Pesan Rahbar

Home » » Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 15

Rahasia Rahasia Ibadah; Bab: Pertemuan 15

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 01:01:00


Keutamaan malam lailatul qadar juga dimiliki siang hari. Kemungkinan jatuhnya malam lailatul qadar terjadi pada malam kesembilan belas dari bulan Ramadhan, yang bertepatan dengan syahidnya Imam Ali as.

Ketika Imam Ali as ditanya: “Berapa jarak antara langit dan bumi?” Imam as menjawab: “Sepanjang mata memandang dan doanya orang-orang yang dizalimi.”239 Terdapat dua pengukur jarak antara langit dan bumi; pertama, pandangan mata, dan yang kedua, doa yang dipanjatkan orang yang dizalimi. Dengan begitu, jarak antara bumi dan langit sejauh kemampuan pandangan seseorang. Dengan kata lain, batas terjauh pandangan mata Anda ke langit tergantung pada kemampuan mata Anda. Pandangan ke langit yang dimaksud pernyataan di atas bersifat lahiriah. Adapun maksud dari pernyataan bahwa doa yang dipanjatkan orang yang dizalimi merupakan jarak antara langit dan bumi, berkaitan dengan rahasia serta aspek batin dari sesuatuyang terdapat di langit.

Sebagaimana kami katakan dalam pelajaran-pelajaran sebelumnya, segala sesuatu memiliki aspek lahiriah maupun batiniah. Begitu pula dengan keberadaan langit yang memiliki dua aspek; lahiriah maupun batiniah. Jarak lahiriah antara langit dan bumi adalah sejauh mata memandang. Mata seseorang bisa menembus ufuk dari langit ini. Namun, jarak yang membentang antara langit dan bumi juga memiliki aspek batin yang hanya dapat ditembus oleh perbuatan hati, bukan mata. Jarak antara langit dan bumi bisa ditembus oleh doa yang dipanjatkan orang yang dizalimi. Keluhan yang disampaikannya mampu mencapai batin langit serta segenap rahasianya.

Pengertian langit secara lahiriah terdiri dari bintang gemintang, matahari, dan rembulan. Sementara aspek batin darinya terdiri dari para malaikat yang sesungguhnya merupakan cahaya alam gaib. Di alam lahiriah, terdapat bintang-bintang yang memancarkan cahaya lahiriah, sementara di langit batin, para malaikatlah yang memancarkan cahaya, tentunya yang bersifat spiritual. Al-Quran berfirman: “Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka untuk semuanya, tetapi pintu-pintu ini tidak terbuka untuk orang-orang kafir dan orang-orang munafik, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit.”(al-A’raf: 40)

Aparat penanggung jawab kehidupan di langit adalah para malaikat. Allah Swt berfirman: “Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” (Fushshilat: 12) Setiap lapisan langit memiliki urusan yang khusus, dan Allah memerintahkan malaikat melalui wahyu untuk bertanggung jawab terhadapnya.

Keberadaan langit memiliki aspek lahiriah yang memancarkan cahaya, yang juga bersifat lahiriah. Imam Ali as telah memotivasi kita ketika menjawab orang yang bertanya tentang berapa jarak antara bumi dan langit, baik dalam kategori lahiriah maupun batiniah yang merupakan rahasia keberadaan langit. Dalam hal ini, beliau berkata: “Sejauh mata memandang dan doanya orang yang dizalimi.”

Apabila seseorang menginginkan doa yang dipanjatkannya diterima dan mencapai realitas batin dari langit, ia harus memutuskan seluruh angan- angan dan hubungannya dengan selain Allah Swt. Doa seorang mukmin yang muwahhid pasti akan diterima Allah sesuai dengan batas ketauhidannya. Demikian pula halnya dengan doa yang dipanjatkan orang yang tidak memiliki kepercayaan kecuali kepada Allah Swt.

Doa dari orang yang dizalimi dan tidak menunggu pertolongan dari siapapun kecuali Allah Swt, pasti akan diterima. Dalam hal ini, terdapat dua kategori orang yang dizalimi. Pertama, orang yang dizalimi dan menunggu pertolongan orang lain, baik dari kerabat dan temannya maupun berdasarkan pada kedudukannya. Dengan demikian, ia akan menunggu pertolongan dari orang-orang terhadap kezaliman yang menimpanya. Orang seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai muwahhid.

Kedua, orang yang dizalimi, yang tidak bisa menghindar darinya, namun tidak mengharapkan pertolongan siapapun dan tidak menyandarkan dirinya kepada apapun kecuali kepada Allah Swt. Orang seperti ini akan menghadap Allah dengan sepenuh hati dan akan taat bulat-bulat kepada-Nya. Ia adalah seorang muwahhid yang akan ikhlas dalam berdoa. Dengan demikian, doa yang dipanjatkannya pasti akan diterima. Dikarenakan itulah, Imam Ali as berkata: “Jarak antara bumi dan langit adalah doanya orang yang dizalimi.”

Imam Sajjad as meriwayatkan dan ayahnya, Imam Husain as, yang menyatakan dalam wasiat terakhirnya: “Hati-hatilah engkau (jangan sampai) menzalimi orang yang tidak memiliki penolong kecuali Allah Swt.”240

Imam Sajjad as juga menyampaikan hal itu dalam wasiat terakhirnya kepada Imam Baqir as, yang berkata: “Ayahku (Imam Sajjad as, ―peny.) memanggilku di saat terakhir hidupnya dan berkata: ‘Aku berwasiat kepadamu sama dengan yang diwasiatkan kepadaku.’”

Dikatakan Sayyid al-Syuhada (penghulu para syuhada), bahwa kedati setiap bagian dari kezaliman itu buruk, namun menzalimi orang yang tidak memiliki penolong kecuali Allah Swt lebih buruk lagi. Itu dikarenakan doa yang dipanjatkannya pasti diterima dan keluhannya pasti terdengar Allah Swt. Apabila kita mendoakan para pejuang Islam demi meraih kemenangan sesuai dengan cara berdoanya orang-orang muwahhid (orang yang bertauhid), maka doa kita pasti diterima.

Manusia harus memanjatkan doa yang mampu mencapai tempat dikeluarkannya perintah-perintah Ilahi, yakni arsy Allah Swt. Arsy merupakan kedudukan dari pemilik hari pembalasan duma dan akhirat, kedudukan yang menjadikan seluruh alam tunduk kepada-Nya. Inilah kedudukan yang disebut dengan arsy. Dan dikatakan bahwa sebagian kalbu insan merupakan arsy Allah, atau dengan kata lain memiliki hubungan yang eksklusif dengan arsy Allah.

Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq: “Kenapa Ka’bah dinamakan Ka’bah?” Imam menjawab: “Karena memiliki empat dinding.” Ia kembali bertanya: “Mengapa memiliki empat dinding?” Imam menjawab: “Karena Bait Makmur (nama tempat) di langit memiliki empat dinding.” Ia bertanya lagi: “Kenapa ada empat dinding?” Imam menjawab: “Karena arsy Allah memiliki empat sisi.” Ia bertanya: “Kenapa ada empat sisi?” Imam menjawab: “Karena kalimat tauhid ada empat, Subhanallah, Walhamdulillah, Wala Ilaha Illallah, Wallahu Akbar. Asma’ al-husna bagi Allah kembali kepada empat kalimat tauhid, dari tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir yang semuanya bermuara pada pengesaan Allah, keagungan -Nya, kesombongan-Nya, yang semua itu adalah Subbubun Quddus.” Manusia menyucikan Allah Swt dengan kalimat-kalimat tersebut.

Sebagian orang berkunjung ke Makkah untuk menziarahi empat dinding tersebut dan secara lahiriah mereka telah menunaikan ibadah haji. Di antaranya, terdapat sejumlah orang yang hanya memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan Bait Makmur. Sejumlah lainnya memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan arsy Allah. Dan sejumlah lainnya, memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan kalimat-kalimat sempurna ini. Orang-orang yang terakhir disebutkan adalah orang-orang yang telah mengetahui rahasia haji. Tidak semua orang yang melakukan tawaf di Ka’bah telah mencapai makna-makna semacam ini.241

Demikianlah jawaban Imam, bahwasannya Kabah dibangun berdasarkan Bait Makmur, arsy-nya Allah, serta kalimat-kalimat penyucian yang terdiri dari tauhid, tahmid, takbir, dan tasbih Allah Swt.

Pada hari kiamat kelak, tak ada keburukan yang melebihi perbuatan syirik. Apabila kita mampu lolos dari sergapan kesyirikan, maka kita memiliki harapan untuk meraih kesuksesan. Banyak di antara kita yang hatinya telah dirembesi dan menyimpan kesyirikan, tanpa mengetahui cara untuk mengenalnya, apalagi mengobatinya.

Kita acapkali menunaikan ibadah hanya berdasarkan pada kebiasaan belaka. Apakah dalam setiap pekerjaan, kita telah memutuskan pengutamaan kepada selain Allah? Ataukah kita semata-mata tidak meyakini pekerjaan atau diri kita sendiri? Mengapa di akhir surat Yusuf, Allah berfirman: “Dan sebahagian dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan selain-Nya).”(Yusuf: 106)

Ketika ditanya tentang makna ayat ini, Imam berkata: “Rahasianya adalah ketika manusia berkata seandainya tak ada fulan, maka ini tidak mungkin terjadi.” Dalam istilah yang umum, dikatakan bahwa Allah-lah yang pertama dan fulan yang kedua. Orang yang berbuat atau berbicara semacam ini bukanlah seorang muwahid, karena Allah berfirman: “Dialah yang awal dan yang akhir; yang dhahir dan yang bathin.” (al-Hadid: 3) Imam kemudian ditanya, kalau begitu bagaimana kita berbicara dan bagaimana mengistilahkannya? Imam menjawab: “Katakanlah, Allah Swt menolong kita.”

Dalam setiap hal, lihatlah selalu kepada pelaku yang hakiki. Allah Swt akan nampak dalam setiap pekerjaan, karena Dia adalah yang dhahir. Janganlah memberi tempat kepada selain-Nya. Terlebih dahulu, kita harus menyucikan dan membersihkan hati kita. Setelah itu, baru kita berdoa dan memohon kepada-Nya.

Imam Shadiq berkata: “Jika kalian ingin doa kalian diterima, maka putuskanlah harapan kepada selain Allah, putuskanlah agar hati kalian tidak hersandar kepada kekuatan manapun selain kekuatan Allah Swt, setelah itu mintalah kepada Tuhan kalian, maka ia pasti mengabulkannya.”

Alkisah, ada dua orang yang ingin pergi ke Makkah dan Madinah. Untuk itu, mereka pun ikut serta dalam rombongan kafilah yang akan pergi haji. Seketika itu, seseorang yang diperkirakan sebagai pemimpin rombongan mendatangi kedua orang tersebut dan berkata: “Kelihatannya kalian berdua orang Irak?” Mereka berdua menjawab: “Ya, kami adalah penduduk Kufah.” Ia kembali berkata: “Dari suku mana?” Mereka menjawab: “Kinanah.” Kemudian keduanya menjelaskan siapa diri mereka. Setelah itu, pemimpin rombongan menyambut keduanya dengan ramah. Lantas, keduanya balik bertanya: “Siapakah Anda?” Ia menjawab: “Aku adalah Sa'ad bin Abi Waqas.”

Kemudian ia berkata kepada keduanya: “Aku telah mendengar empat kalimat tentang Ali bin Abi Thalib, yang seandainya satu dari empat kalimat itu keluar tentang aku, maka ia lebih baik daripada dunia dan segala isinya walaupun dunia itu taat dengan perintahku dan aku memiliki umur seperti umurnya nabi Nuh tidaklah lebih aku cintai dari pada satu kalimat yang seandainya keluar tentangku dari kalimat-kalimat yang keluar tentang Ali bin Abi Thalib.” Mereka berdua kemudian bertanya: “Apakah isi kalimat-kalimat tersebut?”

Sa’ad menjawab: “Yang pertama adalah ketika turun surat Taubah yang mengumumkan tentang bara’ah (berlepas tangannya) kaum muslimin dari orang-orang kafir, maka Nabi memberikan surat ini kepada Abu Bakar untuk disampaikan kepada penduduk Makkah dan ketika Abu Bakar berjalan beberapa lama, Nabi mengutus di belakangnya Ali bin Abi Thalib seraya berkata: ‘Ambillah surat itu darinya agar aku dapat mengirimkan kepada orang yang lebih berhak untuk menjalankan, tugas ini.’ Imam Ali pergi dan mengambil sural Bara’ah dari Abu Bakar dan membawanya kepada Nabi. Para sahabat bertanya: ‘Kenapa bukan Abu bakar yang menyampaikan surat ini kepada penduduk Makah?’ Rasul menjawab: ‘Malaikat Jibril datang kepadaku dari Allah Swt dan mengatakan bahwa tak ada yang bisa melakanakan tugas itu kecuali engkau atau seseorang dari bagianmu.”242 “Dan Ali adalah bagianku dan aku adalah bagian dari Ali.”243 Maka hanya Ali lah yang bisa menyampaikan surat ini dariku (maksudnya, Nabi saw, ―peny.) untuk orang-orang musyrik.

Makna pernyataan ini sama dengan yang ditujukan pada Imam Husain, ketika Nabi bersabda: “Husain adalah bagianku dan aku adalah bagian darinya.”

Abu Abdilah bin Jafar berkata kepada ayahnya Imam Shadiq: “Aku dan saudaraku Musa adalah sama. Ayah dan kakek kami satu244, bukankah asalku dan asalnya satu dan ayahku dan ayahnya satu? Kenapa saudaraku Musa mencintai kedudukan ini? Ayah kami dan kakek kami satu?” Imam Shadiq kemudian menjawab pertanyaan anaknya tersebut: “Engkau adalah anakku sedangkan ia adalah jiwaku. Ada perbedaan antara engkau dan saudaramu, engkau adalah anakku dan saudaramu adalah dari ruhku, darimu nampak pengaruh dari badanku dan dari saudaramu nampak pengaruh dari ruhku, maka janganlah engkau katakan saya putra Imam Shadiq, karena kata ‘putra’ memiliki arti tertentu, dan kata ‘warisan kedudukan’ memiliki artiyang lain.”

Kesimpulannya, makna pernyataan yang disebutkan Rasulullah tentang Imam Husain bin Ali: “Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain,” sama dengan makna pernyataan yang berkenaan dengan Imam Ali: “Ali adalah bagian dariku dan aku bagian dari Ali.”

Keutamaan kedua yang disebutkan Sa'ad binAbi Waqas adalah sebagai berikut: “Kami semuanya sedang berada di masjid Madinah yang tidak beratap dan rumah-rumah yang berdampingan dengan masjid memiliki pintu yang langsung menyatu dengan masjid sehingga para penghuninya bisa tidur di dalam masjid. Pada suatu malam, datanglah perintah agar kami semuanya keluar dari masjid, kecuali keluarga Rasul dan keluarga Ali. Mereka semua memiliki hak untuk tetap tinggal di situ.

Kami semua keluar dari masjid dan pagi harinya, paman Nabi, Hamzah ―semoga Allah meridhainya― datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, engkau mengeluarkan kami dan engkau tempatkan anak ini (maksudnya Ali bin Abi Thalib)245, sedangkan kami adalah pamanmu dan dari keluarga besarmu.” Rasul berkata: “Bukan aku yang mengeluarkan Anda dari masjid dan bukan aku yang memperbolehkannya untuk tetap tinggal, tetapi Allah-lah yang memerintahkannya.”

Ali bin Abi Thalib memiliki hak untuk tetap tinggal di dalam masjid dan mengunakan pintu rumahnya yang bisa menghantarkannya ke dalam masjid. Kedudukan macam apakah ini? Ketika Sayyidah Maryam hendak melahirkan, turunlah perintah agar dirinya keluar dari rumah Allah246 yang merupakan tempat suci tersebut. Namun Allah Swt tidak memerintahkan Fatimah binti Asad, ibunda Amirul Mukminin, untuk keluardari Ka’bah saat melahirkan. Hal ini tidak pernah terjadi selain kepada Amirul mukminin as.

Dalam doa Nudbah dikatakan: “Seluruh pintu ditutup kecuali pintu rumahnya,” seluruh pintu yang berdampingan dengan masjid ditutup kecuali pintu rumah Amirul M ukminin Ali, dan di sinilah letak rahasianya.

Keutamaan ketiga yang melekat pada diri Ali bin Abi Thalib, yang tidak dimiliki selainya adalah kejadian mendobrak pintu Khaibar. Suatu saat, Rasul mengirim sebagian sahabatnya untuk membongkar pintu Khaibar, namun mereka tidak sanggup melakukannya. Melihat itu Nabi pun marah dan bersabda: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang laki-laki yang Allah dan Rasulnya mencintainya dan ia pun mencintai Allah dan Rasulnya, berani dan tidak takut akan peperangan dan kematian.”247

Dialah seorang laki-laki pemberani yang tidak pernah kecut hatinya oleh peperangan dan kematian. Ali berkata: “Aku tidak perduli, aku mati atau aku dibunuh.”248 Beliau tidak pernah lari dari medan peperangan. Baju besi Amirul mukminin hanya menutupi sebatas dadanya saja, sementara punggung beliau terbuka dan tidak tertutup baju besi. Beliau berkata: “Aku tidak perlu menutupi punggungku dengan baju besi atau baju perang, karena aku tidak membelakangi musuh sehingga ia menyerangku dari belakang.”249 Ini merupakan ucapan-ucapan Imam Ali yang sangat bernilai. Berkenaan dengan peperangan, Imam Ali berkata: “Janganlah kalian mengunakan perasaan.”

Dalam salah satu peperangan, sebagian prajurit tertawan oleh musuh. Kemudian sejumlah sahabat berkata kepada Imam Ali: “Berikanlah kami ijin agar kami dapat mengambil harta di baitul mal sehingga kami bisa membebaskan tawanan-tawanan dari tangan musuh.” Imam berkata: “Membebaskan tawanan itu sendiri adalah pekerjaan yang baik, tetapi jika kalian ingin membebaskan mereka, maka pertama-tama lihatlah kepada orang-orang yang terluka dan tebuslah mereka.250 Orang yang mengangkat tangannya, menyerahkan dirinya, dan dibadannya tidak terdapat luka, ia telah kehilangan keberaniannya. Namun orang-orang yang terlukalah yang pantas untuk dibebaskan dari tahanan, karena mereka berperang sampai detik-detik kejatuhannya ke tangan musuh. Adapun tawanan-tawanan yang pungung-pungung mereka terluka, itu merupakan bukti bahwa mereka terluka dan kalah.”

Orang yang meninggalkan medan perang, sedikitpun tidak bermanfaat bagi kita. Ia tidak mengenal makna syahadah dan menyangka bahwa kematian merupakan kefanaan, sementara pula meyakini bahwa kehidupan dlinia lebih baik baginya. Ia tidak mengerti bahwa: “Kematian tidak lain kecuali jembatan yang akan kita lalui.”251

Alangkah indahnya bait-bait kalimat yang diungkapkan Imam Husain:

“kematian merupakan jembatan yang di satu sisinya adalah dunia dan di sisi lainya adalah surga.” Jembatan ini dapat menghantarkan kalian menuju surga.

Imam memerintahkan: “Janganlah kalian membebaskan tawanan yang terluka dari belakang dan kalian jangan keluarkan harta baginya dari Baitul Mal, karena ia kalah dan meninggalkan medan perang dan kita tidak menyukai orang seperti ini, ia berkeyakinan bahwa kehidupan lebih baik daripada agama dan ia tidak memahami bahwa syahadah adalah surga dan di sinilah letak kebahagiaan.” Itulah sebabnya Rasul berkata tentang Imam Ali: “pemberani yang tidak takut sehingga Allah melalui tangannya memenangkannya, ia tidak akan pulang tanpa kemenangan dan membuka pintu Khaibar.”

Dalam surat yang ditujukan kepada Sabat bin Ranif al-Anshari, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Aku tidak mencabut pintu Khaibar dengan kekuatan fisik atau kekuatan makanan tetapi dengan kekuatan malakut, jiwa dan dengan cahaya Allah yang menerangi.”252 Kemampuan untuk mencabut pintu Khaibar bukanlah berasal dari makanan dan kekuatan fisik, tetapi dari kekuatan malakut yang diberikan Allah Swt.

Seluruh sahabat ingin mengetahui, siapakah yang dimaksud Rasul saww dengan ucapan dan sebutan ini. Pada suatu pagi, Rasul berkata: “Bawalah Ali bin Abi Thalib ke hadapanku.” Imam Ali datang menemui Rasul dalam keadaan sakit mata. Segera saja Rasul meletakan sedikit air ludahnya ke mata Imam Ali. Tak lama kemudian, mata beliau pun sembuh. Setelah itu, Rasul menyerahkan bendera kepada Imam Ali, yang kemudian pergi ke medan perang dan pulang dengan membawa kemenangan.

Keutamaan keempat yang dikatakan Saad bin Abi Waqas adalah: “Dalam perang Tabuk, tatkala Rasul pergi ke medan perang dan meningggalkan Imam Ali di Madinah sebagai khalifahnya untuk menjaga kota tersebut dari sergapan para musuh, sebagian orang malah memanfaatkan kesempatan ini dan menganggapnya sebagai titik lemah keberadaan beliau. Mereka mengklaim bahwa (dengan ketidaksertaannya dalam peperangan Tabuk, ―peny.) Imam Ali hanya ingin menjaga keselamatan dirinya. Mereka menyatakan bahwa Rasul tidak ingin Imam Ali ikut berpartisipasi dalam peperangan tersebut.

Ketika Imam Ali mendengar semua itu, beliau segera menemui Rasul dan berkata: “Aku tidak akan meninggalkanmu.” Setelah mengatakan itu, Imam Ali pun menangis. Kemudian, Rasul bertanya kepada beliau: “Mengapa engkau datang ke sini?” Imam menjawab: “Orang-orang Qurais berkata: ‘Rasulullah tidak mengajak Ali bersamanya, karena beliau tidak suka Ali berpartisipasi dalam peperangan.’” Rasul mengatakan:

“Kumpulkan semua orang.” Maka, dipanggil dan dikumpulkanlah orang- orang tersebut. Setelah itu, Rasul bersabda: “Wahai sekalian manusia, apakah kalian memiliki keluarga yang khusus, Ali bin Abi Thalib adalah keluarga khususku dan orang yang aku cintai dari lubuk hatiku.”253

Kemudian, Rasul menoleh ke arah Ali bin abi Thalib dan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak ridha, engkau bagiku seperti kedudukan Nahi Harun dengan Nahi Musa, kecuali karena tidak ada lagi nabi setelahku, engkau wahai Ali adalah menteri dan Khalifahku, perhedaan antara aku dengan Nahi Musa adalah setelah Nabi Musa, ada nabi yang lain. Adapun setelahku tidak ada lagi nabi.”254 Mendengar itu, Imam Ali lantas berkata: “Aku ridha kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Ketika mengucapkan salam kepada Imam Mahdi as, kita mengatakan: “Salam bagimu, wahai sekutu al-Quran.” Kata ini berasal dari hadis dan bersandarkan pada al-Quran. Kata syarik yang merupakan bahasa arab, memiliki arti 'potongan kecil dari tali yang diikatkan ke daun pintu'. Kedudukan Imamah dan hakikat al-Quran merupakan dua buah pusaka yang sekaligus menjadi beban yang sangat berat. Dalam hal ini, Imam telah mengikatkan al-Quran dengan Imamah, begitupula sebaliknya, Imamah mengikat al-Quran. Dengan demikian, Imam menjadi syarik.

Dalam al-Quran disebutkan bahwa Nabi Musa berbicara dengan Allah, dengan mengatakan: “Ilahi, engkau letakkan di atas punggungku beban yang sangat berat, yaitu memerangi Fir’aun dan agar aku sukses dalam pekerjaan ini, maka saudaraku Harun, aku bawa sebagai sekutuku.”

Rasul berkata kepada Imam: “Engkau bagiku seperti Harun dengan Nabi Musa, sebagaimana Harun adalah sekutu Musa, maka engkau adalah sekutuku dalam risalah.” Dikarenakan risalah serta metode Rasul tak lain dari al-Quran itu sendiri, dan akhlaknya juga bersumber dari Al-Quran, orang yang menjadi sekutu Rasul juga akan menjadi sekutu al-Quran. Orang tersebut ibarat tali yang mengikat Imamah dengan hakikat wahyu. Karena itu, kita mengucapkan di hadapan Imam rnaksum: “Engkau adalah sekutu al-Quran.” Baik Imam Shohibuz zaman, ataupun para imam lainnya, secara keseluruhan merupakan sekutu al-Quran.

Imam Ali berkata: “Aku adalah al-Quran yang berbicara.”255 Al-Quran tidak berbicara dengan kalian, tapi aku akan memberitahukan kepada kalian tentang berita-berita dalam al-Quran. Dengan begitu, beliau merupakan sekutu al-Quran.

Kita harus memandang ImamAli berdasarkan pandangan yang agung dan mengenalnya dengan pengenalan yang seksama. Keempat bait kalimat yang indah ini memiliki pengaruh sebagaimana diungkapkan Sa’ad bin Abi Waqash: “Aku akan mengatakan kalimat yang kelima: Nabi bersabda dalam haji wada (perpisahan) ketika sampai di Ghadir Khum: ‘Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya, ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang membantunya. dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.’”256

Rasul tidak mengatakan bahwa Ali (maksudnya nama seseorang, ―peny.) adalah pemimpinnya. Sebab, besar kemungkinan orang-orang akan mengatakan bahwa banyak orang yang bernama Ali di dunia ini, termasuk dan di kota Madinah. Namun Rasul mengatakan: ‘Dengan ini, Ali (yang inilah, maksudnya sepupu Rasul sekaligus suami Sayyidah Fathimah, ―peny.) adalah pemimpinnya. Tuhanku, setiap orang yang masuk di bawah payung wilayah Ali, masukkanlah ke dalam wilayah-Mu dan setiap orang yang memusuhinya, musuhilah dia. Tuhanku, setiap orang yang menolong Ali, berilah pertolongan, dan setiap orang yang meninggalkan Ali, tinggalkanlah!


Referensi:

239. Bihar al-Anwar, juz 10, hal. 88.
240. Safinah al-Bihar, Bab “Washa”, juz 2, hal. 462; Ushul al-Kafi, Bab “Keazliman”, juz 2, hadis ke-5.
241. Syaikh al-Saduq, Ila al-Syara’i, Bab CXXXVI, hadis ke-2, hal. 398.
242. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-7.
243. Ibid.
244. Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, hal. 296; Kamil al-Ziyarat, hal. 3; Mustadrak al-Hakim, juz 3, hal. 177; Ibnu Asakair, al-Tahzib, juz 4, hal. 314; Ibnu Hajar, Majma’ az-Zawaid, juz 9, hal. 181; al-Muhriqah, as-Sawaiq, hal. 115, Kanzu al-Ummal, juz 7, hal. 107.
245. Syaikh al-Mufid, al-Irsyad; Safinah al-Bihar, kalimat ‘abada.
246. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke- 7.
247. Al-Kafi, Bab “Kelahiran Ali”, juz 1, hal. 453; Raudah al-Wajdzin; Sayyid Abdullah Syubbar, Jala al-Uyun, juz 1, hal. 248.
248. Syaikh al-Mufid, al-Amali, petemuan ke- 7.
249. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-55.
250. Wasail al-Syi’ah, juz 11, Bab XXVIII tentang “Jihad terhadap Musuh”, hal. 65, hadis ke-3; Mustadrak al-Wasail, juz 2, hal. 255.
251. Ma’ani al-Akbar, Bab “Makna Kematian”, hal. 288; Fa’db al-Kasyany, Umu al-Yaqin, juz 2, hal. 864.
252. Bihar al-Anwar, juz 41-42, hal. 58.
253. Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub; Qhazwah Khaibar, hal. 245; Khulu al-Ain, hal. 157; Syaikh al-Mufid, al-Irsyad, hal. 40.
254. Syaikh al-Mufid, al-Amuli, pertemuan ke-7.
255. Imam Ali berkata: “Itu adalah al-Quran, maka ajaklah ia berbicara dan ia tidak akan berbicara, tetapi aku akan memberitakan kepada kalian tentangnya, Ketahuilah bahwa di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang akan datang dan yang telah berlalu,. obat bagi penyakit kalian dan menjadi pengatur di antara kalian.” Lihat, Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-158.
256. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke- 7.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: