Foto: Stocksnap.io
Isu kenaikan harga rokok semakin meluas. Melalui akun Twitter resminya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengeluarkan pernyataan resmi bahwa berita itu tidak benar pada Sabtu, (20/8). Hingga saat ini, belum ada aturan baru tentang Harga Jual Eceran (HJE) rokok.
Berita simpang siur tentang kenaikan harga rokok hingga Rp50ribu itu berawal dari hasil studi dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Studi yang melibatkan 1000 responden dan berlangsung dari Desember 2015 hingga Januari 2016 mendapati bahwa sejumlah perokok menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Bahkan, 72% di antaranya menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp50ribu.
Di balik semua kehebohan itu, ada hal penting yang harus kita perhatikan. Sebetulnya sejauh mana strategi menaikkan harga dan cukai rokok efektif untuk menurunkan jumlah perokok?
Data UN Office of Drugs and Crime mencatat Indonesia termasuk salah satu negara dengan harga rokok termurah di dunia. Sebagai perbandingan, rata-rata harga rokok di Indonesia adalah 1,32 dolar AS atau Rp 17.368. Di negara-negara maju, harga rokok di atas seratus ribu rupiah, misalnya di Australia, sebungkus rokok bisa mencapai 16,11 dolar AS atau Rp 211.973.
Di negara-negara berkembang, rokok dijual murah karena menyasar perokok pemula, seperti anak-anak dan remaja. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, tahun 2013, mengungkap fakta bahwa tingkat konsumsi rokok pada anak-anak usia 10-14 tahun masuk kategori sangat tinggi, mencapai 8 batang per hari atau 240 batang sebulan!
Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak dari Universitas Indonesia mengatakan sudah saatnya pemerintah menetapkan legislasi yang tegas untuk rokok ini, guna mengendalikan dampak negatif rokok.
Kenaikan harga rokok juga berdampak bagi penerimaan negara, yaitu meningkatkan pendapatan cukai. Sebagai komoditas, rokok dikenakan cukai (sin tax), karena rokok memiliki dampak negatif bagi konsumennya, bahkan para perokok pasif dan lingkungan. “Di berbagai negara, cukai rokok sangat tinggi untuk mengendalikan konsumsi rokok. Indonesia termasuk yang paling rendah,” kata Haula.
Dalam pernyataan resminya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendukung harga rokok dinaikkan karena akan berefek positif untuk menurunkan konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Dana untuk membeli rokok bisa digunakan untuk membeli bahan pangan.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. “Para tukang becak, supir, yang menikmati rokok, merekalah para pembayar cukai rokok. Tidak heran, dampak sosialnya sangat besar. Rokok membuat yang miskin semakin miskin,” papar Haula.
Di satu sisi, legislasi rokok dianggap berdampak pada kesejahteraan para pekerja industri rokok. Menurut Haula, sebuah kebijakan tidak bisa dipandang secara parsial. Jangan mengggunakan buruh sebagai alasan menolak regulasi tembakau. Pemerintah bisa memberikan solusi lain, misalnya, mengganti lahan cengkih menjadi lahan komoditas pangan lainnya. Negara ini lebih butuh ketahanan pangan, bukan ketahanan tembakau,” tegas Haula.
(Femina/Bebagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email