وَ إِذِ ابْتَلى إِبْرَهِيمَ رَبُّهُ بِكلِمَتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَ مِن ذُرِّيَّتى قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِى الظلِمِينَ
“Ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 124)
Ayat ini adalah pengantar kisah Nabi Ibrahim (as), ayat-ayat tentang perubahan kiblat, dasar-dasar keimanan, akhlak dan hukum syariat, membangun ka’bah dan dakwahnya, dan ayat-ayat yang mengandung kisah khusus Nabi Ibrahim tentang imamah (kepemimpinan)nya.
Ayat ini menjelaskan tentang kisah penganugerahan imamah kepada nabi Ibrahim (as). Hal ini terjadi pada akhir-akhir kehidupannya yakni ketika berusia lanjut, sesudah kelahiran Ismail dan Ishaq (as). Beliau membawa Ismail dan ibunya tinggal di Mekkah. Penjelasan ini ditunjukkan dan dikuatkan oleh kalimat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.”
Sebelum malaikat datang membawa berita gembira tentang kelahiran Ismail dan Ishaq (sa), nabi Ibrahim (as) tidak mengira bahwa ia tidak akan mempunyai keturunan. Sehingga ketika malaikat datang membawa berita gembira bawa ia akan mempunyai keturunan, ia nampak putus asa. Ini dijelaskan oleh firman Allah swt:
“Kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim. Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan: “Salaam”. Berkata Ibrahim: ‘Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu’. Mereka berkata: ‘Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim’. Berkata Ibrahim: ‘Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa’.” (Al-Hijir: 51-55)
Juga tentang isterinya sehubungan berita gembira ini, Allah swt berfirman:
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’qub. Isterinya berkata: ‘Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh’. Para malaikat itu berkata: ‘Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah’.” (Hud: 71-73)
Dari ayat-ayat dalam surat tersebut nampak jelas bahwa nabi Ibrahim dan isterinya tidak punya harapan untuk mendapatkan keturunan. Kemudian malaikat memberikan harapan kepada mereka. Mereka sebelumnya tidak tahu bahwa mereka memiliki keturunan. Kisah ini berkait erat dengan firman Allah swt:
إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَ مِن ذُرِّيَّتى
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Saya mohon juga) dari keturunanku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Ibrahim (as) memohon imamah agar dikaruniakan juga kepada keturunannya sesudah beliau mendapatkan keturunan. Imamah dikarunikan oleh Allah kepadanya setelah Dia mengujinya dengan bermacam-macam ujian: mendapat keturunan pada usia yang sangat tua, pengorbanan nabi Ismail, dan ujian-ujian yang lain sepanjang hidupnya.
Apakah yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan kalimat-kalimat lalu ia menunaikannya.” Kata ‘kalimat-kalimat” adalah semua ujian dan kesulitan hidup yang diujikan kepada nabi Ibrahim dalam sepanjang hidupnya sebelum ia memperoleh anugerah imamah dari Allah swt. Termasuk ke dalamnya: pengorbanan dan penderitaan, ujian tentang bintang-bintang, pemusnahan berhala-berhala, menghadapi api namrud, perjalanan hijrah, pengorbanan puteranya, dan lainnya.
Setelah nabi Ibrahim (as) mampu menghadapi dan menunaikan secara sempurna ujian-ujian tersebut Allah swt menganugerahkan imamah kepadanya.
Ada sebagian mufassir yang menafsirkan “bikalimâtin (dengan kalimat-kalimat)” adalah sebagai: qâla inni jâ’iluka linnâsi imâmâ (sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia).
Penafsiran ini sangat lemah dan tidak berdasar, karena tidak ada satu kata “Kalimât” di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan pada struktur kalimat.
Adapun yang dimaksud oleh firman:
إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَ مِن ذُرِّيَّتى
adalah menjadikan nabi Ibrahim sebagai imam dan penutan bagi seluruh manusia dalam ucapan dan perbuatan. Imam adalah orang yang dipatuhi oleh manusia. Karenanya beberapa mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imam adalah nabi, imamah adalah nubuwah. Mereka berdasarkan firman Allah swt:
وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa’: 64)
Penafsiran ini nampaknya benar dan berdasar, tetapi hendaknya diketahui bahwa penafsiran tersebut lemah, tidak rasional dan tidak berdasar. Dengan alasan-alasan, antara lain:
Pertama: kata “imam” merupakan maf’ul kedua dari kata “jâ’il”, sementara isim fa’il tidak berfungsi amalnya jika menunjukkan pada waktu lampau (mâdhi). Dan berfungsi amalnya jika menunjukkan pada waktu sekarang dan waktu mendatang. Sehingga penafsiran firman ini menunjukkan bahwa Allah swt menjanjikan kedudukan imamah pada waktu mendatang. Dan perlu diketahui juga bahwa tidak ada satupun wahyu kecuali harus bersama nubuwah, sementara nabi Ibrahim (as) telah menjadi nabi sebelum ia dianugerahi kedudukan imamah. Dengan demikian, maka imamah dalam ayat ini tidak bermakna nubuwah, tidak seperti yang dipahami oleh para mufassi tersebut.
Kedua: Kisah tentang imamah nabi Ibrahim (as) terjadi pada akhir-akhir kehidupannya, sesudah mendapat berita gembira tentang kelahiran Ismail dan Ishaq (as), dan sesudah malaikat memberitakan tentang kisah kaum nabi Luth dan kehancuran mereka. Hendaknya diketahui bahwa pada saat itu Ibrahim (as) telah menjadi nabi dan rasul. Yakni beliau menjadi nabi dan rasul sebelum diangkat menjadi imam bagi seluruh manusia. Jadi imamah adalah bukan nubuwah.
Selain mufassir yang menafsir imamah sebagai nubuwah, ada juga yang menafsirkan imamah sebagai kemajuan, keotoritasan, khilafah, wishayah, riasah dalam urusan dunia dan akhirat. Tetapi semuanya tidak benar. Karena nubuwah bermakna menerima berita dari sisi Allah swt, risalah bermakna menerima berita dari Allah swt yang harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan keotortasan dan ketaatan adalah kepatuhan manusia pada orang lain, yang hal ini merupakan suatu keharusan dalam nubuwah dan risalah. Khilafah dan wishayah memiliki makna yang sama yaitu pengganti dan penerus kepemimpinan. Ri’asah bermakna seperti otoritas sebagai sumber hukum dalam kesepakatan.
Semua ini berbeda dengan makna imamah. Imamah adalah keberadaan manusia yang harus diteladani dan dipatuhi oleh orang lain dalam ucapan dan perbuatan, karena ia telah memiliki kwalitas-kwalitas yang sebenarnya.
Jadi frman Allah ini tidak bermakna: Aku akan menjadikan kamu sebagai nabi yang ditaati dalam menyampaikan wahyu, atau rasul yang dipatuhi dalam menyampaikan risalah, atau washi dan khalifah untuk mengadili manusia dengan hukum Allah.
Imamah memiliki makna yang berbeda dengan makna tersebut, bukan hanya berbeda dalam pengucapan lafaznya, tetapi juga dalam hal tingkatan dan pencapaian realitas ilmu yang sejati. Realitas imamah berbeda dengan realitas istilah-istilah tersebut.
Di dalam Al-Qur’an setiap menyebutkan kata imamah diikuti dengan kata hidayah, misalnya:
وَ وَهَبْنَا لَهُ إِسحَاقَ وَ يَعْقُوب نَافِلَةً وَ ُكلاً جَعَلْنَا صالِحِينَ. وَ جَعَلْنَهُمْ أَئمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا
“Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah dari Kami. Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Dan Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan amer Kami.” (Al-Anbiya’: 72-73)
وَ جَعَلْنَا مِنهُمْ أَئمَّةً يهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صبرُوا وَ كانُوا بِئَايَتِنَا يُوقِنُونَ
“Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan amer Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-sajdah: 24)
Kata “Amer (perkara)” dalam dua ayat ini maknanya seperti makna kata amer dalam ayat:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شيْئاً أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ فَسبْحَنَ الَّذِى بِيَدِهِ مَلَكُوت كلِّ شىْءٍ
“Sesungguhnya amer-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maha Suci Allah yang di tangan-Nya malakut segala sesuatu …” (Yasin: 82-83)
وَ مَا أَمْرُنَا إِلا وَحِدَةٌ كلَمْح بِالْبَصرِ
“Dan amer Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (Al-Qamar: 50)
Berdasarkan dua ayat ini dapatlah kami jelaskan bahwa amer Allah, yang oleh ayat tersebut dinamakan juga malakut setiap sesuatu, adalah sisi lain penciptaan yang dengannya mereka menghadap kepada Allah swt. Amer Allah suci dan disucikan dari keterikatan ruang dan waktu, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Amer berbeda dengan “Al-khalqu” penciptaan yang mengalami perubahan dan proses sesuai dengan hukum gerak dan waktu. Inilah keterangan ringkas tentang amer Allah, insya Allah akan kami jelaskan dalam bagian tafsir yang lain.
Dalil penolakan bahwa Imamah adalah Nubuwah
Imam adalah seorang pemimpin yang memberi petunjuk kepada manusia dengan amer Allah sebagai pendampingnya. Dari dimensi spiritual imamah adalah wilayah terhadap manusia dalam perbuatan, pemberian petunjuk agar manusia dapat mencapai apa yang dikehendaki oleh amer Allah swt. Berbeda dengan petunjuk yang ditunjukkan oleh nabi dan rasul serta orang-orang mukmin. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:
وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا بِلِسانِ قَوْمِهِ لِيُبَينَ لهَُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشاءُ وَ يَهْدِى مَن يَشاءُ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 4)
وَ قَالَ الَّذِى ءَامَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكمْ سبِيلَ الرَّشادِ
“Orang-orang yang beriman itu berkata: Aku akan menunjukkan padamu jalan yang benar.” (Al-Mukmin: 38)
فَلَوْ لا نَفَرَ مِن كلِّ فِرْقَةٍ مِّنهُمْ طائفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فى الدِّينِ وَ لِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيهِمْ لَعَلَّهُمْ يحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa setiap golongan dari mereka beberapa orang tidak pergi untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Seorang imam harus mampu menyaksikan alam Malakut
Allah swt menjelaskan tentang sebab dikaruniakannya imamah kepada mereka, Dia berfirman:
لَمَّا صبرُوا وَ كانُوا بِئَايَتِنَا يُوقِنُونَ
“Ketika mereka sabar, dan mereka menyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Mereka memiliki kwalitas kesabaran yang tinggi dalam ujian Allah swt. Sabar dalam ayat ini bukan sabar yang kondisional, tetapi sabar dalam segala ujian, keadaan, dan pengabdian kepada Allah swt. Selain itu sebelumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki kwalitas keyakinan yang sangat tinggi. Allah swt menjelaskan kisah nabi Ibrahim (as):
وَ كَذَلِك نُرِى إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوت السمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ لِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim malakut langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An’am: 75)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt memperlihatkan malakut langit dan bumi untuk memperkuat keyakinan nabi Ibrahim (as), Dia juga menjelaskan bahwa keyakinannya tidak akan tergoyahkan karena menyaksikan alam malakut, Dia berfirman:
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ، لَترَوُنَّ الجَحِيمَ
“Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yakin niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam.” (At-Takatsur: 5-6)
كلا بَلْ رَانَ عَلى قُلُوبهِم مَّا كانُوا يَكْسِبُونَ. كلا إِنهُمْ عَن رَّبهِمْ يَوْمَئذٍ لمََّحْجُوبُونَ. ثمَّ إِنهُمْ لَصالُوا الجَْحِيمِ. ثمَّ يُقَالُ هَذَا الَّذِى كُنتُم بِهِ تُكَذِّبُونَ. كلا إِنَّ كِتَب الأَبْرَارِ لَفِى عِلِّيِّينَ. وَ مَا أَدْرَاك مَا عِلِّيُّونَ. كِتَابٌ مَّرْقُومٌ، يَشهَدُهُ المُْقَرَّبُونَ
“Sekali-kali tidak, apa yang selalu mereka kerjakan itu menutupi hati mereka. Dan sekali-kali tidak, sesungguhnya pada hari itu mereka benar-benar tertutup dari Tuhannya… Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu berada dalam illiyyin. Yaitu kitab yang tertulis, yang disaksikan oleh muqarrabin.” (Al-Muthaffifin: 14-21)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Muqarrabin tidak tertutupi oleh hijab-hijab batin yaitu kemaksiatan, keraguan dan kejahilan. Karena itu mereka menyaksikan illiyyin seperti mereka menyaksikan neraka Jahannam.
Kesimpulannya, seorang imam adalah seorang manusia yang memiliki keyakinan yang mampu menyingkap alam malakut melalui kalimat-kalimat dari Allah swt. Alam malakut adalah alam yang tak nampak secara penglihatan indrawi, karena itu Allah swt menjelaskan dengan firman-Nya: “Mereka memberi petunjuk dengan amer kami.” Firman ini menunjukkan dengan jelas bahwa setiap yang berkaitan dengan hidayah, hati dan amal, imam memiliki makrifat sejati dan ilmu batiniyah, sehingga semua yang tertutup bagi umum, nampak bagi seorang imam.
Sebagaimana dimaklumi bahwa hati dan amal memiliki dua sisi: perintah dan larangan. Sehingga realitas perbuatan manusia, baik dan buruk, selalu nampak dalam pandangan dan kesaksian seorang imam. Seorang imam memiliki otoritas terhadap dua jalan: kebahagiaan dan kesengsaraan. Allah swt berfirman:
يَوْمَ نَدْعُوا كلَّ أُنَاسِ بِإِمَامِهِمْ
“Sesuatu hari Kami panggil setiap umat dengan imamnya.” (Al-Isra’: 71)
Kata imam dalam ayat ini adalah seorang imam bukan kitab sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian mufassir. Secara detail kami akan menjelaskan di bagian tafsir ayat ini.
Karena keagungan dan kemuliaan kedudukan imamah, Allah tidak akan mengkaruniakannya kecuali kepada orang yang telah mencapai puncak keyakinan, kebahagiaan yang sejati, dan telah tersucikan dari hijab-hijab batin. Kedudukan yang agung ini tidak akan dikaruniakan oleh Allah swt kepada orang yang dirinya diliputi oleh kezaliman dan kesengsaraan batiniyah. Karena, untuk mencapai kebahagiaan, orang ini masih membutuhkan petunjuk orang lain. Allah swt berfirman:
أَ فَمَن يهْدِى إِلى الْحَقِّ أَحَقُّ أَن يُتَّبَعَ أَمَّن لا يهِدِّى إِلا أَن يهْدَى
“Apakah orang yang memberi petunjuk pada kebenaran itu lebih berhak diikuti, ataukah orang yang tak layak memberi petunjuk kecuali ia diberi petunjuk?” (Yunus: 35)
Ayat ini menjelaskan dua kelompok manusia: Pertama, orang yang memberi petunjuk pada kebenaran, dan mendapat petunjuk secara langsung dari Allah swt. Kedua, orang yang harus mendapat petunjuk dari orang lain. Tentunya kelompok kedua ini tidak mungkin mencapai kedudukan imamah, dan memberi petunjuk pada kebenaran yang sejati.
Syarat menjadi Imam
Dari semua pembahasan sebelumnya dapatlah kami simpulkan sebagai berikut:
Pertama: seorang imam harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa. Jika tidak, ia bukan seorang yang mendapat petunjuk secara langsung dari Allah swt sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
وَ جَعَلْنَهُمْ أَئمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَ أَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيرَتِ وَ إِقَامَ الصلَوةِ وَ إِيتَاءَ الزَّكوةِ وَ كانُوا لَنَا عَبِدِينَ
“Kami telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan amer Kami, dan Kami telah mewahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan-kebaikan, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka mengabdi.” (Al-Anbiya’: 73)
Berdasarkan kandungan makna ayat ini, perbuatan seorang imam selalu baik, ia mendapat petunjuk pada kebaikan secara langsung dari Allah bukan dari orang lain.
Kedua: Siapa saja yang tidak memiliki sifat ma’shum, terjaga dari salah dan dosa, ia tidak akan menjadi seorang imam yang memberi petunjuk pada kebenaran yang sejati.
Ini berdasarkan kalimat di akhir ayat:
قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِى الظلِمِينَ
Yakni perjanjian-Ku ini, imamah ini tidak akan dicapai oleh orang-orang yang zalim.
Yang dimaksud dengan kezaliman dalam ayat ini adalah kezaliman secara mutlak, dalam segala tingkatan: kemusyrikan, kemaksiatan walaupun sebentar kemudian bertaubat.
Apakah setiap Nabi adalah Imam?
Guru kami pernah ditanyai tentang penggunaan ayat ini sebagai dalil kema’shuman para imam. Beliau menjawab: menurut ilmu logika, tentang kezaliman manusia terbagi menjadi empat golongan:
1. Orang yang berbuat kezaliman sepanjang hidupnya.
2. Orang yang tidak pernah berbuat kezaliman sepanjang hidupnya.
3. Orang yang berbuat kezaliman pada awal-awal hidupnya, tetapi tidak pada akhir-akhir hidupnya.
4. Orang yang tidak berbuat kezaliman pada awal-awal hidupnya, tetapi berbuat kezaliman pada akhir-akhir hidupnya.
Dengan kedudukannya yang mulia dan agung nabi Ibrahim (as) tidak mungkin memohonkan kedudukan imamah untuk keturunannya yang berada dalam golongan ke 1 dan 4. Maka sekarang tinggal dua golongan yaitu ke 2 dan 3. Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa Allah telah meniadakan kedudukan imamah dari orang-orang yang pernah melakukan kezaliman. Sehingga sekarang tinggallah satu golongan yaitu keturunan nabi Ibrahim (as) yang tidak pernah melakukan kezaliman.
Di sini juga perlu ditegaskan bahwa ayat ini menjelaskan kedudukan imamah tidak mungkin diduduki oleh orang-orang yang tidak memiliki garis keturunan dari nabi Ibrahim (as). Dan yang memiliki garis keturunan darinya juga tidak semuanya dapat mencapai kedudukan imamah, tetapi hanya keturunannya yang tidak pernah melakukan kezaliman.
Kesimpulan
Pertama: Imamah adalah kedudukan mulia yang telah ditetapkan oleh wahyu.
Kedua: Imam harus ma’shum dengan ‘ishmah (penjagaan) Ilahi.
Ketiga: Bumi tidak akan teratur tanpa seorang imam pembawa kebenaran yang sejati.
Keempat: Imam adalah pilihan Allah, bukan hasil pilihan dan kesepakatan manusia.
Kelima: Perbuatan manusia disaksikan langsung oleh ilmu sejati Imam.
Keenam: Imam harus mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia dalam kehidupan dan spiritual.
Ketujuh: Tidak ada seorang pun yang dapat melebihi keutamaan-keutamaan imam.
Permasalahan dan Pertanyaan
Jika Ada mempermasahkan: Sekiranya kedudukan imamah hanya dicapai oleh orang-orang yang mendapat petunjuk langsung dari Allah swt, maka semua para nabi juga mendapat petunjuk langsung melalui wahyu, tanpa usaha-usaha melalui orang lain. Jika demikian, penganugerahan Nubuwah bersamaan dengan penganugerahan Imamah?
Jawaban: Di sini Anda telah melakukan kesalahan dan kerancuan pemahaman tentang Nubuwah dan Imamah. Tentang setiap nabi yang mendapat petunjuk kebenaran langsung dari Allah swt, ia harus menyampaikan petunjuk itu pada orang lain, dan seorang nabi yang mendapat petunjuk langsung untuk dirinya, ia tidak harus menjadi seorang imam. Karena keharusan semua nabi menjadi imam tidak ada satu pun dalil tentangnya. Adapun para nabi yang tidak harus memberi petunjuk kepada orang lain, ini dijelaskan oleh firman Allah swt:
وَ وَهَبْنَا لَهُ إِسحَقَ وَ يَعْقُوب كلاًّ هَدَيْنَا وَ نُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَ مِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَ سلَيْمَنَ وَ أَيُّوب وَ يُوسف وَ مُوسى وَ هَرُونَ وَ كَذَلِك نجْزِى الْمُحْسِنِينَ. وَ زَكَرِيَّا وَ يحْيى وَ عِيسى وَ إِلْيَاس كلٌّ مِّنَ الصلِحِينَ. وَ إِسمَعِيلَ وَ الْيَسعَ وَ يُونُس وَ لُوطاً وَ كلاًّ فَضلْنَا عَلى الْعَلَمِينَ. وَ مِنْ ءَابَائهِمْ وَ ذُرِّيَّتهِمْ وَ إِخْوَنهِمْ وَ اجْتَبَيْنَهُمْ وَ هَدَيْنَهُمْ إِلى صرَطٍ مُّستَقِيمٍ. ذَلِك هُدَى اللَّهِ يهْدِى بِهِ مَن يَشاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ لَوْ أَشرَكُوا لَحَبِط عَنْهُم مَّا كانُوا يَعْمَلُونَ. أُولَئك الَّذِينَ ءَاتَيْنَهُمُ الْكِتَب وَ الحُْكمَ وَ النُّبُوَّةَ فَإِن يَكْفُرْ بهَا هَؤُلاءِ فَقَدْ وَكلْنَا بهَا قَوْماً لَّيْسوا بهَا بِكَفِرِينَ. أُولَئك الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لا أَسئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَلَمِينَ
84. Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
85. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.
86. dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya),
87. Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
88. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
89. Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.
90. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (Al-An’am: 84-90)
Ayat-ayat tersebut juga menunjukkan bahwa petunjuk dan kebenaran wahyu tak akan berubah dan musnah dari umat Rasulullah saw walaupun beliau telah berpulang ke hadirat Allah swt, ia akan diteruskan oleh keturunan nabi Ibrahim (as) sepanjang zaman. Ini ditunjukkan oleh firman-Nya:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَهِيمُ لأَبِيهِ وَ قَوْمِهِ إِنَّنى بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ، إِلا الَّذِى فَطرَنى فَإِنَّهُ سيهْدِينِ. وَ جَعَلَهَا كلِمَةَ بَاقِيَةً فى عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.
Dan (lbrahim) menjadikan kalimat itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada tauhid.” (Az-Zukhruf: 26-28)
Petunjuk dan kebenaran di sini bukan hasil pemahaman dan pemikiran manusia, yang bisa salah, tetapi kebenaran yang mutlak dan sejati sebagaimana yang dijelaskan oleh kandungan makna ayat tersebut.
Jadi, dari semua penjelasan tersebut menjadi jelas kepada kita bahwa imamah adalah hak nabi Ibrahim dan keturunannya. Itupun keturunan nabi Ibrahim (as) yang tidak pernah melakukan kezaliman. Semua manusia yang tidak memiliki garis keturunan dari Ibrahim (as), mereka tidak memiliki hak mendudukan kedudukan Imamah, dan mereka tidak akan memiliki kemampuan untuk mencapainya.
(Disarikan dari tafsir Al-Mizan jilid 1, oleh Allamah Thabathaba’i)
(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email