Oleh: Syilvia Yani
Adalah fakta yang nyata bahwa filsafat Islam merupakan hasil kreasi atau ijtihad kaum Muslimin. Bermacam tradisi dan kebudayaan bangsa memiliki kontribusi atas pengembangan dan pengkayaan filsafat Islam. Peradaban Islam pada masa puncaknya bukan hanya tidak memblokir arus ilmu pengetahuan, tapi juga mengamini dan mendukungnya. Dan jauh dari menentang filsafat, ia disambut dan dipeluk dengan rentangan tangan terbuka. Islam menyambut berbagai macam opini dan pandangan dari setiap sudut dan warna. Islam mengajak manusia untuk mengobservasi dan merenungi misteri, menantang diskusi dan penelitian serta membuka kebebasan berpikir.
Salah satu issu besar dalam tradisi filsafat Islam yang hangat diperdebatkan filosof Muslim adalah seputar kausalitas. Kausalitas merupakan salah satu persoalan fundamental dalam filsafat. Pada abad pertengahan, para filosof Muslim disibukkan perdebatan yang produktif tentang kausalitas yang dipandang semata-mata dari perspektif filsafat dan teologi Islam. Puncak perdebatan yang produktif tersebut ditandai saling silang pendapat dan tuduh menuduh antar filosof, seperti Al-Ghazali dengan kitabnya al tahāfut al falāsifah yang segera dibantah oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya tahāfut al tahāfut. Al-Ghazali mendebat (menyanggah) pandangan para filosof (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang berpendapat bahwa ada hukum kepastian (dharūry) antara sebab dan akibat dalam peristiwa-peristiwa alami. Al-Ghazali berargumen bahwa hubungan sebab dan akibat tidak bersifat kepastian karena Allah Swt. adalah Pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan. Sebab itu, Allah Swt. adalah sebab lain dibalik peristiwa-peristiwa alami yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru merupakan sebab hakiki. [1]
Al-Ghazali kemudian mengaitkan persoalan kausalitas yang dipegangi filosof dengan mu’jizat para nabi. Menurutnya padangan filosof itu dapat mempengaruhi keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi, mu’jizat yang diartikannya sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam akan dilemahkan oleh pandangan kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa alami mesti mempunyai sebab yang pasti dalam alam itu sendiri. Karena itu, Al-Ghazali menolak pandangan bahwa hubungan-hubungan kausalitas sebagai hubungan-hubungan di antara objek-objek alamiah itu sendiri, dan objek-objek itu berada di luar dan tidak tergantung dari kehendak Allah Swt. Allah Swt. adalah Pencipta segala yang wujud termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Dengan gagasannya ini, Al-Ghazali menegaskan keyakinan teologis Islam dengan mengatasi perdebatan tentang kausalitas yang alamiah dengan mengedepankan kemahakuasaan Allah Swt.
Menurut Ibnu Rusyd bahwa sanggahan Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya hubungan kemestian antara sebab dan akibat merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan hati nurani mereka. [2] Namun begitu, Ibnu Rusyd mengakui bahwa persoalan ini sangat pelik dan untuk memecahkannya membutuhkan renungan mendalam. Menjawab kekhawatiran Al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd secara sederhana menjalaskan bahwa pendirian para filosof tentang kausalitas tidak akan merusak keimanan seseorang terhadap mu’jizat para nabi. Ia kemudian merumuskan dua macam mu’jizat, yakni mu’jizat al barrāniy dan mu’jizat al jawwāniy.[3] Pada zaman modern sampai saat ini, pandangan, pemikiran dan pengetahuan manusia tentang kausalitas menjadi salah satu faktor dasar penentu perkembangan kemajuan sains dan teknologi. Ditangan sains dan teknologi, perdebatan tentang kausalitas menjadi bersifat materialistik dan dialektik. Kausalitas menjadi sebatas objektivitas persepsi inderawi yang bersifat mekanik dan statis. Karena itu, kausalitas kehilangan aspek spiritual atau ke-Tuhan-annya. Faktor perkembangan ini menyebabkan pendangkalan dan penyelewengan dalam kesadaran bahwa kausalitas adalah bagian dari hukum-hukum kekuasaan Tuhan menjadi lingkaran sempit sekularitas dunia inderawi manusia modern. Penyelewengan ini pulalah yang menyebabkan terperangkapnya manusia modern dalam berbagai penderitaan psikis dan spiritual yang berujung pada kerusakan lingkungan dan alam.
Segera muncul pemikir-pemikir, khususnya di kalangan Islam, yang mengkritik secara tajam pandangan materialistik dan dialektik dalam sains modern tersebut terhadap prinsip kausalitas. Dalam bahasan inilah dijumpai urgensi pemikiran seorang Muhammad Baqir Ash – Shadr, tokoh yang menjadi fokus penelitian makalah ini. Secara khusus dalam pemikiran dan karya-karyanya, ia mengarahkan kiritk terhadap kepicikan pandangan sains modern tersebut, tetapi secara strategis memberi warna dan pembaharuan tertentu paham keagamaan Islam kontemporer dengan penekanan pada pentingnya logika, perlunya kausalitas dan peran pemikiran filosofis dan teologis dalam menundukkan kekacauan sekularisme dan agnotisisme.
Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna ia dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.[4]
Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Mehammad Baqir Shadr sebagai teoritisi kebangkitan Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr ingin menyajikan kritik yang serius terhadap aliran marxisme dan kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di bidang ini.[5]
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1 Maret 1931 M dari keluarga religius. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak. Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof.[6]
Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya Ushul ilm al-fiqh ( asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas Al-Qurâ’an, Hadis, Ijmaâ dan Qiyas ). Pada usia sekitar enam belas tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islami. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-Ushūl (pemikiran puncak dalam Ushul). Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.
Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Muhammad Baqir Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur-Tengah pada umumnya. Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980, barangkali ini merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis Islamnya yang paling penting.[7]
Tapi ketenaran Shadr justru setelah ia dihukum gantung oleh pemerintahan Irak. Reputasi Shadr semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan pada orang-orang pentingnya Shadr bagi gerakan bawah tanah Syi’ah di Irak. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai mukadimah panjang mengenal alim Syi’ah ini oleh seorang orientalis muda Jerman. Jadi tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia Syiâah dan di dunia Muslim pada umumnya.
Secara etimologi kata kausalitas dalam bahasa inggris: causality, berarti “hubungan sebab dan akibat”.[8] Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab” yang mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain.[9] Orang-orang Arab Aqhah (yang masih murni bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian: “Siapa yang takut pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga. Meski dia menemukan jalan ke langit melalui tangga”.
Pengertian di atas sama dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman artinya: “Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit”). (QS. Shad [38]: 10)
Allah SWT juga berfirman di dalam al-Quran artinya: “Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian”. (QS al-Mu’min [40]: 36-37)
Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan terhadap murka Allah), dan contoh lainnya. Begtu juga dalam istilah ahli ushul fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan pemberitahuan disyariatkannya hukum.[10]
Juga dikatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.
Dengan demikian, perantara yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab, sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat. Kaidah Kausalitas adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. Kausalitas merupakan landasan dalam menjalankan berbagai aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula, tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat ataupun jauh.
Seiring dengan itu, dalam Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan hukum kausalitas ialah sesuatu yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara gejala-gejala. Satu gejala tersebut disebut sebab yang menentukan yang lainnya yang disebut akibat atau konsekwensi [11]. Dalam bahasa sederhana hukum kausalitas dapat kita artikan sebagai sebuah hukum sebab-akibat.
Dalam periode perkembangan sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum kausalitas ini sangat terkait erat dengan teori yang membicarakan masalah proses penciptaan alam, fenomena-fenomena yang berhubungan manusia dan alam serta berlanjut dengan lahirnya teori sains dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Seperti disinggung di pendahuluan, diantara tokoh yang sangat populer dalam membicarakan masalah kausalitas ini dalam sejarah pemikiran Islam pada zaman kalsik adalah Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut Al-Falasifah. Al-Ghazali mempermasalahkan apakah hukum kausalitas ini adalah sebuah hal yang pasti dan sebuah keniscayaan? Hal ini dilandasinya pada konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada, termasuk peristiwa yang berada diluar kebiasaan yang disebut mu’jizat. Menurut al-Ghazali hubungan antara sebab dan akibat tidaklah bersifat dharury atau kemestian.
Dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing mempuanyai individualitasnya sendiri. Sebagai contoh kertas tidak mesti terbakar oleh api dan basah oleh air, semua ini hanya adat kebiasaan alam bukan suatu kemestian. Karena terjadinya sesuatu dialam ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.[12] Dapat diperkirakan pemikiran al-Ghazali tidak bisa kita lepaskan dari paham teologi Asy’ari yang tekenal dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dan dapat juga kita pahami bahwa al-Ghazali ingin mempertahankan akidah umat islam agar tidak terjebak pada paham kausalitas yang menurut filosof tedahulu terkesan menafikan adanya penyebab utama dari hukum sebab akibat ini yaitu Allah.
Terkait dengan teori al-Ghazali ini pada sejarah pemikiran Islam terdapat bantahan oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Tahafut al Tahafut yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang pasti antara sebab dan akibat. Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan tidak adanya sebuah kemestian atau pengingkaran akan adanya sebab yang melahirkan akan adanya musabab atau akibat merupakan pernyataan yang tida logis.[13] Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda yang terdapat dalam alam ini mempunyai sifat dan zat tertentu yang di sebut dengan sifat zatiah. Bahwa untuk terwujudnya segala sesuatu kemestian mesti ada daya atau kekuatan yang ada sebelumnya. Seperti api mempunyai sifat zatiah membakar sedangkn air mempunyai zatiah membasahi. Sifat zatiyah inilah yang membedakan antara api dan air.[14]
Dilihat dari substansinya, perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan adanya Allah swt. sebagai penyebab utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas dalam filsafat Islam menjadi teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif demikian menjadi sumber utama kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal bahwa kausalitas materialisme telah memberikan sumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan modern yang bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun demikian, seperti akan dilihat dalam uraian berikut, menurut Shadr pendekatan logika dan filsafat spekulatif sangat diperlukan dalam memahami prinsip kausalitas agar manusia tidak terjerumus pada paham materialisme yang membawa kepada paham ateisme, karena menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt yang menyebabkan terjadinya sebab akibat.
Dalam karayanya falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang telah diungkapkan oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas, yang menyatakakan bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di dunia ini, telah terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk mempertanyakan segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya. Sebagai contoh manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi? Serta sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya sebab yang lain di luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi sebab terhadap wujud tersebut, dan tidak yakin akan adanya sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.
Terkait dengan prinsip-prinsip kausalitas yang diungkapkan oleh kaum empiris dan matrealis Ash Sadr mengawali kritikannya dengan memakai beberapa argumen yang dipakai mereka yaitu: pertama, mengenai pembuktian realitas objektif persepsi indrawi, kedua, semua teori dan hukum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen, ketiga, kemungkinan penyimpulan-penyimpulannya dalam bidang filsafat maupun ilmu.
[1] Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi indrawi
Menurut Ash Shadr pertama, persepsi indrawi tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan bukan tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua, mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu ketetapan yang niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak perlu tahu terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan realisme. Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat terjadi dengan berdasarkan prinsip kausalitas.
Sebagai contoh: ketika manusia dalam keadaan sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau membayangkan hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa mengetahui realitas objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.
[2] Kausalitas dan teori-teori ilmiah
Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasinal, menurut Ash Shadr secara umum pada dasarnya bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada beberapa bentuk hukum kausalitas diantaranya:
[1] Prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
[2] Hukum keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
[3] Hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.
Dalam ketiga komponen teori ilmiah dan kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena sangat erat kaitannya satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang berhubungan dengan eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan menafikan adanya sebuah kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang sangat mendukung argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya berkaitan erat yaitu berupa hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat diterima sebagai kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya sebelum teori dan hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan.[15]
sebagai contoh sadr mengambil teori eksperimen seorang ilmuan terhadap roda-roda mobil kayu dimana di antara roda-roda itu kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam keadaan panas. Dan bila didinginkan kerangka-kerangka besi itu akan mengerut dan akan mengetup diroda-roda kayu. sadr menganggap bahwa para ilmuan ini telah berkali-kali menguji eksperimenya yang pada akhir eksperimennya tidak akan bisa lepas dari pertanyaan selama anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa anda mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak anda uji itu juga bisa memuai karena panas? Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas, akal yang tidak mau menerima keserampangan dan kebetulan.
Tetapi menerangkan alam semesta berdasarkan kausalitas dan hukum-hukumnya. Termasuk hukum keselarasan dan keniscayaan, mendapati dan eksperimen-eksperimen yang terbatas, dari contoh ini telah jelas alasan untuk menerima teori umum yang menyataka: benda-benda di alam bisa memuai karena panas, artinya ilmuan hanya mengambil kesimpulan secara umum dari beberapa benda yang bisa memuai karena panas seperti besi dan benda jenis logam lainnya, karena ada zat yang menyelaraskan antara zat panas dan besi. Dengan catatan tidak semua benda bisa memuai karena panas seperti kayu.
[3] Kausalitas dan inferensia
Ketika kita ingin memberikan sebuah pembuktian terhadap suatu eksperimen, menurut Shadr baik dengan cara filsafat maupun melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu. kalau tidak dengan prinsip kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal ini. jadi setiap pemaparan sangat bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Bahkan penolakan terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan oleh para filosof dan ilmuan juga berdasarkan prinsip kausalitas.
Dari uraian diatas sadr menyimpulkan:
[1] Menurutnya prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
[2] Prinsip kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip kausalitas.
[3] Prinsip kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan tehadap prinsip kausalitas ini.
Selanjutnya hal yang sangat penting dalam karyanya falsafatuna Shadr memaparkan empat teori penting yang berhubungan dengan prinsip kausalitas untuk menepis pemahaman kaum empiris dan matrealis yang menafikan adanya sebab utama dari sebab-sebab yang ada didunia ini yaitu Allah. Teori ini diawali shadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab?[16]
Teori pertama: Teori Wujud (eksistensi)
Teori ini menyatakan bahwa agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari kebutuhan tersebut, karena kebutuhan tersebut adalah misteri yang tersembunyi didalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah bersebab.
Teori kedua: Teori penciptaan
Yaitu teori yang menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya menuntut adanya sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada. Jadi pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong utama yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan dengan setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. berdasarkan teori tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa tertentu, jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan permanen dan tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan akan sebab dan tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.
Teori ini berlebihan dalam membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki pembenaran dari segala filsafat. Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. karena pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh manapun proses perpanjangan itu.
Teori ketiga: Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan Eksistensial
Dua teori ini menyatakan bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi perbedaan filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori ketiga ini Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud yaitu sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis berhubungan dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan pena yang ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.
Teori keempat: Fluktuasi Antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas
Dengan teori ini Shadr bermaksud menjelasnya bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan tanpa melibatkan sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan.[17] Kehidupan dan sejarah, seperti dikatakan Shadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari ketidak pastian antara kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam (internal). Sebagai contoh, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik.
Beberapa aspek dari pemikiran Shadr tentang kausalitas yang menarik disimak antara lain kontribusinya dalam memberi warna pada pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Tidak mengikuti para filosof Islam klasik, penjelasan Shadr tentang kausalitas tidak hanyut dalam ranah teologik dan metafisik, tetapi lebih dekat pada realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik pendirian empirisme dan materialisme dalam prinsip kausalitas dengan mengatakan bahwa inderawi saja tidak cukup untuk mengungkapkan adanya realitas objektif.
Dalam hal pembaharuan pemikiran Islam, Shadr mengemukakan kritiknya dengan mangatakan, yang salah satunya, bahwa dalam fenomena-fenomena di alam semesta intervensi Tuhan tidak berlaku secara mutlak. Hal itu karena secara kausalitas dapat dijelaskan perkembangan dan pertumbuhan timbul dari adanya kontradiksi-kontradiksi dialektis dalam proses alamiah. Semua itu, dimaksudkan bukan hanya dalam rangka merespon perkembangan pemikiran manusia dalam sains tetapi berperan memberikan kiritik-kritik terhadap jalannya sains yang cenderung lari dari kenyataan metafisik.
Referensi:
[1] Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah Kerancuan Para Filosuf, diterjemahkan dari judul asli Tahafut al-Falasifah oleh Ahmadie Thaha, (Jakarta: Panjimas, 1986), h. 199; lihat juga Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 174
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Ibid, h. 232
[3] Mu’jizat al barraniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis ini boleh jadi pada suatu waktu akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapnya, ia tidak lagi dipandang sebagai mu’jizat. Mu’jizat al jawwaniy adalah mu’jizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya. Mu’jizat jenis inilah mu’jizat yang sesungguhnya, karena tidak akan dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan manapun dan kapanpun. Ibid, h. 237
[4] Chibli Mallat, Menyegarkan Islam: Kajian Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash Shadr, terj, dari judul asli: The Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001),h.26
[5] Ibid, 27
[6] Muhammad Baqir Ash Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, terj, (Bandung: Mizan, 1993), h. 11
[7] Ibid, h.12
[8] John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 103
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 161
[10] Samir ‘Azzam, Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam Kehidupan Muslim, artikel internet
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996), h. 399
[12] Sirajuddin Zar,op.cit., h. 175
[13] Ibid,h. 232
[14] Ibid, h. 233
[15] Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna, op.cit.,h.211
[16] Ibid, h. 216
[17] Ibid, h. 221
(Teras-Erwin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email