahnya, mereka
memberi penjelasan atas kitab Al Kafi, baik menjelaskan sanad hadis Al
Kafi . Artinya bagi saya adalah bahwa secara implisit mereka sudah
mengklaim bhw hadits2 mereka tulis bukan sekedar koleksi tapi melewati
filtrasi dg menggunakan metode yang mereka yakini.
Jadi 50 % hadis lemah itu bukanlah masalah bagi Syiah, karena mereka memiliki para ulama yang menyaring hadis-hadis tersebut.
Perkembangan zaman selalu menuntut adanya perkembangan
pemikiran sehingga Syiah selalu memiliki marja’ disetiap zaman untuk
memutuskan suatu hal yang boleh jadi berbeda di setiap zaman, dan kitab
rujukan utama Syiah adalah Alquran, Yang penting esensi ajarannya,
seperti para Imam Ahlul Bayt yang konsisten mengawasi dan meluruskan
terhadap penyimpangan para penguasa yang zalim.
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis
sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan.
Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah
tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup belum ada
Hadist-hadist sunni yang terkumpul apalagi dibukukan. Pada
masa Khulafaur Rasyidin yaitu setelah Rasullullah wafat, para sahabat
mulai menyampaikan pesan-pesan Hadist Nabi SAW. Namun Hadist-hadist
sunni tersebut masih belum terhimpun. Hadist-hadist tersebut berada
pada hafalan atau ingatan para Sahabat.
Saudaraku, ada dua cara meriwayatkan Hadist pada masa Sahabat.
1. Riwayat sesuai dengan lafadz asli sebagaimana dari
Rasullulah SAW. (riwayat secara lafadz). Cara ini ada yang di sebabkan
para Sahabat mendengar langsung apa yang diucapkan Nabi SAW atau yang
diperbuatnya. Ada juga yang sudah melalui perantara Sahabat Nabi,
Karena tidak mendengar atau menyaksikan langsung .Jika dibolehkan
perawi pertama menukar lafadz yang didengarnya dengan lafadznya sendiri,
maka perawi yang kedua tentu boleh melakukan hal yang sama, dan
seterusnya perawi-perawi selanjutnya juga boleh melakukan periwayatan bi
al-Makna. Apabila hal ini dibolehkan maka kemungkinan hilangnya lafal
asli dari nabi menjadi lebih besar, atau setidak-tidaknya akan terjadi
kesenjangan dan perbedaan yang mencolok antara ucapan yang diriwayatkan
terakhir dengan apa yang dikatakan Nabi saw.
2. Riwayat Hadist secara maknawi. Maksudnya,
isi Hadist sesuai dengan apa yang diucapkan atau dilakukan Nabi.
Sedangkan lafadz atau bahasanya tidak sama. Hal ini terjadi karena daya
ingat para Sahabat tidak sama. Selain itu jarak waktu saat meriwayatkan
Hadist dengan apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi sudah cukup lama.
Dengan demikian bisa dimaklumi kalau terdapat beragam Hadist yang
maksudnya sama tetapi lafadz dan bahasanya berbeda. Sebagian besar
sahabat Nabi tidak pandai tulis baca, mereka hanya mengandalkan ingatan,
sedang hadis baru ditulis secara resmi jauh setelah Rasul Allah wafat.
Dalam kondisi yang demikian sangat mungkin ada lafadz-lafadz hadis
mereka meriwayatkan tidak persis seperti yang diucapkan Nabi, karena
lamanya hadis tersebut tersimpan dalam ingatan mereka. Karena itu mereka
menyampaikan kandungan maknanya dengan lafal dari mereka sendiri.
Sunni mengklaim periwayatan Hadist oleh para Sahabat.
Hadist tersebut dihafalkan dari Sahabat, dari orang tua kepada anak,
dari guru kepada murid. Setelah para Sahabat terdekat meninggal dunia,
barulah diadakan pengumpulan dan pembukuan Hadist.
Kodifikasi hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriyah,
sehingga sebelum periode itu, antara hadits shahih dan hadits palsu
tidak dapat dibedakan di sebabkan karena :
1. usaha pembukuan yang terlambat. Masa pembukuannya
pun terlambat sampai pada abad ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad
ke-3 H. Sehingga pencatatan Hadis sunni secara tekstual literatur Hadis
tidak mudah dipercaya sebab pencatatan terhadap Hadis dilakukan
setelah dua ratus tahun. Pembukuan dalam skala besar dilakukan di
abad ketiga Hujriyah melalui para penulis Kutubus Sittah. Dalam konteks
histories, periwayatan hadis tidak seberuntung al-Qur’an yang memang
sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan pembukuan. Sementara
kodifikasi al-hadis dilakukan lebih belakangan jauh setelah wafatnya
Nabi SAW. Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan
banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan
bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya.
2. Bukhari menyaring 3.000 hadits dari 600.000 hadits yang telah ia kumpulkan.
Dalam sebagian literatur hadits sunni , nama Nabi Muhammad
SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan
keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to support all possible
lies and absurdities”), dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam
Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak: “…without hesitation, to
reject at least one-half.” Itu dari sudut sumber isnādnya, sedangkan
dari sudut isi matannya, maka hadits “must stand or fall upon its own
merit”. Hanya sebagian hadis sunni yang memang betul-betul hadits shahih
dari Nabi [SAW]. Penguasa telah memalsukan sebagian hadits; bahwa
sebagian hadis-hadits yang diriwayatkan sebenarnya bukan berasal dari
Nabi SAW, akan tetapi adalah perkataan si pemalsu sendiri atau
perkataan orang lain yang disandarkan kepada Nabi SAW.
3. Tidak ada ijma’ kaum syi’ah tentang keshahihan
hadits-hadits Semua hadis sunni. Hadis sunni yang kami sepakati tentang
kehujahannya berarti sahih.
Bahwa perjalanan hadis sunni hingga era kodifikasi dalam
korpus resmi telah melewati beberapa fase yang tidak selalu mulus dan
murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu
sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai masa pembukuanya secara resmi
masih bercampur dengan kata-kata dan fatwa sahabat. Hal ini
menyebabkan jumlah materi hadis menjadi menggelembung, tetapi setelah
diseleksi menjadi sedikit lagi. Sebagian hadith sunni merupakan refleksi
interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul
kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya,
ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.
Sebagian hadith sunni adalah produk bikinan penguasa sunni beberapa
abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari
beliau. Sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara
keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan
perbuatan Nabi SAW (“It is difficult to regard the hadīth literature as a
whole as an accurate and trustworthy record of the sayings and doings
of Muhammad”). Keberagaman data periwayatan Sunni – Syiah merupakan
hasil pemalsuan yang terencana dari Sunni.
4. Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H) melakukan penulisan
Hadis karena tekanan dari Bani Umayyah. Munculnya pemalsuan hadits
akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan
terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah,
serta Khawarij yang keluar dari keduanya.
Bukhari misalnya berkata:Bahwa Hadist ini diucapkan kepada
saya oleh seseorang bernama A dan A berkata:diucapkan kepada saya
oleh B dan B berkata: diucapkan kepada saya dari C dan C berkata:
diucapkan kepada saya dari D dan D berkata: diucapkan kepada saya
dari E dan E berkata: diucapkan kepada saya dari F dan F berkata:
diucapkan kepada saya dari Nabi SAW.
Menurut contoh ini antara Nabi SAW dan Bukhari ada 6 orang
dan 6 (enam) orang ini tidak mesti, melainkan bisa
jadi kurang atau lebih.Tiap-tiap orang dari A sampai F yang disebutkan
tersebut diatas adalah Yang meriwayatkan atau Rawi (perawi). dan sejumlah Rawi pada suatu Hadist dinamakan dengan Sanad yang terkadang disebut Isnad.
Pada masa Abdul Malik (sekitar 70-8.0 H), yakni enam puluh
tahun lebih setelah meninggalnya nabi, penggunaan sanad dalam
periwayatan hadits juga belum dikenal. Dari sini saya berkesimpulan
bahwa pemakaian sanad baru dimulai pada antara Urwah dan Ibn Ishaq (w.
151 H). Oleh karena itu, sebagian sanad-sanad yang terdapat dalam
kitab-kitab hadits adalah bikinan ahli-ahli hadits abad ke dua, bahkan
abad ketiga. Tulisan-tulisan Urwah yang dikirimkan kepada Abdul Malik
tidak menggunakan sanad. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa
Urwah pernah menggunakan sanad adalah pendapat orang-orang belakangan.
Bahkan sebagian hadits-hadits sunni yang terdapat dalam
al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya: “even the
classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly
be authentic.” Sebagian sistem periwayatan berantai alias isnād
merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktekkan
pada abad kedua Hijriah: “there is no reason to suppose that the regular
practice of using isnāds is older than the beginning of the second
century.”.
Sedangkan yang di maksud dengan yang mengeluarkan Hadist
adalah Orang yang mencatat Hadist Rasulullah SAW,yaitu para Ahli
Hadist seperti Imam Malik, Bukhari,Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi serta
lain-lainnya.
Syi’ah menemukan beberapa Hadis Nabi saw yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Hadis-hadis tersebut terkesan mengucapkan kata-kata
ganjil dan kasar, membuatnya heran sebagai sabda-sabda yang konon
berasal dari Nabi saw tidak memiliki retorika penuh bunga yang sering
dijumpainya dalam berbagai tulisan-tulisan.
Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia
lahir 21 tahun sebelum Hijriah, sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama
aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdu al-Syams (hamba matahari), ia
dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat
dan memelihara kucing, ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti
Ghazawan, kemudian setelah masuk Islam baru dinikahinya. Tatkala menjadi
muslim, ia bersama Thufail bin Amr berangkat ke Makkah, Nabi Muhammad
Saw mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba Maha
Pengasih). Ia tinggal bersama kaumnya beberapa tahun setelah menjadi
muslim, sebelum bergabung dengan kaum muhajirin di Madinah tahun 629. Ia
menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi tahun 632 di
Madinah.
Kami menggugat integritas Abu Hurairah sebagai perawi
dengan berbagai tuduhan, diantaranya adalah ia terlalu banyak
meriwayatkan (lebih dari lima ribu Hadis) apa yang sebenarnya tidak
pasti diucapkan oleh Nabi saw dalam waktu yang singkat. Ia hanya bersama
Nabi sekitar tiga tahun, sebagian besar Hadisnya ia tidak mendengar
dari Nabi secara langsung akan tetapi ia mendengar dari sahabat dan
tabi’in. Apabila setiap sahabat dinyatakan adil sebagaimana jumhur ulama
Hadis maka para tabi’in juga sama demikian adanya.
Kami mengingatkan bahwa Abu Hurairah masuk Islam ketika ia
bergabung bersama Nabi saw dalam peristiwa Khaibar pada tahun 7 H/ 629
M, ini dapat ditemukan dalam berbagai sumber. Abu Hurairah juga dituduh
sebagai seorang pemalas yang tidak memiliki pekerjaan tetap selain
mengikuti Nabi saw. kemanapun beliau pergi, juga merupakan orang yang
rakus terutama setelah beliau mendapatkan posisi penting sebagai
gubernur pada masa dinasti Bani Umaiyah .
Sahifah sahifah pro penguasa misalnya : shahifah Samurah bin Jundub
Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan salah seorang Tabi’in
Hammam bin Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak diriwayatkan
dari sahabt besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadits.
Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalam berbagai bab.
Shahifah sahihah yaitu kumpulan hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah, Kumpulan hadis tersebut disampaikan oleh Abu
hurairah kepada Hammam Ibn Munabbih (40 – 131 H) dari generasi Tabiin.
Ini memuat 138 hadis. Kemudian Hammam menyampaikan kepada sejumlah
muridnya, antara lain Ma’mar Ibn Rasyid (w.154 H/ 770 M) yang memelihara
dan membacakan kepada salah seorang muridnya, Abdur ar-Razaq as-Sam’ani
(w.211 H/826 M). selain sebagai ulama terkemuka seperti gurunya, Abd
ar-Razaq juga memelihara shahifah tersebut dalam bentuknya yang utuh dan
menyampaikannya kepada generasi-generasi sesudahnya. Naskah ini telah
ditemukan oleh DR. M. Hamudullah dalam bentuk manuskrip aslinya di
Damaskus dan Berlin. Muhammad Ujjaj al-Khatib, As-Sunnah qabla
at-Tadwin, (bairut: Dar al-Fikr, 1981), h. 355 – 357. Subhias-Shalih,
Ulum al-hadis Wa Musthalahuh, (Bairut: Dar ‘Ilm Li al-Malayin, 1988), h.
32.
Kitab –Kitab Hadist.
a. Abad ke 2 H.
1) Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2) Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (150 – 204 H / 767 – 820 M)
3) Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi’i
4) Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
5) Mushannaf Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (82 – 160 H / 701 – 776 M)
6) Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (107 – 190 H / 725 – 814M)
7) Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (94 – 175 / 713 – 792 M)
8) As Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (88 – 157 / 707 – 773 M)
9) As Sunan Al Humaidi (219 H / 834 M).
b. Abad ke 3 H
1) Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2) Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3) As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4) As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5) As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6) As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7) As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M).
c. Abad ke 4 H
1) Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2) Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3) Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H/873-952 M)
4) Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5) Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6) At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7) As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8) Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9) As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10) Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11) Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
d. Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan.
Bersumber dari kutubus sittah saja: Jami’ul Ushul oleh Ibnu
Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M), Tashiful Wushul oleh Al
Fairuz Zabadi (1084 M).
Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M).
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M).
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
1) Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M).
2) As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M).
3) Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M).
4) Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (1254 M).
5) Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M).
6) Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M).
7) Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M).
Kitab Al Hadits Akhlaq.
1) At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M).
2) Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M).
3) Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadits).
4) Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M).
5) Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M).
6) Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M).
7) Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M).
8) Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M).
Para pembaca,
Salah satu kritik yang disampaikan oleh beberapa pihak
terkait dengan otentisitas hadits adalah adanya praktik pemalsuan
hadits. Kesimpulan yang sering dibuat bahwa banyaknya pemalsuan hadits
menyebabkan susah mencari hadits yang otentik sehingga bisa disimpulkan
tidak ada hadits yang otentik. Dalam hal ini Ulil dengan mengutip
pendapat Abu Rayyah menuliskan:
Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang dianggap valid
dari 300 ribuan hadits. Apa yang bisa disimpulkan dari fakta ini? Kata
Abu Rayyah: dengan rasio 300.000:2600an, kita bisa mengatakan bahwa
hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid hanyalah
perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam Bukhari.
Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas sekali
persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya
persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis
yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah
“exception” (http://ulil.net/).
Tak bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanan sejarah memang
telah terjadi banyak praktik pemalsuan hadits yang terjadi antara lain
karena ulah pendusta. Bahkan praktik dusta itu telah terjadi sejak
Rasulullah Saw masih hidup. Hadits Rasulullah Saw yang mengecam para
pendusta atas nama Rasulullah menjadi salah satu bukti hal ini. Redaksi
haditsnya sebagai berikut:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah menyiapkan tempat duduknya di neraka”
Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir, artinya
diriwayatkan oleh banyak orang dari tiap-tiap generasinya. Hadits
tersebut telah diriwayatkan oleh tujuh puluh orang lebih sahabat dengan
redaksi yang sama (Nurddin Itr, 1988,; h. 405) .
Motif pemalsuan hadis oleh penguasa :
1. Syi’ah menolak kekhalifahan Umayyah Abbasiyah ataupun tidak ikut membai’atnya
2.Upaya penyingkiran kekhalifahan yang sah yakni “ Imam Ali dan ahli bait Rasul SAW”
3.Bani Umayyah juga dan Bani Abbasiyah menggunakan segenap
daya untuk mensucikan Abubakar, Umar dan Usman serta menciptakan
keutamaan-keutamaan dan bukti sahnya kekhalifahan mereka yang dapat
menarik simpati umat, karena mereka faham bahwa sahnya pemerintahan
mereka tidak lepas dari sahnya pemerintahan ABUBAKAR, UMAR dan USMAN.
Ulama-ulama yang dekat dengan penguasa Bani Umayyah selalu berupaya
merubah SUNNAH NABi yang sebenarnya dengan mendukung bid’ah-bid’ah
sebelumnya yang dirintis oleh Abubakar, Umar dan Usman.
Akibatnya ? hadis sunni terdapat diantaranya PERTENTANGAN.
Padahal tidak masuk akal bahwa Nabi SAW akan mengucapkan sabda sabda
yang saling berlawanan.
Apakah Bukhari sudah terbebas dari kesalahan ? Bukhari
mengumpulkan 600 ribu hadis, tetapi setelah mengadakan seleksi maka yang
dianggapnya hadis orisinil hanya 6000 an (dengan pengulangan) yaitu
hanya 1%. Wow maraknya hadis palsu !
4. Mereka memilih nama AHLU SUNNAH WAL JAMAAH untuk
golongannya sendiri sementara untuk golongan lain mereka namakan sebagai
RAFiDHAH ZiNDiQ hanya karena menolak kekhalifahannya, pengikut-pengikut
Ali (Syi’ah Ali) dicap sebagai ahli bid’ah sementara pengikut Mu’awiyah
sebagai AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH. Jadilah pengikut Imam Ali sebagai
orang-orang zindik yang halal darah dan kehormatannya, Antara Musuh-musuh Allah dan Ahlulbait, siapa sebagai AHLUSUNNAH?
Harus diakui Mu’awiyah berhasil mencapai keberhasilan yang
luar biasa dalam menyesatkan umat hingga mereka meyakini bahwa
golongannya adalah “AHLUSUNNAH” sementara pengikut pengikut Ali adalah
golongan sesat yang telah keluar dari Islam.
5.Syaikh Abul A’la Maududi menyatakan bahwa : “Tidak seorangpun bisa mendakwakan bahwa seluruh hadis Bukhari adalah shahih”.
Pihak sunni tidak banyak memperhatikan faktor faktor
politik yang mendorong terjadinya pemalsuan hadis. Akibatnya mereka
tidak merasa ragu sedikitpun terhadap beberapa hadis, meskipun isinya
jelas memberikan dukungan politik terhadap Daulat Al Muawiyah dan Daulat
Abasiyah. Pihak Sunni tidak mampu membedakan mana hadis yang orisinil
dengan hadis yang batil .
Pihak sunni tidak banyak melakukan kajian mendalam terhadap
kondisi sosial yang melingkupi para periwayat atau keadaan pribadinya
ataupun hal-hal yang mendorongnya melakukan pemalsuan hadis. Seandainya
pihak sunni banyak melakukan studi kritik matan dan tidak semata terpaku
pada kritik sanad maka pasti Sunni akan menemukan banyak hadis yang
sebenarnya palsu.
Sunni tidak melakukan studi komprehensif terhadap situasi
sosial politik masa itu. Hadis hadis sunni yang saling bertolak belakang
membuktikan adanya pemalsuan terorganisir dengan menisbatkan kepada
Nabi SAW apa apa yang sebenarnya tidak layak dan tidak sesuai dengan
situasi dan kondisi saat itu atau realitas sejarah yang terkadang
bertolak belakang.
Sunni merupakan kelompok oposisi penentang ahlulbait
semenjak pertemuan Bani Tsaqifah yang berupaya menyingkirkan Ahlulbait
dari kursi pemerintahan (kekhalifahan) serta mengisolasi mereka dari
pentas kehidupan saat itu. Dengan kata lain kemunculan kelompok Sunni
merupakan reaksi terhadap syi’ah yang memihak dan membela kepentingan
ahlulbait.
Pendukung-pendukung Ali AS adalah orang orang ANSHAR dan
MUHAJiRiN yang telah Allah SWT sebutkan dalam Al Quran serta Allah
utamakan mereka atas sahabat sahabat lainnya. Mereka bersedia
mengorbankan darahnya demi untuk membela kebenaran yang menyertai Ali.
Sedangkan pendukung Mu’awiyah kebanyakan dari orang orang munafik dan
musuh musuh Rasul SAW.
Syi’ah atau Sunni YANG SESAT ?
Syi’ah mengikuti sunnah Nabi SAW yang diwariskan melalui
para imam ahlulbait SAW, sedangkan Sunni meninggalkan fikih ahlulbait
lalu memilih mengikuti mazhab yang tidak pernah Allah SWT syari’atkan
seperti Asy’ari dan Syafi’i yang selalu penuh dengan kontradiksi.
Walaupun ahlulbait sebagai keturunan Nabi SAW lebih paham
tentang perilaku Nabi SAW dan tidak ada seorang pun yang dapat melebihi
mereka dalam ilmu dan amal karena selama lebih dari tiga abad mereka
saling waris mewarisi ilmu dan amal melalui para imam 12, namun pihak
sunni tetap saja beribadah menurut mazhab empat yang baru muncul pada
abad ke II H yang selalu penuh dengan kontradiksi kontradiksi
didalamnya disamping selalu mengembangkan sikap permusuhan dan
peperangan pada setiap orang yang mengikuti ahli bait Nabi SAW.
Kami (syi’ah) tidak pernah memaksa pihak Sunni untuk
merubah pandangannya, mereka bebas untuk merubah pandangannya, mereka
bebas untuk memilih keyakinannya sebab mereka sendiri nanti yang akan
mempertanggung jawabkan semuanya dihadapan Allah SWT.
Jumlah hadis yang disandarkan pada Nabi SAW pada masa
thaghut Umayyah dan thaghut Abbasiyah bertambah banyak, sehingga
keadaannya bertambah sulit membedakan mana hadis yang orisginil dan mana
hadis yang dibuat-buat. Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari mengumpulkan
600 ribu hadis, tetapi setelah mengadakan seleksi maka yang dianggapnya
hadis orisinil hanya 6000 an (dengan pengulangan) yaitu hanya 1%. Wow
maraknya hadis palsu !!!
Setiap hadis yang dihimpun BUKHARI tidak semuanya bersifat
AL MUTAWATiRAT. Banyak pula diantaranya yang bersifat Al AHAAD yakni
cuma diterima BUKHARi dari satu orang saja, dan pihak yang menyampaikan
hadis itu kepada Bukhari menyebut nama tokoh-tokoh utama sebagai jalur
(sanad) hadis tersebut dan berakhir pada sahabat Nabi SAW.
Imam Bukhari yang wafat pada tahun 257 H (870 M) tidak
pernah berjumpa dengan tokoh tokoh utama tersebut karena satu
persatunya sudah meninggal dunia menjelang masa Imam Bukhari. Sehingga
perlu peninjauan dan penilaian kembali atas sesuatu hadis yang
dinyatakan shahih oleh BUKHARi, apakah Bukhari sudah terbebas dar
kesalahan ?
Isi satu persatu hadis sunni terdapat diantaranya
PERTENTANGAN. Padahal tidak masuk akal bahwa Nabi SAW akan mengucapkan
sabda-sabda yang saling berlawanan. Kenapa ada hadis hadis sunni yang
keorisinilan nya tidak disepakati syi’ah ?
Para peneliti hadis pasti akan menemukan banyak hadis hadis
yang disandarkan pada Nabi tetapi pada hakekatnya tidak lain adalah
bid’ah yang dibuat oleh sebagian sahabat setelah meninggalnya Rasul
disertai upaya pemaksaan pada umat untuk melaksanakannya sehingga ulama
sunni kemudian meyakini bahwa itu semua dilakukan oleh Nabi SAW.
Tidak heran kalau kemudian hadis hadis bid’ah tersebut
bertentangan dengan AL QURAN, apakah Sunnah PALSU dapat menghapus Al
Quran ?
Terlebih lagi Abubakar dan Umar secara terang terangan
membakar semua catatan hadis yang ada, akibatnya malapetakalah yang
terjadi kini.
Ketika perbedaan perbedaan itu terjadi dalam empat mazhab
fikih sunni maka mereka malah diam saja dan menganggapnya sebagai rahmat
karena BEDA PADA FURU’ dan bukan pada USHUL. Sebaliknya pihak Sunni
mencaci maki syi’ah jika mereka berbeda pendapat dalam suatu
permasalahan sehingga perbedaan menjadi laknat untuk syi’ah.
Lucunya mereka pun hanya mengakui pendapat pendapat Imam
mereka saja, walaupun Imam Imam tersebut tidak akan pernah menyamai Imam
imam yang suci dalam ilmu, amal dan keutamaan. Tidak heran kalau pihak
Sunni kemudian juga menolak hadis hadis yang diriwayatkan para imam
Ahlulbait walaupun hadis hadis tersebut shahih… Sekarang renungkanlah
pembaca, sikap fanatik buta dari pihak Sunni yang menuduh para perawi
hadis dari Imam Imam Ahlulbait sebagai orang orang zindiq.
Contoh :
Nikah mut’ah yang secara jelas telah dihalalkan oleh Al
Quran dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pihak Sunni demi membela ijtihad
UMAR yang mengharamkannya menyusun berbagai hadis palsu yang
disandarkan pada Nabi SAW dan Imam Ali. Padahal kitab kitab hadis sunni
mencatat bahwa PARA SAHABAT mengerjakannya pada zaman Rasul SAW,
Abubakar dan Umar hingga Umar mengharamkannya.
Hadis hadis sunni yang menghalalkan dan mengharamkan Nikah
MUT’AH sama sama kuat dan sama sama shahih dari segi kekuatan sanad dan
matannya, sehingga tidak bisa menjatuhkan satu sama lain. Riwayat
riwayat yang di utarakan sunni bertentangan satu sama lain sehingga
tidak dapat disatukan. Kenapa hadis hadis yang mengandung kontradiksi
ini terjadi ?
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Muhammad bin Al
Hanafiyah : Sesungguhnya Ali berkata pada Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai pada
hari khaibar”.
Hadis hadis sunni yang menerangkan penghapusan NiKAH MUT’AH
(apalagi yang mencatut nama Imam Ali seperti diatas ) tidak dapat
dijadikan HUJJAH karena hadis hadisnya diriwayatkan oleh perorangan
(ahad baik dari kalangan sahabat atau tabi’in) seperti ; Salamah bin
Akwa’, Sabrah bin Ma’bad, Abu Hurairah dan lain-lain yang jumlahnya
tidak lebih dari 6 orang
Bagaimana pun juga seluruh ulama sepakat bahwa riwayat
perorangan tidak dapat dijadikan sebagai penghapus hukum atau hadis yang
mutawatir.
Selain itu kita harus meneliti sanadnya, sebab dalam
riwayat itu ada perawi yang pelupa yang selalu mengubah atau mengganti
apa yang ia riwayatkan..
Jika hadis diatas shahih maka tidak mungkin Umar tidak
mengetahuinya, buktinya adalah Umar mengatakan bahwa nikah itu pernah
ada pada zaman Rasul dan sekarang saya mengharamkannya dan akan mendera
orang yang melakukannya
Fakta sejarah membuktikan bahwa ketika menjadi khalifah
pasca Usman, Imam Ali AS pernah melakukan nikah mut’ah dengan seorang
wanita dari Bani Nasyhal di Kota Kufah.
Firman Allah SWT : “Maka hendaklah orang orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih” (Qs. An Nuur ayat 63).
Firman Allah SWT : “Dan tidaklah patut bagi laki laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan
Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nya”
(Qs. Al Ahzab ayat 36).
Firman Allah SWT : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatannya itu
dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu.
Dan harus diakui Mu’awiyah berhasil mencapai keberhasilan
yang luar biasa dalam menyesatkan umat hingga mereka meyakini bahwa
golongannya adalah “AHLUSUNNAH” sementara pengikut pengikut Ali adalah
golongan sesat yang telah keluar dari Islam.
Kepentingan politik saat itu tidak memihak ahlulbait Rasul
SAW. Mulai dari kekhalifahan Abubakar hingga puncaknya pada masa
Mu’awiyah dan Bani Umayyah. Tidak heran kalau saat itu sesuatu yang
salah menjadi benar dan sebaliknya yang benar menjadi salah. Jadilah
pengikut Imam Ali sebagai orang orang zindik yang halal darah dan
kehormatannya, sementara musuh musuh Allah dan ahlulbait sebagai
AHLUSUNNAH.
Kalau terhadap Imam Ali saja mereka ( Mu’awiyah cs ) berani
mengutuk dan mencaci maki, maka dapat kita bayangkan bagaimana
perlakuan yang akan diterima oleh pengikut pengikut Imam Ali yang
kebanyakan menemui kematian.
Sosok Mu’awiyah adalah sosok politikus ulung yang licik,
kejam dan munafik yang tidak jarang menangis tersedu sedu untuk menarik
simpati umat serta menumbuhkan citra bahwa dirinya adalah seorang
khalifah yang zuhud dan baik hati.
Abu Zahrah menyatakan : “Pemerintah Bani Umayyah banyak
menyembunyikan fatwa fatwa hukum dari Ali. Tidak mungkin mereka yang
mengutuk dan mencaci Ali mau meriwayatkan fatwa fatwa hukumnya terutama
yang berkaitan dengan dasar dasar hukum Islam” (Sumber : Abu Zahrah, Al Imam Al Shadiq, halaman 161).
Mazhab Sunni meyakini bahwa PERKATAAN DAN PERBUATAN SAHABAT
merupakan sunnah yang dapat diamalkan dan tidak mungkin bertentangan
dengan Sunnah Nabi SAW walaupun adakalanya perbuatan mereka tersebut
tidak lain hanyalah hasil ijtihad yang disandarkan pada Rasul SAW.
Tampaknya pihak sunni tidak mencocokkan hadis hadis para
Sahabat dengan AL QURAN, mereka khawatir terbongkarnya pemalsuan
pemalsuan hadis yang selama ini mereka lakukan. Mereka sadar bahwa kalau
hadis hadis tersebut jika dicocokkan dengan Al Quran maka banyak yang
akan bertentangan, sementara yang sesuai dengan AL QURAN tafsirkan
berdasarkan pemahaman mereka sendiri, misal : 12 khalifah Quraisy yang
Nabi SAW maksudkan adalah para imam ahlulbait yang suci setelah Nabi SAW
wafat, bukan orang orang zalim seperti Mu’awiyah
.
Imam Ali AS merupakan satu satunya sahabat yang ketika
menjadi khalifah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk
mengembalikan manusia pada sunnah Nabi SAW. Sayangnya usaha tersebut
menemui kegagalan karena MUSUH selalu mengobarkan peperangan untuk
mencegah usaha tersebut mulai dari PERANG JAMAL, ShiFFiN, NAHRAWAN
hingga pembunuhan terhadap Imam Ali AS.
Tidak heran kalau para pengikut Ali yang berada dalam
kebenaran menjadi pihak yang salah dan sesat, sementara pihak yang sesat
malah menjadi pihak yang dihormati dan dimuliakan. Jadilah pengikut
pengikut Ali (Syi’ah Ali) sebagai ahli bid’ah sementara pengikut
Mu’awiyah sebagai
AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH.
Pemerintahan Bani Umayyah banyak menyembunyikan fatwa fatwa
hukum dari Ali AS. Tidak mungkin mereka yang mengutuk dan mencaci Ali
mau meriwayatkan fatwa fatwa hukumnya terutama yang berkaitan dengan
dasar dasar hukum Islam.
Setelah terbunuhnya Imam Ali maka Mu’awiyah kemudian
memegang tampuk pemerintahan. Dan satu satunya tekad yang ia canangkan
sejak dulu adalah memadamkan cahaya agama Islam orisinil dengan segala
cara dan upaya serta menghapus SUNNAH NABi yang telah dihidupkan kembali
oleh Imam Ali AS dan mengembalikan manusia kepada bid’ah bid’ah
sebelumnya yang dirintis oleh Abubakar, Umar dan Usman.
Dan jika kita meneliti buku-buku sejarah secara seksama,
kita akan menemukan bahwa PENGUASA Bani Umayyah juga Abbasiyah
menggunakan segenap daya untuk mensucikan Abubakar, Umar dan Usman serta
menciptakan keutamaan keutamaan dan bukti sahnya kekhalifahan mereka
yang dapat menarik simpati umat karena mereka faham bahwa sahnya
pemerintahan mereka tidak lepas dari sahnya pemerintahan ABUBAKAR, UMAR
dan USMAN.
Dari sinilah kemudian muncul upaya upaya untuk mensucikan
khalifah sebelumnya dengan mempropagandakan bahwa semuanya adalah orang
orang suci dan adil yang tidak boleh dikritik sedikitpun. Itulah mengapa
mereka memilih nama AHLU SUNNAH WAL JAMAAH untuk golongan nya sendiri
sementara untuk golongan lain mereka namakan sebagai RAFiDHAH ZiNDiQ
hanya karena menolak kekhalifahannya ataupun tidak ikut membai’atnya
serta malah mendukung Ali dan ahli bait sebagai sebagai khalifah yang
sah.
Ulama ulama yang dekat dengan penguasa Bani Umayyah selalu
berupaya merubah SUNNAH NABi yang sebenarnya dengan mendukung upaya
penyingkiran terhadap Imam Ali dan ahli bait Rasul SAW.
Kenapa jutaan hadis sunni PALSU ?
Ada apa ini ? Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000
hadits (1 juta hadits), anehnya Cuma 20.000 hadits saja yang ditulis,
selainnya palsu ! Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000
yang dia anggap orisinil pasca seleksi.. Nah dari 7000 itulah syi’ah
menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis
yang dibuat buat antek antek raja zalim !
Sejarah dan hadis tentang Nabi Muhammad saw yang sampai
kepada umat Islam Sunni sekarang ada yang sudah tidak shahih karena
ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa.
Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang
yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa
serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi
saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah
kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Muhammad saw.
Metode Studi Kritis.
Dalam upaya menguji kebenaran sejarah Nabi Muhammad saw, saya menggunakan tiga tahap (yang saya sebut metode studi kritis ).
Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad
saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Karena itu, saya
menolak hadits atau fakta sejarah yang menggambarkan Nabi Muhammad saw
pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi.
Begitu pun tentang peristiwa mendapatkan wahyu yang sampai
membuat Muhammad saw ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada
istrinya (Khadijah) atau bertelanjang dada, bermesraan di depan umum,
hendak bunuh diri dan lainnya, ditolak kebenarannya karena telah
merendahkan derajat Nabi Muhammad saw. Sangat tidak mungkin manusia yang
disebut berakhlak al-quran melakuk perilaku tidak terpuji dan seperti
orang bodoh.
Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad saw dengan pesan
Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran
maka bisa diterima. Apabila tidak, wajib ditolak.
Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang
mengabarkan) dan matan hadits (isi/materi) dengan tambahan analisa
aliran politik dari periwayat hadits.
Tahapan studi kritis yang mantap.
Sebagian materi hadits mempunyai persamaan di kalangan
Sunni dan Syi’ah Imamiyyah; Seandainya syi’ah sesat tentunya, tidak
ada satupun hadis yang secara bersamaan terdapat dalam kitab
kelompok-kelompok Islam tersebut. Namun, kenyataan justru menunjukkan;
sebagian materi hadis yang memiliki persamaan dan keterkaitan.
Jangan belajar syiah dari ulama salafy.
Sebagusnya meneliti syiah kalau memang mau ya dari orang syiah sendiri
Kenapa syi’ah imamiyah hanya mau menerima sebagian hadis
hadis sunni ? Tidak ada jaminan hadis hadis sunni tidak mengalami
perubahan dan pemalsuan.
Jawab :
1. Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni
dan Syiah ? terletak pada dasar hadits yang digunakan kedua aliran
besar itu. Perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits. Jika hadits
Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairoh, maka
hadis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW).
Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan
dengan contoh berikut. Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang
dikumpulkan Bukhari, ia hanya memilih 2.761 (dua ribu tujuh ratus enam
puluh satu) hadis. Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya
memiiih 4.000 (empat ribu). Abu Dawud, dari 500.000 (lima ratus ribu)
hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis. Ahmad bin
Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga
puluh ribu) hadis.
Bagaimana kita bisa memahami Al Quran dan ISlam jika hadis
hadis yang dirawi dalam kitab hadis Aswaja sangat sedikit yang bersumber
dari itrah ahlul bait dan para imam keturunan Nabi SAW ???? hadis sunni
disampaikan dengan jalur antara mata rantai satu dengan berikutnya dan
seterusnya jarang yang ada ikatan keluarga (itrah) tapi diduga hanya
saling bertemu …
Yang meriwayatkan hadis syi’ah imamiyah bisa keturunan Nabi
SAW yaitu ahlul bait, bisa pengikut atau pendukung ahlul bait dan bisa
murid murid ahlul bait…. justru hadis syi’ah lebih terjaga karena
disampaikan dari jalur { Nabi SAW- Ali- Hasan- Husain- Zainal- Baqir-
Ja’far } mereka adalah keluarga jadi tidak mungkin menipu !.
Jika sanad itu bersambung kepada Nabi saw tanpa perantaraan
seorang imam, maka hadits semacam ini tidak mudah diterima syiah. Ini
disebabkan oleh Keyakinan syiah Imamiyah bahwa pengetahuan akan keshahihan sebuah hadits sepenuhnya hanya diketahui melalui jalur para imam.
2. Hadis sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan
padahal masih dalam satu kitab hadis yang sama. Dalam metode sanad
sunni, perawi hanya mengungkapkan apa yang ia dengar/lihat sehingga
like-dislike.
Bagaimanapun, penilaian seseorang sudah tentu mengandung
unsur-unsur subyektif. Dan ingatan manusia, seberapa pun sempurnanya,
tentu mengandung kemungkinan meleset.
Letakkan sebuah kursi di tengah ruangan. Panggil 10 orang
duduk mengitari kursi itu. Suruh mereka menulis tentang kursi satu itu.
Maka akan muncul 10 cerita yang berbeda. Tidak seorangpun boleh
mengatakan ceritanya yang paling benar dan yang lain salah. Orang lain
yang akan memilih, cerita mana yang paling masuk akal. Kita tidak perlu
saling memaki karena semua orang punya hak untuk berpendapat dan untuk
memilih.
Hadits dibukukan jauh setelah sumber aslinya wafat. jelas
saja menyisakan ruang untuk berbagai kemungkinan dan kepentingan.
disinilah kemudian terletak sumber kontroversi yang juga dipicu
penggolongan derajat hadits dan munculnya kelompok-kelompok dengan
pendekatan berbeda terhadap kekyatan hukum sebuah hadits.
Sunnah adalah apapun yang berupa perkataan, perbuatan dan sikap yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.
Siapa itu para pencatat? Manusia yang tidak maksum. Nah ada
kemungkinan usil yang lain. Bukankah mereka para pencatat adalah
orang-orang yang tidak selalu benar dan mereka punya potensi melakukan
kesalahan. jadi bisa saja para pencatat itu melakukan kekeliruan. Ini
sebuah kemungkinan yang masih harus dibuktikan tetapi tidak bisa
sepenuhnya ditolak
minimal syi’ah beragama dengan Iman dan Akal yang Sehat.
Justru menurut saya metode sanad itu lebih memiliki banyak
kelemahan. bukannya untuk menentukan jujur atau tidak seseorang akan
sangat sulit, subyektifitas pasti bermain di sini. misal, perawi A
dianggap jujur sama Z, tapi belum tentu dia dianggap jujur ama X. Nah
kalo gitu, bukannya yang muncul malah ilmu mencari-cari kesalahan orang
lain, asal menemukan sedikit kecacatan, maka dianggap riwayatya lemah.
Saya kira menilai dari sisi matan, dan membandingkannya degan
nilai-nilai universal dari Al-quran akan lebih bagus untuk menilai
sebuah hadits. At least lebih obyektif.
Sebab, kalau kita telaah proses verifikasi sanad, akan
kelihatan sekali bahwa fondasinya cenderung subyektif, hal yang sangat
wajar jika kita rajin menelaah hadist-hadist sunni bahkan yang muktabar
sekalipun, dimana akan banyak kontradiksi di dalam masalah
penghukumannnya (ta’dil wa jarh ). Sebab, dasar pokok dari metode sanad
adalah penilaian seseorang atas “kualitas” orang lain yang menjadi rawi.
contoh saja: salah seorang perawi sahih Buhori, Haritz bin
Uthman jelas dia adalah pendukung bani Umayyah, ia melaknat Imam Ali 70x
di pagi hari dan 70x di sorenya secara rutin…namun apa juga yang
dikatakan Ahmad bin Hambal:”haritz bin uthman adalah Tsiqot!”.
Kemudian dalam soheh Muslim pun diceritakan bahwa Muawiyah
La. memerintahkan Sa’ad bin Abi waqos untuk menghina dan mencerca Imam
Ali a.s.
Hadis Aswaja sunni kacau balau karena menempatkan para
perawi atas dasar memihak atau tidaknya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam
pertikaiannya dengan Mu’awiyah.. Untuk itu, ulama aswaja sunni menyebut
seseorang itu Syi’ah manakala ia berpihak kepada ‘Ali…Yang pro Ali
mayoritas hadis nya ditolak sedangkan yang MENCELA ALi hadisnya
dianggap tsiqat/shahih… standar ganda.
Anda berhak bertanya akan keseriusan para ulama Sunni dalam
menyikapi para pembenci dan pencaci maki sahabat, yang dalam rancangan
konsep mereka siapa pun yang membenci dan apalagi juga dilengkapi dengan
mencaci maki sahabat Nabi saw. mereka kecam sebagai zindiq,
fasik, pembohong yang tidak halal didengar hadisnya! Lalu bagaimana
dengan perawi yang membenci dan mencai-maki Imam Ali as.? Apakah mereka
akan berkonsekuen dalam mengetrapkannya? Atau mereka akan melakukan
praktik “Tebang Pilih”!.
Jika seoraang perawi mencaci maki Mu’awiyah, ‘Amr ibn al
‘Âsh, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affân, Umar ibn al Khathtab, atau Abu
Bakar misalnya, hukuman itu ditegakkan!.
Jika yang dicaci dan dibenci saudara Rasulullah saw. dan
menantu tercintanya; Ali ibn Abi Thalib as. maka seakan tidak terjadi
apa-apa! Seakan yang sedang dicaci-maki hanya seorang Muslim biasa atau
bisa jadi lebih rendah dari itu.
Pujian dan sanjungan tetap dilayangkan…
kepercayaan terhadapnya tetap terpelihara… keimanannya
tetap utuh… bahkan jangan-jangan bertambah karena mendapat pahala besar
di sisi Allah kerenanya, sebab semua itu dilakukan di bawah bendera
ijtihad dan keteguhan dalam berpegang dengan as Sunnah!!.
Mengapa kegarangan sikap dan ketegasan vonis itu hanya
mereka tampakkan dan jatuhkan ketika yang dicaci-maki dan dibenci adalah
sahabat selain Imam Ali as., betapapun ia seorang fasik berdasarkan nash Al Qur’an, seperti al Walîd ibn ‘Uqbah! Sementara jika Ali as. atau sahabat dekatnya seperti Ammar ibn Yasir, Salman al Farisi, Abu Darr ra. dkk. yang dicaci-maki dan dibenci serta dilecehkan semua seakan tuli dan bisu.
Cuma asumsi sayakah ini? Ooh tidak ini bisa dibuktikan.
Pernahkah anda membaca riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW menikahi
Maimunah RA disaat ihram. Padahal ada riwayat lain mengatakan bahwa Nabi
SAW melarang menikah di waktu ihram. Nabi SAW melanggar perkataan
Beliau sendiri, enggak mungkin bangetkan dan puncaknya ada riwayat lain
bahwa Pernikahan Nabi SAW dengan Maimunah RA tidak terjadi waktu ihram.
Semua riwayat tersebut Shahih. (sesuai dengan Metode penyaringan). Tidak mungkin dua hal yang kontradiktif bisa benar.
Keanekaragaman Inkonsistensi.
Penilaian ulama yang berbeda soal hadis akan membuat
perbedaan pula terhadap apa itu yang namanya Sunnah. Ulama A berkata
hadis ini shahih sehingga dengan dasar ini maka hadis itu adalah Sunnah
tetapi Ulama B berkata hadis tersebut dhaif atau bisa saja maudhu’
sehingga dengan dasar ini hadis itu tidak layak disebut Sunnah. Pernah
dengar hadis2 yang kontradiktif misalnya nih hadis yang melarang
menangisi mayat dan hadis yang membolehkan menangisi mayat. Atau
hadis-hadis musykil yang begitu anehnya.
- Nabi Musa telanjang mengejar pakaiannya yang dibawa lari sebongkah batu
- Nabi Musa menampar malaikat maut sehingga bola mata malaikat itu keluar dan akhirnya Allah SWT mengembalikan bola matanya
- Hadis yang menjelaskan Nabi SAW berhubungan dengan 9 istrinya dalam satu malam
- Hadis yang menjelaskan Nabi SAW menikahi anak berumur 9 tahun
Dan masih ada yang lain, semuanya itu hadis-hadis yang
Shahih. Belum lagi Sunnah yang diyakini dalam mahzab-mahzab tertentu.
Bagi penganut mahzab Syafii, Qunut itu sunnah tetapi bagi mahzab Hanbali
dan Salafy Qunnut itu bid’ah yang berarti bukan Sunnah. Jadi apa itu
berarti penganut Syafii sudah merekayasa Sunnah?(dengan asumsi mahzab hanbali dan Salafy benar). Dalam
mahzab Syiah berpegang pada Ahlul Bait dan menjadikan mereka Syariat
adalah Sunnah tetapi bagi mahzab Sunni tidak. Yang anehnya Rekayasa
Sunnah ini bahkan sudah terjadi di kalangan sahabat sendiri dimana ada sebagian sahabat yang melarang apa yang sudah ditetapkan dan dibolehkan oleh Nabi SAW salah satunya yaitu Haji tamattu’ (dan bagi Syiah termasuk Nikah Mut’ah).
3. Para imam mazhab sunni dan Bukhari serta perawi lain
hadir jauh setelah kehadiran Rasulullah saw sehingga cara menilai
tsiqat tidaknya HANYA DUGA DUGA !.
KALAU MODEL HADiS ASWAJA iNi DALAM METODE Syi’AH DiANGGAP
DHAiF ATAU MUWATSTSAQ SAJA KARENA MATA RANTAi SANADNYA HANYA DUGA DUGA !.
Coba saja hitung hadis yang diriwayatkan oleh Ali misalnya
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Bukhori,
pasti lebih banyak Abu Hurairah. Tidak kurang dari 446 hadis yang
berasal dari Abu Hurairah yang terdapat dalam Sahih Bukhori. Sementara
hadis Ali cuma 50 yang dianggap sahih atau 1.12 % dari jumlah hadis Abu
Hurairah. Padahal Aisyah menuduh Abu Hurairah sebagai pembohong dan Umar
mengancamnya dengan mencambuk kalau masih meriwayatkan hadis-hadist.
Apanya yang dirujuk ? Wong Sunni lebih banyak mengambil hadis dari Abu
Hurairah dan orang-orang Khawarij atau dari Muqatil bin Sulaiman
al-Bakhi? Kalo ngomong jangan asbun.
setiap pilihan ada resikonya, cara Bukhari bisa dipandang
bermasalah ketika diketahui banyak hadist yang menurut orang tertentu
tidak layak disandarkan kepada Nabi tetapi dishahihkan Bukhari, kesannya
memaksa orang awam untuk percaya “la kan shahih”. Belum lagi beberapa
orang yang mengakui perawi-perawi Bukhari yang bermasalah, jadi masalah
selalu ada.
Sebut saja misalnya sang Perawi A, ia dinyatakan tsiqat
oleh karena itu hadistnya diterima sedangkan Perawi B tertuduh pendusta
sehingga hadistnya ditolak. Nah bagaimana bisa anda memastikan kalau si A
benar-benar bisa dipercaya dan si B benar-benar tertuduh pendusta.
Verifikasi yang pasti adalah dengan menilai sendiri watak
kedua perawi itu alias ketemu langsung dan untuk itu, anda harus
melakukan lompatan ruang dan waktu. Gak mungkin bisa kayaknya, jadi
standar mesti diturunkan dengan Metode yang memungkinkan yaitu percaya
dengan para Sesepuh sebelumnya yang sempat mengenal perawi tersebut atau dari ulama yang pernah belajar sama sesepuh itu atau ulama yang pernah belajar sama ulama yang belajar dari sesepuh.
Singkatnya Taklid gitu loh dan bisa dimaklumi kalau
orang-orang tertentu tidak berkenan dengan metode ini dan menilainya
tidak ilmiah
- Imam Syafii dinyatakan dhaif oleh Ibnu Main dan tsiqah oleh banyak ulama lain (bisa bayangkan kalau Imam Syafii dhaif, waduh bisa hancur itu mahzab Syafii)
- Imam Tirmidzi dinyatakan majhul oleh Ibnu Hazm tetapi sangat terpercaya oleh ulama lain(apalagi ini nih masa’ Sunan Tirmidzi kitab majhul/tidak dikenal)
- Ibnu Ishaq dinyatakan dajjal oleh Imam Malik tetapi beliau juga dipercaya oleh Imam Syafii dan Ali bin Madini serta yang lainnya. Dan sampai sekarang kitab Sirah Ibnu ishaq tetap menjadi referensi umat islam.
- Katsir Al Muzanni adalah perawi yang sangat dhaif dan ini dinyatakan oleh banyak ulama sampai-sampai Imam Syafii menyebutnya “Tiang Kebohongan”(ini celaan paling jelek dalam Jarh wat Ta’dil). Anehnya Imam Tirmidzi berhujjah dengan hadis Katsir.
- Imam Ahmad ibn Hanbal menggugurkan keadilan Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya karena ia mendengarnya menyebut-nyebut kejelakan Mu’awiyah ibn Abu Sufyân. Tidak cukup itu, ia (Ahmad) memaksa Yahya ibn Ma’in agar menggugurkan keadilannya dan menghentikan meriwayatkan hadis darinya.
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis
sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan.
Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah
tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup belum ada
Hadist-hadist sunni yang terkumpul apalagi dibukukan. Pada
masa Khulafaur Rasyidin yaitu setelah Rasullullah wafat, para sahabat
mulai menyampaikan pesan-pesan Hadist Nabi SAW. Namun Hadist-hadist
sunni tersebut masih belum terhimpun. Hadist-hadist tersebut berada
pada hafalan atau ingatan para Sahabat.
Saudaraku, ada dua cara meriwayatkan Hadist pada masa Sahabat.
1. Riwayat sesuai dengan lafadz asli sebagaimana dari
Rasullulah SAW. (riwayat secara lafadz). Cara ini ada yang di sebabkan
para Sahabat mendengar langsung apa yang diucapkan Nabi SAW atau yang
diperbuatnya. Ada juga yang sudah melalui perantara Sahabat Nabi,
Karena tidak mendengar atau menyaksikan langsung .Jika dibolehkan
perawi pertama menukar lafadz yang didengarnya dengan lafadznya sendiri,
maka perawi yang kedua tentu boleh melakukan hal yang sama, dan
seterusnya perawi-perawi selanjutnya juga boleh melakukan periwayatan bi
al-Makna. Apabila hal ini dibolehkan maka kemungkinan hilangnya lafal
asli dari nabi menjadi lebih besar, atau setidak-tidaknya akan terjadi
kesenjangan dan perbedaan yang mencolok antara ucapan yang diriwayatkan
terakhir dengan apa yang dikatakan Nabi saw.
2. Riwayat Hadist secara maknawi. Maksudnya,
isi Hadist sesuai dengan apa yang diucapkan atau dilakukan Nabi.
Sedangkan lafadz atau bahasanya tidak sama. Hal ini terjadi karena daya
ingat para Sahabat tidak sama. Selain itu jarak waktu saat meriwayatkan
Hadist dengan apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi sudah cukup lama.
Dengan demikian bisa dimaklumi kalau terdapat beragam Hadist yang
maksudnya sama tetapi lafadz dan bahasanya berbeda. Sebagian besar
sahabat Nabi tidak pandai tulis baca, mereka hanya mengandalkan ingatan,
sedang hadis baru ditulis secara resmi jauh setelah Rasul Allah wafat.
Dalam kondisi yang demikian sangat mungkin ada lafadz-lafadz hadis
mereka meriwayatkan tidak persis seperti yang diucapkan Nabi, karena
lamanya hadis tersebut tersimpan dalam ingatan mereka. Karena itu mereka
menyampaikan kandungan maknanya dengan lafal dari mereka sendiri.
Pihak Sunni menerima hadis hadis yang diriwayatkan oleh
Khawarij dan golongan Nawasib . Mereka tidak segan segan untuk
menshahihkan hadis hadis palsu yang disusun secara sengaja untuk
memuliakan dan menguatamakan Abubakar, Umar, Usman dan loayalisnya.
Padahal PERAWi TERSEBUT dikenal sebagai nawasib.
contoh : Ibnu Hajar menyatakan Abdullah bin Azdy sebagai “pembela sunnah Rasul”
Ibnu Hajar juga menyatakan Abdullah bin Aun Al Bisry sebagai “Ahli ibadah pembela sunnah dan penentang bid’ah”
Padahal faktanya mereka berdua membenci Imam Ali dan para pendukungnya.
Post a Comment
mohon gunakan email