Pesan Rahbar

Home » » Aliran Syiah Nusantara

Aliran Syiah Nusantara

Written By Unknown on Sunday, 30 October 2016 | 19:01:00



Oleh: PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH


BAHAN BACAAN

1. Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh : "Syi'ah, Rasionalisme dalam Islam",(Semarang, 1972).
2. Prof. Dr. H Aboebakar Aceh : "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya - Malang, 1956 eet. ke-IV).
3. Abdul Hafid Faragli : "Ahlul Bait fi Misr", (Cairo Desember 1974).
4. Asad Haidar : "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahilil Arba'ah",(hal. 216 - 218).
„Haditsuts Tsaqalain", 1952 M. Penerbitan „Darut Taqrib bainalMazahibil Islamiyah".
5. Muhammad Abdul Baqi : „As-Sa'ral Anwal Fil Islam".
6. Hakim An-Naisaburi : "Ma'rifah Ulumul Hadits".
7. Abu Abdullah Az-Zanjani : "Tarikhul Qur'an."
8. Dr. C. Snouck Hurgronje : "De Islam in Nederlancsh-Indie",Serie II, No. 9, dari "Groote Godsdiensten".
9. Sayyid Alawi bin Thahir Al-Haddad : "Sejarah PerkembanganIslam di Timur Jauh", Jakarta, 1957.
10. Dr. H. J. de Graaf : "Geschiedenis Van Indonesia", (hal. 87).
11. Dr. K.H.J. Cowan : "A Persian Inscription in Nort Sumatra" dimuatDalam Majallah "Tijdschrift Voor Taal, Land en Vilkendunde,Deel LXXX, 1940".
12. L.W.C. Van den Burg : Le Hadramaut et les Arabs et India".


Daftar Isi


ALIRANSYI'AHDINUSANTARA1
O L E H - 1
PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH - 1
BAHAN BACAAN - 2
P E N D A H U LUA N - 4
NAMA DAN AJARAN - 6
AHLUL BAIT, DAN MUSHAFNYA - 12
ALI as DAN QUR'AN Karim - 22
AHLI TAFSIR SYI'AH - 32
HADITS DAN JA'FAR SHADIQ - 38
KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA - 50
BILAKAH MASUK ALIRAN SYI'AH KE NUSANTARA - 56
RAJA-RAJA DARI KETURUNAN SYI'AH ATAU - 62
AHLIL BAIT DI NUSANTARA - 62
Biografi penulis - 67
Daftar Isi - 71


PENDAHULUAN

Sesudah saya menulis beberapa kitab mengenai Mazhab Syi'ah, terutama Syi'ah Isna Asyar Imamiyah atau Mazhab Ahlil Ba'it, dan tersiar tidak saja diseluruh Indonesia, tetapi juga diluar Negeri, misalnya di Malaysia, banyak orang bertanya kepada saya, kapan aliran Syi'ah itu masuk ke Indonesia.

Saya jawab, bahwa mengenai Islam, aliran Syi'ah-lah yang mula-mula masuk ke Indonesia, melalui orang-orang Hindu, yang sudah masuk Islam, dan yang terserak ditepi pantai pulau-pulau Indonesia mengurus perdagangan dengan bangsa-bangsa Asing yang datang berdagang ke Indonesia itu.

Ada yang termasuk Mazhab Ahlil Ba'it, dan ada yang menyeleweng diantara orang-orang Syi'ah yang datang ke Indonesia ini.

Kitab-kitab dalam Bahasa Belanda, diantaranya, "De Leering van Walisongo" ada dijelaskan hal itu dan kitab--kitab yang lain misalnya karangan Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje. Prof. Dr. Pangeran Aria Hussain Dayadinigrat, B.J.O. Schrieke, dan lain-lain. menyebutkan, bahwa orang-orang Islam yang mula-mula masuk ke Indonesia itu adalah orang-orang Syi'ah, dengan lain perkataan yang dinamakan „golongan Sayid atau Syarif" yang kebanyakkannya kemudian menjadi raja-raja di Nusantara.

Keterangan yang lebih lanjut dapat juga dibaca dalam kitab-kitab penerbitan gerakan Ba Alawi, yang teratur sekali mendaftarkan keturunan Ali bin Abi Thalib di Indonesia.

Sekali-kali bukanlah golongan Salaf yang mula pertama masuk ke Indonesia menyiarkan agama Islam, boleh jadi juga golongan Salaf tetapi Salaf Syi'ah, yang kebanyakannya dikejar-kejar di tanah Semenanjung Arab oleh Bani Abbas di Timur atau Bani Umayyah di Barat, lalu mereka lari ke Asia dan menyiarkan agama Islam disini.

Maka saya catatlah beberapa hal tentang kedatangan orang-orang Syi'ah itu ke Indonesia, mula-mula atas permintaan bahagian kebudayaan dari Pemerintah Malaysia, kemudian saya terbitkan disini sebagai risalah ini, untuk dibaca oleh bangsa Indonesia sendiri.

Atas keterangan saya ini saya mempunyai lengkap dokumentasi.

Demikianlah adanya.

Jakarta, 24 Juli 1977.

Wassalam,

H. Aboebakar Atjeh.


NAMA DAN AJARAN

NAMA Syi'ah itu pada awal mulanya berarti golongan, firqah dalam bahasa Arab.

Tetapi telah pada permulaan Islam nama ini terutama digunakan untuk suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang sepaham dan membela Ali bin Abi Thalib, khalifah yang keempat, suami dari anak junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., bernama Fatimah dan kemenakan penuh dari Nabi, karena ia anak pamannya Abu Thalib, saudaranya ayahnya.

Dalam masa salaf, zaman Nabi dan sahabatnya, perkataan ini belum digunakan orang, tetapi untuk itu dipakai perkataan Ahlil Bait atau Alawi atau Bani Ali atau Ba Alawi.

Orang-orang Syi'ah itu, artinya orang-orang yang masuk golongan Saidina A l i , mempercayai bahwa Saidina A l i itulah orang yang berhak menjadi pengganti Nabi sesudah wafatnya, begitu pula khalifahan itu turun-menurun dari padanya, sebagai orang yang berhak menjadi Imam, yaitu kepala masyarakat kaum muslimin, karena mereka itulah, yang juga dinamakan Ahlil Bait, yang lebih mengetahui dan lebih dekat serta lebih meyakini akan ajaran Nabi Muhammad.

Uraian yang panjang lebar tentang segala sesuatu mengenai Syi'ah, sudah saya uraikan dalam karangan saya, "Syi'ah, rasionalisme dalam Islam", (Semarang, 1972), dan kitab "Al-Ja'fari, Mashaf Ahlil Bait" (sedang dicetak).

Disana saya uraikan lengkap mengenai sejarah terjadi dan pertumbuhannya, perkembangan aliran dan mashafnya mengenai tafsir, ilmu Hadist, ilmu fiqh, tarikh tasyriq, bermacam-macam aliran Syi'ah, seperti Isyna Asyarah Imamiyah, Zaidiyah, Isma'iliyah, Jabaliyah, dan lain-lain.

Imam-Imam dan sejarah perjuangannya, ulamaulama dan pengarang-pengarang, penyiaran kitab-kitabnya, yang bersifat agama dan ilmu pengetahuan, jasa-jasanya dalam penyiaran dan perkembangan Islam seluruh dunia.

Beberapa kejadian sesudah wafat Nabi SAW, seperti bangkit kembali Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan kerajaan-kerajaannya, yang kemudian, juga bercekcokan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib, pembunuhan atas diri khalifah Usman, yang dituduhkan secara palsu oleh Yazid bin Mu'awiyah, kepada Ali dan lain-lain.

Menyebabkan pada akhirnya keluarga-keluarga AhlilBait ini, mengungsi kedaerah Persia dan India, Cina, Asia Tengah, Afrika dan Nusantara yang dapat menampung mereka, dan menyelamatkannya.

Hal ini terutama sesudah terjadi pembunuhan atas diri Sayidina Hasan dgn racun, dan Sayidina Husain as dalam peperangan di Karbala.

Sayidina A l i sendiri dalam tahun 40 H. (661 M) dibunuh oleh salah seorang fanatik, Ibn Muijam, dari golongan Khawarij, dan sesudah gugur pula anaknya dalam pertempuran yang dahsat dimedan peperangan Karbala pada tahun 61 H. (680 M), sebagai putra Mahkota yang melawan Yazid dari Bani Umayah, maka makin bertambah tambahlah hebatnya perkembangan golongan Syi'ah ini, yang meluap kesebelah timur, terutama Persia dan India, dan Asia Tengah serta Afrika Utara.

Sebenarnya hubungan Iran-Indonesia telah berlangsung lama dan selalu baik.

Dalam buku „Al-Islam Fi Indonesia" karangan Dzya Shahab dan Haji Abdullah b. Nuh, yang diterbitkan "Badan Penerbit Saudi Arabia" Jeddah, dikisahkan bahwa pelayaran laut ke Asia Tenggara dan Asia Timur lama dikuasai orangorang Persia bersama Arab.

Hubungan teluk Persia dengan Indonesia lalu lintas kuat.

Banyak kota-kota di Indonesia di diami orang-orang Persia dan Arab.

Juga dinukil dari buku Al-Damashky, yang mengatakan dalam bukunya „Nakhbat-al-Dahr" bahwa arusperpindahan Muslimin ke Indonesia, meningkat pada zaman bani Umayah, yang dikenal karena kezalimannya.

Ibn Batuta, pelancong Marokko diabad ke 13 (787 H) menyatakan bahwa ketika mengunjungi Samudra dan Pasai dia banyak bertemu dengan Muslimin dan orang-orang Persia.

Terdapat ulama besar Abdullah Shah Muhammad bin Shaikh Taher (wafat 787 H).

Pada zaman Malik al-Kamil terdapat Qadhi (hakim) Al-Sharief Amir Sayyid Al-Shirazi.

Sedangkan dizaman Al-Malik al-Zahir, terdapat ulama besar Tajuddin Al-Isphahani dan banyak lagi yang namanama mereka terukir dalam nisan-nisan diatas kuburnya masing-masing".

Ibn Batuta berkata pula bahwa wakil Laksamana di Samudra-Pasai adalah seorang Persia bernama Behruz.

Terdapat sebuah desa di Samudra kubur dari Hisauddin yg wafat pada tahun 1420 M.

Menurut Sir Richard Winsted, kuburannya sangat menarik karena terukir beberapa shair dari Sa'di, pujangga Iran yang dikubur di Shiraz, a.1. berbunyi :

„Ribuan tahun akan datang dan pergi

diatas kubur kita melintasi

Selama itu air mengalir dan angin Saba mengembus

dan waktu hidup segera terputus

Mengapa melintasi kubur orang

dengan jalan angkuh lantang ?

Disamping itu kita juga lihat berbagai nama raja-raja di Indonesia memakai gelar-gelar yang dipakai juga di Iran.

Berbagai adat istiadat di Jawa, Sumatra dan Sulawesi banyak persamaannya dengan yang ada di Iran.

Kebiasaan-kebiasaan tidak pernikahan atau merayakan pesta-pesta pada bulan Suro, mirip dengan kebiasaan Iran.

Demikian pula kisah bubur merah bubur putih dan cerita-cerita yatim, mempunyai latar belakang yang sama.

Prof. Husein Jayadiningrat almarhum, banyak mengadakan penelitian mengenai hubungan kebudayaan Iran-Indonesia, dimana kemudian Prof. Husein Jayadiningrat mengatakan banyak pengaruh Iran dalam bahasa Indonesia.

Dalam aliran Sufi di Indonesia banyak masuk pengaruh Tasauf Persia seperti pengaruh Junaid, Hallaj, Jalaluddin al Rumi, Shams al-Tebrisi.

Belum lagi pengaruh Al-Gazali yang demikian popuier di Indonesia.

Cerita-cerita Iskandar Zulkarnaen, Kisah Am'r Hamzah, Kisah Yusuf dan Zulaikha, Mu'jizat-mu'jizat para Nabi sangat terkenal dikawasan ini berasal dari literatuur Iran.

Di daerah ini aliran Syi'ah dianut, dan bersama dengan orang-orang Persia dan India ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Syi'ah itu pergi ke Nusantara untuk menyiarkan agama Islam menurut pahamnya, sambil melanjutkan perdagangan dengan Timur Jauh, yang sudah terjadi sejak dahulu, Lih. karangan saya "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya-Malang, 1956. eet. ke-IV).

Keturunan dari Sayidina Hasan biasa sehari-hari dinamakan Syarif, dari Sayidina Husain disebut Syayid, keturunan wanita masing-masing dinamakan Syarifah dan Syayidah.

Perlu dicatat disini, bahwa hijrah dari pada keturunan Ahlil Bait ini, banyak ke Mesir, dan dari sana kedaerah-daerah Islam yang lain, sebagaimana banyak yang hijrah ke Persia dan India, yang kemudian kedaerah Islam yang lain.

Baik juga pembaca memperhatikan sebuah kitab baru yang diterbitkan oleh "Al-Majlisul A'la Lisy-Syu'unil Islamiyah" di Cairo, yang bernama "Ahlul Bait fi Misr", karangan Ust. Abdul Hafid Faragli (Cairo Desember 1974 M).


AHLUL BAIT, DAN MUSHAFNYA

Dalam kitab karangan saya mengenai "Syi'ah, nasionalisme dalam Islam" (Semarang, 1972), saya uraikan tentang pengikut Syi'ah Ali ini dengan mashafnya, yang bernama Ahlil Bait, sebagai berikut.

Memang disana-sini kita mendengar kecaman terhadap Mashaf Ahlil Bait, yang menggunakan hadits-hadits tersendiri dan berbuat bid'ah.

Misalnya oleh pengarang sejarah yang terkenal Ibn Khaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi acap kali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umayah atau Bani Abbas, yang membenci mashaf ini, karena ia teruntuk khusus bagi Syi'ah Ali bin Abi Thalib.

Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannya, banyak penyusun-penyusun kitab dalam segala bidang meninggalkan kemegahan bagi Syi'ah, meskipun pada bathinnya kadang-kadang mereka membenarkannya.

Mengenai jawaban ilmiyah atas kecaman Ibn Khaldun, bacalah kitab "Al-lmam as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, diantara lain jilid kesatu, hal. 216 — 218.

Sebenarnya bukan tidak beralasan, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, menuduh Syi'ah Ali senantiasa kalah menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan mereka.

Jiwa pengajaran Islam dalam daerahnya banyak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi, melalui jalan kasar atau jalan halus terhadap ulama-ulamanya, sedang ajaran Islam menurut Mushaf AhlulBait lebih banyak ditekankan kepada kehidupan dunia dan akhirat.

Jiwa pengajaran Imam As-Shadiq diantara lain adalah kemerdekaan roh, yang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan dengan demikian pengikut-pengikutnya selalu berdaya upaya meepaskan kemerdekaan jiwanya itu dari pada belenggu kekuasaan yang dianggap zalim ketika itu.

Sejak berdirinya mashaf ini terikat dengan dua peninggalan Nabi yang kuat "As-saqalain" yaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnya, Qur'an dan keluarga Nabi, yang berpadu keduanya, tidak berccrai dalam penunaian kewajibannya untuk memberi petunjuk dan hidayat kepada umat.("Haditsuts Tsaqalain", 1952 M., penerbitan "Damt Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah").

Qur'an mencegah memberi bantuan kepada orang yang berbuat zalim dan mempercayainya. Dalam sebuah firman Tuhan berseru :

"Jangan kamu lekatkan kepercayaanmu kepada mereka yang berbuat zalim karena pasti kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu kecuali Allah, yang lain tidak akan dapat menolongmu" (Qur'an surat Hud, ayat 113).

Ajaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang tamak kekayaan dan bertindak secara kekerasan.

Mereka menganggap ajaran-ajaran Imam as-Shadiq itu ditujukan kepadanya.

Dengan penuh keberanian Imam menjalankan terus ajaran semacam ini.

Pengikut-pengikutnya diajar meresapkan rasa adil, yang merupakan pokok terpenting dari pada dasar-dasar penetapan hukum Islam.

Murid-muridnya hanya mematuhi peraturan-peraturan yang tidak melampaui batas Tuhan, yaitu Qur'an dan mentaati imam-imam yang adil serta memelihara agama, imam-imam yang ingin damai, bermutu tinggi dalam akhlak dan budi pekerti.

Sebagai akibatnya rakyat tidak mau mencari penjelasan dalam urusannya kepada hakim-hakim pemerintah yang d'anggap zalim itu, menjauhkan dirinya dari ulama-ulama yang ditunggangi oleh pemerintah (Abu Na'im Halyatul Aulia, III : 195).

Dengan demikian Khalifah Mansur As-Saffah dan Hajjaj bin Yusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadits dan fiqh dalam mempertahankan agamanya itu.

Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, yang betul-betul menjalankan kebijaksanaannya menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah yang benar kebajikan, keadilan, persamaan ukhuwah Islamiyah umum, peradaban yang baik dan kebudayaan yang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid'ah dan kesesatan, yang semuanya itu dapat diperoleh hanya dari keturunan suci, pemimpin-pemimpin mushaf ini.

Karena merekalah yang sanggup memimpin umat kepada agamanya, membawanya kepada kebahagiaan, kepada tujuan-tujuan yang mulia dan tinggi, kepada contoh-contoh yang tinggi.

Mashaf Ahlil Bait ini adalah mashaf yang terdahulu lahir dalam sejarahnya, karena sebenarnya bukan Imam As-Shadiq yang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnya, tetapi ialah Rasulullah sendiri.

Nabilah yang meletakkan sumber-sumber dan peraturannya dengan ucapannya menyuruh berpegang kepada Qur'an dan keluarganya, agar umat jangan tersesat (Hadits).

Mashaf ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam yang pertama ialah Ali bin Abi Thalib, Imam yang paling tinggi nilainya dan paling banyak ilmunya.

Ia merupakan diri Nabi Muhammad mengikutinya dalam segala waktu, menampung ilmu langsung dari padanya, memperoleh tasyri'amali sahabatnya dikampung dan dalam perjalanan, ia duduk jika Nabi duduk, ia bekerja jika Nabi bekerja.

Rasulullah adalah guru langsung dari A l i , pendidik dan pengasuhnya.

Penyair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada A l i sebagai berikut :

Kuletakkan sanjunganku kepada pewaris,

Pewaris Nabi, wasiat Rasul,

Karena ia nur cahaya berbaris,

Sambung menyambung, susul menyusul.

Sesuatu yang tetap terus menerus,

Pasti akhirnya berdiri sendiri,

Busah lenyap karena arus,

Laksana sifat matahari.

Tatkala Ali wafat, gerakan ilmiyah dan pimpinan mashaf ini dipimpin oleh puteranya, Imam Hasan, cucu Rasulullah dan mainan hatinya.

Dialah tempat rakyat mengembalikan urusannya dan segala persengketaan.

Tetapi urusan mashaf itu tidak berjalan dengan lancar, karena tekanan beberapa kejadian dan saling sengketa dengan Mu'awiyah.

Kecurangan-kecurangan Mu'awiyah terhadap keluarga A l I dan kekejaman-kekejamannya yang banyak menumpahkan darah, menghambat kemajuan perkembangan hukum.

Kita ketahui bahwa perjanjian antara Hasan dan Mu'awiyah untuk menyelamatkan perkembangan hukum dan ajaran Islam, yang sebenarnya, tidak ditepati oleh Mu'awiyah.

Masa Imam Husain yang menggantikan saudaranya, lebih kacau lagi.

Tidak saja peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan yang telah dicapai oleh Mu'awiyah digunakannya dengan sengaja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin.

Urusan peradilan diserahkan kepada anaknya Jazid, seorang fasik dalam berbuat dosa dan kufur yang tidak ada taranya.

Kemudian ia menjadi khalifah buat orang Islam, menjadi imam yang duduk diatas singgasana kekhalifahan Islam.


Siapa Yazid ?

Dalam "As-Sa'ral Anwal Fil Islam", karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita baca, bahwa ia seorang fasik yang durhaka, ia membolehkan berzina, memperkenankan meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan nyayian- nyanyian dalam mejelis-majelis kehormatan menjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung anjing dan monyet mainannya dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.

Lalu menjadilah kedudukan hukum Islam ketika itu sangat buruk.

Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar, hingga terpaksa ia mengorbankan jiwanya dengan cara yang sangat menyedihkan sebagai pahlawan Islam.

Urusan peradilan Islam dan pimpinan mashaf berpindah kepada anaknya Imam Ali bin Husain, yang bergelar Zainal Abidin, seorang yang sangat wara' dan taqwa dalam masanya, tetapi juga seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam.

Dengan cara diamdiam ia meneruskan usaha ayahnya,, yang meskipun suasana ketik itu sangat buruk, melahirkan banyak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadits.

Masa anaknya Imam Al-Baqir, memimpin mashaf Ahlil Bait ini, suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umayyah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibenci oleh rakyat karena sifat feodalnya.


Pengajaran-pengajaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana, ulama-ulamanya memancar pergi menyiarkan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam Masjidul Haram, terutama ruang yang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil".

Kemajuan yang sangat pesat dicapai dalam masa Imam As-Shadiq.

Ditiap negeri sudah ada orang alim yang mengajar mashaf ini.

Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas yang besar, yang dikunjungi oleh mahasiswa dari seluruh pojok bumi Islam.

Banyak yang mengirimkan utusan-utusannya.

Sejarah pendidikannya menerangkan, bahwa ia seorang mujtahid besar; Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab dan jawabannya itu menjadi sumber hukum pula bagi murid-muridnya.

Terkenal sebuah ucapannya : "Tanyakanlah kepadaku sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu penjelasan seperti yang engkau dengar daripadaku" (Tazkiratul Huffaz, II : 157).

Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknya yang masyhur itu.

Mengenai A l i bin Abi Thalib, Nabi berkata : „Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunya" (Hadits).

Maka oleh karena itu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Shadiq dari ayahnya Al-Baqir, dari ayahnya Zainal Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad yang paling baik dan paling kuat Riwayat semacam ini dinamakan "Silsilah zahabiyah", urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'- rifah Ulumut Hadits, karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.

Jelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama mengutamakan mashaf ini dalam sesuatu penetapan hukum.

Tidak lain sebabnya melainkan karena salurannya sangat bersih.

Pemerintah melihat bahayanya orang banyak dari mencari hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi hakim-hakim dan pengadilan resmi.

Lalu diambil siasat, menyuruh ulamanya mengeluarkan fatwa, bahwa pintu ijtihad hukum Islam sudah tertutup.

Mashaf Ahlil Bait, yang kemudian terkenal dengan Mashaf Al- Ja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama karena rakyat tidak mau mematuhinya, kedua karena menyebabkan orang Islam menjadi beku, tidak mau berfikir dan menggunakan akal, satusatunya anugerah Tuhan yang sangat mulia kepada manusia.

Sebagai akibat keputusan ini, pemerintah menganggap-anggap mashaf itu menentang kebijaksanaannya dan menghukum orang-orang yang tidak taat itu.

Dengan alasan ini pemerintah menganggap mashaf Ahlil Bait musuhnya, lalu dinyatakan sebagai suatu golongan yang dianggap keluar dari Islam karena salah i'tikadnya, padahal ulama-ulama Ahlil Bait tidak mau mentaatinya karena hakim-hakim itu zalim, dan umat Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang yang zalim itu dan rajanya.

Sebagaimana terjadi dalam salah satu permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mencari-cari dan membuat-buat alasan untuk memburuk-burukkan mashaf ini dan Syi'ah A l i yang memeluknya.

Mereka menggunakan uang untuk menggaji mubaligh-mubaligh yang menyampaikan kecaman-kecaman mereka dalam mesjid-mesjid, menggunakan ahli-ahli pidato yang ulung dijalan-jalan, mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menyerang Syi'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.

Mereka menyiarkan berita bohong, bahwa Syi'ah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak beramal menurut Qur'an dan lain-lain.

Dengan demikian diracuni pikiran rakyat dan digerakkan untuk membasmi golongan yang disebut salah itu.

Bacalah kitab "Imam As- Shadiq wal Mazhahihil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama jilid ketiga, hal. 21 — 23.

Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan yang bukan-bukan kepada Syi'ah ini berlarut-larut dari generasi-kegenerasi, dari ulama-keulama dari kitab kekitab, sebagaimana yang akan kita singgung juga dimana ada kesempatan.


ALI as DAN QUR'AN Karim

Ali bin Muhammad At-Thaus dalam kitabnya "Sa'dus Su'ud", berdasarkan keterangan Abu Ja'far bin Mansur dan Muhammad bin Marwan, berkata, bahwa pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar oleh Zaid bin Sabit gagal, karena banyak dikeritik oleh Ubay, Ibn Mas'ud dan Salim, dan kemudian terpaksalah Usman mengadakan usaha mengumpulkan ayat-ayat Qur'an lebih hati-hati dan seksama, dibawah pengawasan Ali bin Abi Thalib (Az-Zanjani, hal. 45).

Maka pengumpulan Qur'an dengan pengawasan Ali bin Abi Thalib inilah yang berhasil, karena pengumpulan itu, tidak saja disetujui oleh Ubay, Abdullah bin Mas'ud dan Salam Maulana Abu Huzaifah, tetapi juga oleh sahabat-sahabat yang lain.

Mashaf Usman inilah yang kita namakan Qur'an umat Islam sekarang ini, yang tidak saja wahyu-wahyunya benar seperti yang disampaikan Nabi, tetapi bahasanya dan bunyi ucapannya sesuai dengan aslinya.

Usman membuat beberapa buah diantara mashaf ini, sebuah untuk dirinya, sebuah untuk umum di Madinah, sebuah untuk Mekkah, sebuah untuk Kufah, sebuah untuk Basrah dan sebuah untuk Syam.

Ibn Fazlullah al-Umri pernah melihat mashaf Usman ini pada pertengahan abad ke-VII H. dalam masjid Damsyiq (baca Maslikul Absar, I 195, c. Mesir), dan banyak orang menyangka, bahwa naskah mashaf ini pernah disimpan dalam perpustakaan di Liningrad, yang kemudian dipindahkan kesalah satu perpustakaan di Inggris (Az-Zanjani, 46).

Pengarang Sejarah Qur'an yang terkenal Abu Abdullah Az-Zanjani ini dalam kitabnya "Tarikhul Qur'an", halaman 46, menerangkan bahwa ia pernah melihat dalam bulan Zulhijjah, tahun 1353 H, dalam perpustakaan, yang bernama "Darul Kutub Al-Alawiyah", di Najaf sebuah mashaf dengan khat Kufi, dan tertulis pada akhirnya "Ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dalam tahun 40 Hijrah".

Al-Amadi At-Tughlabi, seorang ulama fiqh dan ilmu kalam, meninggal 617 H, menerangkan dalam kitabnya ''Al-Ajkarul Akbar", bahwa mashaf-mashaf yang masyhur dalam zaman sahabat itu dibacakan kepada Nabi dan diperlihatkan mashafnya kepada Nabi.

Ibn Sirin mendengar Ubaidah As-Salmani berkata, bahwa bacaan yang diperdengarkan kepada Nabi mengenai Qur'an pada saat-saat hampir wafatnya, adalah bacaan yang sampai sekarang dipergunakan orang.

Jika ada pembicaraan mengenai Qur'an A l i " (yang sebenarnya mashaf Ali), yang berbeda dengan mashaf-mashaf Ubay bin Ka'ab (meninggal. 20 H), Abdullah bin Mas'ud (meninggal. 32 H), mashaf Abdullah bin Abbas (meninggal. 68 H) dan mashaf Abu Abdullah Ja'far bin Muhammad As-Shadiq, adalah perbedaan mengenai susunan bahagian Qur'an, yang dinamakan "Surat", bukan perbedaan mengenai ayat-ayat dan teksnya, yang sesudah Ali dengan aktif turut menyusun mashaf itu dalam masa Usman sudah tidak berbeda lagi.

Jika ada perkataan yang menyebut "Qur'an Syi'ah yang dimaksudkan ialah mashaf asli A l i bin Abi Thalib atau mashaf asli imam Ja'far Shadiq, yang sekarang tidak ada lagi sudah menjadi mashaf Usman dengan ijma' sahaba-sahabat Nabi ketika itu.

Orang-orang Syi'ah memakai Qur'an Usman itu sebagaimana kita memakainya.

Jadi tuduhan, bahwa A l i mempunyai Qur'an yang berlainan ayata-yatnya dari pada wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad, dengan disaksikan oleh sahabat, dan bahwa Qur'an itu, sesudah ditambah atau dikurangi, digunakan khusus oleh golongan Syi'ah, tidak benar sama sekali adanya.

Tuduhan ini ditolak oleh sejarah dan oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri, diantara lain oleh Abul Qasim A l - K h u l i , pengarang tafsir Syi'ah Imamiyah yang terkenal "Al-Bayan fi Tafsiril Qur'an" (Najaf, 1957). Dan juz yang pertama, pada halaman 171 dan berikutnya, dikupas panjang lebar, bahwa A l i b i n A b i Thalib tidak mempunyai mashaf yang berlainan ayat-ayatnya dari mashaf-mashaf Sahabat lain, kecuali berlainan susunan Suratnya.

Mashaf A l i yang dipusakai dari Nabi SAW, penuh diberi catatan-catatan mengenai tanzil, masa dan sebab turun ayat, mengenai ta'wil, pengertian dan maksud yang pelik, yang berasal dari keterangan Nabi sendiri, selanjutnya mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat ahkam dan mutasyabihah (Tafsir As-Shafi, muk. VI : 11), mengenai halal dan haram, mengenai had atau hukum sampai kepada tetek bengek (Muk. Tafsir Al-Burhan hal. 27), ditolak semua oleh A l - K h u l i tuduhan yang tidak benar itu (172 — 175).

A l - K h u l i mengatakan sebagai khulasah, bahwa penambahan dalam mashaf Ali bukan ayat-ayat Qur'an, yang disuruh sampaikan oleh Nabi kepada ummatnya, dan bahwa tuduhan semacam ini adalah tidak berdasarkan kepada dalil yang benar, karena dengan ijma dalam masa Usman sudah dihilangkan semua penyelewengan atau tahrif.

Sebenarnya segala sesuatu mengenai Qur'an, baik sejarah turunnya wahyu, sejarah pengumpulannya dan penyusunan Qur'an dan penulisan mashaf, penterjemahan serta penafsirannya, sudah saya bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan ini, yang saya namakan "Sejarah Al-Qur'an", cetakan terakhir di Jakarta 1953, tetapi belum saya tinjau dari sudut pendirian golongan Syi'ah.

Bahwa A l i bin Abi Thalib mempunyai bagian dan kedudukan penting dalam penyusunan Al-Qur'an bukanlah suatu persoalan yang mesti dipertengkarkan, baik ulama-ulama Syi'ah, ulama-ulama Ahlus-Sunnah, maupun ulama-ulama aliran lain dalam Islam, semuanya mengakui bahwa Ali-lah yang mengetahui paling lengkap tentang turunnya wahyu-wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad, karena dialah yang mengikuti Nabi sejak permulaan keangkatannya menjadi Rasul dan selalu berdampingan dengan Rasulullah sebagai keluarga terdekat dalam segala keadaan.

Disamping itu ia termasuk penulis-penulis wahyu, yang ditunjuk oleh Nabi untuk mencatat tiap-tiap ada wahyu turun, baik siang ataupun malam hari.

Sahabat-sahabat dalam masa Nabi SAW banyak yang sudah tahu menulis, dan kesenian menulis ini oleh Rasulullah sangat diperkembangkan.

Bangsa Arab yang sudah tinggi kebudayaan sebelum Islam, sudah menggunakan huruf Hiri, suatu kota kebudayaan yang letaknya kira-kira tiga mil dari Kufah, dekat Nejef sekarang ini, dan oleh karena itu dinamakan juga huruf Kufi, begitu juga huruf Anbari, suatu kota dekat sungai Eufrat, tiga puluh mil sebelah barat Baghdad, semuanya berasal dari kemajuan kebudayaan Arab Kindah.

Dari sebuah riwayat dari Ibn Abbas diterangkan asal-usul huruf ini masuk ketanah Hajaz dari Yaman (Kindah), bahkan sejarah pemakaian huruf ini sampai kepada Thari', kepada Khaflajan, penulis wahyu yang diturunkan kepada Nabi Hud.

Abu Abdullah az-Zanjani menerangkan bahwa khat ini dimasukkan oleh Nabi Muhammad ke Madinah melalui orang-orang Yahudi, yang mengajarkan anak-anak Islam menulis.

Ada sepuluh orang diantara kaum muslimin yang ahli dalam huruf ini diantaranya Sa'id bin Zaharah, Munzir bin Umar, Ubay bin Wahab, Zaid bin Sabit, Raff bin Malik dan Aus bin Khuli.

Yang kemudian ditambah dengan tawanan Badr, yang mengajarkan huruf-huruf ini kepada anak-anak Islam.

Bahwa wahyu-wahyu yang turun kepada Nabi ditulis dan dicatat orang merupakan mashaf simpanannya masing-masing tidaklah mengherankan, karena ada empat puluh tiga orang yang ditugaskan menulis wahyu itu dengan khat Nasakh, diantaranya yang termasyhur ialah Khalifah empat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, selanjutnya Abu Sufyan dengan dua anaknya Mu'awiyah dan Yazid, Sa'id ibn Ash dan anaknya Isan dan Khalid, Zaid bin Sabit, Zubair bin Awam Thalhah bin Ubaidillah. Sa'ad bin Abi Waqqs, Amir bin Fahiah, Abdullah ibn Argam, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah, Ubay bin Ka'ab, Sabit ibn Qais, Hanzalah ibn Rabi', Syurahbil bin Hasanah, Ula bin Hadrami, Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Mughirah bin Syu'bah, Mu'aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausi, Huzaifah ibn Yaman, Huwaithib bin Abdul 'Uzza Al-Amiri, baik dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnya.

Meskipun demikian yang tetap mengikuti Nabi dan yang dipercayanya adalah catatan dua orang, yaitu Zaid bin Sabit dan A l i bin Abi Thalib.

Demikian kata Az-Zanjani dan menambahkan, bahwa banyak riwayat-riwayat menerangkan, kedua orang itulah yang dengan sungguh-sungguh menghadapi penulisan dari pengumpulan wahyu itu.

Bukhari meriwayatkan dari Barra, bahwa tatkala turun wahyu "tidak sama orang mu'min yang diam dengan mereka yang menderita kemelaratan dan yang berjihad diatas jalan Allah" (Surat An-Nisa).

Nabi dengan segera berkata : "Panggil Zaid datang kepadaku, membawalah tinta dan tulang belikat unta", dan sesudah Zaid datang, ia berkata : "Tulislah selengkapnya ayat i n i " (Zanjani, hal. 20).

Dalam sebuah ceritera, Umar diperingatkan orang bahwa adiknya Fatimah telah masuk Islam.

Umar marah dan pulang kerumahnya, didapatinya pada adiknya itu wahyu tertulis diatas perkamen sedang dibacanya.

Hal ini terjadi dikala Umar belum masuk Islam, dan karena membaca wahyu yang tertulis itu, ia lalu masuk Islam.

Semua itu menunjukkan, bahwa Rasulullah menghendaki Qur'an itu ditulis dan penulisan itu sudah dimulai dalam masa hidupnya dan dengan petunjuk serta pengawasannya.

Dalam masa Rasulullah Qur'an itu ditulis diatas tulang-tulang, kepingan batu, potongan daun atau kain, acapkali juga diatas kain sutera atau kulit kering dan diatas tulang belikat unta.

Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab menulis catatan demikian dan menamakannya "suhuf", bungkusannya dinamakan „mashaf".

Sahabat-sahabat penting mempunyai mashaf itu secara lengkap atau tidak.

Juga untuk Nabi diperbuat mashaf itu dan disimpan dirumahnya.

Muhammad ibn Ishak menerangkan dalam ,,Fihris"nya, bahwa Qur'an yang ditulis dihadapan Rasulullah itu adalah diatas batu, tulang dan belikat unta.

Bukhari menerangkan, bahwa Zaid bin Sabit pernah mengatakan : „Kucari Qur'an itu dan kukumpulkannya dari batu, tulang dan dari hafalan orang".

Al-'Isyasyi, seorang ahli Tafsir Imamiyah, menerangkan dalam Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata : „Rasulullah mewasiatkan kepadaku, bahwa sesudah kukuburkan dia aku tidak keluar dari rumahku hingga aku menyusun Kitab Allah itu, yang tertulis pada pelepah korma dan pada tulang belikat unta".

Sebuah riwayat dari A l i bin Ibrahim bin Hasyim Al-Qummi, seorang ahli Hadits Imamiyah yang termasyhur, menerangkan, bahwa Abu Bakar Al'-Hadhrami pernah mendengar Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad berceritera, bahwa Nabi ada berpesan kepada Ali bin Abi Thalib :

„Hai. Ali ! Qur'an itu ada dibelakang tempat tidurku dalam suhuf, sutera dan kertas.

Ambil dan susunlah baik-baik, jangan engkau hilangkan sebagaimana Yahudi menghilangkan Taurat".

Ali memungut Qur'an itu dan mengumpulkannya dalam satu bungkusan kain kuning kemudian dicapnya.

Al Haris Al-Muhasibi menerangkan, bahwa mengumpulkan Qur'an itu bukanlah suatu perbuatan bid'ah tetapi terjadi atas perintah Nabi, dan juga meletakkan ayat-ayat pada tempatnya atas petunjuk Nabi sendiri.

Meskipun yang menulis wahyu banyak dalam zaman Nabi, tetapi yang mengumpulkannya hingga lengkap merupakan mashaf tidak berapa orang.

Yang dianggap pengumpulan yang agak lengkap oleh Muhammad bin Ishak ialah Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Ubaid bin Nu'man Aï-Aus', wafat dalam perang Qadisiyah tahun 15. H. Abu Darda Uwaimir bin Zaid, beroleh langsung dari Nabi, wafat tahun 32 H. Muaz bin Jalal bin Aus, yang dinamakan Nabi imam ulama, wafat tahun 18 H., Abu Zaid Sabit ibn Zaid bin Nu'man, Ubay bin Ka'ab bin Qais, seorang yang sangat dipuji Nabi-nabi bacaannya. meninggal Di Madinah tahun 22 H, Ubaib bin Mu'awiyah, dan Zaid bin Sabit, penulis wahyu Rasulullah dan juru bahasanya, meninggal tahun 45 H. Zaid bin Sabit adalah seorang yang sangat dicinta oleh Nabi dan dihormati oleh Ahlil Baitnya.

Demikian bunyi satu riwayat tentang mereka yang mengumpulkan Qur'an dalam masa Nabi, yang kurang sempurna disempurnakan sesudah wafat Nabi.

Banyak riwayat lain yang berbeda jumlah dan namanya, tetapi Al-Khawarizmi berdasarkan keterangan Ali bin Riyah menerangkan, bahwa yang lengkap mengumpulkan Qur'an dalam masa Rasulullah ialah Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka'ab.

Riwayat-riwayat menunjukkan, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang mula-mula menulis Qur'an menurut tertib turun ayat, mencatat ayat mansukh terlebih dahulu dari nasikh dan memberikan Catatan-catatan lain dalam mashafnya.

Hal ini diceriterakan juga oleh Ibn Sirin.

Juga dibenarkan oleh Ibn Hajar, bahwa A l i menyusun Qur'an menurut tertib turun ayat, beberapa waktu dibelakang wafat Nabi Muhammad.

Dalam kitab Syarh Al-Kafi Salih Al-Quzwini dari Ibn Qais Al-Halali menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi tidak keluar dari rumahnya karena menyusun Qur'an dan mengumpulkannya sampai selesai semuanya.

Kemudian ia menulis catatan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat mukhamah dan mutasyabih.

Kata Imam Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, salah seorang ulama Syi'ah terbesar, dalam kitabnya „Al-Irsyad", bahwa A l I dalam mashafnya mendahulukan ayat-ayat mansukh dari ayat-ayat nasikh, dan menulis ta'wil ayat-ayat serta tafsirnya dengan terperinci.

Syahrastani dalam mukaddimah Tafsirnya menerangkan, bahwa semua sahabat sepakat ilmu Qur'an itu khusus buat Ahlil Bait.

Beberapa sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah ilmu pengetahuan Qur'an hanya dikhususkan kepada Ahlil Bait.

Ali menjawab, bawa ilmu tentang Qur'an, masa dan sebab-sebab turunnya begitu juga ta'wilnya, khusus buat Ahlil Bait, karena merekalah orang-orang yang terdekat dengan Nabi Muhammad (Az-Zanjani, Tarikhul Qur'an, Cairo. 1935. hal. 26).


AHLI TAFSIR SYI'AH

Baik orang Syi'ah maupun orang ahli Sunnah menganggap Ali bin Abi Thalib adalah ahli tafsir Qur'an yang pertama dalam sejarah Islam karena ia masih mendapati Nabi SAW yang selalu memberi petunjuk dalam pengertian dan ta'rif dari pada wahyu-wahyu Tuhan yang mentaati paham manusia biasa.

Sudah kita katakan, bahwa Ali tidak saja berjasa mengawasi pengumpulan ayat-ayat Qur'an, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang sejarah turunnya ayat dan surat, tentang ayat hukum dan mutasyabih, ayat nasikh dan mansukh, bahkan ada riwayat yang mengatakan, bahwa ia mempunyai enam puluh macam ilmu Qur'an, dan sebagaimana yang sudah kita katakan, mashafnya penuh dengan catatan-catatan, seperti masih dapat dilihat beberapa lembar dari padanya dalam perpustakaan di Najaf.

Seperti sudah kita terangkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan tentang Qur'an, sedang Ibn Abbas yang menjadi murid A l i , pernah berceritera, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat tahu tentang ilmu lahir dan ilmu ghaib dari Al-Qur'an yang mulia.

Sejarah hidup Ali tidak kita ulang lagi disini.

Salah seorang dari Ahli Tafsir Syi'ah adalah Ubay bin Ka'ab dari golongan Anshar.

Sayuthi menghitungnya dalam karangannya yang terkenal „Al-ltqan" termasuk jumlah sepuluh orang ahli tafsir dari sahabat kurun pertama, dan Nabi sangat mencintainya.

Ia meninggal tahun 30 H.

Abdullah bin Abbas adalah anak paman Nabi, yang sejak kecil sudah diramalkan oleh Nabi menjadi seorang ahli ilmu Qur'an, dan juga yang oleh Sayuthi dimasukkan sahabat sepuluh kurun pertama, yang hafal dan ahli Qur'an.

Ada orang mengatakan bahwa ia orang yang ahli tentang tafsir daripada Tabi'in Mekkah.

Tafsirnya sampai sekarang masih didapat orang dan terkenal dengan „Tafsir Ibn Abbas", ia meninggal pada tahun 68 H .

Orang-orang Syi'ah menganggap tafsir itu mu'tamad dan banyak digunakan untuk menguatkan pendirian-pendiriannya.

Dari golongan Tabi'in sesudah itu kita sebutkan nama-nama Maisam bin Jahya at-Tamanar (meninggal 60 H.), seorang khatib Syi'ah yang terkenal di Kuffah dan seorang ahli ilmu Kalam : Said bin Zubair (meninggal 94 H) yang pernah menyusun sebuah tafsir Qur'an dan banyak dipetik orang pendapatnya.

Abu Saleh Miran dari Basrah (meninggal Sesudah abad pertama hijrah), murid Ibn Abbas, Thaus Al-Yamani (meninggal 106 H). Juga murid Ibn Abbas, yang oleh Ibn Taymiyah, Ibn Quthaibah dan lain-lain sangat dipuji kecerdasannya dan dimasukkan kedalam golongan sahabat A l i .

Kemudian dapat kita sebutkan sebagai ahli-ahli yang ulung ialah Imam Muhammad al-Baqir (meninggal 114 H.), Ibn Nadim banyak menyebutkan nama-nama kitabnya mengenai tafsir dan ilmu-ilmu Qur'an yang lain.

Abdul Jarud, seorang Syi'ah yang terkenal banyak meriwayatkan sesuatu dari Al-Baqir mengenai Qur'an. Tidak kurang pentingnya kita sebutkan nama Jabar bin Yazid Al-Ju'fï, yang menulis juga sebuah tafsir dan ia meninggal tahun 127 H.

Suda Al-Kabir, nama yang sebenarnya Isma'il bin Abdurrahman, juga mempunyai sebuah tafsir yang oleh banyak orang dijadikan sumber keterangan mengenai ilmu Qur'an.

Untuk jangan keliru kita bedakan antara Suda As-Saghir bukan seorang Syi'ah dan Suda Al-Kabir adalah seorang ahli tafsir Syi'ah yang terkenal (meninggal 127 H).

Saya tidak ingin menyebutkan semua ahli tafsir Syi'ah itu disini dengan perincian sejarah hidupnya, karena terlalu banyak.

Dari penyelidikan saya dan dibenarkan oleh beberapa keterangan Ahli sejarah Islam, ternyata orang-orang Syi'ah banyak terkenal sebagai ulama dalam segala bidang, dan giat mengarang dalam bermacam-macam ilmu sejak hari-hari pertama fatsu kurun pertama.

Terutama dalam ilmu Qur'an yang pada waktu itu merupakan persoalan yang sangat penting, banyak terdapat pengarang-pengarang Syi'ah yang terkemuka.

Sedangkan selanjutnya sebagai ahli tafsir kita sebutkan Abu Hamzah As Samali. Tabi'in dan meninggal 150 H., Abu Jamadah As-Saluli (meninggal pada pertengahan abad ke II H.), Abu Ali Al-Hariri (meninggal idem), Abu Alim bin Faddal, Abu Thalib bin Shalat (meninggal akhir abad ke-II), Muhammad bin Khalil Al-Barqi (meninggal idem), Hisyam bin Muhammad As-Said Al-Kalbi (meninggal 206 H), Al Waqidi (meninggal 207 H.), Yunus bin Abdurrahman Ali Yatin, Hasan bin Mahbub As-Sarrad (meninggal 224 H.), Abu Usman Al-Mazani (meninggal 248 H.), Muhammad bin Mas'ud A/-Ayasyi, Farrad bin Ibrahim, Ali bin Mahziar Al Ahwazi, Husain bin Said Al-Ahwazi, Hasan bin Ahwazi, Hasan bin Khalid Al-Barqi Ibrahim As-Saqafi meninggal 283 H.

Ahmad bin Asadi, hampir semua keluarga Al-Qummi mengarang tafsir.

Al-]aludi, As-Suli, Al-Dlurjan', Al-Musawi, Ibn Nu'man, At-Thusi, At-Tabrasi, Ar-Rawandi (meninggal 573 H.) M-Fatital Asy-Syirazi (meninggal 948 H.), As-Sabzawari (meninggal 910 H.), Azwari Al-Masyadi, Al- Hamdani, Al-Bahrani (meninggal 1107 H.) Jawad bin Hasan Al-Balaghi (meninggal 1302 H), dan lain-lain.

Masing-masing menerangkan tafsir Qur'an yang ditinjau dari segala sudut ilmu. Ada yang lucu, kadang-kadang orang Salaf yang menamakan diri anti Syi'ah, menggunakan tafsir Syi'ah dengan tidak mengetahui pengarangnya.

Sebagaimana dalam ilmu tafsir, kita dapati pengarang-pengarang Syi'ah yang ulung dalam ilmu Qur'an yang lain, misalnya dalam ayat-ayat hukum khusus mengenai mashaf Syi'ah seperti pengarang Al-Kalbi, (meninggal 146 H.), Ar-Rawandi (meninggal 573 H.), As-Sayuri (meninggal 792.), Al-Ardabli (meninggal 993 H.), Al-Kazimi (meninggal abad ke-II H).

Astrabadi (meninggal 1026 H.), Al-]azairi (meninggal 1151 H.), dan lain-lain. yang kitabnya sekarang dipakai diseluruh dunia.

Juga dalam ilmu Qur'an lain terkenal ulama-ulama Syi'ah misalnya mengenai ayat-ayat Mutasyabih, seperti Hamzah bin Habib (meninggal 156 H.), meskipun menurut Sayuti orang yang mula-mula mengarang dalam ilmu ini ialah A)l-Kasa'i (meninggal 182 H.), kedua-duanya adalah juga ahli Qira'at Tujuh.

Kemudian terkenal namanya Muhammad bin Ahmad Al-Wazir (meninggal 433 H.), Ibn Syahrassyaub al-Muzandra (meninggal 588 H.), dan lain-lain.

Dalam Gharibul Qur'an adalah Aban Ibn Tughlab (meninggal 141 H.), Ada orang mengatakan Abu Ubaidah (bukan Syi'ah), tetapi Abu Ubaidah meninggal tahun 200H, kemudian dari masa Ibn Tughlab.

Selanjutnya yang mengarang dalam bidang ini ialah Muftadhall Salmah, Ibn Darid (meninggal 321 H.), Abu Hasan al-Adawi Asy-Syamsyathi (meninggal permul. abad ke-IV), semuanya ulama Syi'ah.

Karangan-karangan mengenai Asbabun Nuzul dihari-hari pertama juga diperbuat oleh golongan Syi'ah, seperti Ibn Abbas (meninggal 67 H), Muhammad bin Khalid ai-Barqi (meninggal akhir abad ke-IT H), Ibrahim bin Muhammad As-Sakaji (meninggal 283 H) Abdul Azis bin Yahya al-Jaludi (meninggal 330 H), Ibnul Hijam dalam abad yang ke-IV juga semuanya ulama Syi'ah.

Selanjutnya mengenai nasikh dan mansukh juga yang mula-mula dan banyak mengarang orang-orang Syi'ah, seperti Abdurrahman al-Asam (abad ke-II), Ad-Damiri (abad ke-Il), Ibn al Kadri meninggal 246 H) atau anaknya Hisyam (meninggal 207 H), Ibnal Fadhal mempunyai kitab nasikh dan mansukh, sebagaimana Al-Qummi, baik Ahmad bin Muhammad maupun A l i bin Ibn Ibrahim, selanjutnya pengarang Syi'ah yang pertama juga didalam bidang ini ialah Al-Jatudi (meninggal 330 H), dan Suduq bin Babuwaih al-Qummi (meninggal 381 H).

Dalam ilmu Majazul Qur'an yang memulainya ialah ulama Syi'ah, seperti Ibn al-Mustanir (meninggal 206 H.), pendeknya dalam segala bidang ilmu Qur'an, seperti ilmu mengenai pembagian Qur'an ilmu mengenai perhentian membaca dan menyambung ayat Qur'an, ilmu mengenai wakaf, ilmu mengenai i'rab, ilmu mengenai sejarah titik dan baris, ilmu mengenai fadilat membaca Qur'an (ada yang mengatakan Ubai bin Ka'ab yang meninggal 30 H), ada yang mengatakan Muhammad Idris Asy-Syafi'i (meninggal 204 H), ilmu bermacam-macam qira'at ilmu tadwid, dan ilmu-ilmu lain mengenai kitab suci, yang terbanyak ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah dan mereka juga yang memulainya.

Mengenai nama-nama kitabnya saya tidak sebutkan disini, karena sangat banyaknya. Saya hanya mempersilahkan saudara membacanya dalam kitab "A'yanusy Syi'ah", Juz I, bahagian ke-2, halaman 53 – 74 (Beint, 1960).


HADITS DAN JA'FAR SHADIQ

Dalam uraian-uraian yang telah lalu, telah kita jelaskan, bahwa kedudukan Imam Jafar As-Shadiq mengenai pendidikan ulama-ulama Ahlul Hadits dan ahlul Ra'yi atau Ahlul Qiyas, yang lama-kelamaan merupakan imam-imam mazhab yang terpenting seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah dan lain-lain.

Mashaf-mashaf itu ada yang menggabungkan dirinya dalam ikatan Ahlus Sunnah, ada yang dalam ikatan mashaf Ahlul Bait, karena dalam hukum fiqh ingin melanjutkan cara berfikir Imam Ja'far As-Shadiq, yang mereka namakan Fiqh Al-Ja'far, dengan mengutamakan hadits-hadits riwayat Ahlul Bait atau perawi-perawi dari ulama-ulama Syi'ah sendiri.

Dalam salah satu bahagian kita sudah jelaskan, bahwa tidak kurang dari empat ratus orang muridnya yang mengarang kitab-kitab fiqh menurut jalan ini.

Usul fiqh untuk mashaf Al-Ja'far ini, yang terkenal dengan pokok persoalan empat ratus, dikumpulkan dalam empat buah kitab besar, yang masing-masing bernama Al-Kafi, Al-lsttbsar, At-Tahzib dan Ma La Yahduruhul Fiqh.

Inilah kitab-kitab hadits yang terbesar dan menjadi pokok bagi ulama-ulama Syi'ah yang terkenal dengan Kitab Empat sebagaimana terkenal dengan Kitab Enam dalam pengumpulan hadits bagi penganut Ahlus Sunnah.

Imam Ja'far As-Shadiq sangat bijaksana sekali dalam menciptakan ulama ulamanya, yang kemudian disiarkan keseluruh negara Islam untuk membasmi keyakinan-keyakinan yang salah, memerangi sifat ilhad dan zindiq, berdebat tentang aqidah yang tidak benar, mengalahkan firqah-firqah yang menyeleweng dari ajaran Islam dalam masa pancaroba dan zaman kekacauan politik dan agama itu.

Ulama-ulamanya terdapat di Irak, Khurasan, Harnas, Syam, Hadramaut, dan lain-lain, terutama di Kufah dan Madinah dimana bibit keyakinan Syi'ah ini sudah tertanam dan tumbuh dengan suburnya.

Imam Ja'far mempersiapkan ulama-ulama muridnya menurut pembawaannya masing-masing dan menurut kebutuhan daerah yang mengirimkan utusan kepadanya.

Oleh karena pengetahuannya sangat luas dalam segala bidang, mudah baginya melakukan hal yang demikian itu.

ulama-ulamanya ada yang diuntukkan mengajar, ada yang diuntukkan buat berdebat dan sebagainya.

Aban ibn Tughlab dikhususkan pendidikannya untuk ilmu fiqh, dan diperintahkan duduk dalam mesjid memberi fatwa kepada orang banyak dalam hukum fiqh, Hanaran bin A'yun ditugaskan menjawab masalah-masalah yang bertali dengan ilmu Qur'an, Zararah bin A'yun untuk berdebat dalam fiqh, Mu'min at-Thaq dalam masalah ilmu kalam, Thayyar dalam perkara amal ketaatan, Hisyam bin Hakam dalam berdebat mengenai immamah dan i'tikad Syi'ah dan sebagainya.

Maka mengalirlah orang-orang itu kesetiap-tiap kota untuk menghadapi manusia dan berdak'wah menurut mashaf Ahlil Bait.

Tidak cukup tempat untuk menyebutkan nama ulama-ulama itu satu persatu, serta sejarah perjuangannya.

Meskipun demikian beberapa tokoh terpenting akan kita bicarakan dibawah ini.

Aban bin Tughlab bin Rabah, yang digelarkan Abu Sa'id al-Bakri al-Jariri (meninggal 141 H.), adalah ulama yang sangat terhormat dalam kalangan Syi'ah.

Ia pernah belajar pada Imam Zainal Abidin, Al-Baqir dan As-Shadiq. Ia mempunyai majlis pengajaran khusus dalam mesjid.

Ia ulama fiqih Imamiyah yang terkenal menurut pendapat Yaqut, meriwayatkan banyak hadits dari A l i bin Husain, Abu Ja'far dan Abu Abdullah, fasih bahasa Arab, banyak mengetahui tentang pengertian Al-Qur'an, menurut Ahmad ibn Hanbal boleh dipercayai benar ucapannya, seorang yang tinggi adabnya, hadits riwayatnya banyak diambil oleh Muslim, Tarmizi, Abu Daud, An Nasa'i dan Ibn Majah.

Diantara gurunya juga ialah Al-Hakam bin Utaibah al-Kindi (meninggal 115 H), salah seorang perawi dalam Kitab Enam hadits Ahlus Sunnah, Fudhail bin Umar al-Fuqaimi (meninggal 110 H, yang hadits Ahlus banyak dipetik oleh Muslim dan Abu Ishaq Umar bin Abdullah al- Hamdani (meninggal 217 H.), salah seorang ulama Tabi'in dan perawi Hadits dalam Kitab Enam.

Banyak muridnya tersiar dimana-mana dan menjadi ulama-ulama besar.

Seperti Musa bin 'Uqbah al-Asadi (meninggal 141 H.), salah seorang yang riwayat haditsnya banyak dimuat dalam Kitab Enam, Syi'bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Zaid al-Azadi, seorang ahli hadits yang terkenal (meninggal 197 H), mendapat pujian dari Ibn Mahdi dan Imam Ahmad tentang kejujurannya, Sufyan bin 'Uyaynah, yang riwayat hidupnya sudah dimuat dimana-mana.

Muhammad bin Khazim at-Tamimi (meninggal 195 H), juga banyak digunakan orang riwayat hadits-haditsnya termuat dalam kitab Enam oleh Ahmad Ibn Hanbal, oleh Ishak bin Rahuwaih, Ibn Madani dan Ibn Mu'in, terutama hadits-haditsnya yang dihafalnya dari Al-A'masy, dan Abdullah ibn Mubarak al-Hanzali (meninggal 181 H), seorang ulama besar yang sangat dipercayai, pernah menyelidiki hadits dan menulisnya dari empat ribu ulama.

Semua ulama-ulama hadits ini dipuji oleh Ibn Hajar dan Al-Khazraji dalam kitab-kitabnya yang terkenal.

Aban bin Tughlab menghafal tidak kurang dari tiga ribu hadits dari Imam As-Shadiq, ahli dalam fiqh Al-Ja'fari atau mashaf Ahlil Bait, termasuk tokoh Syi'ah yang terpenting. Atas pertanyaan Abu Balad, Aban menerangkan, apa arti Syi'ah padanya.

Katanya : "Syi'ah itu ialah golongan manusia yang memegang kepada ucapan Ali, apabila tentang sesuatu masalah dari Nabi dipertengkarkan orang sudah mempertengkarkan ucapan dan sikap A l i " (Asad Haidar, III; 57).

Diantara kitab-kitabnya ialah Gharibul Qur'an, mengenai Kitabul Fadha'il Kitab Ma'anil Qur'an, Kitabul Qira'at dan Kitabul Usul mengenai riwayat mashaf Syi'ah, dan banyak lagi yang lain-lain sebagaimana yang disebut dalam Fihra'at, karangan At-Thusi.

Diantara ulama yang terbesar juga, kita sebut Aban bin Usman al- Lu'lu'i (meninggal 200 H), berasal dari Kufah, pernah tinggal lama di Basrah, banyak hadits-haditsnya mengenai syair, keturunan dan hari-hari penting bangsa Arab, berguru pada Abu Abdullah, Abdul Hasan, Musa bin Ja'far dan lain-lain.

Diantara kitabnya, yang disebutkan orang disana-sini ialah Al-Mabda, Al-Mab'as, Al-Maghazi, Al-Wafah, As-Wafah, As-Saqifah dan Ar-Ridah (baca Mu'jamul Udaba' 1.108 — 109, Lisanul Mizan I ; 24, Fihrasat At-Thusi, hal. 18 dan lain-lain).

Banyak sekali murid-muridnya yang menyiarkan pahamnya kesana-kesini, tidak kita sebutkan disini seorang demi seorang.

Ulama-ulama Syi'ah yang lain dalam fiqh diantaranya Barid bin Ma'awiyah al'Ajadi (meninggal 150 H), sahabat Al-Baqir, dan As-Shadiq, ahli hadits dan fiqh, mempunyai kedudukan istimewa dalam mashaf Ahlil Bait, termasuk golongan enam orang yang sangat ahli dalam hukum fiqh, yaitu Zararah bin A'yun, Ma'ruf bin Kharbuz, Barid Al-Ajali, Abu Basir al-Asadi, Fudhil bin Yassar dan Muhammad bin Muslim At-Tha'ifi.

Ia banyak meriwayatkan hadits dari Imam Baqir dan Imam As-Shadiq, yang sangat memuji-muji dia. Barid adalah salah seorang penulis yang terkenal dalam masa Imam As-Shadiq.

Kemudian kita sebutkan pula Jamil bin Darraj an-Nakko'i termasuk sahabat Imam As-Shadiq dan anaknya Abu Hasan Musa, banyak mengarang dan meriwayatkan hadits-hadits, begitu juga Jamil bin Salih al-Asadi, dicintai oleh Imam As-Shadiq dan anaknya Musa.

Lain dari pada itu juga kita sebutkan Hammad bin Usman (meninggal 190 H) dan Hammad bin Isa al-Juhni, kedua-duanya sahabat Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim dan kedua-duanya ahli fiqh dan hadits Ahlil Bait.

Tidak kurang pentingnya kita sebut Hubaid bin Sabit at-Kahili, berasal dari Kufah (meninggal 122 H), salah seorang dari pada Tabi'in dan perawi Kitab hadits Enam, banyak meriwayatkan hadits dari Zainal Abidin, Imam Al-Baqir dan anaknya As-Shadiq, begitu juga tidak kurang pentingnya kita peringatkan Hamzah bin Thayyar, salah seorang ulama fiqh Syi'ah dan tokohnya dalam ilmu kalam, memperdebatkan persoalan-persoalan yang menguntungkan mashaf Ahlil Bait, banyak sekali murid-muridnya tersiar dimana-mana.

Meskipun demikian yang lebih penting lagi kita bicarakan disini adalah dua tokoh ulama Syi'ah yang terbesar yang dalam perkembangan paham mashaf Al-Ja'fari dalam segala bidang, yaitu Mu'min Thaq dan Hisyam bin Hakam.

Mu'min Thaq adalah Muhammad bin A l i bin Nu'man al-Bajali, berasal dari Kufah, sahabat kental dari Imam Ja'far dan pencintanya.

Mu'min Thaq adalah gelarnya yang berarti mu'min yang serba sanggup, demikian kesanggupannya dalam segala ilmu, sehingga ia dapat mengalahkan Imam Abu Hanifah dalam banyak persoalan, dan sehingga Abu Hanifah ini menamakannya Syaithan Thaq, sedang yang kesanggupannya luar biasa.

Ulama-ulama Khawarij oleh Mu'min Thaq ini dikalahkan semuanya, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berdebat dengannya dapat bertahan.

Hisyam pernah menemui Zaid Ibn Zainal Abidin, Ali bin Husain Zainal Abidin, Ilmunya banyak sekali, terutama sangat alim dim. Ilmu fiqh, ilmu kalam, hadits dan gubahan sajak.

Ia sangat pandai dalam berdebat dan menggunakan kata-kata, tajam pandangan dan pikirannya dalam meninjau persoalan agama. Sambil berniaga ia mengunjungi banyak kota-kota Islam dan menyiarkan mashaf Ahli Bait.

Sebagai contoh kita sebutkan perdebatan antaranya dan Abu Hanifah.

Abu Hanifah : Apa hukum nikah mut'ah padamu ?

Mu'min Thaq : Halal.

Abu Hanifah : Apakah boleh anakmu dan saudara-saudaramu bernikah mut'ah dengan orang lain ?

Mu'min Thaq : Yang demikian adalah sesuatu yang dihalalkan Tuhan, apa boleh buat. Tetapi sobat bagaimana hukum bier padamu ?

Abu Hanifah : Halal.

Mu'min Thaq : Apakah engkau akan girang, jika anakmu dan saudaramu menjadi pemabuk bier ?

Mu'min Thaq menulis kitab berisi perdebatan antaranya dengan Abu Hanifah.

Meskipun isi buku itu merupakan sendagurau dan penggeli hati tetapi berisi hukum-hukum fiqh dan cara berfikir antara seorang ulama Ahluh-Ra'yi dengan ulama Ahlil Bait.

Ibn Nadim menyebut bahwa dia adalah ulama kurun keempat, karena ia meninggal dalam tahun 385 H .

Diantara kitab-kitab yang dikarangnya ialah mengenai persoalan Imamah, Ma'rifat, penolakan terhadap Mu'tazilah mengenai Imam Mafdhul, mengenai kehidupan Thalhah, Zubair dan Aisyah, mengenai penetapan wasiat, sebuah kitab yang bergelar "Kerajaan dan jangan kerjakan".

Sebagaimana sudah kita katakan bahwa ia termasuk orang yang sangat dicintai oleh Imam As-Shadiq, yang pernah berkata : "Ada empat orang manusia yang kucintai hidup dan matinya, yaitu Barid bin Mu'awiyah al-Ajali, Zararah bin A'yun, Muhammad bin Muslim dan Abu Ja'far al-Ahwal".

Gelaran senda gurau Syaitan Thaq oleh Abu Hanifah kepada Muhammad Al-Bajali oleh musuh-musuhnya disiar-siarkan secara sebaliknya sehingga musuh-musuh Syi'ah memakai nama-nama itu untuk membuktikan kesesatannya.

Belum dapat kita tutup karangan ini sebelum kita sebutkan Hisyam bin Hakam, al-Kindi (meninggal 197 H), lahir di Kufah, beberapa waktu berdagang di Baghdad, kemudian ditinggalkannya usahanya dan pergi belajar kepada Imam As-Shadiq sampai menjadi seorang alim dan sahabat Imam Musa Al-Kazim.

Hisyam adalah seorang yang banyak sekali pengetahuannya tentang mashaf-mashaf dalam Islam, sangat luas ilmunya dalam filsafat, seorang ahli ilmu kalam Syi'ah yang ulung, seorang yang petah lidahnya dalam mempertahankan persoalan imamah bagi Syi'ah.

Zarkali mengatakan, bahwa Hisyam bin Hakam adalah seorang ahli hokum fiqih, ahli ilmu kalam dan manthik.

Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa:

Hisyam bin Hakam adalah tokoh ilmu kalam Syi'ah terbesar, murid dari Ja'far As-Shadiq seorang yg tidak dapat dipatahkan alasannya, sehingga Imam As-Shadiq, pernah memuji kêpribadiannya : "Hai Hi syam, engkau selalu dikuatkan pendapatmu dengan roh suci".

Imam Ridha mengatakan :

"Moga-moga Allah memberi rahmat kepada Hisyam, karena ia adalah seorang hamba yang salih"

Harun ar-Rasyid memuji Hisyam demikian :

"Lidah Hisyam lebih dapat menghancurkan jiwa manusia daripada seribu pedang".

Tatkala ia mendekati Imam As-Shadiq, orang besar ini segera melihat bahwa Hisyam seorang yg cerdas otaknya, seorang ikhlas dan seorang yang beriman, oleh karena itu lalu dididiknya Hisyam sampai menjadi seorang besar dalam ilmu pengetahuan menurut mashafnya, seorang tokoh filsafat, seorang yang bersih aqidahnya, yang dapat mempertahankan mashaf Ahlil Bait dari pada serangan-serangan aliran-aliran Islam lain yang memusuhinya, yaitu aliran-aliran yang sudah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.

Hisyam ahli dalam ilmu fiqh, hadits dan tafsir, dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dalam segala bidang hukum.

Didalam kitabkitab hadits dan fiqh banyak disebutkan riwayatnya, diantara lain oleh As-Sirfi, Al-Ajali, Al-Yaqthain dan lain-lain.

Ia banyak sekali mengarang kitab-kitab dalam segala bidang ilmu, diantara lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Nadim, mengenai imamah, mengenai falsafat, mengenai penolakan terhadap orang-orang zindiq, penolakan-penolakan terhadap musuh Syi'ah, mengenai Jabariyah dan Qadariyah dan lain-lain yang tinggi nilai dan mutunya.

Yang lebih aneh tentang dirinya ialah bahwa ia dapat membawa dirinya diterima oleh Harun ar-Rasyid dan oleh golongan Syi'ah.

Untuk mengetahui, betapa hati-hati ia mengeluarkan pendapat-pendapatnya agar orang-orang mengerti tetapi tidak tersinggung perasaannya, kita sebut suatu percakapan antara Harun ar-Rasyid dengan Hisyam sebagai dibawah ini :

Harun ar-Rasyid : Hai Hisyam, tahukah engkau bahwa Ali pernah mengadukan Abbas kepada Abu Bakar ?

H i s y a m : Sungguh ada.

Harun ar-Rasyid : Mana yang lazim terhadap sahabatnya, Ali-kah atau Abbas ?

(Hisyam sadar akan dirinya, bahwa persoalan ini untuk memancing sikapnya. Jika ia mengatakan Abbas yg zalim ia dianggap menghinakan Rasyid, Jika ia mengatakan Ali yang zalim ia merusakkan keyakinannya sebagai orang Syi'ah. Kemudian Hisyam berfikir dan mengeluarkan pendapatnya).

H i s y a m : Kedua-duanya tidak zalim.

Harun ar-Rasyid : Jika tidak ada yang zalim, bagaimana masuk di 'akal, kedua-duanya datang mengadu pada Abu Bakar ?

H i s y a m : Boleh saja daulat tuanku.

Dua orang malaikat pernah mengadu nasibnya kepada Nabi Daud, sedang tak ada seorang diantaranya yang zalim, tetapi kedua-duanya ingin hendak memperingatkan suatu kejadian.

Demikian pula Abbas dan Ali datang kepada Abu Bakar, datang hendak memperingatkan suatu kejadian, sedang kedua-duanya tidak ada yang zalim.

Jawaban ini rupanya sangat mendapat penerimaan pada Khalifah Harun ar-Rasyid, dan oleh karena itu ia termasuk orang yang disenanginya, meskipun dalam bathinnya ia tetap mencintai A l i dan keturunannya.

Demikian beberapa patah kata tentang keistimewaan Hisyam sebagai ulama terbesar dan tokoh terpenting dalam mashaf Ahlil Bait.

Ia dicintai oleh ulama-ulama dari aneka mashaf dan aliran, baik oleh musuh maupun oleh kawannya.

Tuduhan-tuduhan Jahiz, dan dibelakang ini Dr. Ahmad Amin, bahwa Hisyam bin Hakam adalah penganut aliran Rifdhi dan membenci semua sahabat Nabi, oleh golongan Syi'ah tidak dapat diterima.

Yang jelas adalah, bahwa Hisyam mencintai Ahlil Bait dan menyiarkan kecintaan ini dalam ajaran-ajarannya.


KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA

Kedatangan Islam di Nusantara sama dengan waktu kedatangan orang-orang Syi'ah ketempat ini, baik sebagai pedagang, maupun sebagai pengembara atau ahli da'wah, baik memakai nama Arab, maupun sudah merupakan keturunan orang-orang Persia atau India.

Dr. C. Snouck Hurgronje menceriterakan dalam bukunya "De- Islam in Nederlandcsh-Indie" Serie II, No. 9 dari "Groote Godsdiensten" tentang masuknya Islam ke Nusantara sebagai berikut : Tatkala raja Mongol Hulagu dalam tahun. 1258 M. menghancurkan Baghdad yang lebih dari pada lima abad lamanya merupakan Ibu negeri kerajaan Islam, kelihatan seakan-akan kesatuan kerajaan-kerajaan Islam itu lenyap.

Hanya setengah abad sebelum kejadian yang penting itu berlaku, Islam dengan secara tenang berkembang dan masuk kepulau-pulau Nusantara dan sekitarnya.

Perkembangan ini tidak dicampuri oleh sesuatu usaha Pemerintah mana pun.

Negara-negara pesisir Sumatera, seluruh Jawa, keliling pantai Borneo dan Sulawesi, begitu juga beberapa banyak pulau-pulau kecil yang lain, satu-persatu dimasuki oleh Islam, terutama dengan usaha saudara-saudara Islam atau orang-orang Islam yang ingin memperoleh tempat tinggal yang baru, datang dari daerah sebelah Barat.

Usaha itu dibantu pula oleh anak negeri yang sudah masuk Islam didaerah pesisir, sebagian turut menyiarkan da'wah agama itu kedaerah pedalaman, dan sebahagian lagi pergi berlayar menyiarkan keyakinannya yang baru itu kepulau-pulau yang terdekat, baik secara damai maupun secara jihad.

Batu-batu nisan yang bertulis, yang memuatkan ceritera-ceritera lama dalam kalangan anak negeri, begitu juga catatan-catatan yang ditinggalkan oleh seorang Venesia, Marco Polo, dari abad ke-XIII, begitu juga kisah pelayaran dari seorang peninjau Arab, Ibn Bathuthah, yang masih tersimpan sejak abad ke XIV, menerangkan kepada kita akan adanya sebuah kerajaan Islam di Sumatera Utara, bernama Pasé.

Tentang masuknya Islam ke Minangkabau, ke Palembang, ke-Jambi dan kedaerah-daerah pesisir yang lain dari pulau itu, tidaklah kita ketahui pada permulaannya dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita percaya.

Tentang kedatangan Islam di Jawa, akan kita bicarakan nanti dibawah ini.

Di Jawa kejatuhan kerajaan Hindu Majapahit kira-kira dalam tahun 518 M., merupakan hasil yang gilang-gemilang bagi perjuangan yang gigih oleh mubaligh anak negri sendiri, yang umumnya dinamakan Wali Sembilan (Wali Songo).

Dalam abad ke-XVI itu juga telah berdiri di Jawa kerajaan-kerajaan Islam Mataram, Banten dan Cirebon, yang meng-Islamkan seluruh rakyatnya.

Tentang pengetahuan mengenai masuknya agama baru ini kepulauan-kepulauan yang lain, kita umumnya hanya mempunyai sumber-sumber penerangan yang berasal dari anak negeri semata-mata, yang terdiri dari dongeng-dongeng mengenai tempat kejadian sejarah, begitu juga beberapa kejadian-kejadian dan beberapa silsilah yang tidak lengkap.

Isinya dari pada dongeng-dongeng yang menceriterakan tentang orang-orang masuk Islam itu hampir semuanya ada bersamaan.

Seorang Wali Islam, biasanya datang dari negeri asal Islam, negeri Arab, mendapat mimpi diberi perintah oleh Nabi Muhammad, untuk berangkat dengan segera kesuatu daerah orang khafir, yang tidak berapa jauh letaknya dari tempat itu.

Kedatangannya ke negeri tersebut biasanya sudah diumumkan kepada beberapa orang penduduknya, baik dengan mimpi atau dengan tanda alamat yang lain.

Wali itupun berangkatlah, dan perjalanannya terjadi dalam sekejap mata, tak ada suatu rintangan-pun yang menghalanginya, gunung dan laut pun tidak merintangi perlawatannya.

Dengan keajaiban yang luar biasa, melebihi sihir-sihir orang khafir itu, wali yang suci itu dengan segera dapat mengembangkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan memperbanyak pemeluknya.

Maka seketika itu juga berduyun-duyunlah orang-orang kafir itu datang menemui wali yang suci itu untuk bersama-sama mengerjakan Sembahyang secara Islam.

Ceritera yang demikian itu berakhir, bahwa ajaran Islam dengan segera berkembang ditempat itu, baik dengan berjihad atas jalan Allah maupun dengan da'wah yang dilakukan secara damai.

Demikian kata Dr. C. Snouck Hurgronje.

Tentang cara berkembang Islam di Nusantara dan bangsa mana yang mula-mula membawanya kemari, ia menerangkan sebagai berikut :

Jauh sebelum lahir Islam sudah banyak datang orang-orang dari Hindustan yang mencari tempat tinggal (kolonisasi) di Jawa dan pulau-pulau yang terletak disekitarnya, serta membawa peradaban yang disiarkannya ditempat-tempat itu.

Sesudah orang-orang Hindu masuk Islam, maka orang-orang Hindu yang Islam ini meneruskan jalan penghidupan yang sudah ditempuh dahulu itu.

Orang-orang inilah yang mula-mula memperkenalkan Islam kepada bangsa-bangsa kita diseluruh Nusantara.

Kedalam orangorang Hindu ini, termasuk orang-orang Syi'ah, meskipun memakai nama Persia atau Hindu, seperti nama Ar-Raniri, terambil dari perkataan Render di India, tetapi ia adalah seorang dari ulama Ahlil Bait.

Baca karangan Dr. Tujimah.

Selanjutnya dapat kita jelaskan, bahwa barangkali mungkin sebelum kedatangan ke Nusantara, mereka sudah pernah ada ditengah-tengah bangsa-bangsa Islam yang lain, dan mungkin pula sudah bertempat tinggal dahulu disalah satu daerah Nusantara, tetapi belum memperlihatkan pengaruh yang berarti tentang keyakinan baru itu.

Maka dengan jalan itu dengan mudah Islam tersiar di Nusantara, karena orang-orang kita disebelah Timur ini telah mempelajari agama Hindu pada orang-orang Hindu yang sebelumnya dating kemari.

Penduduk Jawa dan Sumatera tidak begitu sukar menyesuaikan diri dengan kehidupan orang Hindu dan agama Hindu.

Segala ceritera, bahwa didalamnya digambarkan kejadian-kejadian yang semasa dengan Nabi atau dengan khalifah-khalifahnya sebagai yang terdapat disalin dalam bahasa Melayu (Indonesia), mungkin sudah banyak menyimpang dari pada kejadian-kejadian yang sebenarnya.

Kedalam masyarakat Islam Nusantara dengan jalan itu sudah dimasukkan pengaruh-pengaruh aliran, misalnya pengaruh Syi'ah, sebagaimana yang terdapat didaerah-daerah pesisir Malabar dan koromandel juga terdapat di Nusantara seluruhnya.

Meskipun dikatakan Islam disitu diajarkan menurut Ahli Sunnah, tetapi pemeriksaan menunjukkan, bahwa banyak masalah-masalah sehari-hari yang dipecahkan menurut mashaf Syi'ah.

Lain dari pada itu terdapat disana disini paham Sufi menurut Mashaf Hululiyah atau Wihdatul Wujud, sementara waktu terdapat pula dalam Iapisan rakyat rendah takhayul-takhayul yang tidak sedikit banyaknya.

Semua kejadian itu menunjukkan, bahwa Islam di Nusantara pada zaman Purbakala itu tidak diterima langsung dari orang Arab Perhubungan dengan Mekkah dan Madinah baru mulai terbuka dalam abad yang ke-VII, dan pada ketika itu terjadilah hubungan yang langsung antara kedua kota suci itu dengan penduduk Nusantara, yang naik haji dan belajar disana, meskipun terkenal dengan nama masyarakat 'Jawa" yang tidak sedikit jumlahnya.

Orang-orang inilah yang boleh dianggap mula-mula mempelajari Islam pada sumber daerah tempat lahirnya Nabi Muhammad.

Mereka yang pulang ketanah airnya tidak sedikit kemudian membuka tantangan terhadap ajaran-ajaran dan cara berfikir, yang dimasukkan orang-orang sebelumnya melalui Hindustan mengenai Islam, sebagaimana kemudian kedatangan orangorang Arab dari Hadramaut ke Nusantara membawa pengaruh dalam cara meyakini Islam dan berfikir.


BILAKAH MASUK ALIRAN SYI'AH KE NUSANTARA

Diatas sudah saya kemukakan pendapat penulis-penulis Barat dan Timur tentang masuk agama Islam ke Nusantara, yang dalam kalangan Mubaligh-mubaligh Islam itu terdapat Ahlil Bait atau orang-orang Syi'ah.

Persoalan ini sudah saya kupas waktu diadakan "Seminar mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia", yang diadakan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, dan pidato saya mengenai persoalan tersebut, yang berjudul "Berita tentang Perlak dan Pasai" dimuat dalam sebuah risalah besar yang diterbitkan oleh panitia Seminar, terutama dibawah pimpinan M Said.

Selain dari saya bicarakan tentang mubaligh-mubaligh Islam dizaman purbakala itu, yang terdiri dari pada orang-orang Arab, Persia dan India saya jelaskan, bahwa kebanyakan dari pada mubaligh-mubaligh itu pada waktu tersebut memang berasal dari pada orang-orang, yang mengunjungi Aceh, dan Malaka, memasuki Nusantara dari Persia dan India, meskipun banyak diantaranya telah menggunakan nama-nama negeri-negeri tempat lahirnya di Persia dan di India itu.

Dalam uraian saya itu saya telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Islam ke Indonesia mula pertama di Aceh, tidak mungkin didaerah lain.
2. Penyiar Islam pertama di Indonesia tidak hanya terdiri dari saudagar India dan Gujarat, tetapi juga terdiri dari mubaligh-mubaligh Islam dari bangsa Arab.
3. Diantara mashaf pertama dipeluk di Aceh ialah Syi'ah dan Syafi'i.
4. Pemeriksaan yang teliti dan jujut akan dapat menghasilkan tahun yang lebih tua untuk sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia.
Sebagai keterangan ada pada no 1. ialah karena Aceh itu merupakan pelabuhan yang pertama disinggahi kapal-kapal layar yang masuk ke Nusantara dari Hadramaut dan Gujarat.

Dan kemudian meneruskan pelayarannya ke Malaka, diantaranya ada yang berlayar ke Cina, seperti Marcopolo, Ibn Batuthah, dan Soelaiman[1] seorang Arab pelancong yang terkenal, dan sebaliknya kapal-kapal ini mengangkut orang-orang dari Nusantara dari Aceh ke Mekkah, sehingga oleh karena itu Aceh itu dinamakan "Aceh Serambi Mekkah".

(Nama "Aceh tanah rencong" adalah nama yang diberikan pada daerah ini dalam masa peperangan dengan Belanda).

Begitu juga jemaah Haji yang datang dari Jawa atau dari daerah Indonesia Timur, berkumpul dulu di Aceh, dan dari sana barulah berangkat dengan kapal-kapal Gujarat itu ke Arab.

Di Kuala Aceh masih terdapat sebuah kampung yang bernama "Kampung Jawa", yang didalamnya tidak terdapat seorangpun, yang berasal dari Jawa.

Pada no 2. Mengenai keadaan mubaligh-mubaligh dari Arab ke Indonesia, diantara kitab-kitab sejarah yang dikarangkan oleh Nabi ketimuran Belanda, banyak juga diceritakan dalam kitab "De Hadramieten in Ned. — Indie", karangan S.A. Al-Attas, dan kitab-kitab lain, yang saya ceriterakan kembali secara ringkas dalam kitab "Sejarah Hidup A.W- Hasyim", pada waktu saya membahas gerakan "Ar-Rabithah Al-Alawiyah" dan gerakan "Al-Irsyad".

Keterangan yang lebih tua mengenai kedatangan mubaligh dari Persia dan India ke Nusantara, dapat kita baca dalam penyelidikan, yang dilakukan oleh dua ahli sejarah, yaitu Sayyid Moestafa At-Thabathaba'I dan Sayyid Dhiya' Shahab yang terjadi sekitar bulan November 1960, berjudul "Hubungan Kebudajaan Indonesia — Iran" (Haulal 'Alaqatith Thaqafiyah Baina Iran wa Indonesia), yang diterbitkan dalam tahun 1339 oleh "The Iranian Cultural Office Jalan Budi Kemuliaan 4 A Jakarta — Indonesia".

Diantara lain ia berkata :

"Dekat Surabaya terdapat sebuah kota Gresik namanya, sebuah kota yang bersejarah di Jawa Timur.

Di kota itu kami lihat bekas-bekas yang sudah tidak terurus dan kuburan lama dari penyebar-penyebar Islam dan Alim Ulama, diantaranya kuburan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam tahun 822 H. atau 1419 M. Beliau adalah boleh jadi seorang Iran asal dari Kashan.

Dr. H.J de Graaf dalam bukunya "Geschiedenis van Indonesia", hal. S7, menulis a.1. : Malik Ibrahim dalam mulut rakyat disebut "Orang Barat" ia ternyata masih dipandang sebagai seorang asing sangat boleh jadi seorang pedagang Persia asal dari Gujarat, yang masih belum begitu menjadi kaulanegara di Jawa, sehingga masih perlu didatangkan batu nesan dari negara asalnya seperti yang telah terjadi dengan raja-raja kecil di Sumatera Pantai Utara.

Ketika saya melihat-lihat dan jalan-jalan diantara kuburan- kuburan itu, sedang matahari akan masuk, keperaduannya ,disebelah Barat, teringatlah saya akan kata-kata Imam Zainul Abidin, yang dalam bahasa Indonesianya k.L. seperti berikut :

"Tangan malaikat telah mencabut beberapa nyawa -dari abad ke-abad dan merobah duma ini dan membenamkan dalam tanah dari' mereka yang saya kenal.

Bermacam-macam orang itu semua diantarkannya kedalam tanah.

Hai jiwa, sampai kapankah kau bersandar atas kehidupan dan atas dunia ini dan kau perhatikan kemakmurannya saya ? Apakah engkau tidak menarik pelajaran dari masa yang lalu dan ingat akan beribu-ribu orang yang; sudah tertutup oleh tanah dan sahabat-sahabatmu yang telah dipindahkan kedunia baka ? Lihatlah ummat-ummat yang lalu, zaman-zaman yang lampau» raja-raja yang kejam, dihancurkan oleh zaman, dihapus oleh mati, tanpa bekas didunia, dan hanya diceritanya saja yang masih ada.

Mereka semua menjadi tulang, hancur lebur dalam tanah, rumah-rumah dan istana-istananya menjadi kosong " Di kota Gresik kami bertemu dengan salah seorang yang terkenal, yaitu Sayyid Hasyim Asegaff.

Dengan beliau kami banyak berbicara tentang soal-soal Syi'ah dan buku-bukunya.

Kuburan-kuburan penyebar Islam yang dulu dan ulama-ulama yang banyak terdapat di Indonesia.

Di Sumatera Utara umpamanya dulu ada kuburan raja-raja dan penyebar Islam dan lain-lain, tetapi banyak yang sudah hilang.

Suatu pandangan yang menyedihkan.

Diantara ulama-ulama Iran yang ada kuburannya ialah Sayyid Syarif Khair bin Amir Ali Istrabadi, yang wafat dalam tahun 833 H. dan Na'ina Husain al-Din.

Diatas kuburan Na'ina Husain al-Din ini terdapat tulisan Persia, syair Muslihuddin Sa'id.

Setelah saya kembali dari Surabaya saya berniat untuk mempelajari soal-soal ini.

Saya cari keterangan-keterangan di perpustakaan-perpustakaan dan dimusium-musium dan saya mendapat tulisan Dr. H.K.J. Cowan tentang kuburan ini, yang membuktikan bekas-bekas kebudayaan Iran dan bahasa Iran dikepulauan ini.

Karangan Dr. K.H.J. Cowan yang dimaksud oleh kedua penyelidik Islam Ath-Thabathaba'i dan Dhiya Shahab ini berjudul "A Persian Inscription in Nort Sumatra", yang dimuat dalam Majalah "Tijdschrift voor Taal-, Land en Volkendunde, Deel LXXX, 1940".

Pedagang-pedagang Iran dan India sering kali datang kenegeri Indonesia.

Ahli sejarah juga menyebutkan bahwa dipasar-pasar Banten Lama banyak terdapat pedagang Iran dan Khorasan (bangsa Iran juga), yang mendagangkan batu-batu berharga dan obat-obat.

Orang-orang Arab dan Iran melintasi lautan kepulau-pulau ini dalam abad ke-X untuk berdagang dan menyiarkan agama Islam.

Pelayaran itu bertambah banyak ke Tiongkok pada zaman raja Chu ïsang, dan dipasar-pasar Pasai di Sumatra banyak terdapat pedagang-pedagang asing diantaranya orang-orang Iran.

Dalam sejarah disebutkan bahwa kapal-kapal dari Timur Jauh telah mengunjungi teluk Persia dan sudah tentu kapal-kapal itu menyinggahi kota-kota kedua pesisir pantai teluk itu.


RAJA-RAJA DARI KETURUNAN SYI'AH ATAU AHLIL BAIT DI NUSANTARA

L-W-C- van den Burg, dalam bukunya, "Le Hadramaut et lesArabs et India", mengatakan : "Adapun hasil yang nyata dalam penyiaranagama Islam adalah dari orang-orang golongan Sayyid danSyarif.

Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar diantara rajaraja Hindu di Jawa dan suku-suku yang belum beragama.

Selain darimereka ini, ada juga penyiar-penyiar Islam itu datang dari Arab Hadramaut".

Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad, memberi komentar atas keteranganini dalam kitabnya "Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh"(Jakarta, 1957), bahwa agama Islam tersiar dan berkembang di Sumaterasedikit demi sedikit, sebagaimana tersiarnya Islam di Malabardan Koromandel, dan diantara penyiar-penyiar agama Islam yang terkenal,banyak sekali diantara mereka adalah suku Sayid (Alawi). Pengarangini mengemukakan, bahwa An-"Nihyatul Arab Fi FununilAdab" dan Al-Dimasyqi, dalam kitabnya "Nuchbatuddahr Fi Ajaibel bar war bahr", pernah menyebut tempat-tempatnya tersyiar agamaIslam pada hari-hari pertama itu, yaitu dipulau-pulau "Hindia Timur"sampai ke India, dipulau Surandib (Sailan), antara Saribazah (Sri Wijaya)di Sumatera, dan Kelah (Kedah) di Semenanjung Melayu danterus kepulau Zabaj atau Ranj (Kalimantan).

Ditempat-tempat tersebut berakarlah agama Islam itu, dan sebagaiakibatnya tegaklah kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan pemerintahan.

Menurut sejarah keturunan sultan-sultan Brunai yang dimuat dalamthe Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society di SingaporeNo. 1 sampai 5 tahun. 1878 — 1880, yang disimpan di Raffles Library, dikatakan bahwa penyiar-penyiar agama Islam disana terdiridari suku Sayid Syarif yang terikat dengan keluarga sultan-sultan dipulau-pulau Filipina.

Dalam sejarah Serawak juga dikatakan bahwa Sultan Barakatberasal dari keturunan Sayidina Hussein bin A l i ("A History of Serawakunder two whit Rajabhs" S. Baring Gould, Raffles Library,Singapore).

Demikianlah terdapat riwayat raja-raja disekitar Mindanau, di Manila, dan di Sulu.

Di Pontianak sampai sekarang masih terdapat keturunan raja-raja dari suku Al-Gadri.

Dalam silsilah, bahwa nenek moyang Sultan-sultan Brunei, Sulu dan Mindanau adalah kakak beradik dari pada keturunan Syarif Ali Zainal Abidin, keturunan Nabi Muhammad yang pindah dari Hadramaut, Arab Selatan ke Johor, Malaya Selatan dan berkembang disekitar daerah ini.

Diatas sudah diterangkan raja-raja di Aceh, yang nisannya menyebut gelar Al-Malik atau Raja, misalnya ada nisan yang terdapat di Blang Me, pada kuburan Al-Malik Al-Kamil (meninggal 7 Jumadil Awal 607 H/1210 M).

Disampingnya terdapat kuburan Ya'cub, saudara misannya, yaitu seorang Panglima yang meng-Islamkan orang-orang Gayo dan beberapa suku di Sumatera Barat (meninggal 15 Muharram 630H/1237, M.).

Kemudian terdapat disana kuburan Al-Malik As-Salih, yang sudah dibicarakan diatas oleh Thabathaba'i dan Dr. Cowan, dengan nama Na'ina Husamuddin atau Husainnuddin (saya juga pernah melihat kuburan ini, dan saya tidak membaca "Naina", tetapi huruf yang sudah rusak ini saya lebih yakin membaca "Maulana", (meninggal 8 Ramaddan 696 H./1296 M).

Maulana atau Malfi biasa digunakan di India untuk sahib-sahib atau orang-orang istimewa pengetahuan Islamnya atau kekuasaannya.

Al-Haddad, dan dalam terjemah Indonesia Dhiya Shahab, mengatakan dalam karangannya tersebut diatas, bahwa sesudah Sultan Al-Malik As-Salih ini memerintah pula anaknya Sultan Muhammad Al-Zahir (meninggal 12 Julhiyyah 726 H /1325 M ).

Sesudah sultan ini memerintah pula anaknya bernama Sultan Ahmad bin Muhammad Al-Zahir.

Kuburannya terdapat di Meunasah Meucet didesa Blang Me, yang pada waktu hidupnya bergelar Abi Zainal Abidin (meninggal 4 Jumadil akhir 809 H /1406 M.), dan kemudian anaknya pula yang bergelar A l i Zainal Abidin (meninggal 811 H/1408 M.), yang sesudah mangkat digantikan oleh Abdullah Salahuddin dan isterinya Buhaya binti Zainal Abidin.

Kuburan-kuburan di Aceh terdapat bertabur pada beberapa tempat sekitar Gedung dan Baju, Meunasah Mancang, Blang Me, Pase, Samudra, dan lain-lain.

Al-Haddad berpendapat, bahwa keluarga-keluarga inilah merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin Lama, Serawak dan negeri-negeri yang takluk padanya, juga raja-raja Sulu, Sibuh (Subuh), Mindanau dan Kanawi yaitu pulau yang boleh jadi yang dinamakan dalam kitab-kitab lama dalam bahasa Arab "Al-Alawiyah" dan menurut paham kami dari karangan Dr. Nageeb Saliby dalam bahagian tentang kepulauan-kepulauan yang banyaknya kira-kira seribu tujuh ratus pulau dimana disebut negeri-negeri.

Ia berkata : "Jajahan yang terbesar ialah pulau Kanawi dimana berdiam seorang Syarif Alawi yang terkuat dipulau itu".

Nama Al-Alawiyah dipulau itu disebut oleh pengarang "Nuchbatud dahr".

Selain di Aceh, yang raja-rajanya dalam susunan sejarah Pemerintah Aceh terdapat juga, gelar-gelar Sayyid dan Syarif, seperti Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699/1702 ML).

Syarif Lam Tui (1702 - 1903 M), Syarif Syaiful Alam (1815 - 1820 M), juga terdapat didaerah-daerah lain di Sumatera golongan Ahlil Bait ini turut memerintah, misalnya di Palembang dengan silsilah yang panjang, seperti Tuan Fakih Jamaluddin yang bermakam di Talang Sura (1161 M.), yang ternyata, bahwa nama-namanya yang lengkap adalah Syayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, seterusnya sampai kepada Syaidina Husain.

Dalam silsilah ini disebut bahwa Jamaluddin Akbar itu mempunyai tujuh orang anak, tetapi yang disebut keturunannya ialah dari Zainul Akbar, yang menurunkan raja-raja Palembang, Pangeran-pangeran dan raden-raden di Palembang, Sunan Giri dan Sunan Ampel.

Ada orang berpendapat bahwa raden itu berasal dari perkataan Arab "ruhuddin" (jiwa agama) yang kemudian menjadi gelar bangsawan dari orang Jawa.

Sebuah silsilah yang terdapat di Banyuwangi, Jawa, juga bersamaan dengan silsilah yang terdapat di Palembang.

Dengan demikian, melalui penyiaran agama kita dapati darah-darah Ahlil Bait ini bertabur dan bercampur dengan darah raja-raja Nusantara, baik diseluruh daerah Malaysia, termasuk yang terpenting Malaya, maupun di kepulauan Indonesia, baik di Ambon, dimana sampai sekarang terdengar nama Sayid Parintah, yang mengatur pemberontakan Patimura terhadap Belanda, maupun di Borneo dan Sulawesi, Halmahera, bahkan sampai ke Irian Barat, Terutama di Jawa, dalam masa da'wah Wali Sembilan (Wali songo), banyak sekali campuran darah Ahlil Bait ini dengan anak negeri dan sultan-sultan dan raja-raja dari zaman, Mataram Islam.


Biografi penulis[2]

Cendekiawan terkenal dari Aceh, dan juga penulis buku-buku keagamaan, filsafat dan kebudayaan. Di antaranya telah menghasilkan karya magnum opus berjudul Sedjarah H.H.A. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, terdiri dari 975 halaman, terbit pada tahun 1957, khusus untuk memperingati empat tahun wafatnya Kiai Wahid Hasyim.

Lahir dengan nama Abu Bakar pada 18 April 1909 di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat, dari pasangan ulama. Ayahnya adalah Teungku Haji Syekh Abdurahman. Ibunya bernama Teungku Hajjah Naim. Wafat pada 18 Desember 1979 di Jakarta, dan dimakamkan di Pemakaman Karet Jakarta.

Tambahan “Aceh” di belakang namanya merupakan pemberian Presiden Sukarno yang kagum akan keluasan ilmu putra Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” adalah sebutan teman-temannya tentang hakikat ilmu pengetahuannya.

Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh. Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa, dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di Volkschool di Meulaboh, dan di Kweekschool Islamiyah di Sumatera Barat. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan Jakarta. Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman.

Di masa-masa mudanya aktif di sjeumlah ormas dan partai. Pada 1923 aktif di Sarekat Islam di Aceh Barat, pada 1924 di Muhammadiyah, dan di Partai Masyumi sejak 1946. Di masa kepemimpinan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim, Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama, membantu menteri dalam urusan penataan pelayanan haji.

Selanjutnya, dipercaya oleh Kiai Wachid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama, sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama.

Setelah Pemilu 1955, ia yang dikenal tawadlu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai NU.

Setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran Kiai Wahid, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wahid Hasyim).

Pengalamannya dalam menulis buku tentang Kiai Wahid ini dimulai pada waktu Menteri Agama KH Masjkur, pengganti Kiai Wahid, menggelar acara peringatan setahun wafatnya Kiai Wahid dengan menyerahkan lukisan tentang Kiai Wahid kepada Nyonya Solehah, sang isteri dan juga ibu Abdurrahman Wahid.

Kemudian dibentuklah panitia peringatan, yang salah satunya berbentuk penerbitan biografi beliau. Dan Abu Bakar, selaku Kepala bagian Penerbitan Kementerian Agama, ditunjuk sebagai penulis.

Abu Bakar dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi para keluarag Kiai Wahid, hingga mengumpulkan foto-foto dan tulisan-tulisan yang pernah dimuat media. Salah seorang yang dihubungi untuk memperkaya bahan-bahan tersebut Kiai Abdul Karim Hasyim (dikenal Akarhanaf), adik Kiai Wahid.

Setelah setahun mengumpulkan semuanya, ia mulai menulis, hingga menjadi buku seperti sekarang. Buku ini menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuan Abu Bakar tentang pesantren dan dunia ulama.

Kedekatan dan keakrabannya dengan kalangan reformis-modernis selama di Yogyakarta, tidak menghalanginya juga untuk membangun suasana harmonis dengan komunitas pesantren. Dalam sejumlah tulisannya, Abu Bakar menunjukkan kekagumannya dan bahkan menimba banyak dari tradisi keilmuan pesantren.

Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing, yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda, bagi kemerdekaan Indonesia.

Semua tulisan diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi, titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini. Isi tulisan macam ini tidak kita temukan pada sejumlah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini, serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.

Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya: Sejarah Al-Qur'an, Tekhnik Khutbah, Sejarah Ka’bah, Perjuangan Wanita Islam, Kemerdekaan Beragama, Sejarah Mesjid, Pengantara Sejarah Sufi dan Tasawuf, Pengantar Ilmu Tharikat, Perbandingan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah.

Selain itu juga menerjemahkan beberapa karya para penulis Eropa dan orientalis tentang sejarah Aceh ke dalam bahasa Indonesia. Menulis dalam bahasa Aceh buku pelajaran untuk sekolah-sekolah Aceh masa kolonial, seperti Meutia dan Lhee Saboh Nang, dan juga membantu penyusunan kamus Aceh, Groot Atjehsch Woorden boek, yang dibuat oleh Husein Djajadiningrat.


Referensi:

[1] Lihat "Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh", karangan Sayydd Alwi bin Thahir Al-Haddad, (Jakarta, 1957; hal. 9 dan seterusnya.)

[2] Diambil dari situs resmi NU. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,39619-lang,id-c,tokoh-t,Haji+Abu+Bakar+Aceh-.phpx


(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: