Pesan Rahbar

Home » » Kisah Berawalnya Islam Nusantara dan Tantangannya Menurut Zuhairi Misrawi

Kisah Berawalnya Islam Nusantara dan Tantangannya Menurut Zuhairi Misrawi

Written By Unknown on Wednesday 4 May 2016 | 22:13:00

Zuhairi Misrawi

Komunitas Islam Madani menggelar diskusi dengan tema “Islam Madani dan Islam Nusantara; Corak Islam Indonesia” di Aula Kompleks Rujab Anggota DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan. Kamis, tanggal 26 November 2015.

Dimunculkannya tema di atas menurut Ketum PP IJABI, Syamsuddin Baharudin yang menggagas diskusi ini, agar Islam Nusantara, Islam Madani dan Islam Berkemajuan menjadi corak keberislaman di Indonesia.

Diskusi seri pertama ini menghadirkan pembicara intelektual muda Islam Zuhairi Misrawi dan anggota DPR RI dari PDI-P Dr Jalaluddin Rakhmat.

Zuhairi Misrawi, yang menjadi Direktur Moderate Muslim Society, ini memulai materinya dengan memuji Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmad) sebagai gurunya. Menurutnya, karena dirinya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Kang Jalal.

“Tadi ini sebenarnya adalah pertemuan antara guru dan murid” kata Zuhairi.

Gus Mis sapaan Zuhairi Misrawi, mencerikan kisah bagaimana ia meminta ayahnya membelikan buku “Islam Aktual” karya Jalaluddin Rahmat. Kemudian ayahnya pergi ke Surabaya untuk mendapatkan buku tersebut.

Ia berharap kepada Kang Jalal semoga bisa menjadi juru bicara Islam Indonesia setelah wafatnya Gus Dur dan Nur Cholis Majid.

Gus Mis mengisahkan, Setelah ada dikotomi Islam dari Cliford Girld, terdapat beberapa problem yang harus diatasi saat itu, yaitu pertama, problem yang mengkotak-kotakkan masyarakat. Kedua, masifnya gerakan Islam transnasional seperti HTI.

“HTI punya gerakan yang luar biasa. Seperti di Jombang, kalau kumpul bisa ribuan orang. Padahal bagi orang NU, Jombang adalah kota sucinya” ujarnya. “Tapi ada harapan dimana kita sebagai sebuah bangsa punya pancasila yang mempersatukan kita. Dari sinilah berawalnya kisah panjang Islam Nusantara,” sambungnya.

Gus Mis mengatakan, dirinya bersyukur karena Gus Dur bisa mengartikulasikan kekayaan Islam pesantren sehingga bisa menepis pandangan seperti yang diperankan kelompok Islam radikal. Gus Dur mencoba merumuskan kembali bagaimana Islam yamg relevan di zamannya.

“Mengantarkan kita untuk memikirkan bahwa Islam punya tanahnya, buminya dengan pribumisasi Islam,” kata Gus Mis.

Kader muda NU ini melanjutkan, Gus Dur merasa lambat laun mulai terjadi arabisasi di Indonesia. Baik dari segi bahasa (ana/antum/ikhwan/akhwat), pakaiannya, makanan dan pola pikirannya. Misalnya kasus assalamualaikum. Di sini Gus dur ingin mengatakan, jangan merasa lebih Islam dengan menggunakan bahasa arab, jangan merasa lebih Islam karena menggunakan pakaian gaya arab.

“Tidak hanya dalam level kebudayaan tapi juga politik. Seperti perda-perda syariah, ratusan perda syariah yang dilahirkan pasca reformasi. Oleh karena itu mari kita berislam dengan corak kita sendiri,” ajak Gus Mis.

Secara sosiologis, lanjut Gus Mis, fenomena itu menunjukkan ketidak percayaan diri di tengah penetrasi budaya Barat. Kemudian Gus Dur mengarahkan para kadernya untuk membuat satu rumusan pribumisasi Islam dan mengembangkannya.

Salah satu makna dari pribumisasi Islam, untuk merespon gejala arabisasi dan islamisasi. “Selama tradisi masih ada, kita sulit dipecah belah. Dan menurut saya, kita perlu terobosan baru seperti mengadakan Maulid Nabi, ziarah kubur, atau tahlilan bersama,”katanya.

Gus Mis melanjutkan, Islam harus hadir setiap ruang dan waktu. Islam harus dapat merespon masalah-masalah kekinian. Seperti bahwa Fiqh itu harus bisa merespon persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.

“Misalnya, fikih hak asasi, fikih gender, fikih pluralisme, dan lain-lain. Hingga sampai Muktamar lalu, akhirnya pribumisasi Islam menjadi role model bagi keberislaman di Indonesia, karena istilah tersebut bisa jadi kontroversial, maka dipilih istilah Islam Nusantara,” papar Gus Mis.

Ada kontek yang melatar belakangi mengapa gagasan Islam Nusantara harus muncul, yaitu konteks global dan nasional. “Konteks global kita tahu bagaimana fenomena ISIS dan konflik di Timur Tengah. Semuanya memperburuk wajah dan citra Islam. Sedangkan kontek nasional, masifnya gerakan kelompok-kelompok kecil yang suaranya sangat lantang dan menguasai ruang publik kita,” tuturnya.

Islam Nusantara adalah kriatalisasi dari berbagai ruh atau semangat sehingga menjadi sebuah kekuatan. Pertama semangat keagamaan. Semangat yang tidak mengedepankan formalisasi syariat. Islam Nusantara mengajak akhlaqul karimah untuk diutamakan.

“Karena dengan akhlak dapat mempersatukan kita,” ujar laki-laki lulusan Univrsitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini.

Kedua, Semangat Kebangsaan. Tidak hanya meyakini pancasila tapi juga mengaplikasikannya dengan ikut turun membangun negeri ini. Ketiga, Semangat Kebhinekaan. Tidak hanya beragam dari segi kebudayaan tapi juga agama dan madzhab.

“Pemahaman kebinekaan ini harus ada dan saling mengisi. Seperti saomidasi NU kedalam tradisi Syiah. Dan Keempat, Semangat Kemanusiaan. Semangat paling tinggi dari ketiga semangat sebelumnya,” katanya.

Menurut Gus Miz, tantangan dan kritik terhadap Islam Nusantara ada tiga. Pertama, Jangan sampai Islam Nusantara menjadi Islam NU. Melainkan menjadi ide keberislaman yang bisa merangkul dan membangun persaudaraan dari semua kelompok.

“Islam Nusantara harsunya menjadi ide yang bisa digunakan semua umat Islam di Indonesia khususnya,” tegasnya.

Kedua, fenomena kecendrungan mengkafirkan. Fenomena ini bisa dilihat dari munculnya Nu Garis Lurus, Yuk Kenal Nu di twitter. Kalau mengkafirkan berarti tidak jauh beda dengan wahabi.

Ketiga, wajah mayoritas Islam di Indonesia ini Islam Nusantara, tetapi tidak bisa mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah di negeri ini. “Tantangannya adalah bagaimana kita menerjemahkan Islam Nusantara ini kedalam kebijakan politik,”pungkasnya.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: