Dalam Islam, kita harus mengikuti apa yang disebutkan secara jelas oleh Al-Quran dalam ayatnya dan juga Nabi dalam sunahnya. Jika ada ayat dan hadis yang jelas tentang suatu hal, namun kita membelot dan mencari-cari alasan lain untuk tidak mengamalkannya, itu berarti kita berijtihad di hadapan nas yang jelas.
Ijtihad sedemikian rupa adalah batil, dan inilah bid'ah yang menjerumuskan kita pada kesalahan.
Adapun ijtihad yang benar adalah ketika tidak ditemukan hukum dari ayat dan riwayat, atau ada kesamaran dengannya, maka seorang faqih dapat mencari jalan keluar dengan cara berijtihad, yang tentu dengan cara-caranya yang khas. Ijtihad inilah yang sah, dan itu pun tidak sembarang orang dapat melakukannya; yakni harus orang yang mencukupi syarat saja berhak berijtihad.
Malik Syah Saljuki, seorang raja zaman dahulu, mengadakan sebuah majelis yang dihadiri oleh diri dan mentrinya, Khajah Nizhamul Mulk. Terjadi perdebatan antara seorang alim Suni bernama Abbasi dan seorang alim Syiah yang bernama Alawi dalam majelis itu.
Alawi: Dalam kitab-kitab kalian disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah berijtihad dengan cara merubah hukum-hukum pasti dan jelas yang pernah ditetapkan oleh nabi sendiri.
Abbasi: Hukum yang manakah itu yang pernah ia rubah?
Alawi: Misalnya:
1. Salat nafilah yang disebut salat tarawih yang dilakukan di bulan Ramadhan secara berjamaah atas perintah Umar bin Khattab. [1] Padahal hukum yang sebenarnya adalah salat nafilah tidak boleh dikerjakan secara berjamaah, sebagaimana yang telah ditetapkan di zaman Nabi. Kecuali salat memohon hujan yang memang dilakukan berjamaah oleh Nabi sendiri.
2. Umar memerintahkan agar kita tidak mengucapkan hayya ala khairil amal dalam azan, dan sebagai gantinya kita harus mengucap assalatu khairun minan naum.[2]
3. Umar mengharamkan haji tamatu'.
4. Umar mengharamkan nikah mut'ah.[3]
5. Ia menghapus jatah mu'allafatul qulub dalam zakat, padahal telah ditetapkan dalam surah Al-Taubah ayat 60. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Malik Syah: Apa benar Umar telah melakukan hal itu?
Khajah Nizhamul Muluk: Ya benar, hal itu disebutkan dalam kitab-kitab terpercaya Ahli Sunah.
Quschi [4] : Jika Umar melakukan itu semua, apa salahnya? Ia berjitihad!? [5]
Alawi: "Apakah hamba Allah berhak untuk berijtihad di hadapan hukum yang sudah jelas ayat dan riwayatnya? Jika hal itu dibolehkan, dan jika semua mujtahid berhak melakukannya, maka dengan seiring waktu Islam akan habis tergantikan dengan pandangan pribadi para mujtahid dan bid'ah. Bukankah dalam Al-Quran disebutkan: "Apapun yang dibawakan oleh Rasulullah maka ambillah, dan apa yang ia larangnya maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr, ayat 7).
Allah swt juga berfirman: "Tidak ada hak bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memilih pilihan selain apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya." (QS. Al-Ahzab, ayat 36).
Bukankah Rasulullah saw juga pernah bersabda, "Halal Muhammad adalah halal sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram sampai hari kiamat." [6]
Kesimpulannya, kita tidak berhak untuk berijtihad di hadapan ayat dan riwayat yang sangat jelas maksudnya. Bahkan Nabi pun juga tidak berhak untuk bertindak berlawanan dengan ayat Al-Quran, sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-Haqqah, ayat 44 dan 47.
Allah swt pernah berfirman tentang Nabi-Nya: "Jika seandainya ia (Muhammad) berbohong atas nama Kami, maka pasti Kami akan mencengkeramnya, lalu memotong jantungnya; dan tak ada satupun yang bisa mencegah itu dan membelanya." [7]
Referensi:
1. Shahih Al-Bukhâri, jld. 2, hlm. 251, Al-Kâmil, Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 31.
2. Syarah Muwatha' Zarqani, jld. 1, hlm. 25.
3. Tafsir Fakhrur Razi, tafsir ayat 24 surah An Nisa'.
4. Quschi adalah salah seorang dari ulama Ahli Sunah dan juga disebut Imamul Mutakallimin.
5. Syarah Tajrid Quschi, hlm. 374.
6. Muqaddamah Darami, hlm. 39; Ushul Kafi, jld. 1, hlm. 69.
7. Mencari Kebenaran di Baghdad, Muqatil bin Athiyah Bakri, hlm. 127-129.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email