Apabila ada beberapa masalah yang belum terjawab dalam bab-bab terdahulu dan memiliki hubungan langsung dengan masalah keyakinan terhadap Imam Mahdi as, maka hal itu jangan dianggap sebagai usaha- usaha untuk meragukan keberadaannya yang selama ini telah menimpa sebagian orang yang picik terhadap Islam yang abadi. Dan mungkin anda akan merasa heran bila sekiranya dikatakan: bahwa sesungguhnya mereka itu tidak mengetahui sama sekali ilmu hadits, oleh karena itu mereka terperosok ke dalam jaring- jaring keraguan dan mereka berusaha menentangnya dengan dalil-dalil yang lebih lemah daripada sarang laba-laba. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab ini.
Dalil-dalil lemah yang mereka gunakan untuk menetang dan menolak masalah ini adalah bahwa Bukhari dan Muslim sama sekali tidak pemah meriwayatkan satu haditspun tentang Imam Mahdi as.322
Sebelum kami mengomentari alasan-alasan mereka tersebut, terlebih dahulu kami ingin menekankan beberapa masalah.
Pertama: Bukhari berkata tentang kitab Shahihnya: “Hadits-hadits yang ada di dalam kitab ini hasil adalah sebagian dari seratus ribu hadits shahih. Dalam pernyataan yang lain disebutkan dua ratus ribu hadits shahih.” Selanjutnya beliau menyatakan bahwa, “Yang saya tinggalkan dari hadits-hadits shahih terse but lebih banyak lagi.”
Maka dengan ini sangat jelas sekali bahwa Bukhari sendiri tidak mengkiaim bahwa semua hadits yang tidak diriwayatkannya dhaif, bahkan beliau menyatakan ballwa hadits-hadits yang Shallih itu lebih banyak sepuluh kali lipat dari hadits-hadits yang dia kumpulkan.
Kedua: Bahwa tidak seorang alimpun dari ulama Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim adalah dhaif. Bahkan realita mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa mereka telah menyusun buku hadits shahih sebagai pelengkap Bukhari-Muslim (Mustadrak dan Sunan).
Ketiga: Dengan merujuk definisi hadits shahih tidak didapati suatu pemahaman bahwa syarat hadits shahih adalah harus diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim atau salah satu dari keduanya, demikian juga dalam definisi mereka terhadap hadits mutawatir. Dari sini, dapat diketahui dengan jelas bahwa keshahihan dan kemutawatiran suatu hadits tidak disyaratkan bahwa hadits tersebut harus diriwayatkan oleh Bukhari- Muslim atau salah satu dari keduanya, bahkan meskipun seandainya keduanya (Bukhari-Muslim) telah sepakat akan tidak adanya riwayat hadits yang mutawatir, maka kesepakatan mereka tidak sampai menciderai kemutawatiran suatu hadits bagi Ahli Sunnah lainnya.
contoh yang paling baik dalam hal ini adalah hadits tentang sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga, sebagaimana yang masyhur di kalangan Ahli Sunnah dan diyakini sebagai hadits mutawatir meskipun hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim.
Keempat: Orang yang mengingkari Imam Mahdi as dengan alasan karena Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya, pada hakekatnya dia tidak mengetahui realitas Shahihain (Bukhari-Muslim) sebagaimana yang akan kami jelaskan dalam jawaban pernyataan ini.
Bahwa hadits-hadits tentang Imam Mahdi as telah dipaparkan dengan menjelaskan berbagai masalah. Sebagai contoh, dengan menyebutkan nama beliau, sifat-sifatnya, tanda-tanda kemunculan beliau, mekanisme pemerintahan, dan berbagai permasalahan lainnya.
Lagi pula bukanlah suatu kewajiban untuk menyebut nama Al Mahdi as dalam setiap hadits yang berkenaan dengan masalah ini, karena maksud hadits tersebut sangat jelas dan tidak membutuhkan penjelasan khusus.
Sebagai contoh kalau ada sebuah hadits yang menjelaskan sifat-sifat Al Mahdi yang dijanjikan dengan jelas disebutkan kata Al Mahdi, kemudian ada hadits lain dalam Bukhari dengan tidak menyebutkan kata tersebut tapi hanya dengan menggunakan istilah semisal “si fulan” maka akankah orang meragukan bahwa yang dimaksud dengan “si fulan” tersebut adalah Al Mahdi ? Bila tidak, bagaimana keglobalan dalam sebagian hadits dapat diketahui ? Apakah di sana ada suatu jalan lain menurut ulama Islam baik di barat maupun di timur selain mengembalikan yang mujmal (global) tersebut kepada yang mufasshal (terperinci) baik keduanya itu terdapat dalam satu kitab maupun dalam kitab yang lain.
Bila kita menengok kepada kitab Shahihain (Bukhari-Muslim) maka kita akan mendapati puluhan hadits-hadits global tentang Al Mahdi. Dan para ulama Ahli Sunnah telah mengembalikan hadits-hadits global tersebut kepada Imam Al Mahdi as dengan alasan karena adanya beberapa hadits-hadits lain yang dapat menjelaskan hadits-hadits mujmal yang terdapat dalam kitab-kitab hadits. Bahkan akan kita dapati juga di dalam Shahihain tersebut suatu hadits yang hampir- hampir dengan jelas menyebutkan Imam Mahdi as.
Sebelum kami menjelaskan realita ini, kami ingin mengatakan bahwa hadits yang mengatakan “Al Mahdi adalah haq dan dia adalah keturunan Fathimah as”, telah diriwayatkan oleh empat ulama terkemuka Ahli Sunnah yang tsiqah dan dinukil dalam Shahih Muslim secara jelas.
Berikut ini beberapa ulama yang mengatakan terus terang tentang adanya hadits tersebut dalam Shahih Muslim, yaitu:
1. Ibnu Hajar Haitami (wafat 974 H) dalam Shawai’q Al Muhriqah bab 11 halaman 164.
2. Muttaqi Al Hindi Al Hanafi (wafat 975 H) dalam Kanzul Ummal,jilid 14, hadits 38662 halaman 264.
3. Syekh Muhammad Ali Al Shabban (1206 H) dalam Is’afal Raghibin, halaman 145.
4. Syekh Hasan Al Adwy Al Hamtawi Al Makky (1303 H), dalam Masyariq Al Anwar, halaman 112.
Bagaimanapun juga, bahwa sebagian dari pada hadits-hadits Shahihain tersebut tidak mungkin ditafsirkan lain kecuali terhadap Imam Mahdi as, dan ini bukan berarti keputusan sepihak dari kami dalam memahami hadits-hadits Shahihain, tetapi hal ini merupakan kesepakatan lima para pensyarah Shahih Bukhari, sebagaimana yang akan kami jelaskan.
AI Mahdi dalam Shahihain
1. Keluarnya Dajjal dalam Shahihain.
Secara singkat Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, riwayat tentang keluarnya Dajjal dan fitnahnya,323 sedangkan di dalam Shahih Muslim terdapat puluhan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keluamya Dajjal, sejarah, sifat-sifat, sepak terjang, kedurjanaannya, bala tentara dan akhir hidupnya.324
Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang kisah Dajjal ini, adalah hujjah bagi mazhab ahli haq dalarn keberadaannya dan sesungguhnya ia adalah makhluk untuk menguji hambaNya. Nawawi berkata, “Ini adalah mazhab Ahli Sunnah, seluruh ahli hadits, para fuqaha dan ahli pikir”.325
Adapun hubungan hadits-hadits ini dengan kemunculan Al Mahdi as, bisa dilihat dari kesaksian para ulama Ahli Sunnah terhadap kemutawatiran hadits-hadits Al Mahdi as dan kedatangannya di akhir zaman kelak, serta turunnya Nabi Isa as yang akan membantu Al Mahdi memerangi Dajjal.
2. Turunnya Nabi Isa as. dalam Shahihain
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits-hadits tersebut yang semuanya bersanad kepada Abu Hurairah. Bahwasanya dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Bagaimana sikap kalian bila Isa as turun di tengah-tengah kalian ? ”326
Dan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah berkata, Aku mendengar Nabi saw bersabda: “Sekelompok dari umatku akan senantiasa berjuang di jalan kebenaran. Dan ini terus berlangsung hingga hari kiamat”. Maka Rasulullah berkata: “Pada saat itu, akan turun Isa putra Maryam. Kemudian, berkatalah pemimpin kelompok tersebut kepada Nabi Isa sambil meminta supaya beliau menjadi imam shalat jamaah”. Namun Nabi Isa a.s. menolak sambil berkata: “Tidak, sesungguhnya di antara kalian sendiri ada pemimpin sebagai penghormatan atas umat ini”.327
Sampai di sini jelaslah sudah bahwa imam umat Islam yang ada tatkala Isa as turun adalah kelompok yang senantiasa berada di jalan kebenaran sampai hari kimnat, di mana Nabi Isa as pada saat itu menolak untuk menjadi imam shalat kelompok tersebut karena menghormati dan memuliakan mereka.
Dan hila kita menengok kembali kitab-kitab hadits yang lain, akan kita dapati riwayat-riwayat yang cukup banyak yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan imam kelompok yang senantiasa berjuang di jalan yang benar sampai hari kiamat adalah Al Mahdi as.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Na’im dari Abi Amr Al Qan’i dalam Sunannya dengan sanad dari Hudzaifah, berkata: Rasulullah saw bersabda: “… di saat Isa as turun Al Mahdi as menoleh kepadanya dan terlihat air menetes dari rambutnya, maka Al Mahdi as berkata: “Silakan ke depan untuk mengimami shalat jamaah bersama orang-orang. Isa berkata: Bahwa shalat didirikan hanya karenamu. Kemudian Rasulullah bersabda, “Kemudian Isa as shalat di belakang seorang dari keturunanku.”328
Hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaibah dari Ibnu Sirin:
المهدي من هذه الأئمة وهو الذي يؤم عيسی بن مريم
“Al Mahdi as. dari para Imam ini dan dia yang akan mengimami Isa Ibnu Maryam as.”329
Setelah itu tidak perlu lagi membahas lebih jauh tentang adanya hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Al-Imam dalam hadits Shahihain adalah Imam Mahdi as.330 Suyuthi telah mengumpulkan hadits-hadits yang banyak itu dalam sebuah risalahnya Al Urfu Al Wardy Fi Akhbari Al Mahdi yang dimuat dalam sebuah kitabnya Al Hawi Li Al Fatawi yang dikeluarkan dari kitab Al Arbain dari Hafidz Abi Na’'im, dengan beberapa tambahan hadits yang tidak sempat ditulis oleh Abi Na’im seperti hadits-hadits yang disebutkan oleh Nua’im bin Hammad, yang dikatakan oleh Suyuthi bahwa dia salah seorang dari para imam hadits yang kuat hafalannya dan termasuk guru Bukhari.331
Siapa yang merujuk beberapa komentar Shahih Bukhari akan mendapati bahwa mereka sepakat atas penafsiran Imam Mahdi as, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari yang dengan jelas mengatakan atas kemutawatiran hadits- hadits Al Mahdi. Dia berkata: Adapun mengenai shalatnya Isa as di belakang seseorang dari umat ini, di akhir zaman nanti dan dekat hari kiamat, menjadi bukti dan dalil atas kebenaran pernyataan:
إن الأرض لاتخلو عن قائم لله بحجة
“Bahwa bumi ini tidak akan pernah sunyi dari seorang pemimpin yang akan menegakkan kebenaran karena Allah.”332
Sebagaimana ditafsirkan dalam Irsyad Al Sariy Syarh Shahih Bukhari bahwa dia adalah Al Mahdi, serta menjelaskan keikutsertaan Isa as dalam shalat di belakang Imam Al Mahdi.”333
Hal tersebut kami dapati di dalam Umdah Al Qary Syarh Shahih Bukhari.334 Sedang dalam kitab Faid Al Bariy didapati sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Majah Al Qazwini yang menjelaskan dan menafsirkan hadits Bukhari tersebut, kemudian dia berkata: “Ini sudah jelas bahwa yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut adalah Al Imam Al Mahdi as – sampai– dan setelah dalil ini dengan dalil apa lagi mereka akan beriman335 ?
Adapun dalam catatan kaki Al Badr Al Sariy Ila Faidl Al Bariy dengan panjang lebar menjelaskan pentingnya komentator hadits untuk merujuk hadits- hadits sahabat yang lain dalam buku-buku hadits yang memiliki hubungan dengan sebuah hadits yang ingin disyarahinya. Suyuthi telah mengumpulkan hadits- hadits yang menjelaskan hadits Bukhari yang dengan jelas mengatakan bahwa yang dimaksud Al Imam tersebut adalah Imam Mahdi as.
Dia berkata: Hadits Ibnu Majah telah menjelaskan dengan terperinci makna hadits seperti ini dan juga sanadnya cukup kuat.336
3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang seseorang yang memberikan hartanya dalam Shahih Muslim.
Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dengan sanad dari Jabir Ibnu Ataillah seraya berkata:
قال رسول الله (ص): يکون في اخر امتي خليفة يحثي المال حثيا ولا يعده عدا.
“Rasulullah saw bersabda, “Akan datang seorang khalifah di akhir umatku yang akan memberikan harta tanpa menghitungnya.”337
Ia telah meriwayatkannya dari Jalur yang lain dari Jabir dan Abi Said Al-Khudri dari Rasullah saw.338 Dan dalam kitab-kitab Ahli Sunnah dan beberapa riwayat mereka, disebutkan bahwa, sifat pemberi harta yang tak terhitung tersebut tidak dimiliki oleh seorangpun kecuali Imam Mahdi as.
Antara lain: hadits hasan yang diriwayatkan Turmudzi dengan sanad dari Abi Said Khudri dari Nabi saw bersabda: Sesungguhnya akan ada di tengah- tengah umatku Al Mahdi sampai kemudian Rasul bersabda: Maka seorang akan datang kepadanya dan berkata: Wahai Mahdi berikanlah aku! berikanlah aku! maka beliau memberikan seluruh hartanya kepadanya didalam pakaiannya semampu yang dia bisa bawa.339
Dan hadits ini diriwayatkan dengan sepuluh jalur dari Abu Hurairah dan Abu Said Khudri.340
4. Tertelannya tentara Sufyani di Baida
Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dengan sanad dari Ubaidillah bin Al Qibtiyyah berkata: “Saya bersama Haris bin Abi Rabi’ah dan Abdullah bin Sofyan masuk ke rumah Ummi Salamah Ummul Mukminin kemudian keduanya bertanya tentang pasukan yang ditelan bumi. Ummi Salamah menjawab, Rasullah saw bersabda: “Manakala ada orang berlindung di Ka’bah, mendadak satu pasukan hendak menyerangnya. Maka, tatkala mereka sampai di Baida, bumi pun menelan pasukan tersebut”.341
Sebagian orang-orang yang bodoh mengira bahwa hadits-hadits ini buatan kelompok Zubeir disaat terjadinya pertikaian antara Abdullah bin Zubeir dengan kelompok Bani Umayyah yang berakhir dengan terbunuhnya Abdullah, akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu karena hadits tersebut diriwayatkan dari jalur yang beragam. Sebagai contoh dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Hudziafah, Abu Hurairah, Jad Amr bin Syuaib, Ummi Salamah, Shafiah, Aisyah, Hafshah, Nafirah isteri Qa’qa’ dan dari para sahabat lainnya. Di samping itu Hakim menshahihkan sebagian riwayat hadits tersebut sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.342
Secara singkat dikatakan bahwa tanah Baida’ akan menelan tentara yang akan memerangi Imam Mahdi as sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang menjelaskan masalah ini, dan hadits-hadits tersebut cukup untuk dijadikan penjelas hadits Muslim. Dia berkata dalam kitab Ghoyat Al Amal. “Kami belum pernah mendengar cerita tentang adanya pasukan yang telah ditelan bumi. Seandainya hal itu pernah terjadi, niscaya kisah semacmn ini akan terkenal sebagaimana terkenalnya cerita tentang Pasukan gajah”.343
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kisah ini mengisyaratkan bahwa sebuah pasukan yang menjadi musuh Imam Mahdi akan ditelan bumi. Kisah tentang pasukan ini, lambat atau cepat, pasti akan menjadi kenyataan. Dan mereka yang tidak mempercayai kisah ini akan merugi.
Pendlaifan Ibnu Khaldun
Orang-orang yang mengingkari munculnya Imam Al Mahdi as berdalil dengan pendhaifan Ibnu Khaldun akan hadits AI Mahdi. Sayangnya mereka tidak memperhatikan jawaban ulama-ulama hadits terhadap pemyataan Ibnu Khaldun. Merekapun lupa akan pemyataan Ibnu Khaldun tentang hadits lain yang shahih.
Sa’ad Muhammad Hasan salah seorang guru Al Azhar dan murid Ahmad Amin mengatakan bahwa para ulama hadits telah berbicara panjang lebar mengenainya tapi Ibnu Khaldun menolak pernyataan mereka dengan tegas.344
Pernyataan dan tuduhan seperti ini kami dapati juga pada Ahmad Amin,345 Abi Zahrah,346 M. Farid Wajdi347 dan yang lainnya seperti Jabhan,348 Sa’ih Libiy yang berkata: “Bahwa hadits-hadits ini telah dikritik dan didhaifkan oleh Ibnu Khaldun.349
Hakikat Pendhaifan Ibnu Khaldun
Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Khaldun sendiri termasuk orang yang mengatakan adanya hadits shahih tentang Al Mahdi. Kesimpulan ini bukan berdasar pada hasil subyektif kami dalam menafsirkan perkataan Ibnu Khaldun akan tetapi, dia sendiri yang terus terang mengatakan ini dalam Tarikhnya, sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Ahmad Amin tidak melihat pemyataan Ibnu Khaldun yang menjelaskan bahwa sebagian dari hadits-hadits tersebut ada yang shahih. Juga rupanya Ahmad Amin hanya melihat hadits-hadits yang dianggap dhaif hingga kemudian mereka itu menukil darinya dengan redaksi tersebut tanpa melihat kembali dan merujuk kepada Tarikh Ibnu Khaldun sendiri.
Kemudian bila kita andaikan bahwa Ibnu Khaldun sama sekali tidak pernah menjelaskan keshahihan hadits-hadits Al Mahdi as, maka apakah tidak cukup dengan adanya pernyataan selainnya dari ulama ahli hadits dan dirayah tentang keshahihan dan kemutawatiran hadits-hadits Al Mahdi? Disamping itu spesialisasi Ibnu Khaldun adalah sejarah dan ilmu sosiologi!! Kemudian, apakah gerangan yang dilakukan Ibnu Khaldun dalam mendhaifkan hadits-hadits tersebut sehingga sedemikian besar pengaruhnya?
Padahal tidak lebih dari sembilan belas hadits saja yang telah didhaifkan dari 23 hadits yang dia kumpulkan. Dan dia hanya menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh: Turmudzi, Abu Dawud, Bazzar, Ibnu Majah, Hakim, Thabrani dan Abu Ya’la.350
Dengan demikian dia telah meninggalkan 48 ulama lainnya yang telah menukil hadits-hadits Al Mahdi tersebut seperti Ibnu Sa’ad, pengarang Thabaqat (wafat 230 H) dan Nuruddin Al Haitami (wafat 807 H).
Begitu juga dia tidak menyebutkan sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Al Mahdi tersebut kecuali empat belas sahabat saja.351 Dengan demikian berarti dia telah meninggalkan 39 sahabat lainnya sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam bagian pertama.
Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa hadits- hadits dari 14 sahabat tersebut sebenarnya banyak sekali yang tidak dia sebutkan. Sekiranya kita teliti riwayat-riwayat yang telah diriwayntkan oleh Abu Said Khudri sendiri yang termasuk salah satu dari 14 sahabat tersebut, maka kita akan mendapati riwayat- riwayat tersebut lebih banyak dari jumlah yang dipaparkan oleh Ibnu Khaldun. Bahkan dia tidak menyebutkan seluruh jalur hadits-hadits yang dia pilih dari hadits-hadits Abu Said Khudri. Artinya hanya sebagian kecil saja yang dia sebutkan dari riwayat- riwayat tersebut karena tidak adanya pengetahuan terhadap riwayat-riwayat lainnya.
Barang siapa yang ingin merujuk perkataan beliau tentang riwayat-riwayat Al Mahdi dan membandingkannya dengan yang ada dalam Tarikh Ibnu Khaldun bab 52 jilid I akan dapat mengetahui dengan pasti atas kebenaran yang kami katakan.
Dari sini, Ibnu Khaldun menghadapi perlawanan sengit dan juga kritikan-kritikan tajam. Abu Faidl Ghimari Syafi’i dalam kitabnya Ibraz Al Wahmi mengkritik orang yang mempergunakan pendhaifan Ibnu Khaldun sebagai dalil untuk mendhaifkan hadits- hadits Al Mahdi. Ia mengatakan: “Saat ini di tengah- tengah manusia ada orang yang tidak tahu kemutawatiran hadits ini dan membuatnya bodoh dan kebodonannya itu menjauhkannya dari cahaya ilmu dan menyebabkan orang mengingkari kemunculan Al Mahdi dan menafikannya dengan keyakinan akan kedhaifan hadits-hadits Al Mahdi tersebut, padahal dia sendiri tidak tabu sebab-sebab pendhaifan tersebut, serta tidak memiliki pengetahuan dan gambaran tentang hadits dhaif.
Wawasan dia juga terlalu sempit untuk memahami bahwa betapa hadits tentang Imam Mahdi ini sudah demikian terkenal dan diakui kemutawatirannya. Keingkarannya itu hanya bersandar pada apa yang dikatakan Ibnu Khaldun di sebagian hadits-haditsnya yang sebab-sebab kedhaifannya dihiasi dengan kebohongan.
Kemudian dia mencari-cari kesalahan atau kelemahan hadits-hadits itu pada sisi validitas dan para perawinya seraya menyimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut penuh dengan kebohongan dan pemutarbalikkan fakta. Padahal Ibnu Khaldun tidak memiliki otoritas apapun, maka bagaimana bisa mempercayainya dan merujuk kepada Khaldun?!
Seharusnya dan sebenarnya dia harus masuk rumah lewat pintunya dalam artian bahwa dia harus merujuk dalam setiap masalah itu pada ahlinya maka tidaklah benar menerima penshahihan dan pendhaifan suatu hadits kecuali dari ahli-ahli hadits.352
Kemudian ia menukil ucapan beberapa ahli-ahli hadits tentang shahih dan mutawatirnya hadits-hadits Al Mahdi. Di antaranya:
Syekh Ahmad Syakir yang berkata bahwa Ibnu Khaldun telah membuat suatu kesalahan besar yang dia sendiri sebenamya tidak memiliki otoritas dalam hal itu, dia menceburkan dirinya ke dalam bidang yang bukan spesialisasinya. Dia telah berbicara serampangan dengan tanpa dipikir terlebih dahulu. dan dia telah membuat suatu kesalahan yang sangat jelas.
Ibnu Khaldun sebenarnya tidak memahami dengan baik perkataan para ahli hadits. Sekiranya dia memahami perkataan-perkataan mereka niscaya dia akan mengatakan sebagaimana yang mereka katakan.353
Syekh Ibad berkata “Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah dan bukan seorang ahli hadits, maka perkataan dia dalam penshahihan dan pendhaifan suatu hadits tidak bisa dipegang, akan tetapi yang layak untuk dijadikan pengangan adalah orang-orang seperti Al Baihaqi, Al Uqaili, Al Khithaby, Al Dzahabi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan orang-orang yang ahli di bidang hadits (dirayah dan riwayah).”354
Pendek kata, bahwa dalil dan hujjah orang-orang yang berpegang teguh terhadap Ibnu Khaldun merupakan dalil dan hujjah yang rapuh, karena adanya pengakuan Ibnu Khaldun sendiri akan adanya empat hadits shahih dari sekumpulan hadits-hadits yang dia sebutkan, yaitu:
1. Riwayat Hakim dari Aun Al A’robiy dari Abu Shidiq Al Naji dari Abu Sa’id Khudri. Ibnu Khaldun tidak bisa berkata apapun tentangnya walau satu huruf karena melihat perawinya yang tsiqah dan kuat menurut Ahli Sunnah, dan meskipun tidak mengatakan secara terus terang tentang shahihnya hadits-hadits tersebut tetapi diamnya merupakan suatu dalil atas pengakuannya terhadap keshahihan hadits tersebut.355
2. Riwayat Hakim dari Sulaiman bin Abid dari Abu Shidiq Al Naji dari Abu Sa’id Khudri. Ibnu Khaldun bcrkata tentangnya: “Hadits ini sanadnya shahih.”356
3. Riwayat Al Hakim dari Imam Ali as tentang kemunculan Al Mahdi. Al-Hakim sendiri menshahihkan hadits tersebut sesuai dengan syarat- syarat Bukhari-Muslim. Ibnu Khaldun berkata: “Hadits ini sanadnya shahih.”357
4. Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya dari Shaleh bin Al Khalik dari Ummu Salamah. Ibnu Khaldun tentang sanad hadits ini mengatakan: “Perawi-perawi hadits tersebut shahih dan tidak ada cacat sama sekali.”358
Matematika pendhaifan Ibnu Khaldun
Bahwa perhitungan matematis sulit untuk ditentang dan didebat. Oleh karena itu akan kami perlihatkan kesimpulan pembahasan pendhaifan Ibnu Khaldun dalam bahasa angka supaya kita tahu nilai ilmiah pembahasan tersebut dengan seluruh kemungkinan- kemungkinan yang ada. Hal ini terlihat setelah kita menyusun hadits-hadits Al Mahdi as dan menyeleksinya dari seribu jilid buku (sebagaimana yang terdapat dalam mu’jam hadits-hadits Al Mahdi) menjadi 5 jilid yang mencakup:
1. Dua jilid pertama (pertama dan kedua) mencakup 560 hadits, yang diriwayatkan dari dua jalan yang semuanya disandarkan kepada Nabi saw.
2. Dua jilid kedua (tiga dan empat) mencakup 876 hadits yang disandarkan kepada para Imam Ahli bait as yang sama dengan Ahli Sunnah.
3. Satu jilid kelima mencakup 505 hadits yang semuanya tersebut termasuk dari hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Jilid ini mencakup penafsiran ulama tafsir –baik dari kalangan Ahli Sunnah maupun Syi’ah– dan hadits-hadits yang menafsirkan ayat tentang Imam Mahdi.
Dengan ini maka hadits-hadits yang tidak menafsirkan ayat-ayat Al Quran sebanyak 1436 hadits ditambah dengan hadits-hadits yang menafsirkan ayat maka hadits-hadits yang terkumpul berjumlah 1941 hadits.
Adapun tentang jalur hadits-hadits tersebut, semuanya berkisar kurang lebih dari 4000 jalur. Bila sudah anda ketahui hal ini, maka ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, bahwa:
1. Jumlah hadits-hadits Al Mahdi yang dijadikan bahan telaah oleh Ibnu Khaldun hanya 23 hadits saja.
2. Sanad dari hadits-hadits ini hanya 28 sanad saja.
3. Menurut pengakuan Ibnu Khaldun dari hadits- hadits tersebut hanya 4 saja yang shahih.
4. Dan yang dhaif dari hadits-hadits tersebut hanya 19 hadits saja.
Kalau begitu, maka hadits-hadits Al Mahdi as yang masih belum tersentuh oleh Ibnu Khaldun adalah 1918 hadits, yang di antaranya 537 hadits yang bersanadkan kepada Nabi saww dan 876 hadits bersanadkan kepada ahii bayt as. dan juga 505 hadits yang menafsirkan ayat-ayat tentang Al Mahdi as.
Dengan demikian dapatiah diketahui bahwa formulasi sebenamya dari 23 hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1. 4,107% dari seluruh hadits-hadits yang bersanadkan kepada Nabi saw.
2. 1,601 % dari seluruh hadits-hadits yang bersanadkan kepada Nabi saw dan keluarganya as.
3. 1,184% dari seluruh hadits-hadits lainnya.
Sekiranya Ibnu Khaldun mengkritik seluruh hadits- hadits Al Mahdi as maka jumlah hadits-hadits shahih akan meningkat (yaitu 4 hadits dari 23 hadits yang ada padanya) menjadi:
1. 98 hadits shahih, seandainya dia mengkaji seluruh hadits yang bersanadkan kepada Nabi saw.
2. 250 hadits shahih, seandainya dia mengkaji hadits-hadits yang bersanadkan kepada Nabi dan Ahli Baitnya.
3. 338 hadits shahih, seandainya dia mengkaji hadits lainnya.
jelaslah bahwa jumlah pertama dari hadits-hadits itu sudah cukup untuk menentukan kemutawatiran hadits- hadits Al Mahdi as.
Adapun hadits-hadits yang ditolak oleh Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan hadits-hadits yang tidak diteliti oleh Ibnu Khaldun menjadi:
1. 3,392% dari seluruh hadits yang disandarkan kepada Nabi saw.
2. 1,320% dari seluruh hadits yang disandarkan kepada Nabi saw dan Ahli Baitnya.
3. 0,978% dari seluruh hadits-hadits lainnya.
Lalu bagaimana kita bisa mempercayai bahwa Ibnu Khaldun telah mendhaifkan seluruh hadits-hadits Al Mahdi? Ditambah lagi dia mengakui keshahihan sebagian hadits-hadits Al Mahdi as.
Klaim Bahwa AI Mahdi adalah Isa bin Maryam as
Barangkali para orientalis dan orang-orang yang mengingkari kemunculan Al Mahdi as di akhir zaman beralasan dengan hadits Muhammad bin Khalid Al Jundi yang menyebut bahwa Al Mahdi adalah Nabi Isa as. Saya sendiri tidak mendapati seorangpun ulama Islam yang memaparkan had its ini melainkan mereka mengkritiknya, dan para ulama sepakat menolak hadits tersebut.
“Hadits yang dinukil oleh Ibnu Majah dari Yunus bin Abdul A’la dari Al Syafi’i dari Muhammad bin Khalid Al Jundi dari Aban bin Shaleh dari Hasan Al Bashri dan Anas bin Malik dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda:
1. 98 hadits shahih, seandainya dia mengkaji seluruh hadits yang bersanadkan kepada Nabi saw.
2. 250 hadits shahih, seandainya dia mengkaji hadits-hadits yang bersanadkan kepada Nabi dan Ahli Baitnya.
3. 338 hadits shahih, seandainya dia mengkaji hadits lainnya.
jelaslah bahwa jumlah pertama dari hadits-hadits itu sudah cukup untuk menentukan kemutawatiran hadits- hadits Al Mahdi as.
Adapun hadits-hadits yang ditolak oleh Ibnu Khaldun bila dibandingkan dengan hadits-hadits yang tidak diteliti oleh Ibnu Khaldun menjadi:
1. 3,392% dari seluruh hadits yang disandarkan kepada Nabi saw.
2. 1,320% dari seluruh hadits yang disandarkan kepada Nabi saw dan Ahli Baitnya.
3. 0,978% dari seluruh hadits-hadits lainnya.
Lalu bagaimana kita bisa mempercayai bahwa Ibnu Khaldun telah mendhaifkan seluruh hadits-hadits Al Mahdi? Ditambah lagi dia mengakui keshahihan sebagian hadits-hadits Al Mahdi as.
Klaim Bahwa AI Mahdi adalah Isa bin Maryam as
Barangkali para orientalis dan orang-orang yang mengingkari kemunculan Al Mahdi as di akhir zaman beralasan dengan hadits Muhammad bin Khalid Al Jundi yang menyebut bahwa Al Mahdi adalah Nabi Isa as. Saya sendiri tidak mendapati seorangpun ulama Islam yang memaparkan had its ini melainkan mereka mengkritiknya, dan para ulama sepakat menolak hadits tersebut.
“Hadits yang dinukil oleh Ibnu Majah dari Yunus bin Abdul A’la dari Al Syafi’i dari Muhammad bin Khalid Al Jundi dari Aban bin Shaleh dari Hasan Al Bashri dan Anas bin Malik dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda:
لايزداد الأمر إلا شدة ولا الدنيا إلا ادبارا ولا الناس إلا شحا ولا تقوم الساعة ألا علی شرار لناس ولا مهدي إلا عيسی بن مريم
“Tidak ada masalah melainkan semakin rumit tidaklah dunia melainkan semakin ditinggalkan dan tidaklah manusia kecuali semakin kikir, tidaklah akan terjadi hari kiamat melainkan karena kejahatan manusia dan tidak ada Mahdi melainkan Isa putra Maryam.”359
Untuk menolak dan membatilkannya, kita tidak perlu bersusah payah membuktikannya karena pertentangan hadits tersebut dengan seluruh-seluruh hadits shahih yang telah disebutkan di atas. Kalau sekiranya boleh berdalil dengan riwayat yang dhaif, niscaya ilmu rijal dan ilmu dirayah tidak berguna sarna sekali yang tentunya seluruh ulama Islam tidak akan menerimanya. Karena hal itu berarti menshahihkan riwayat-riwayat maudlu’ dan palsu, juga menjadikan para pembohong sebagai para perawi tsiqah, para perawi majhul dan tidak dikenal sebagai perawi masyhur dan para pembenci Ahli Bait sebagai sayid (keluarga Nabi)!? Dengan demikian tak akan ada lagi hadits mutawatir setelah para tsiqah yang dipercaya tercampur dengan mereka yang banyak memiliki cacat dan cela dalam meriwayatkan hadits. Baik dan buruk bercampur menjadi satu.
Apakah seorang muslim yang berakal akan mempercayai kata-kata seorang pembohong besar seperti Muhammad bin Khalid Jundi ? Dialah orang memalsukan satu hadits yang berkenaan dengan Jund –satu daerah yang ditempuh dalam waktu dua hari dari kota Shan’a’–, yang sangat masyhur kepalsuannya. “Keutamaan ada pada empat mesjid: Mesjidil Haram, mesjidku (Nabi saw), Mesjid Aqsha, dan Mesjid Jund.”360
Lihatlah bagaimana dia berusaha untuk menarik hati setiap orang agar mengunjungi kampungnya dengan menyetarakan mesjidnya dengan tiga mesjid yang suci umat Islam.
Yang mengherankan dari Ibnu Majah adalah bagaimana tambahan Muhammad bin Khalid Al-Jundi ini bisa menipu dirinya, yaitu tambahan yang berbunyi “Tidak ada Mahdi as. melainkan Isa Ibnu Maryam as.” Padahal ada hadits shahih lain yang memiliki jalur-jalur terpercaya yang di dalamnya tidak ada tambahan tersebut.
Di antaranya hadits yang dinukil oleh Thabarani dan Hakim dengan sanadnya dari Abu Umamah dan dengan konteks yang sama dengan hadits Ibnu Majah akan tetapi tanpa adanya tambahan “Tidak ada Mahdi as melainkan Isa Ibnu Maryam as.” Dan Hakim berkata: “Hadits ini Shallih sanadnya akan tetapi Bukhari-Muslim tidak menukilnya.” 361
Ya, Hakim meriwayatkan juga hadits Ibnu Majah berikut tambahannya, akan tetapi dengan alasan ketakjuban .dan keheranan, bukan atas dasar berhujjah ares Bukhari-Muslim dengan menggunakan hadits tersebut.362
Ibnu Qayyim juga memuat hadits tersebut di dalam bukunya Al Manar Al Munif dengan menukil pernyataan ulama Ahli Sunnah, dan dikatakan bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan Muhammad bin Khalid Al Jundi. Dinukil dari Al Abiry (Wafat 363 H) pernyataan Al Hakim: Muhammad bin Khalid ini, adalah orang yang tidak dikenal dikalangan ulama dan ahli hadits. Dari Baihaqi juga dikatakan: hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Khalid. Dan Hakim Abu Abdillah berkata tentang hadits ini, bahwa hadits ini majhul dan dalam sanad itu terdapat ikhtilaf dan perselisihan ulama, diriwayatkan darinya dari Aban bin Abi Ayasy, dari AI-Hasan dari Nabi saw.
Hakim Abu Abdillah berkata: Hadits tersebut diriwayatkan Muhammad bin Khalid dan dia adalah perawi yang majhul. Dari Aban bin Abi Ayasy perawi yang layak untuk ditinggalkan. Dari Al-Hasan –diriwayatkan secara mursal– dari Nabi saw, jadi hadis ini terputus sanadnya. Sedangkan hadits-hadits tentang kemunculan Al Mahdi memiliki sanad yang Iebih shahih.363
Ibnu Hajar menukil celaan Abu Amr dan Abu Al Fath Al Azdy terhadap Muhammad bin Khalid.364
Al Dzhahabi berkata: Al-Azdy mengatakan “Dia (Muhammad bin Khalid) orang yang mengingkari hadits Al Mahdi as. Abu Abdillah Al-Hakim mengatakan “Dia perawi yang majhul.” Sedangkan aku berkata: “Hadits “Tidak ada Al Mahdi kecuali Isa Ibnu Maryam” ini adalah hadits yang mungkar yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah.365
Qurthubi berkata “Hadits yang mengatakan “Tidak ada Malldi kecuali Isa” bertentangan dengan hadits- hadits lainnya dalam bab ini. Kemudian ia menukil pernyataan-pernyataan yang mencela Muhammad bin Khalid dan mengingkari hadits-haditsnya: “Hadits- hadits Nabi saw yang menyatakan tentang keluarnya Al Mahdi dari keturunan Fathimah, lebih shahih dari pada hadits ini.”366
Ibnu Hajar berkata: “Nasa’i mengatakan bahwa hadits tersebut mungkar, sedang lainnya dari kalangan huffadz menguatkan bahwa hadits-hadits yang mengatakan bahwa Al Mahdi dari keturunan Fathimah memiliki sanad yang lebih shahih.”367
Sebagaimana Abu Nua’im dalam kitabnya Al Hilya menyifati hadits ini sebagai hadits gharib (asing) dan berkata: “Kami tidak menulisnya kecuali dari hadits riwayat Syafi’i.”368
Ibnu Taimiyah berkata: bahwa hadits yang menyebut “Tidak ada Mahdi kecuali Isa Ibnu Maryam” yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah adalah hadits dhaif yang diriwayatkan dari Yunus, dari Syafi’i dari salah seorang syekh yang majhul (tidak dikenal) yang berasal Yaman dlan sanadnya tidak memiliki hujjah. Kemajhulan tersebut bukan di dalam musnadnya akan tetapi pusatnya ada pada Yunus bin Abdul A’la. Diriwayatkan bahwa dia mengatakan “Aku mendengar dari Syafi’i.” Sedang dalam kitab Khala’iyat dan lainnya disebutkan bahwa Yunus memberitahukan kepada kami dari Syafi’i. Dia tidak berkata: Syafi’i memberitahukan kepada kami. Kemudian dia berkata “Dan ini adalah tadlis (penyusupan sesuatu dalam riwayat) yang menunjukkan kelemahannya. Sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya Syafi’i tidak meriwayatkannya.369
Karena banyaknya celaan yang di arahkan kepada Muhammad bin Khalid Al-Jundi, sebagian pendukung Syafi’i menolak bahwa riwayat hadits ini dari Syafi’i dengan mengatakan bahwa seorang murid Syafi’i berbohong terhadapnya dengan meriwayatkan hadits Muhammad bin Khalid Al-Jundi lalu mengatakan bahwa ia melihat Syafi’i dalam tidurnya dan mengatakan kepadanya “Yunus bin Abdil A’la tidak berdusta dengan mengatasnamakan saya. Padahal ini bukan dari haditsku.”370
Dan Abul Faidl Ghimari telah mendustakan hadits “Tidak ada Mahdi kecuali Isa Ibnu Maryam.” dengan delapan cara yang semuanya cukup kuat.371
Pengakuan kemahdian sebagai dalil
Mereka yang mengingkari kemunculan Al Mahdi di akhir zaman, berdalih dengan banyaknya orang yang mengaku sebagai Mahdi, seperti yang diklaim oleh keturunan Imam Hasan as, bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah Mahdi, demikian juga dengan bani Abbas yang mengumumkan Mahdi Abbasi sebagai Imam Mahdi dan pengakuan-pengakuan lainnya seperti klaim Ibnu Tumart, Mahdi dari Sudan atau Muhammad bin Hanafiyyah.
Pernyataan ini berdiri di atas dasar pengakuan dan propaganda-propaganda kemahdian yang batil. Tidak diragukan lagi bahwa pengakuan ini sekedar penipuan dengan formulasi kebatilan dari satu sisi dan kebenaran dari sisi yang lain, kemudian mencampurkan antara keduanya. Hal ini bisa diketahui dengan berbagai cara di antaranya:
Pertama: Tidak ada satupun dari tanda-tanda kemunculan Al Mahdi dalam kehidupan salah seorang dari mereka yang mengaku sebagai Al Mahdi. Padahal sebagian dari tanda-tanda kemunculan tersebut telah disebutkan dalam Bukhari-Muslim.
Kedua: Mereka yang mengaku Al Mahdi semuanya meninggal dunia tanpa seorangpun yang meyakini bahwa mereka masih hidup.
Ketiga: Mereka tidak berada di akhir zaman, padahal hal itu merupakan syarat kemunculan Al Mahdi as dan tidak diketahui bahwa mereka telah memenuhi dunia dengan keadilan setelah dunia penuh dengan kezaliman.
Keempat: Dan ini yang paling penting, yaitu sesungguhnya bila pengakuan kemahdian itu benar niscaya batillah keadilan. Karena semua thagut dari zaman Fir’aun Mesir sampai Fir’aun masa kini mengaku sebagai penegak keadilan. Ketika itu niscaya kita akan menganggap bodoh para ulama karena adanya orang-orang bodoh yang mengaku pintar. Dan niscaya orang yang berani dalam pandangan kami adalah pengecut dan orang-orang dermawan adalah orang-orang yang kikir, orang yang lemah lembut sebagai orang yang dungu karena tidak ada sifat yang terpuji kecuali hanya dengan mengaku-ngaku.
Dan bila kita kembali ke masalah Al Mahdi, maka kita akan melihat bahwa motivasi terbesar mereka adalah kepentingan dan ambisi politik. Jadi tidak mengherankan jika masalah ini menjadi alat untuk meraih keuntungan-keuntungan pribadi atau golongan.
Sebagaimana orang berakal tidak akan mengingkari adanya kebenaran hanya dengan adanya pengakuan orang yang tidak memiliki hak untuk itu. Maka begitu juga seyogyanya untuk tidak mengingkari kemunculan Al Mahdi as di akhir zaman sebagaimana yang dinyatakan melalui lisan ciptaan Allah yang paling mulianya yaitu Nabi Muhammad saw dengan adanya pengakuan-pengakuan kemahdian yang batil.
Di samping itu juga, adanya pernyataan para ulama terhadap hadits-hadits shahih yang telah diriwayatkan dari berbagai jalur, yang bila dikumpulkan keseluruhannya bisa mencapai derajat mutawatir, sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian di antara mereka.
Setelah tersingkapnya isu-isu ini tinggalah isu lain tentang panjangnya usia Imam Mahdi yang –menurut mereka– bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan.
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang paling penting dan kami akan membahasnya dalam bab akhir seperlunya saja. Supaya jelas bahwa keraguan tersebut justru bertentangan dengan logika dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, akal manusia memiliki batas-batas pemisah dengan kecondongan-kecondongan pribadi dan hawa nafsu. Akal manusia juga memiliki hukum-hukum yang disepakati oleh semua orang berakal dan ini diterima oleh semua orang.
Kemudian, ada satu perbedaan mendasar antara sesuatu yang pada dasarnya tidak mungkin (mustahil) terjadi walaupun itu dilakukan oleh para nabi dan washinya seperti berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan (hitam dan putih), dengan sesuatu yang pada dasarnya mungkin terjadi. Di samping itu perlu diketahui bahwa muhal aqli (mustahil secara akal) tidak seperti muhal ‘ady (mustahil menurut adat dan kebiasan), dari segi mungkin terjadi dan tidaknya suatu hal. Akan tetapi mereka mencampuradukan antara dua hal (muhal ‘aqli dan ‘ady) tersebut yang menyebabkan sangkaan bahwa setiap sesuatu yang menurut adat dan kebiasaan tidak bisa terjadi maka menurut akalpun tidak mungkin terjadi. Hal itu terjadi karena mereka tidak mampu membedakan antara keduanya.
Dalam bagian mendatang akan kami tunjukkan bahwa yang selama ini mereka pegang teguh sebenarnya tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil.
Referensi:
322. Lihat Abu Zahrah, Al-Imamush Shadiq: 238-239, Ahmad Amin, Al-Mahdi wal Mahdawiyyah: 41.
323. Sahih Bukhari 4: 205 kitab Al-Anbiya’ bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil dan 9: 75 kitab Al-Fitan bab Dzikrud Dajjal.
324. Sahih Muslim dengan syarh Nawawi 18: 23 dan 57-78 kitab Al-Fitan wa Asyratus Sa’ah.
325. Ibid 18: 58.
326. Sahih Bukhari 4: 205 bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil, Sahih Muslim 1: 136/ 244 bab Nuzulu Isa bin Maryam AS. Dalam kedua bab tersebut terdapat banyak hadis lainnya yang mengandung makna yang sama.
327. Sahih Muslim 1: 137/247 bab Nuzulu Isa bin Maryam.
328. Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawi 2: 81.
329. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf 15: 198/19495.
330. Rujuk Sunan Tirmidzi 5: 152/2869, Musnad Ahmad 3: 130, Al-Hawi lil Fatawi 2: 78, Faidhul Qadir karangan Munawi 6: 17.
331. Al Hawi Lil Fatawa 2:80.
332. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari 6: 383-385.
333. Irsyadus Sari 5: 419.
334. Umdatul Qari bi Syarhi Shahihil Bukhari 16: 39-40 dari jilid kedelapan.
335. Faidhul Bari ‘Ala Shahihil Bukhari 4: 44-47.
336. Hasyiatul Badris Sari ila Faidhil Bari 4: 44-47
337. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 18: 38.
338. Shahih Mus’tim 18: 39.
339. Sunan Tirmidzi 4: 506/2232.
340. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf 15: 196/ 19485 dan 19486, Musnad Ahmad 3: 80, Abdur Razzaq, Al-Mushannaf 11: 371/ 20770, Mustadrak Hakim 4: 454, Baiihaqi, Dalailun Nubuwwah 6: 514, Tarikhu Baghdad 10: 48, Muqaddasi Syafi’i, ‘Iqdud Durar: 61 bab/ 4, Kunji Syafi’i, Al-Bayan: 506 bab/ 11, Al-Bidayah wan Nihayah 6: 247, Majma’uz Zawaid 7: 314, Ad-Durol Mantsur 6: 58, Al-Hawi lil Fatawi 2: 59, 62, 64.
341. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 18: 4, 5, 6, dan 7.
342. Musnad Ahmad 3: 37, Sunan Tirmidzi 4: 506/ 2232, Mustadrak Hakim 4: 520, Talkhishul Mustadrak karya Dzahabii 4: 520. Abu Daud juga mengeluarkan riwayat ini dalam Sunannya dengan sanad yang sahih seperti yang dinyatakan di dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud 11: 380 syarh hadis ke-4268. Suyuthi telah mengumpulkan banyak jalur riwayat hadis ini berikut siapa saja yang meriwayatkannya dari kalangan shahabat di dalam kitabnya Ad-Durrul Mantsur 6: 712-714 ketika menafsirkan ayat ke-51 surah Saba’.
343. Ghayatul Ma’mul Syarh At-Tajul Jami' lil Ushul 5: 341
344. Al-Mahdiyyah fil Islam: 69.
345. Al-Mahdi wal Mahdawiyyah: 108.
346. Al-Imamush Shadiq: 239
347. Dairatu Ma’arifil Qarnil ‘Isyrin 10: 481.
348. Jabhan, Tabdidudh Dhalam: 479-480.
349. Ali Husain Saih Libiy, Turatsuna wa Mawazinun Naqd: 185, Makalah yang dimuat dalam sebuah majalah fakultas Dakwah Islamiyyah Libya nomer 10 tahun 1993 M - cetakan Beirut.
350. Tarikh Ibnu Khaldun 1:555 pasal 52.
351. Ibid hal: 556.
352. Al-Bazzar: 443
353. Ar-Radd ‘Ala Man Kadzdzaba bil Ahaditsis Shahihatil Waridah fil Mahdi, makalah tulisan Syekh ‘Abdul Muhsin Ibnu Hamd Al-‘Abbad, yang dimuat dalam majalah Universitas Islam Medinah Munawwarah nomer 1 tahun ke-12 nomer urut 46 tahun 1400 H.
354. Ibid.
355. Tarikh Ibnu Khaldun : 564 pasal 52.
356. Ibid.
357. Ibid hal: 565.
358. Ibid hal: 568.
359. Sunan Ibnu Majah 2: 1340/4039. Ibnu sendiri telah meriwayatkan hadis “(Janji kedatangan) Al-Mahdi adalah haq. Dan dia dari keturunan Fatimah” 2: 1368/ 4086. Dalam pembahasan yang lalu telah kami sebutkan para ulama yang menyatakan kesahihannya maupun yang menegaskan kemutawatirannya.
360. Tahdzibut Tahdzib 9: 125/202.
361. Mustadrak Hakim 4: 440 kitab Al-Fitan wal Malahim. Lihat juga Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir 8: 214/7757.
362. Mustadrak Hakim 4: 441-442, kitab Al-Fitan wal Malahim.
363. Al-Manarul Munif: 129/ 324 dan 130/ 325
364. Tahdzibut Tahdzib 9: 125/ 202.
365. Mizanul I’tidal 3: 535/ 7479.
366. At-Tadzkirah 2: 701.
367. Ash-Shawaiqul Muhriqah: 164.
368. Hilyatul Auliya’ 9: 61.
369. Ibnu Taimiyyah, Minhajus Sunnah 4: 101-102.
370. Ibnu Katsir, Al-Fitan wal Malahim: 32.
371. Ibrazul Wahmil Maknun: 538.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email