Aspek lahiriah manusia bertautan dengan aspek lahiriah ibadahnya, semen tara aspek batin manusia akan berhubungan aspek batin ibadahnya. Manusia yang tidak sempurna hanya akan berhubungan dengan aspek lahiriah ibadahnya. Sedangkan manusia yang scmpurna akan berhubungan dengan aspek batin ibadahnya.
Pada hari kiamat, setiap orang akan dibangkitkan dalam bentuk yang sesuai dengan kadar akhlak serta kebiasaan yang tertanam dalam jiwanya. Apabila termasuk orang yang suka beribadah dan telah mencapai rahasianya, ia akan dibangkitkan dengan wajah yang bercahaya. Namun, jika termasuk orang-orang pada umumnya, ia akan dibangkitkan dalam mpa manusia yang hanya memiliki cahaya pada kedua kakinya saja. Dan, jika tidak termasuk orang yang suka beribadah, ia akan dibangkitkan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan sebagaimana yang dulu senantiasa dikerjakannya di dunia. Ia tidak akan dibangkitkan dalam rupa manusia.
Pada hari kiamat kelak, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk yang beraneka ragam. Tatkala ruh ditiupkan ke dalam bentuk-bentuk tersebut, merekapun bangkit dan datang dengan berkelompok: “Yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok- kelompok.”(al-Naba: 18) Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saww bersabda: “Sebagian manusia pada hari kiamat akan dibangkitkandalam bentuk binatang-binatang.”265 Kemudian Nabi pun menyebutkan satu persatu nama binatang tersebut. Mereka mengalami nasib seperti yang digambarkan Rasul tersebut dikarenakan rahasia dari kebiasaannya di dunia persis dengan kebiasaan seekor binatang: “Bentuknya manusia tapi hatinya binatang.”266
Hari kiamat merupakan aspek batin dari kehidupan dunia. Pada hari kiamat kelak, manusia akan dibangkitkan dalam bentuk batinnya; sebagian dibangkitkan dalam bentuk binatang dan sebagian lainnya dalam rupa manusia. Sebagian orang yang dibangkitkan hanya menerangi dirinya sendiri, sementara sebagian lainnya ―sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (al-Hadid: 12)― memancarkan cahaya bagi orang lain dan menjadikan hari kiamat terang benderang.
Keadaan di surga diterangi cahaya yang bukan dipancarkan dari bulan ataupun bintang ―cahaya yang bersifat lahiriah― melainkan bersumber dari cahaya yang dipancarkan manusia. Rumah-rumah yang ada di surga bercahaya bukan oleh matahari dan bulan.
“Apabila matahari digulung dan apabila bintang-bintang berjatuhan.” Pada hari kiamat kelak, keberadaan matahari dan bulan tak lagi bermanfaat. Pada hari itu, orang-orang akan bertanya perihal seberkas cahaya baru yang bersinar yang mereka lihat; cahaya apakah itu? “Itu adalah cahaya orang mukmin yang berpindah-pindah dari satu kamar ke kamar yang lain.”
Cahaya tersebut merupakan aspek batin manusia dan ibadah. Aspek batin shalat, puasa, haji, dan jihad akan menjelma menjadi cahaya yang terang benderang. Ini dikarenakan setiap bentuk ibadah memiliki rahasia masing-masing. Seluruh batin ibadah merupakan cahaya-cahaya yang memancar di alam gaib. Cahaya yang diumpamakan Allah dalam firman- Nya: “Dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”(al-An’am: 122)
Adalah cahaya yang akan nampak pada hari kiamat. Setiap orang yang dirinya bercahaya akan melihat alam dalam keadaan terang benderang. Sebaliknya, setiap orang yang dirinya tidak bercahaya akan melihat alam dalam keadaan gelap gulita dan menakutkan. Penghuni neraka tidak akan mampu melihat titian jalan menuju jahanam. Mereka akan berjalan dengan sempoyongan dan serba terpaksa. Ketidakmampuan untuk melihat titian jalan merupakan bagian dari azab dan malapetaka. Penghuni neraka tidaklah memiliki tempat yang luas. Itu dikarenakan keadaan batinnya telah terjerumus masuk ke lubang jahanam yang sempit, terbatas, dan tertutup. Ia akan berada dalam tiga alam yang seluruhnya serta sempit. Adapun aspek batin orang mukmin akan memancarkan cahaya yang terang- benderang, dan pada ketiga alam tersebut, ia akan mendiami tempat yang sangat luas.
Seorang mukmin menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh ketenangan. Demikian pula halnya dalam menjalani kehidupan di alam barzah dan hari kiamat. Di dunia ini, hati seorang mukmin benar-benar tenang dan tidak mengalami kegelisahan. Setiap musibah atau kejadian yang menimpa hanya dianggap sebagai cobaan bagi dirinya. Keyakinan atas Tuhannya tidak berkurang sedikitpun dengan kejadian yang menimpanya. Ia tidak menyimpang sejengkal pun dari jalannya. Dirinya tak sekejap pun kehilangan kontrol. Karena itu, ia senantiasa hidup bahagia.
Ketika berada di dalam majelis Nabi saww dan menulis seluruh apa yang diucapkan Nabi saww, para sahabat ditanya oleh Nabi: “Kenapa kalian menulis setiap huruf yang diucapkan Nabi?” Ucapan beliau tersebut memang terkesan keras. Namun, itu mungkin dikarenakan beliau sedang marah. Lain hal jika beliau sedang dalam keadaan tenang. Niscaya, kata-kata yang beliau ucapkan akan terdengar indah. Dengan demikian, tidak semua ucapan Rasul bisa ditulis.
Mereka bcrtanya pada Nabi saww: “Wahai Rasulullah. apakah engkau memperkenankan kami menuliskan seluruh apa yang engkau ucapkan dalam setiap keadaanmu, baik di saat engkau senang maupun marah?” Nabi saww bersabda: “Tulislah segala sesuatu yang aku ucapkan.” Mereka bertanya: “Di saat senang maupun marah?” Nabi saww menjawab: “Di saat senang dan marah.267 Kami tidak mengatakan kecuali kebenaran. Ketika kami marah, maka kemarahan kami tidak lain kecuali ikhlas karena Allah Swt. Tidak ada sesuatu pun yang menyibukkan kami sehingga kami mengucapkan yang batil lantaran disibukkan oleh selain Allah.”
Seorang mukmin akan menghadapi segenap musibah yang menimpa dengan penuh ketenangan. Ia tidak akan mengatakan: “Bagaimana aku bisa keluar dari masalah ini, kepada siapa aku mengadu,” disebabkan ia menghadapinya dengan lapang dada. Apapun problem keduniawian yang di hadapinya tidak akan bisa menekan dan menjadikannya tertekan. Ketenangan dan kebahagiaan seorang mukmin akan nampak di alam barzah, karena tak ada tekanan atau derita apapun yang dialaminya serta tidak sedikitpun merasakan sakit ketika akan meninggal. Begitu pula dengan keadaannya di alam barzah. Dirinya tidak mendapat tekanan maupun siksaan. Ia hidup dengan tenang dan bahagia.
Alam kubur adalah alam barzah. Tak ada alam selain alam dunia, barzah, dan kiamat. Seorang mukmin tidak merasakan sedikit pun tekanan di kedua alam setelalmya (barzah dan kiamat, ―peny.), dikarenakan ketika hidup di dunia ia berlapang dada.
Pada hari kiamat kelak, para malaikat akan berkata: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masuklah ke surga ini. Sedang kamu kekal di dalamnya.”(al-Zumar: 73) Tempat tinggal para penghuni surga amatlah luas. Saking luas dan besarnya, seluruh penghuni dunia bisa dimasukkan ke dalam satu rumah di surga. Alam apakah ini? Rumah apakah ini?
Sementara orang kafir menjalani kehidupan di dunia tanpa ketenangan sedikitpun. Begitu pula dengan kehidupannya di alam akhirat. Di situ, ia akan mengalami berbagai tekanan, baik dari alam itu sendiri maupun dari hal-hal yang bersifat material. Ia akan dihakimi oleh batinnya sendiri. Di dunia ia hidup tertekan, begitu pula dengan kehidupannya di alam barzah dan akhirat. Ketika hidup di dunia, orang-orang kafir hanya berpikir untuk menimbun berbagai kenikmatan duniawi, namun tak pernah merasa cukup dan (perutnya, ―peny.) tidak pernah kenyang dengan apapun.
Sifat qana’ah (merasa cukup)-lah yang bisa mengenyangkan (perut) manusia, dan orang kafir tidak memiliki sifat semacam itu. Allah Swt tidak menganugerahkan sifat qana’ah kepada orang kafir. Dengan begitu, mereka tidak akan pernah merasakan ketenangan dan ketentraman hidup. Ia seperti ulat sutera yang membunuh dirinya sendiri dengan apa yang dibangunnya disekitar dirinya. Setiap kali jaringnya bertambah kuat, ia akan makin terkurung di dalamnya, sampai akhirnya mati. Segala sesuatu yang tidak disukai orang kafir akan nampak di alam barzah dalam bentuk tekanan. Tidaklah mudah baginya untuk berpindah dari alam dunia ke alam akhirat.
Jika gigi seseorang dicabut tanpa dilakukan pembiusan terlebih dahulu, tentu akan terasa sangat menyakitkan. Demikianlah salah satu perurnpamaan bagi keluarnya rub orang kafir dari jasadnya. Ketika ruhnya meninggalkan jasadnya, ia akan merasakan sakit yang sangat luar biasa. Seluruh anggota tubuh orang kafir akan dicabik-cabik, ibarat proses pencabutan seluruh gigi tanpa dilakukan pembiusan. Ini hanya merupakan perumpamaan untuk lebih mendekatkan pernahaman. Namun pada hakikatnya, siksaan yang dialami ruh orang kafir dan munafik tidak hanya sebatas demikian. Kita sernua tidak mungkin mampu menggambarkan tingkat tekanan dan siksaan yang akan mereka rasakan.
Di dalam jahanam, orang-orang kafir dan munafik akan menerima azab yang sama dengan yang diperoleh di alam barzah. Tempat orang kafir di jahanam sangatlah sempit. Allah Swt berfirman: “Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu.”(al-Furqan: 13) Maksudnya adalah, orang-orang kafir akan dicampakkan ke tempat yang sangat sempit di jahanam dalam keadaan terikat. Jahanam tidaklah luas. Mereka yang dicampakkan ke dalamnya tidak bisa bebas bergerak dan berpindah-pindah. Manusia yang senantiasa disibukkan oleh kehidupan duniawi akan ditempatkan dalam sebuah penjara yang sangat sempit. Keadaan semacam itu akan terns dialaminya di ketiga alam tersebut.
Apa yang disebut dengan rahasia ibadah adalah: “Dan membuang dari mereka beban-beban dan belebggu-belenggu yang ada pada mereka.”(al-A’raf: 157). Sementara itu, salah satu rahasia ibadah adalah dengan memutuskan hubungan dengan dunia ini. Apabila seseorang memutuskan keterikatannya dengan alam tabiat, niscaya ia akan merasakan kesenangan dan ketenteraman.
Seseorang akan merasakan ketenteraman dan ketenangan tatkala dirinya melangkah maju dalam peribadahan dan bergerak mencapai keutamaan. Sebaliknya, jika melangkah di atas titian jalan kehinaan, ia akan merasakan dirinya ditunggangi beban yang sangat berat. Ibadah dimaksudkan agar beban seseorang menjadi semakin ringan, “peringanlah agar kalian dapat menyusul.”268
Setelah shalat isya dalam setiap malamnya, Imam Ali as memiliki program tertentu. Pada suatu hari, Imam Ali as pergi ke pasar sembari membawa cambuk di tangannya. Beliau bermaksud hendak menyerukan orang-orang yang ada di pasar untuk mempelajari fiqh, melarang penjualan barang dengan harga tinggi, tidak menimbun barang, tidak bermuamalah dengan riba, serta tidak mengurangi timbangan. Ketika beliau memasuki pasar Kut'ah, scmua orang yang ada di situ bergcgas meninggalkan pekerjaannya masing-masing sambil berkata: “Ali bin Thalib telah datang.” Kemudian mereka kembali mengatakan: “Kami mendengarkan dan kami taat.” Pada siang harinya, Imam mengeluarkan perintah bagi para pedagang untuk mempelajari hukum-hukum. Pada malam kedua usai menunaikan shalat isya, Imam berkata kepada orang-orang yang belum meninggalkan masjid: “Persiapkanlah, semoga kalian dirahmati Allah.”269
Beginilah keberadaan seorang mukmin yang sesungguhnya. Jika ia memperkirakan bahwa pada keesokan hari dirinya masih hidup, tentu ia tidak akan melaksanakan kewajiban dalam menyambut kematian. Padahal, kita harus mempersiapkan perjalanan diri kita pada setiap malam. Persiapkanlah diri kalian, semoga Allah merahmatinya.
Beginilah cara Imam as menjalankan roda pemerintahannya. Karenanya, Imam as berkata: “Peringanlah diri kalian dan janganlah hati kalian bergantung dengan sesuatu dan urusan dunia.” Seseorang akan merasakan hidupnya ringan selama hatinya tidak bergantung kepada sesuatu yang bersifat material.
Rahasia ibadah menjadikan diri seseorang ringan seperti malaikat. Jika ingin mengetahui apakah kita telah mencapai rahasia puasa, shalat, dan haji, ataukah belum, harus diperhatikan apakah diri kita sudah ringan atau belum. Al-Quran mengajarkan kepada kita bagiamana cara untuk itu: “Hai orang-orang yvang beriman, jagalah dirimu.”(al-Maidah: 105) Wahai orang-orang yang beriman, perhatikanlah diri kalian, janganlah kalian terlepas dari ruh kalian. Terkadang, seseorang menyia-nyiakan dirinya tanpa disadarinya. Imam Ali as berkata: “Aku heran dengan orang-orang yang mencari barangnya yang hilang padahal ia telah menghinakan dirinya tetapi ia tidak mencarinya.”270
Ketika kehilangan buku tulis, pena, tasbih, atau sapu tangannya, seseorang akan bertanya ke sana-kemari. Imam Ali as berkata: “Aku tidak habis pikir dengan orang yang hilang kebutuhannya kemudian bertanya-tanya tentangnya dengan bersungguh-sungguh, sementara ia tidak bertanya tentang di mana ia menghilangkan dirinya. Ia tidak menghargai dirinya walaupun dengan harga penanya.” Seseorang mengetahui bahwa pena serta bukunya telah hilang tatkala tidak dijumpai di tempatnya. Namun ia tidak perduli kepada dirinya sendiri. Dimanakah dirinya itu? Berada di tempatnya ataukah tidak? Bila tidak berada pada tempatnya, itu berarti dirinya telah hilang.
Ruh kita memiliki tempat dan maqam tertentu, serta tidak menyembah kepada apapun kecuali kepadaAllah Swt. Apabila seseorang mengatakan “saya”, jelas ruhnya tidak menyertainya. Lebih dari itu, ia justru telah menghilangkannya. Orang akan mengatakan kepadanya: “Ini adalah Anda, maka datanglah dan ambillah diri Anda.” Seseorang boleh jadi akan menghabiskan umurnya dalam keadaan tidak sadar diri. Ketika dirinya berubah, ia sama sekali tidak mengetahuinya. Penemuan diri merupakan rahasia ibadah.
Dalam berbagai buku irfan dan sastra, disebutkan bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang mengetuk pintu rumah seseorang lain yang dicintainya. Kemudian dari dalam rumah terdengar suara: “Siapa yang mengetuk?” Orang tersebut segera menjawab: “Saya.” Maka (orang yang dicintainya, yang tengah berada di dalam rumah, ―peny.) berkata kepadanya: “Selama egoisme masih ada bersamamu, maka Anda tidak layak untuk masuk ke rumah.” Mendengar itu, ia pun segera pergi. Tak lama kemudian, ia yang telah mempelajari adab kembali datang ke rumah tersebut dan mengetuk pintunya. Lagi-lagi terdengar pertanyaan: “Siapa yang mengetuk?” Ia menjawab: “Anda,” bukan, “saya”. Kemudian dikatakan: “Sekarang masuklah.” Inilah contoh dari seorang manusia yang telah kehilangan dirinya.
Diriwayatkan bahwa Abdul Azhim al-Hasni ―semoga Allah mensucikan jiwanya― datang kepada Imam kesepuluh, dan memaparkan kepada beliau bagaimana bentuk akidah dan pemikirannya, serta meminta penjelasan dari beliau tentang apakah dirinya telah berada di tempatnya atau malah sebaliknya, ia telah kehilangan dirinya.271
Tatkala seseorang mengetahui bahwa dirinya berada pada tempatnya, sesungguhnya ia telah mencapai rahasia ibadah. Pada saat itu, aspek batin dari ibadah akan berkata kepadanya: “Anda ada di sini, tetaplah di tempatmu.” Apabila seseorang telah mencapai maqam ini, ia akan memiliki kesadaran tentang rahasia ibadah. Membaca dan menulis tidaklah cukup. Akidah serta syi'ar agama kita adalah bahwa kita tidak pernah merasa cukup dengan amal perbuatan kita sendiri.
Darah setiap syuhada telah memberi makan dan menguatkan pabon akidah sesuai dengan pengetahuannya. Seluruh syuhada tidak berada dalam satu tingkatan. Maqam seseorang akan disesuaikan dengan kadar keilmuannya. Orang yang lebih alim, lebih baik, dan lebih mengerti akan menduduki maqam yang lebih tinggi. Dalam perang Uhud, Rasul saww memerintahkan untuk mendahulukan menguburkan para syuhada yang bisa membaca dan menulis dibanding sebagian syuhada lainnya yang buta huruf. Dikarenakan itu, para sahabat segera menggali kuburan yang besar dan menguburkan seluruh syuhada ke dalam satu baris, didahului dengan jenazah para syuhada yang bisa membaca dan menulis, baru kemudian para syuhada yang buta huruf.
Nilai setiap manusia sesuai dengan kadar ilmunya. Demikianlah yang dikatakan Imam Ali as: “Nilai setiap manusia apa yang baik baginya.”272 Tidak benar manusia mengatakan, “Aku telah melakukan wajib militer maka aku tidak perlu lagi belajar dan diskusi.” Samudera ilmu pengetahuan sangatlah luas, dan jalan untuk mencapainya pun banyak sekali. Tak seorang pun bisa mengatakan: “Jalan yang aku lalui adalah jalan kesempurnaan ilmu.” Tidak! Jalan untuk meraih ilmu pengetahuan banyak sekali. Permasalahan yang dikandangnya amatlah beraneka rupa. Tingkatan yang dimilikinya juga berbeda-beda.
Serombongan orang, di antaranya Salman al-Farisi ―semoga Allah meridhainya― berjumpa dengan Imam Ali as. Salman berkata kepada rombongan tersebut: “Berdirilah, ambillah sisi ini, demi Allah tidak ada yang dapat memberitahukan seluruh rahasia Nabi selain dia.”273 Kalian mungkin mengetahui aspek lahiriah kenabian. Namun, tak seorang pun yang akan mengetahui rahasia dan aspek batinnya kecuali Imam Ali.
Ribuan sahabat pernah berjumpa dengan Rasulullah saww. Namun, mereka berada di satu sisi beliau dan Imam Ali as berada di sisi lainnya. Mereka pada dasarnya belum mengenal Rasul saww sebagaimana Imam Ali as mengenalnya. Mereka juga belum menimba ilmu secuilpun dari Rasul saww serta belum memberi manfaat apapun bagi manusia. Jumlah sahabat Nabi saww telah mencapai ribuan orang, akan tetapi tidak seperti halnya Imam Ali as, mereka semua belum mengambil serta memberikan manfaat bagi masyarakat.274 Dikarenakan itu, Salman al-Farisi berkata: “Ambillah tempat di sisi Ali. karena beliau adalah satu-satunya yang akan menjelaskan kepada kalian rahasia kenabian.”
Ketika seseorang meninggalkan kesenangan materi dan sibuk dengan rahasia batinnya, pada saat itu ia tidak akan melakukan intervensi terhadap berbagai urusan orang lain. Begitu pula sebaliknya, orang lain tidak akan mencampuri urusannya. Setelah meninggalkan jasadnya, seseorang akan disibukkan dengan rahasia dirinya sendiri, bukan rahasia orang lain. Seseorang harus memperhatikan rahasianya agar mengetahui alasan mengapa doa-doanya tidak diterima.
Tatkala melihat keberadaan para imam suci, kita akan mengatakan: “Di manakah posisi kita?” Di manakah kita seharusnya berada? Kalian mengetahui kami ataukah tidak? Mereka telah mencapai rahasia ibadah dan mengetahui aspek batin serta rahasia diri kita. Imam Ali as berkata: “Seandainya aku mau memberitakan setiap orang dari kalian tentang keluar dan kelahirannya serta seluruh urusannya, maka akan aku lakukan.”275
Ali as dan orang-orang seperti beliau, beserta kapasitas yang dirnilikinya, bisa mengatakan apakah diri seseorang hilang ataukah tidak, serta di mana seharusnya orang tersebut berada. Imam Ali as ditanya: “Kenapa doa-doa kami tidak dikabulkan?” Imam as menjawab: “Karena kalian meminta kepada orang yang tidak kalian kenali.”276 Kalian tidak mengenal Allah Swt.
Apakah yang menyebabkan kita tidak mengenal-Nya? Kedati Dia adalah “Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi,”(al-Nur: 35), namun debu kotoran yang melekat dalam diri kitalah yang menghalangi kita melihat Allah Swt. Allah sendiri tidaklah memiliki hijab atau penutup diri. Dengan demikian, kita harus menunggu sampai debu tersebut lenyap untuk dapat melihat-Nya dengan jelas.
Untuk mengetahui apakah kita mengenal Allah atau tidak, kita harus mendengarkan ucapan Imam Shadiq as yang memberikan jalan kepada kita. Imam as berkata: “Jika kalian ingin agar doa kalian diterima, putuskanlah cita-cita kalian terhadap selain Allah.”
Abu Abdillah, Ja’far bin Muhammmad as, berkata: “Jika salah seorang di antara kalian tidak meminta kepada Allah kecuali diberikan-Nya, maka berputusasalah dengan seluruh manusia dan harapannya tidak lain kecuali kepada Allah Swt. Jika Allah mengetahui itu dari hatinya, ia tidak akan meminta apapun kecuali dikabulkan Allah. Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab. Sesungguhnya pada hari kiamat terdapat lima puluh tempat pemberhentian dan setiap pemberhentian seperti 1000 tahun yang kalian alami.”277 Kemudian Imam as membaca firman Allah Swt: “Dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”(al-Ma’arij: 4)
Sebagian manusia menenggelamkan hatinya dan tidak berhubungan dengan apapun kecuali denganAllah Swt, saat itu: “Mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata.”(Yunus: 22) Imam as berkata: “Putuskan harapanmu dari seluruh manusia, jika Anda meminta kepada Allah sesuatu, maka Allah pasti akan memberinya.”
Putuskan harapanmu dari pekerjaan, kekuatan, dan kedudukanmu. Kemudian berdoalah kepada Allah Swt. Ketika mengetahui isi hatimu seperti itu, Allah Swt akan mengabulkan doamu. Dan Anda tidak akan meminta apapun kecuali dikabulkan-Nya. Inilah rahasia doa dan ibadah.
Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab. Tengoklah, apa yang ada dalam diri kalian. Sebelum kita mengoreksi diri sendiri dan sebelum melakukan segala sesuatu, kita terlebih dahulu harus mengetahui keberadaan diri kita, sehingga kita bisa melihat apakah kita telah berada di tempat yang benar. Mengapa sebagian manusia yang telah mencapai kedudukan tertentu, melupakan segala sesuatu, sementara sebagian lainnya yang telah mencapai kedudukan tersebut, tidak bergeming sejengkalpun dari posisinya, di mana harta serta kedudukan tidak mampu mempengaruhinya?
Agar mengetahui apakah seseorang telah menyia-nyiakan dirinya atau tidak, maka lihatlah apakah ia terus berjalan kencang atau malah mengendur. Jika tetap berjalan kencang, ia dipastikan telah selamat. Adapun jika mengendur, ketahuilah bahwa ia telah menyia-yiakan dirinya selama ini. Imam Ali as berkata: “Pada hari kiamat terdapat lima puluh pos pemeriksaan, antara satu stasiun ke stasiun yang lain selama 1000 tahun.”
Berkenaan dengan makna ayat dari surat Ma’arij ini, Muaz bin Jabal bertanya kepada Rasul saww dalam pertemuan khusus dengan beliau di tempat Zaid bin Arqam: “Alangkah panjangnya hari ini, ya Rasulullah.”278 Maksudnya, lamanya waktu dari kata “hari ini” sama dengan dengan lima puluh ribu tahun. Nabi saww berkata: “Aku bersumpah dengan yang jiwaku ada ditangan-Nya, bahwa lima puluh ribu tahun bagi seorang mukmin sama dengan shalat maktubah.” Bagi seorang mukmin, lama waktu tersebut sama dengan lamanya waktu satu shalat dzuhur yang dilaksanakan tidak lebih dari sepuluh menit. Seorang Mukmin yang telah berhasil melewati seluruh jalan ini dan telah mencapai rahasia ibadah, tidak akan tertinggal pada hari kiamat.
Jelaslah kini bahwasannya ibadah shalat memiliki rahasia dan aspek lahiriahnya. Demikian pula halnya dengan ibadah lain. Jika seseorang sanggup memotong jarak lima puluh ribu tahun yang memisahkan hari ini dengan hari kiamat kelak dengan shalatnya, ia berarti telah berhasil mencapai aspek batin ibadah dan sekarang mampu mengoreksi dirinya sendiri. Lihatlah, apakah dirinya berbobot ringan dan bersikap rendah hati, ataukah tidak. Apabila bersikap rendah hati dan berbobot ringan, maka bisa dipastikan bahwa ia telah berhasil mencapai tujuannya.
Referensi:
265. Al-Suyuti, ad-Duru al-Mansur, juz 6, hal. 307; al-Mawaid al-Adadiyah , hal. 213.
266. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-87.
267. Bihar al-Anwar, juz 2, hal. 147.
268. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-31 dan ke-167 .
269. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-23, hadis ke-31-32.
270. Ghurar al-Hikam, kalimat ‘ajaba.
271. Safinah al-Bihar, juz 2, hal. 120.
272. Nahj al-Balaghah, Hikmah ke-81. ..
273. Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-17, hadis ke-2.
274. Usud al-Qhabah fi Ma’rifah as-Sahabah.
275. Ghurar al-Hikam, huruf lam (hal.38).
276. Ibnu Fahd, ‘Idah al-Da’i; Rawandy, ad-Daawad; Naraqy, Jami’as-Sa’adat, juz 3, hal. 367.
277. Al-Bihar, juz 75 (hal. 107) dan juz 93 (hal. 314).
278. Tafsir Majma’ al-Bayan; al-Suyuti, ad-Duru al-Mansur; al-Mizan, juz 20, hal. 80.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email