Diantara sahabat wanita yang meyakini
kehalalan Nikah Mut’ah adalah Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha]
dan dia adalah Ibu dari Abdullah bin Zubair. Sebagian tabiin pernah
datang kepadanya menanyakan tentang Nikah Mut’ah maka ia menjawab “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut pembahasannya:
حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل و محمد بن صالح بن الوليد النرسي قالا : ثنا أبو حفص عمرو بن علي قال : ثنا أبو داود ثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن المتعة فقالت : فعلناها على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Shaalih bin Waliid An
Nursiy keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ab Hafsh ‘Amru
bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang
berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy
yang berkata “kami menemui Asma’ binti Abu
Bakar maka kami tanyakan kepadanya tentang Mut’ah maka ia berkata “kami
telah melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/103 no 277].
Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya
- Abdullah bin Ahmad bin Hanbal anak seorang imam [Ahmad bin Hanbal] tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Muhammad bin Shaalih bin Waliid tidak ditemukan biografinya
- ‘Amru bin ‘Aliy Al Fallaas Abu Hafsh seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/424 no 5081]
- Abu Dawud adalah Sulaiman bin Dawud Ath Thayaalisiy seorang yang tsiqat hafizh, keliru dalam hadis-hadis [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550]
- Syu’bah bin Hajjaaj seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdzib 1/266 no 2790]
- Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/530 no 6643]
‘Amru bin Aliy Al Fallaas dalam riwayatnya dari Abu Dawud Ath Thayalisiy memiliki mutaba’ah yaitu
- ‘Abdah bin ‘Abdullah Al Khuza’iy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dengan lafaz mut’ah. ‘Abdah bin ‘Abdullah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/369 no 4272]
- Yunus bin Habiib Al Ashbahaaniy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341 dan Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 1731, dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Yunus bin Habiib seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/237 no 1000]
- Mahmuud bin Ghailan Al Marwaziy sebagaimana disebutkan dalam Sunan Nasa’i 3/326 no 5540 dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Mahmuud bin Ghailan seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516]
Berikut riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang menyebutkan lafaz bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah,
حدثنا يونس قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن متعة النساء فقالت فعلناها على عهد النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Yuunus
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawuud yang berkata
telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang
berkata kami menemui Asmaa’ binti Abi
Bakar, maka kami menanyakan kepadanya tentang Nikah Mut’ah maka ia
berkata “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] [Musnad Abu Dawud Ath Thayaalisiy no 1731].
Kedudukan hadis tersebut shahih. Mengenai Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy,
Ahmad bin Hanbal menyatakan tidak ada masalah dengannya. Abu Hatim
berkata “syaikh”. Nasa’iy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya
dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib 10/123
no 251]
Abu Dawud Ath Thayaalisiy memang
dinyatakan bahwa ia pernah keliru dalam sebagian hadisnya tetapi ia pada
dasarnya seorang yang tsiqat hafizh dan disini termasuk riwayatnya dari
Syu’bah dimana Yahya bin Ma’in berkata bahwa Abu Dawud lebih alim dari
Ibnu Mahdiy dalam riwayat dari Syu’bah [Tarikh Ibnu Ma’in, riwayat Ad
Darimiy 1/64 no 107]. Hanya saja jika ternukil penyelisihan dalam arti
ia tafarrud dalam periwayatan dimana menyelisihi para perawi yang lebih
tsiqat atau tsabit dari dirinya maka hal ini bisa menjadi illat [cacat]
bagi lafaz yang tafarrud tersebut.
.
.
حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin
‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari
Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya
kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia
memberikan keringanan untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair
melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair
menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah
memberi keringanan tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan
kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang
gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] telah memberikan keringanan tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].
Hadis Muslim di atas juga disebutkan
dalam Musnad Ahmad 6/348 no 26991, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/77
no 202, Sunan Baihaqiy no 9153, Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dan Tarikh
Ibnu Asakir 5/69 semuanya dengan jalan sanad Rauh bin ‘Ubadah dari Syu’bah dari Muslim Al Qurriy.
Rauh bin ‘Ubadah
seorang yang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/211 no 1962]. Ternukil
juga sebagian ulama yang sedikit membicarakannya seperti Ibnu Mahdiy
yang membicarakannya karena kekeliruan dalam sanad hadis. Al Qawaririy
yang tidak mau menceritakan hadis dari Rauh. Diriwayatkan dari Abu Hatim
yang berkata “tidak dapat berhujjah dengannya”. Nasa’i berkata “tidak
kuat” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/409]. Tetapi hal ini tidaklah
menjatuhkan kedudukannya. Dalam hal ini kami menukil ulama yang
membicarakannya hanya untuk menunjukkan bahwa kedudukan Rauh bin ‘Ubadah
tidaklah berbeda dengan kedudukan Abu Dawud Ath Thayaalisiy. Keduanya
perawi yang sama-sama tsiqat dan ternukil sedikit kelemahan padanya.
Abu Dawud dalam hadis ini telah
berselisih dengan Rauh bin ‘Ubadah. Abu Dawud menegaskan dalam
riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah sedangkan Rauh bin ‘Ubadah menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji. Kemudian Muslim dalam Shahih-nya setelah mengutip hadis Rauh di atas ia menyebutkan hadis berikut:
وحدثناه ابن المثنى حدثنا عبدالرحمن ح وحدثناه ابن بشار حدثنا محمد ( يعني ابن جعفر ) جميعا عن شعبة بهذا الإسناد فأما عبدالرحمن ففي حديثه المتعة ولم يقل متعة الحج وأما ابن جعفر فقال قال شعبة قال مسلم لا أدري متعة الحج أو متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman. Dan
telah menceritakan kepada kami Muhammad yakni Ibnu Ja’far keduanya dari
Syu’bah dengan sanad ini. Adapun ‘Abdurrahman dalam hadisnya disebutkan Mut’ah tanpa mengatakan Mut’ah Haji dan adapun Ibnu Ja’far mengatakan Syu’bah berkata Muslim berkata “aku tidak tahu apakah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah” [Shahih Muslim 2/909 no 1238]
Muhammad bin Ja’far [Ghundaar]
adalah perawi yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit
riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari
Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri
berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy
berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit
dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Kedudukan riwayat Muhammad bin Ja’far
dari Syu’bah pada dasarnya lebih didahulukan dibanding riwayat Abu Dawud
Ath Thayaalisiy dan Rauh bin ‘Ubadah. Dan ternyata riwayat Muhammad bin
Ja’far menyebutkan bahwa Muslim Al Qurriy ragu apakah itu Mut’ah Haji
atau Nikah Mut’ah. Hal ini sebenarnya termasuk perkara musykil karena
bagaimana bisa Muslim Al Qurriy yang menemui Asma’ dan bertanya
kepadanya tentang Mut’ah menjadi ragu atau tidak tahu apakah Mut’ah
tersebut adalah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah.
Sebagian para pengingkar demi menolak anggapan Asma’ binti Abu Bakar melakukan nikah mut’ah,
maka mereka melemahkan riwayat Abu Dawud dari Syu’bah di atas dengan
alasan telah menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdiy,
Ghundaar dan Rauh bin ‘Ubadah yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah an
nisaa’ [nikah mut’ah].
Hujjah ini bathil dan mengandung
penyesatan halus karena dengan alasan yang sama riwayat Rauh bin ‘Ubadah
[yang menyebutkan Mut’ah Haji] bisa juga dilemahkan karena menyelisihi
para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdi, Ghundaar dan Abu Dawud Ath
Thayaalisiy yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah haji.
Cara berhujjah seperti ini keliru.
Riwayat Syu’bah hanya berselisih dengan riwayat Rauh bin ‘Ubadah. Adapun
riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar yang menyebutkan lafaz Mut’ah saja,
tidaklah berselisih secara makna dengan riwayat Syu’bah atau pun Rauh
bin ‘Ubadah. Yang manapun yang benar diantara keduanya akan tetap sesuai
dengan riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar.
Penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya
mengandalkan riwayat Muslim Al Qurriy saja. Harus ada qarinah lain yang
menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud Asma’ binti Abu Bakar tersebut
apakah nikah Mut’ah atau Mut’ah haji. Terdapat riwayat shahih selain
riwayat Muslim Al Qurriy bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah.
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَال حدثنا هُشَيمٌ قَال أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْر عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَخْطُبُ وَهُوَ يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، يَعِيبُ عَلَيْهِ قَوْلَهُ فِي الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْأَلُ أُمَّهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ، قَدْ كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا لَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ وُلِدُوا فِيهَا
Telah menceritakan kepada kami
Shaalih bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami
Sa’iid bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim
yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin
Jubair yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Zubair berkhutbah dan ia
mencela Ibnu ‘Abbas atas perkataannya tentang Mut’ah. Maka Ibnu ‘Abbas
berkata “tanyakanlah kepada Ibunya jika memang ia benar” maka ia
bertanya kepadanya [Ibunya]. [Ibunya]
berkata “Ibnu ‘Abbas benar, sungguh hal itu memang demikian”. Ibnu
‘Abbaas [radiallahu ta’ala ‘anhuma] berkata “seandainya aku mau maka aku
akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya [nikah
mut’ah]” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/24 no 4306].
Riwayat Ath Thahawiy di atas sanadnya jayyid. Para perawinya tsiqat dan shaduq berikut keterangan tentang mereka
- Shaalih bin ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Al Haarits Al Mishriy termasuk salah satu guru Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Mesir dan dia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/408 no 1790]. Dia termasuk guru Ibnu Khuzaimah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/77 no 149]. Dia juga termasuk guru Abu Awanah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah 2/431 no 1737]. Pendapat yang rajih, ia seorang yang shaduq
- Sa’id bin Manshuur adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “termasuk orang yang memiliki keutamaan dan shaduq”. Ibnu Khirasy dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan termasuk orang yang mutqin dan tsabit. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 4 no 148]
- Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim telah memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]
- Abu Bisyr adalah Ja’far bin Iyaas perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932].
- Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memilik keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578]
Lafaz perkataan Ibnu Abbas “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya”
menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah
Nikah Mut’ah. Tetapi terdapat juga riwayat lain yang menguatkan bahwa
Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji,
حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا محمد بن فضيل قال ثنا يزيد يعنى بن أبى زياد عن مجاهد قال قال عبد الله بن الزبير أفردوا بالحج ودعوا قول هذا يعنى بن عباس فقال بن عباس ألا تسأل أمك عن هذا فأرسل إليها فقالت صدق بن عباس : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم حجاجا فأمرنا فجعلناها عمرة فحل لنا الحلال حتى سطعت المجامر بين النساء والرجال
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah
menceritakan kepada kami Yaziid yaitu bin Abi Ziyaad dari Mujahid yang
berkata ‘Abdullah bin Zubair berkata “lakukanlah
haji kalian dengan ifrad dan tinggalkanlah perkataan orang ini yaitu
Ibnu ‘Abbaas”. Maka berkata Ibnu ‘Abbaas “tidakkah kami menanyakan
kepada Ibumu mengenai hal ini”. Maka ia [Ibnu Zubair] mengutus
seseorang kepada Ibunya, [Ibunya] berkata “benarlah Ibnu ‘Abbaas, kami
keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk melakukan
haji, maka Beliau memerintahkan untuk menjadikannya Umrah maka menjadi
halal bagi kami apa-apa yang halal hingga bertebaran bara api antara
wanita dan pria [Musnad Ahmad 6/344 no 26962].
Hanya saja riwayat di atas sanadnya dhaif karena Yazid bin Abi Ziyaad.
Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At
Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin
Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al
Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis
hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”.
Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan
hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata
“orang syi’ah kufah yang dhaif ditulis hadisnya”. Ibnu Hibban berkata
“shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al
Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya
dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak
membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata
“tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531]. Pendapat yang rajih
Yazid bin Abi Ziyaad seorang yang dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan
i’tibar.
Kalau kita ingin menerapkan metode tarjih
maka qarinah bahwa Mut’ah yang dimaksudkan Asma’ binti Abu Bakar adalah
Nikah Mut’ah lebih kuat kedudukannya dibanding qarinah yang menunjukkan
Mut’ah Haji. Tetapi kalau kita ingin menerapkan metode jamak maka dapat
disimpulkan bahwa kedua jenis Mut’ah baik Nikah Mut’ah maupun Mut’ah
Haji telah dilakukan dan diyakini kebolehannya oleh Asma’ binti Abu
Bakar [radiallahu ‘anha]. Terdapat riwayat yang menjadi petunjuk bahwa
perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mencakup kedua jenis Mut’ah
[Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji], berikut riwayatnya:
حدثنا حامد بن عمرو البكراوي حدثنا عبدالواحد ( يعني ابن زياد ) عن عاصم عن أبي نضرة قال كنت عند جابر بن عبدالله فأتاه آت فقال ابن عباس وابن الزبير اختلفا في المتعتين فقال جابر فعلناهما مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم نهانا عنهما عمر فلم نعد لهما
Telah menceritakan kepada kami Haamid
bin ‘Umar Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami
‘Abdul Waahid yaitu Ibnu Ziyaad dari ‘Aashim dari Abi Nadhrah yang
berkata aku berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah maka datanglah seseorang
dan berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair telah berselisih tentang dua Mut’ah.
Maka Jabir berkata “kami telah melakukannya keduanya bersama Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian Umar melarang kami melakukan
keduanya maka kami tidak melakukan keduanya” [Shahih Muslim 2/1022 no
1405].
Masih memungkinkan untuk dikatakan bahwa
Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang hukum kedua Mut’ah [Nikah
Mut’ah dan Mut’ah Haji] maka Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair bertanya
kepada Ibunya [Asma’ binti Abu Bakar] dan Ia menyatakan bahwa kedua
Mut’ah tersebut telah dilakukannya di masa Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]. Pendapat ini lebih baik karena menggabungkan semua
riwayat yang ada di atas.
Kesimpulannya
memang shahih Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] mengakui
bolehnya nikah Mut’ah dimana ia bersaksi bahwa ia telah melakukan nikah
Mut’ah di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
(source)
Post a Comment
mohon gunakan email