Data menunjukkan prevalensi merokok penduduk Indonesia cenderung meningkat, jika dilihat dari jenis kelamin, prevalensi merokok perempuan meningkat menjadi 4,5 persen di tahun 2011. Sementara prevalensi merokok laki – laki meningkat menjadi 67,4 persen pada tahun 2011. Bahkan berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) di Indonesia tahun 2011, jumlah perokok saat ini mencapai 61,4 juta penduduk usia 15 tahun ke atas.
Meskipun pada pasal 113, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, disebutkan bahwa pengamanan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Zat adiktif disini meliputi produk yang mengandung tembakau dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya serta masyarakat sekelilingnya.
Menurut peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, cukai rokok adalah instrument yang ampuh untuk mengendalikan konsumsi rokok . Cukai rokok harus tinggi agar mencegah masuknya perokok pemula.
“ Harga rokok masih terjangkau, Rp. 250 per batang bahkan lebih murah dari permen. Ini mendrong prevalensi merokok orang Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebesar 65,9 persen, sedangkan keinginan untuk berhenti merokok maupun yang berhenti merokok sangat kecil presentasenya dibanding negara Asean lainnya,” ujar Abdillah pada konferensi pers di Hotel Atlet Century Park.
Dengan adanya promosi produk rokok yang masif di media, bahkan kerap menjadi sponsor utama dalam perhelatan konser musik dapat pula menggiring anak untuk menjadi perokok pemula.
“ Selain ekspos dari media, keluarga maupun lingkungan sekitar juga mendorong anak menjadi perokok aktif, terbukti dengan bermunculannya fenomena baby smoker di berbagai daerah Indonesia. Balita bisa merokok lebih dari 10 batang rokok setiap harinya, berbicara kasar, minum-minuman keras contohnya Sandi Adi Susanto bocah berusia 4 tahun asal Malang yang sempat jadi pemberitaan,” urai Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Setiap tahun pemerintah dengan persetujuan DPR melakukan penyesuai tarif cukai tembakau untuk optimasi penerimaan negara yang ditargetkan sebesar Rp 88 triliun. Tarif cukai untuk tahun 2013 rata – rata mengalami kenaikan 8,5 % namun kenaikan tarif yang tidak terlalu besar ini tak mampu menurukan konsumsi rokok.
Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, berpendapat bahwa di Indonesia justru industri rokok memonopoli pemerintah, sedangkan di negara lain seperti Cina, Jepang maupun Thailand industri rokok dimonopoli oleh pemerintah, sehingga berat mendorong regulasi yang berpihak pada sektor kesehatan.
“ Cukai adalah pajak dosa, cukai dikenakan pada barang yang menimbulkan dampak negatif bagi pengguna dan sekitar. Pemerintah gagal total bila cukai digunakan sebagai instrument pendapatan negara adalah salah kaprah. Tujuannya seharusnya mengendalikan konsumsi, distribusi dan promosi rokok. Kalau ada cukai seharusnya tidak boleh jadi barang bebas, harus dijual terbatas dan bukan juga dijual batangan,” jelas Tulus.
Industri Rokok Diramal CITA Mati Total Imbas Kenaikan Harga
Rencana kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 per bungkus, menurut Direktur Eksekutif CITA dikhawatirkan akan membuat industri rokok Indonesia mati total/Ilustrasi
Rencana kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 per bungkus, menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dikhawatirkan akan membuat industri rokok Indonesia akan mati total. Dampak lain menurutnya bakal ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran.
"Ini persoalannya ke substitusi penyerapan tenaga kerja di industri rokok yang akan terganggu. Saya yakin 100%, industri rokok kita akan mati kalau itu dinaikkan (harganya)," kata dia kepada Sindonews di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Dia memastikan dampak dari kenaikan harga rokok tersebut, akan lebih banyak negatifnya ketimbang dampak positifnya. Terlebih lagi, alih fungsi pertanian dari tanaman tembakau ke tanaman yang lainnya itu membutuhkan waktu.
"Dampak negatifnya akan lebih banyak. Industrinya bakalan kolaps dan yang dirugikan tenaga kerja. Selain itu, alih fungsi dari tanaman tembakau itu butuh waktu, mau makan apa petani kita," sambungnya.
Lanjut dia menerangkan bahwa industri rokok merupakan salah satu penyerap tenaga kerja yang sangat besar. Pasalnya, rantai usaha rokok dari hulu ke hilir sangat panjang dengan melibatkan lebih dari 6 juta orang.
"Kalau ini tidak dipikirin, pemerintah malah membuat perekonomian kita menjadi mengkerut. Nyatanya sekarang kita berjuang mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi malah seperti ini," pungkasnya.
Rokok 50 Ribu Rupiah? Pertimbangkan Lagi
Murah dan terjangkau
Saat ini publik sedang dihebohkan oleh wacana kenaikan harga rokok. Bagaimana tidak menjadi heboh apabila harga rokok yang awalnya berkisar antara sepuluh sampai dua puluh ribuan akan naik menjadi lima puluh ribu rupiah per bungkus. Kehebohan tersebut kini menjadi perdebatan yang hangat baik di media elektronik maupun viral di media sosial. Tentu saja dalam perdebatan tersebut ada yang pro maupun ada yang kontra menyikapi wacana tersebut.
Gagasan kenaikan tersebut didasari agar konsumsi rokok di negeri ini menurun. Jumlah pengguna rokok di Indonesia terbilang cukup tinggi. Di samping itu, masalah kesehatan juga menjadi pertimbangan untuk menaikan harga rokok. Penjualan rokok di negeri ini juga dinilai cukup murah bila dibandingkan dengan negara lain. Bayangkan saja, dengan uang senilai 15 ribu rupiah saja sudah mendapat rokok dengan merk yang cukup ternama. Lebih jauh tentang itu, wacana kenaikan harga rokok juga demi alasan pendapatan negara. Hal ini dikarenakan cukai rokok merupakan salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar.
Pendapatan negara yang bersumber dari cukai rokok sangatlah besar. Dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup progresif. Data yang penulis kutip dari salah satu stasiun tv swasta menyebutkan bahwa sejak tahun 2010 pendapatan negara dari cukai rokok awalnya sebesar 60 triliun rupiah, dan di tahun ini mencapai 132 triliun rupiah. Perubahan tang cukup signifikandalam lima tahun mencapai kenaikan lebih dari 100%. Dengan harga yang normal saja bisa mencapai angka demikian, bagaimana jika kenaikan harga rokok mencapai 100%, tentu asumsi secara matematis akan berlipat ganda.
Memang tidak dapat dipungkiri jika merokok menimbulkan menimbulkan kerugian di berbagai aspek kehidupan. Aspek yang dirugikan pertama adalah kesehatan. Masalah rokok dan gangguan kesehatan memang bagai dua sisi uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Dalam setiap batang rokok terdapat racun yang mengganggu kesehatan. Zat berbahaya tersebut antara lain karbon monoksida (CO) yang dapat mengganggu sistem peredaran darah. Kemudian ada nikotin yang menimbulkan efek kecanduan. Lalu ada TAR yang merupakan zat karsinogenik dan merupakan penyebab berbagai macam penyakit kanker. Bahkan data menyebutkan setiap hari ada sekitar 500 orang yang tewas akibat keracunan asap rokok, sungguh merupakan angka yang fantastis.
Selain berdampak buruk bagi kesehatan, rokok juga berdampak negatif bagi perekonomian, khususnya perekonomian keluarga. Sebagian kecil pendapatan suatu keluarga habis untuk membeli rokok. Bahkan ada yang menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk keperluan membeli rokok. Dengan kata lain, banyak sekali uang yang terbakar melalui rokok yang tidak hanya tidak bermanfaat tetapi justru meracuni. Pengeluaraan yang digunakan untuk membeli rokok seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang lebih bermafaat seperti keperluan sekolah anak, keperluan dapur serta keperluan rumah tangga lainnya.
Kembali lagi menyangkut tentang persoalan pro dan kontra tentang kenaikan harga rokok. Menurut argumen yang pro, kenaikan harga rokok memberikan beberapa dampak positif, antara lain; dapat mengurangi jumlah perokok. Mengingat harga rokok yang murah di Indonesia maka sebagian besar masyarakat Indonesia dapat membeli rokok dengan biaya yang relatif terjangkau. Oleh sebab itu dengan naiknya harga rokok secara signifikan, maka orang akan mempertimbangkan lagi untuk membelinya. Dengan demikian, secara relatif cepat dapat mengurangi jumlah perokok. Dampak positif lain ialah meningkatnya pendapatan negara. Seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya mengenai pendapatan negara dari pajak cukai rokok. Kebijakan menaikkan harga rokok akan memperbesar peluang negara meraup pendapatan yang lebih besar. Bagi mereka yang pro dengan kebijakan ini, pendapatan negara yang lebih besar ini bisa dialokasikan untuk jaminan kesehatan, mengingat dari rokok itu sendiri telah menimbulkan gangguan kesehatan. Maka cara inilah yang dinilai efektif untuk program peningkatan pelayanan kesehatan.
Penyumbang pendapatan negara
Sekilas memang gagasan menaikkan harga rokok berikut alasannya seperti ide yang sangat cemerlang. Tetapi menurut pandangan penulis, tidak serta merta dapat diimplementasikan begitu saja yang kemudian dapat memberikan dampak yang berarti. Perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dari berbagai macam sudut pandang. Diawali dengan sikap masyarakat terutama perokok aktif. Mereka tidak serta merta kan langsung berhenti merokok begitu saja setelah kebijakan ini dikeluarkan. Mereka telah menjadi pecandu yang tidak mudah untuk menghilangkan kebiasannya. Mereka akan tetap merokok dengan cara yang semurah mungkin, misalnya dengan meracik tembakau sendiri yang justru lebih berbahaya karena asap lebih pekat. Bisa jadi mereka para perokok akan beralih ke rokok tanpa cukai yang tentu bersifat ilegal.
Bak gayung bersambut bagi produsen rokok nakal. Seakan tak mau kehilangan pasar, mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Para perokok yang sudah terlanjur kecanduan akan melakukan permintaan permintaan kepada produsen rokok dengan harga yang murah. Ini artinya akan terjadi peredaran rokok ilegal secara besar-besaran. Maka proyeksi pendapatan negara yang telah direncanakan tersebut akan hilang dan asumsi untuk menambah alokasi kesehatan yang bersumber dari cukai rokok juga naif.
Ada imbas yang lebih berbahaya dari rokok racikan sendiri dan rokok ilegal, yaitu rokok palsu. Jika praktik ilegal diawasi dengan ketat, maka produsen rokok akan memutar otak dengan cara yang lain. Salah satunya dengan membuat rokok palsu. Memalsukan rokok dari merk terkenal dengan bahan baku yang jauh dibawah standar merk tersebut. Analoginya, jika beberapa waktu lalu santer diberitakan mengenai vaksin palsu, maka sekarang akan muncul rokok palsu. Vaksin yang hakikatnya obat saja jika dipalsukan akan berbahaya, bagaimana dengan rokok yang pada hakikatnya adalah racun. Sudah racun, palsu pula.
Pada akhirnya kembali lagi kepada tujuan dari sebuah kebijakan yang akan diambil. Jika memang substansi kebijakan tersebut dimaksudkan agar mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia, maka tidak perlu dengan menaikkan harga sedemikian rupa. Langkah preventif dan represif dapat diambil untuk mencegah dan mengurangi jumlah perokok. Edukasi tentang bahaya merokok harus disosialiasikan sejak dini dan perlunya pengawasan orang tua karena kalangan pelajar dan remaja sudah tidak asing lagi dengan rokok. Langkah represif yang dapat ditempuh ialah memperbanyak pusat rehabilitasi bagi pecandu rokok agar mampu mengurangi kebiasaannya merokok.
Tidak akan langsung menghentikan
Kemudian, jika tujuan kebijakan tersebut hanya mengarah agar pendapatan negara bertambah, tidak perlu juga dengan dengan menaikkan harga. Hal ini dikarenakan tanpa kenaikan harga-pun pendapatan negara dari sektor PPN cukai rokok sudah cukup tinggi dan setiap tahun mengalami pertambahan. Namun sebaiknya pemerintah menggagas kebijakan ini karena didasari akan kesehatan masyarakat, bukan untuk mengeruk pendapatan sebanyak-banyaknya. Jika masyarakat sehat maka produktivitas juga akan sehat dan mampu meningkat derajat perekonomian. Penulis teringat dengan pernyataan pemilik perusahaan rokok terkemuka di Indonesia yang justru sama sekali tidak pernah merokok. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa rokok dibuat untuk orang yang tidak dapat membaca. Ini artinya hanya orang yang tidak mengerti akan bahaya rokok yang tetap dengan enjoy masih merokok. Jika orang sudah tahu dan mengerti maka tidak ada niat terbesit sedikitpun dalam pikirannya untuk coba-coba merokok seperti halnya penulis pribadi.
(Femina/Sindo-News/Anfield-Village/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email