Kalimat yang diucapkan Imam Sajjad as di atas mimbar di Syam, menunjukkan bahwasannya para imam suci telah menggapai rahasia ibadah. Di antara ucapannya: “Aku adalah anak dari Makkah dan Mina, aku adalah anak dari air Zamzam dan Shafa.”257 Maksudnya, aku telah mencapai rahasia ibadah-ibadah yang dilaksanakan di Makkah dan Mina tersebut, dan itulah yang menghantarkanku ke maqam ini.
Aku adalah anak dari orang yang telah mempersembahkan kurban- kurban demi menjaga agama dan syariat. Aku adalah anak dari Mina. Orang yang siap untuk menganugerahkan kesyahidan yang paling agung demi menjaga agama, adalah orang yang telah mencapai hakikat pengorbanan. Dia itulah anak dari Mina, walaupun ia sendiri belum pernah mengunjunginya.
Berkenaan dengan rahasia pengorbanan, Allah Swt berfiran: “Kurban ini memiliki aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah kurban tidak akan sampai kepada Allah, adapun aspek batinnya serta pengorbanannyalah yang akan sampai kepada-Ku.” “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(al-Haji: 37) Daging dan darah kurban tidak akan sampai kepada Allah Swt. Akan tetapi, ketakwaan orang-orang yang berkurbanlah, yang sekaligus menjadi rahasia ibadah, yang akan sampai kepada-Nya.
ketawaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”( al- Haji: 37) Daging dan darah kurban tidak akan sampai kepada Allah Swt. Akan tetapi, ketakwaan orang-orang yang berkurbanlah, yang sekaligus menjadi rahasia ibadah, yang akan sampai kepada-Nya.
Di jaman jahiliah, orang-orang yang menyembelih hewan akan menggantungkan sebagian sembelihannya ke dinding Ka’bah sembari melumurinya dengan darah. Semua itu dilakukan agar amal mereka diterima. Ketika Islam hadir, perbuatan semacam itupun dihapuskan dengan mengatakan: “Daging dan darah tidak akan sampai kepada Allah Swt, melainkan ketakwaan dalam amal itu yang sampai kepada-Nya.” Maka manusia yang bertakwalah yang akan mencapai hakikat serta batin ibadah. Dan kita harus senantiasa berusaha keras untuk bisa mencapai rahasianya yang paling tinggi.
Amirul Mukminin Ali as merupakan figur utama dalam hal peribadahan. Beliau berkata: “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang belum pernah aku lihat.”258 Sementara, berkenaan dengan al-Ma’ad, beliau berkata: “Seandainya tabir yang menutupiku disingkapkan, keyakinanku tetap tidak akan bertambah.”259
Ucapan-ucapan Imam tersebut telah menjadi pembuka jalan bagi manusia untuk bisa mencapai rahasia ibadah. Setelah kepala beliau ditetak, Imam Ali as banyak memberikan wasiat yang tidak hanya diperuntukkan bagi Imam Hasan dan Imam Husain as. Umpama, dalam kalimat kedua yang menyebutkan: “Aku wasiatkan kepada kalian, dan aku wasiatkan kepada semua orang yang tulisanku ini sampai kepadanya.” Wasiat ini diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin.”Wasiatku kepada kalian, janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan apapun”260
Apapun pekerjaan yang kalian lakukan, janganlah dinisbatkan kepada selain Allah, karena itu merupakan kesyirikan. Orang-orang musyrik senantiasa menisbatkan perbuatan-perbuatan Allah kepada selain-Nya dan selalu menyembah patung-patung, bukan Allah. Mereka memang berkeyakinan bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Allah. Namun mereka juga memiliki keyakinan lain, bahwa yang mengatur alam semesta bukanlah Allah, melainkan Tuhan yang lain.
Isi dari wasiat tauhid menyatakan, janganlah Anda menyandarkan segenap urusan kepada diri Anda atau selain Anda. tetapi ketahuilah, segala urusan berasal dari Allah Swt yang mengatur alam ini. Tak ada nikmat lebih besar ketimbang nikmat bertauhid, dan tidak ada dosa yang lebih buruk daripada kesyirikan.”Sesungguhnya, mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”(Luqman: 13) Apakah mungkin bagi seseorang yang duduk di hadapan hidangan Allah dalam setiap keadaan, memiliki keyakinan kepada selain Allah? Berkeyakinan terhadap selain Allah merupakan kesyirikan, sekaligus keburukan di dunia dan akhirat.
“Dan Muhammad, janganlah kalian sia-siakan sunnahnya.” Setelah mengukuhkan ketauhidan, jagalah risalah Nabi, hormatilah wahyu dan kenabian, janganlah kalian sia-siakan sunah Rasul, hormatilah akhlak dan adab Nabi, hormatilah hadis-hadis yang diriwayatkan Nabi, dan janganlah kalian sia-siakan agamanya. Sesudah menegaskan pentingnya ketauhidan, kenabian, dan agama, beliau berkata: “Dirikanlah dua tongkat ini dan nyalakanlah dua cahaya ini.” Kedua tongkat yang harus didirikan ini adalah tauhid dan kenabian. Keduanya juga merupakan dua cahaya yang harus dijaga. Berusahalah kalian agar kedua cahaya tersebut tidak padam; cahaya tauhid dan kenabian.
Konsep al-Ma’ad akan kembali kepada prinsip-prinsip dasar tersebut, karena di akhirat kelak, manusia akan berada di sisi Allah yang menciptakannya. Jika kalian menjaga kedua cahaya ini, akal dan syariat kalian tidak akan mencela kalian. Sebaliknya, bila kalian memadamkan kedua cahaya ini, maka akal dan syariat kalian akan mencerca kalian.
“Aku kemarin adalah teman kalian, sekarang adalah pelajaran bagi kalian, dan besok akan meninggalkan kalian.” Kemarin aku masih bersama kalian dan kalian juga ada bersamaku. Adapun sekarang, aku menjadi pelajaran bagi kalian. Hari ini, Imam kalian sedang terbaring sakit di atas tempat tidur, karenanya lihatlah kepadaku dan ambillah pelajaran. Kekuatan, keselamatan, dan kekayaan tidaklah kekal adanya. Tidak selamanya manusia akan sehat dan kuat. Besok, aku akan meninggalkan kalian.
Jika aku selamat dari pukulan ini dan tidak syahid, maka qishash bagi orang yang memukulku ada di tanganku. Dan aku bisa memaafkan ataupun meng-qishash-nya. Adapun jika aku mati, maka kematian pasti akan menjemput kita semua, karena: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (al-Anbiya: 35) Balaslah satu pukulan dengan satu pukulan, dan janganlah kalian mencontoh laki-laki itu (maksudnya, Abdurrahman ibnu Muljam, si pembunuh Imam Ali ―peny.).
Air muka adalah gambaran dari Iman dan kecintaan. Allah Swt berkata kepada Rasul-Nya: “Kami tidak menciptakan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad) maka jikalau kamu mati....” (al- Anbiya: 34) Kami tidak mengekalkan hidup orang-orang sebelummu di dunia ini. Orang yang hidup sebelum engkau telah meninggalkan dunia fana ini, begitu pula dengan orang-orang yang akan datang setelahmu. Keberadaan dunia ini hanya sekadar tempat berlalu, sehingga tidak mungkin dijadikan tempat untuk menjalani kehidupan yang kekal.
Kemudian Imam Ali berkata: “Demi Allah, kejadian yang menimpaku ini dan pukulan di atas kepalaku ini tidaklah berat bagiku dan bukanlah hal yang aku harapkan, kematian adalah sesuatu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Demi Allah, kematian bagi putra Abu Thalib adalah sesuatu yang amat disukainya, sebagaimana bayi yang menyukai air susu ibunya.”261
Aku tidak takut dengan kematian, bahkan aku menyenanginya sebagaimana gemarnya seorang bayi terhadap air susu ibunya. Namun, seorang bayi hanya bergerak berdasarkan insting dan kebutuhan alaminya. Sedangkan bagiku, kecintaan dan hubungan dengan syahadah harus didasari oleh kebutuhan rasio. Ketika bertambah dewasa, seorang bayi akan semakin mengurangi hubungannya dengan ibunya. Berbeda dengan itu, setiap aku bertambah dewasa, keinginan dan kecintaanku atas syahadah makin bertambah kuat, dan aku tidak pernah takut pada kematian.
Imam Ali berkata: “Aku tidak akan kaget dengan kematian yang datang secara tiba-tiba.”262 Kematian tidak akan membuatku tidak menyukainya. Tak ada sesuatupun tentangnya yang aku benci dan ini tidaklah mengherankan bagiku. Jika kematian datang dari ujung timur dan aku mengetahuinya, bagiku bukanlah hal yang janggal. Pertemuanku dengan kematian laksana pertemuan seseorang yang sedang kehausan dengan sebuah mata air yang jernih. Kematian akan menghantarkanku menuju mata air kehidupan; kematian merupakan target pencarianku, dan aku telah mendapatkannya.
Imam as berkata: “Dulu aku penjamu tamu dan sekarang menjadi tamu-Nya. Aku telah mendapatkan yang selama ini aku cari dan aku telah sampai ke tujuanku, aku tidak kehilangan apapun dan tidak kekurangan apapun.”
“Sedangkan, apa-apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” Ketika sedang terbaring sakit di atas peraduannya, Imam Ali as berkata kepada puterinya, Ummu Kulsum: “Seandainya engkau melihat seperti apa yang aku lihat, maka engkau tidak akan menangis.” Ummu Kulsum kemudian bertanya: “Apa yang engkau lihat?” Imam as menjawab: “Aku melihat barisan para malaikat dan para nabi dan mereka sedang menanti kedatanganku. Seluruhnya berada dalam satu baris untuk menjemputku, maka hal ini tidak menjadikan tangisan.”263
Ucapan Imam Husain as dalam perjalanan bersejarahnya ke Karbala, mengandung makna yang serupa. Beliau berkata: “Aku tidaklah bingung dengan orang-orang sebelumku seperti kerinduan nabi Ya’kub kepada nabi Yusuf, maka aku rindu melihat kakek-kakekku, ayahku, dan ibuku sebagaimana rindanya nabi Ya'kub kepada nabi Yusuf.”264 Imam as ingin menjelaskan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebabnya, dengan kematian, kita justru meninggalkan orang-orang yang tidak shalih dan akan berjumpa dengan orang-orang shalih, seperti para nabi.
Dalam akhir wasiatnya, Imam as bersabda: “Aku dulu adalah tetangga kalian tetapi hanya badanku saja yang menjadi tetangga kalian.” Imam as berkata: “Sesungguhnya, jasadkulah yang menjadi tetangga kalian, adapun ruhku tidak bersama kalian.” Imam Ali as mengamanatkan wasiatnya tersebut kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as. Berdasarkan ini, sesungguhnya Imam Hasan as telah mencapai kedudukan Imamah yang tinggi dan beliau mewasiatkan kepada seluruh umat manusia untuk tidak mengabaikan shalat dan melupakan anak yatim. Berkenaan dengan keutamaan berziarah ke Baitullah, beliau berkata: “Janganlah kalian meninggalkan Haji, karena kalau begitu, maka Allah akan menimpakan azab-Nya kepada kalian tanpa menunda.”
Imam Hasan as dan Imam Husain as yang ketika itu berada di samping Imam Ali as, diberi penjelasan oleh Imam Ali as mengenai segenap urusan yang berkenaan dengan ihwal keagamaan dan keduniawian, serta mengajarkan mereka berdua tentang seluruh ilmu Tuhan yang telah diajarkan Rasul saww kepadanya. Imam Ali as mengetahui berdasarkan wilayah, yang tentunya tidak berpengaruh pada syariat, bahwa dirinya akan menjumpai kesyahidan. Imam as juga berkata: “Jadilah wasiat bagi dirimu sendiri.” Bagi setiap orang, hendaklah menjadikan dirinya masing-masing sebagai wasiat bagi dirinya sendiri dengan tidak meninggalkan seluruh amal serta taklif di dalam wasiatnya. Karena itu, ia harus menunaikan apa-apa yang menjadi tanggungjawab dirinya, berupa shalat, puasa, dan berbagai kewajiban lain.
Laksanakan sendiri setiap amal yang baik dan janganlah kalian mewariskannya (amal yang tidak dilaksanakan tersebut, ―peny.) kepada orang yang menerima wasiat. Amal yang harus dilaksanakan orang yang menerima wasiat haruslah amalnya sendiri, bukan hutang amal yang ditinggalkan orang yang sudah meninggal.
Referensi:
257. Khutbah Imam Sajjad di masjid Damaskus. Lihat, Bihar al-Anwar, juz 45, hal. 138.
258. Syaikh al-Saduq, at-Tauhid, Bab XLIII, hadis ke-2.
259. Abu Na’im al-Isfahany, al-Kafi Hilyah al-Auliya’, juz 1, hal. 18; Dalam kitab al-Ulum karangan al-Ghazali juga banyak disebutkan tentang hal itu kendati dalam redaksi yang beragam.
260. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-23.
261. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-5.
262. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-23.
263. Al-Luhuf, hal. 33; ibnu Nama, hal. 20.
264. Syaikh al-Saduq, al-Khisal; Sayyid Abdullah Syubbar, Jala al-Uyun, juz 1, hal. 268.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email