Pesan Rahbar

Home » » Puncak Kesusahan Bagian Dari Syarat Ijabahnya Doa

Puncak Kesusahan Bagian Dari Syarat Ijabahnya Doa

Written By Unknown on Friday 10 June 2016 | 16:21:00


أَمَّن يُجِيبُ الْمُضطرَّ إِذَا دَعَاهُ وَ يَكْشِف السوءَ

“Siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam puncak kesusahan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.”(An-Naml: 62)

Dengan kesusahan yang amat sangat hakikat doa dapat diwujudkan. Orang yang sedang dalam puncak kesusahan doanya diijabah oleh Allah, jika ia benar-benar berdoa kepada-Nya. Karena kondisi fisik yang lapang, peluang yang banyak, dan tidak berada pada puncak kesusahan, jiwa manusia sulit untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa, menggantungkan hatinya kepada Allah swt dan menyerahkan harapannya hanya kepada-Nya.

Allah swt menguatkan hal itu dengan firman-Nya: “apabila ia berdoa kepada-Nya.”
Ini menunjukkan adanya kaitan antara kesusahan yang amat parah dengan “hanya berdoa kepada Allah”. Karena puncak kesusahan dapat menyebabkan hati manusia terputus ketergantungan dengan sebab-sebab lahiriyah, ia akan benar-benar hanya menyerahkan harapannya kepada-Nya dan hanya berdoa kepada-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh dua ayat berikut ini:

ادْعُونى أَستَجِب لَكمْ

“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya aku memperkenankan bagimu. ” (Al-Mukmin: 60). Dalam ayat ini tidak ada syarat dalam ijabah kecuali hakikat doa itu sendiri.

وَ إِذَا سأَلَك عِبَادِى عَنى فَإِنى قَرِيبٌ أُجِيب دَعْوَةَ الدَّاع إِذَا دَعَانِ فَلْيَستَجِيبُوا لى وَلْيُؤْمِنُوا بى لَعَلَّهُمْ يَرْشدُونَ

“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesunggulinya Aku adalah dekat, Aku memperkenankan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada¬Ku. ” (Al-Baqarah: 186). Tentang ayat ini dibahas dalam pembahasan sebelumnya.

Dari penjelasan tersebut nampaklah kelemahan pendapat sebagian mufassir yang mengatakan bahwa “Al” pada kalimat Al-Mudhtharru sebagai “Al” lil-jins, yang bermakna: Kesusahan dalam jenis apa saja. Yang benar “Al” tersebut adalah “Al” istighra’, yang artinya sangat: Kesusahan yang amat sangat. Ini dikuatlah oleh kenyataan bahwa banyak orang yang berada dalam bermacam-macam kesusahan doanya tidak diijabah. Berarti kesusahannya kurang bermakna, atau kurang benar-benar susah. Karena orang yang berada dalam puncak kesusahan, ia tak punya harapan dari sebab-sebab lahiriyah, ia akan hanya menggantungkan hatinya kepada Allah swt. Makna inilah yang dikuatkan oleh firman Allah surat Al-Mu’min: 60; dan surat Al-Baqarah: 186. Dua ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia akan dapat memusatkan perhatiannya kepada Allah ketika ia berada dalam puncak kesusahan dan penderitaan, seperti para penumpang perahu yang dihempas oleh badai di tengah samudera, lalu mereka memusatkan perhatiannya kepada Tuhannya kemudian berdo’a kepada-Nya dengan tulus-ikhlas, dan Dia mengabulkan do’anya, ini dinyatakan dalam firman Allah swt:

وَ إِذَا مَس الانسنَ الضرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَائماً

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri… ” (Yunus: 12).

حَتى إِذَا كُنتُمْ فى الْفُلْكِ وَ جَرَيْنَ بهِمْ بِرِيحٍ طيِّبَةٍ وَ فَرِحُوا بهَا جَاءَتهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَ جَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِن كلّ‏ِ مَكانٍ وَ ظنُّوا أَنهُمْ أُحِيط بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشكِرِينَ

“Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, mereka bergembira karenanya. Datanglah angin badai, dan gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”.” (Yunus: 22)

Bagaimana mungkin bisa tergambar, fitrah manusia akan menggantungkan perhatiannya pada sesuatu yang tidak mampu memberi ketenteraman. Fitrah itu tak akan mampu menemukan kedamaian kecuali ia menemukan keperluannya, yakni ia mencari dan mengenal Zat Yang Menciptakan dan Mengatur urusannya. Di sanalah ia akan menemukan kebutuhannya, yaitu di sini Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim.

Jika dipersoalkan: kalau begitu untuk mencapai kebutuhan, kita tidak perlu memanfaatkan sebab-sebab lahiriyah, kita cukup menggantungkan pada doa dan harapan. Apakah hal ini bermanfaat?

Jawabannya: Itu hanyalah khayal dan buah pikiran kita. Itu bukan hasil pemikiran yang alamiah dan fitri. Memang, nampaknya pandangan seperti itu mengandung pemikiran yang alamiah dan fitri, menjadikan Allah swt sebagai satu-satunya penyebab dan sandaran, tapi hanya dalam khayal dan pikiran, bukan dalam hati dan fitrahnya. Kita menyakini bahwa Allah swt Maha Mutlak dan tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Ada juga pendapat lemah yang mengatakan: Yang dimaksud dengan “At-Mudhtharru Idzâ Da’âhu” adalah orang yang berdosa, jika ia memohon ampun kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun, inilah yang dimaksud dengan ijabah-Nya.

Jawaban: musykilah pendapat ini, menjadikan kondisi istighra’ sebagai orang yang memohon ampunan. Padahal tidak semua istighfar ditujukan untuk memohon ampunan dosa, dan tidak setiap orang yang memohonan ampunan dosa itu diampuni oleh Allah swt. Tidak ada satupun dalil yang dapat menguatkan pendapat ini.

Sebagian mufassir berpendapat: Yang dimaksud dengan “Al-Mudhtharru” adalah keadaan yang sangat susah, tetapi soal ijabah harus dikuatkan oleh kehendak Allah, yakni jika Dia menghendaki, sebagaimana yang dinyatakan oleh firman-Nya:

فَيَكْشِف مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شاءَ

“Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya katnu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki. ” (A1-An’am: 41)

Jawaban: Ayat yang dijadikan dalil tersebut tidak relevan dengan ayat tentang “Al-Mudhtharru”. Selengkanya ayat tersebut:

قُلْ أَ رَءَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَاب اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ الساعَةُ أَ غَيرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِن كُنتُمْ صدِقِينَ. بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِف مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شاءَ

Katakanlah: “Terangkan kepada-Ku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang pada hari kiamat, apakah kamu menyeru (Tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang yang benar! Tidak, tetapi Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdo’a kepada-Nya, jika Dia menghendaki… “(Al-An’am: 40-41)

Kata “As-Sâ’ah” (hari kiamat )dalam ayat tersebut adalah bagian dari qadha’ Mahtum (ketetapan yang tidak berubah), dan harapan yang benar tidak mungkin berkaitan dengan menghilangkan hari kiamat. Adapun soal siksaan Allah, ada harapan untuk dihilangkan, yakni melalui taubat dan keimanan yang sebenarnya. Jika tidak, mana mungkin Allah swt menghilangkan siksaan, seperti akan menghilangkan siksaan dari kaum Nabi Nuh (as). Tanpa melalui taubat dan iman yang sebenarnya, maka harapan dan doa itu hanyalah hayalan untuk memperoleh keselamatan dari siksaan. Jadi harus melalui harapan yang benar. Jika tidak, maka harapan itu akan menjadi tipudaya dalam harapan sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah tentang Fir’aun ketika saat-saat ia akan tenggelam:

ءَامَنت أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا الَّذِى ءَامَنَت بِهِ بَنُوا إِسرءِيلَ وَ أَنَا مِنَ الْمُسلِمِينَ. ءَالْئََنَ وَ قَدْ عَصيْت قَبْلُ وَ كُنت مِنَ الْمُفْسِدِينَ

Berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang muslim. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. ” (Yunus: 90-91)

Selain kisah tersebut Allah juga mengisahkan kaum-kaum yang lain, yang kepada mereka ditimpakan siksaan:

قَالُوا يَوَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظلِمِينَ. فَمَا زَالَت تِّلْك دَعْوَاهُمْ حَتى جَعَلْنَهُمْ حَصِيداً خَمِدِينَ

“Mereka berkata: ‘Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang telah ditunai, yang tidak dapat hidup lagi. ” (Al-Anbiya: 14-15)

Singkatnya, sehubungan dengan firman Allah swt: ” tetapi Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdo’a kepada-Nya, jika Dia menghendaki” adalah memiliki hanya dua kemungkinan makna: harapan dan doa yang hakiki, dan yang tidak hakiki. Untuk menghilangkan siksaan, dan agar ijabahnya doa sesuai dengan kehendak Allah swt, maka harus ada penguat, agar maknanya relevan dengan pernyataan Allah swt: “Allah menghilangkan bahaya dari mereka apabila dia menghendaki. “

Hal tersebut jelas berkait dengan hakikat harapan dan keimanan. Cara inilah yang sesuai dengan kehendak Allah swt untuk menghilangkan siksaan. Dengan demikian, jelaslah hal itu tidak berkait dengan makna “Al-Mudhtharru” yang dimaksudkan dalam ayat ini, dan semua ayat yang berkaitan dengan doa yang diijabah, yakni doa orang yang menggantungkan hakikat doanya hanya kepada Allah swt.

(Disarikan dari Tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, tentang surat An-Naml: 62).

(Tafsir-Tematis/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: