Pimpinan Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan Habib Luthfi bin Yahya menerangkan, meskipun ada orang yang bernasab langsung ke Rasulullah Saw, belum tentu akhlaknya baik karena ini persoalan ma’shum (dilindungi Allah dari dosa). Fenomena ini bisa terjadi meski Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling baik, bahkan sempurna.
“Jangan heran jika (keturunan Nabi, red) ada yang berakhlak tidak baik, lah wong mereka tidak di-ma’shum kok,” kata Habib Luhtfi saat menerima rombongan Anjangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta di kediamannya seperti dilansir nu.or.id, (24/1).
Karena itu, menurut Habib Luthfi, belajar dan memahami sejarah secara tuntas, termasuk sejarah perjalanan Nabi Muhammad yang penuh dengan teladan itu sangat penting.
Bicara soal manusia pilihan Allah ini, di kesempatan terpisah, Habib Luthfi menjelaskan bahwa ayah Fatimah Az-zahra itu bukanlah sebagaimana umumnya manusia biasa. Dia adalah manusia luar biasa.
“Jika Nabi manusia biasa, lalu kita ini apa?” katanya seperti disiarkan TV Aswaja beberapa waktu lalu.
Jika Al-Quran Surah Ali Imran: 31 diperhatikan, sedemikian luar biasanya Nabi sehingga orang-orang yang mengikutinya diberi ‘garansi’. Di sini, kata Habib Lutfi, pentingnya peringatan maulid dan haul yang dilakukan untuk membangkitkan kecintaan pada Nabi.
“Wahyu tidak akan diturunkan kepada manusia biasa kecuali kepada dia yang berkedudukan sebagai rasul, nabi dan ma’shum,” katanya.
Tidak ada masalah dengan kata ‘basyar’, sebagaimana batu juga memiliki derajat; krikil, intan dan permata. Semuanya sama-sama dikatakan batu, namun nilai satu truk krikil belum tentu sebanding dengan satu permata.
Gelar Habib
Gelar habib, menurut pemerhati sosial budaya Abdillah Toha, belakangan banyak dilekatkan pada keturunan Imam Ahmad bin Isa Almuhajir dari Hadramaut yang mempunyai nasab langsung sampai kepada Fatimah putri Rasulullah SAW dan ayahnya Muhammad SAW.
“Di Indonesia mereka dikenal sebagai marga Alawiyun,” kata Abdillah dalam tulisannya di Islamindonesia.id
Sebelum ini, keluarga Alawiyun lebih sering disebut sebagai Sayid sedang gelar habib yang berarti kekasih, dahulu hanya disandang dan diberikan oleh pengikutnya kepada orang-orang yang dianggap sebagai panutan dan telah mencapai maqam keagamaan tertentu.
Entah bagaimana, kata Abdillah, pada masa ini setiap anggota marga Alawi atau Ba-alawi menyandang gelar habib dan dianggap sebagai orang yang ilmu agamanya tinggi.
“Habaib (jamak habib) adalah manusia biasa,” tegasnya.
Ketika gelar itu disandang kemana-mana, maka risiko terbesar adalah generalisasi masyarakat awam atas tindak tanduk mereka yang “menyimpang”.
Disebut menyimpang, lanjut Abdilllah, karena contoh kiprah beberapa habaib di Indonesia belakangan jelas bukan teladan yang baik.
“Habaib pendahulu telah banyak dikenal di negeri ini dengan pengaruh yang luas berkat perilaku yang lembut, tulus dan ikhlas, serta dilandasi ilmu yang benar dan akhlak yang mulia,” katanya.
Pada akhir masa penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan ada paling tidak 3 habib yang dikenal di Jakarta, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang, Habib Ali bin Husin Alatas Bungur, dan Habib Salim bin Jindan.
“Inilah orang-orang saleh yang hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk dakwah tanpa pamrih dengan sukses luar biasa mencapai puluhan ribu pengikut yang menjadi muridnya,” katanya.[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email