Pesan Rahbar

Home » » Risalah Hak Asasi Wanita; Bab 1: Wanita Dalam Pandangan Dunia Barat

Risalah Hak Asasi Wanita; Bab 1: Wanita Dalam Pandangan Dunia Barat

Written By Unknown on Saturday, 29 October 2016 | 20:37:00


Berdasarkan pada telaah-telaah yang dibuat mengenai titik-titik lemah dan kekurangan-kekurangan Deklarasi Universal HAM, secara jelas kita dapat menemukan ketidakmampuannya mengangkat dan melindungi hak-hak wanita.

Sebagian dati pandangan dunia yang khayali dan sempit yang dijadikan pondasi deklarasi ini, dan sebagai akibat dari ketidakmampuannya mengangkat hak-hak wanita yang dirugikan, pandangan dunia yang lebih tidak sempurna ini telah menguasai lingkungan intelektual dan budaya Barat—dan tentunya deklarasi ini—menyangkut wanita.

Dalam pandangan dunia dan filsafat Barat, wanita lebih tertindas dan lebih terampas dibandingkan pria, baik secara keagamaan maupun tidak.

Dalam budaya Barat wanita dianggap terbelakang, kotor dan lemah dan sumber kesengsaraan selama masa yang panjang. Di masa kini, meskipun iklan-iklan dan dalih menghormati wanita dan mengakui hak-haknya, masih ada pemikiran kuno dalam budaya Barat sekarang ini.

Secara ringkas, sudut pandang utama dalam filsafat dan ideologi agama Barat sebagai berikut:
1. Wanita adalah makhluk parasit. Semua anugerah Ilahi diciptakan untuk pria.
2. Wanita diciptakan untuk pria dan bukan sebaliknya. Di sini tidak ada hubungan timbal balik.
3. Wanita adalah makhluk yang terbelakang dan kotor.
4. Pria memiliki martabat sedangkan wanita tidak.
5. Wanita sumber kejahatan dan dosa serta kebencian.
6. Wanita tidak akan masuk surga. [10]

Sayang sekali, bukan hanya Barat, tetapi juga semua budaya dan bahkan filsafat dan agama bangsa-bangsa di dunia ini percaya kepada sudut pandang yang keliru, menindas, khayali dan tidak adil ini. Hanya Islamlah (dan sebagai hukum semua agama Ilahi yang tidak berubah) yang menghadirkan sudut pandang yang berbeda dan membela identas kaum wanita.

Untuk membuktikail ini, dianjurkan untuik meninjau latar belakang sejarah berbagai gagasan, adat-istiadat dan hak-hak yang berhubungan dengan wanita dalam peradaban besar dunia (Cina, India, Iran, Yunani, dan Roma) dan mengutip beberapa pemyataan para penulis yang telah kesulitan untuk mengumpulkan informasi ini.

Di Cina, kaum wanita memiliki status terbelakang. Seorang wanita yang milik anggota keluarga bermartabat menulis berikut ini tentang kauni wanita di zamannya. “Kami, kaum wanita, memiliki status sosial yang paling rendah dan hanya pekerjaan-pekerjaan yang terbelakang yang dipercayakan kepada kami.” Dalam puisi Cina dikatakan, “Tiada yang dapat ditemukan di dunia ini sebagai alat dan murah sebagaimana wanita.” Wanita Cina tempo dulu tidak diperbolehkan untuk makan ketika ada sang suami. Anak-anak perempuan tidak memiliki hak waris.

Di India, kaum wanita dianggap sebagai pembantu atau babu yang terikat. Seorang istri harus memanggil suaminya, “tuan” atau “paduka”. Ia tidak boleh mengucapkan nama suaminya. Dalam mitos Manu disebutkan, “Wanita selemah kesalahannya.”

Di Iran tempo dulu juga, wanita umumnya tidak merdeka baik secara sosial maupun ekonomi. Statusnya dibedakan selama masa dinasti Parthiyyah dan Sasaniyyah. Meski demikian, di Iran tempo dulu kaum wanita hidup dalam situasi yang lebih baik dibandingkan peradaban lainnya, kecuali untuk “istri favorit”, istri-istri lain dianggap sebagai para pekerja dan pembantu. Pada hakikatnya wanita tidak bisa bicara dan hidup bebas. Wanita seperti budak.

Di Yunani kuno, wanita kurang memiliki kepribadian sosial dan tidak memainkan peranan dalam peradaban cemerlang zaman keemasan itu! Kadang-kdang wanita disembunyikan di dalam rumah selama masa yang panjang dan adakalanya dipakai untuk prostitusi keliling. Seorang sejarawan Yunani menulis, “Nama wanita harus serupa dengan dirinya, tersembunyi di dalam rumah.” Demostenes, orator Yunani terkenal menyatakan, “Kami menginginkan wanita yang sensual untuk kesenangan... dan istri-istri kami untuk anak-anak yang sah.”

Di Yunani, wanita dapat dijual at au diberikan kepada orang lain sebagai hadiah. Ibu Demostenes dihadiahkan kepada salah seorang ternan ayahnya dan, sebagaimana diceritakan, Socrates meminjamkan istrinya kepada Alcibiades. Selama masa itu jika seorang suami sudah tua, ia diwajibkan untuk mencari pria muda untuk memuaskan istrinya secara seksual. Akan tetapi jika sang istri berhubungan dengan lelaki lain secara tidak sah tanpa izin suaminya, maka ia dapat dikenakan hukuman mati. [11]

Di Roma, wanita diperdagangkan sebagai budak. Di hadapan ayah atau suaminya, ia tidak memiliki hak pemilikan, hak bersahabat atau hak hidup. Ayah atau suaminya berhak untuk meperdagangkan atau meminjamkan istri atau anak perempuannya, menyewakannya, dan bahkan untuk membunuhnya.

Ini secara gamblang menunjukkan status kaum wanita dalam peradaban itu yang cahayanya masih menyilaukan mata orang-orang Barat dan mempengaruhi mereka. Peradaban yang serupa inilah yang telah mendirikan “hak- hak asasi” di Barat dan di negara-negara yang ia kuasai. Selain itu, peranan kaum wanita dalam masyarakat dan dalam menentukan nasib wanita dapat diamati secara jelas.

Menurut orang Yahudi dan Nasrani yang tersesat dari jalan yang benar, kaum wanita memiliki status yang sama seperti di negeri-negeri lain. Misalnya, di antara kaum Yahudi, ayahnya dapat menjual anak perempuannya yang belum dewasa.

Kaum pendeta Nasrani memandang wanita sebagai pengejawantahan kejahatan dan sebagai sarana korupsi dan perzinaan. Di sekolah-sekolah mereka, mereka meneliti apakah wanita, seperti pria, dapat menyembah Tuhan juga. Atau, apakah ia dapat masuk surga? Apakah ia manusia dan apakah ia memiliki jiwa? Dapatkah ia kekal ataukah ia benda mati tanpa memiliki jiwa yang non-bendawi? [12]

Dalam agama Nasrani, karena kelaziman budaya kebencian kepada wanita dan kepercayaan kepada ketidakberhargaannya, hidup membujang dan kadang-kadang memotong alat kelamin dianjurkan dan dipraktikkan. Mereka memandang perkawinan sebagai kejahatan yang, diperlukan menuju neraka.

Sebelum datangnya Islam, kaum wanita Arab mengalami nasib yang serupa. Bilakah peradaban-peradaban dengan ribuan tabun lamanya memandang wanita dengan cara seperti ini? Apa yang bisa dihormati dari para penghuni padang pasir ini?

Di zaman pra-Islam, orang-orang Arab biadab memandang wanita sebagai budak. Mereka tidak suka memiliki anak perempuan yang tidak bisa berperang, memungut sisa-sisa peperangan atau melakukan pekerjaan- pekerjaan berat. Wajah mereka menjadi hitam kelam dengan kemarahan bila mendengar kelahiran anak perempuan. Di beberapa suku, bayi perempuan dikubur hidup-hidup segera setelah lahir. Menurut beberapa dari mereka, setelah kematian suaminya, istri menjadi milik atau properti anak lelaki tertua.

Dalam sebuah hadis dari Aisyah, istri Nabi saw, diriwayatkan bahwa di antara orang-orang Arab jahiliah, ada dua macam perkawinan lain selain bentuk yang populer. Salah satunya, suami dapat meminjamkan istrinya kepada lelaki lain dan dia sendiri menjauh darinya; dan dalam sekelompok kurang lebih sepuluh orang pria dapat menikahi seorang wanita dan keturunannya milik salah seorang dari mereka, yang tentunya memandang wanita sebagai makhluk komoditas dan budak.

Dalam tahap yang berbeda dan dalam keadaan yang beragam, al-Quran telah menyebutkan beberapa darinya dan secara serius menentang praktik-praktik semacam ini.

Inilah sketsa singkat tentang berbagai pandangan bermacam bangsa mengenai kaum wanita, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sayang sekali, meskipun perkembangan masyarakat dan peradaban serta Renaisans di Eropa dan juga perkembangan ekonomi berskala besar dan sosial di seluruh dunia, endapan sudut pandang ini masih ada dalam budaya massa umat ini.

Telaah perbandingan dan periodik tentang hak-hak kaum wanita dan sudut pandang sosial yang berhubungan dengannya mengungkapkan berbagai tahapan, yang diklasifikasikan ke dalam tahap-tahap umum oleh para peneliti yang mempertimbangkan tren atau kecenderungan yang menguasainya.

A. Tahap pertama, wanita dianggap sebagai “barang”. Sebuah produk konsumer yang dapat diperdagangkan, disewakan atau dimiliki untuk dipekerjakan, untuk melayani pria dan untuk reproduksi, serta untuk melirtdungi kekayaan suami dan anak-anaknya. Dia bekerja sebagai binatang domestik. Dalam banyak kasus, ia tidak diperbolehkan untuk hidup atau makan bersama suaminya. Bahkan suaminya memiliki hak untuk menyiksa atau membunuhnya.

B. Dalam tahap kedua, ketika pengaruh budaya Ilahi menyentuh budaya zaman pra-Islam dan era sekelompok sosial yang agak mengarah kepada peradaban, sampai batas tertentu wanita dianggap sebagai makhluk rekan laki-laki; tetapi hubungan sipil dan hukum antara mereka tetap sebagai hubungan antara budak dan pemilik. Wanita diperdagangkan, dipinjamkan atau disewakan kepada teman. Ia bekerja untuk pria dan memenuhi kebutuhan material dan seksual pria. Ia tidak menikmati hak-hak untuk mengungkapkan dirinya, tidak memiliki kebebasan untuk memilih, tidak memiliki hak waris dan tidak memiliki kemerdekaan finansial. Ia tidak bisa memperoleh harta dan menggunakannya sesukanya. Apapun yang ia miliki menjadi milik suaminya dan setelah mati dialihkan kepada anak-anak lelakinya.

Dalam salah satu karyanya, Allamah Thabathaba”i menyatakan, “Setelah diskusi dan penelitian besar pada 586 SM, Dewan Gereja Francis menyimpulkan: ‘Wanita adalah manusia tetapi diciptakan untuk melayani pria.”’ [13] Hingga 100 tahun yang lalu, wanita tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas manusia di Inggris.

C. Dalam tahap ketiga, mengawali fajar Islam, wanita sama dengan pria. Ia menikmati hak-hak yang sama dengan pertumbuhan individual maupun sosial. Ia bertanggung jawab di hadapan Allah, masyarakat dan keluarga. Ia memiliki hak pendidikan, kepemilikan, kemerdekaan ekonomi serta hak- hak sosial dan politik lainnya. Sedikit perbedaan antara pria dan wanita dalam pandangan dunia dan hukum berasal dari watak mereka dan dari jenis pembagian kerja dan tanggung jawab yang berbeda-beda.

Pembagian ini tidak cukup untuk mengungkap realitas dan tidak menggambarkan perkembangan hak-hak kaum wanita secara akurat sebagaimana adanya.

Kita percaya bahwa perkembangan hak-hak wanita di Barat telah melalui empat tahapan dan sekarang berada di ambang tahapan kelima.

Tahap pertama adalah zaman kekejaman atau peradaban setengah-beradab. Di sini, wanita, karena kelemahan fisiknya dan kurangnya pendidikan dan pengetahuan, adalah “barang” dan tidak dianggap sebagai manusia.

Tahap kedua adalah peradaban kuno dimana wanita dipandang sebagai manusia tetapi manusia yang terbelakang, pelayan laki-laki mencapai status budak.

Dalam tahap ini pria tidak hanya memiliki dirinya tetapi juga hidup dan matinya berada di bawah wewenangnya. Kita mempertahankan, tanpa bersandar pada klasifikasi sejarah yang khayali, bahwa tahap ini dapat dicocokkan dengan sistem feodal parah tuan tanah. Karena fakta ini, atas rusaknya sistem itu dan lahirnya kapitalisme atau borjuis, tahap yang merugikan lainnya pun muncul dan bentuk hak-hak wanita juga berubah.

Dalam tahap ketiga, wanita memasuki proses revolusioner. Ia bebas sampai batas tertentu dari tahanan pria dan keluarga. Dengan runtuhnya sistem feodal dan adat-adat tertentu wanita merasa bebas dari perbudakan dan adakalanya memasuki arena sosial dan politik. Yang disebut angin sepoi kebebasan mengusap wajahnya yang terselubung.

Tahap ini, yang diikuti Renaisans dan Revolusi Perancis, dan kemudian mencapai Revolusi Industri Barat adalah periode pertumbuhan dan kedewasaan bagi kapitalisme dan leberalisme ekonomi dan politik. Periode yang mempesona dan keliru ini tidak mengangkat status wanita lebih dari tahap- tahap terdahulu kecuali sekedar menutupinya dengan lapisan kemerdekaan dan kebebasan, dan menyelubungi wajah jahil perbudakan wanita dengan topeng kecantikan.

Wanita ditarik dari rumahnya ke pasar dan ruang-ruang kerja. Ia bekerja di sisi pria. Ia mengatur hidupnya dengan kemerdekaan ekonomi relatif yang diperolehnya. Anak-anak perempuan pergi jauh dari keluaga dan keluarga-keluarga besar berubah menjadi keluarga kecil (yang disebut sebagai keluarga inti). Daya tarik kewanitaan serta status dan harga dirinya jatuh ke dalam rodagigi ekonomi. Wanita dipasang untuk melayani ekonomi dan kadang-kadang politik. Hubungan antara pria dan wanita menjadi bebas dan lambat laun manusia meniti jalan kepada korupsi dan kekejaman. Kebebasan seksual dan korupsi dijalankan dan difasilitasi oleh sistem-sistem yang berkuasa dan oleh kekuatan-kekuatan yang tampak dan tersembunyi. Daya tarik palsu dari kosmetik, pakaian, fesyen (fashion) dan alat-alat rumah tangga mengepung dan menawannya. Pondasi keluarga pun mulai hancur dan menjadi kelabilan serta kebebasan seksual pun menggantikan kesuciannya. Ikatan moral dan emosional yang mumi digantikan oleh kesenangan dan keuntungan.

Pada tahap ini, wanita kehilangan sedikit kehormatannya yang ia miliki dalam sistem feodal aristokratik! Dalam pandangan realistis, wanita menjadi barang mewah yang dapat diperdagangkan, dipinjamkan atau disewakan. Perbedaannya di sini adalah ia dikelilingi oleh slogan-slogan hak-hak asasi manusia yang memperdayakan, pelangi propaganda mengenai kemerdekaan dan kebebasan dari kewajiban-kewajiban tradisional kuno dari perwakilan gaya hidup mekanisasi modern.

Telaah-telaah perbandingan mengenai fenomena politik selama periode ini mengungkapkan bahwa ada gerakan misterius di antara runtuhnya feodalisme dan putusnya tali kekang aristokratik dan perubahan mereka kepada kemerdekaan dan kebebasan lahiriah setelah Revolusi lndustri yang berakar dari Freemasonry dan Zionisme lnternasional. Di bawah panji kebebasan-persamaan-persaudaraan dan slogan-slogan serupa yang bahkan hari ini disebut sebagai hak-hak asasi manusia, gerakan ini berkembang dan membudayakan kebebasan dan mengembangkan korupsi seksual serta kerusakan ekonomi lewat bantuan media massa, seni, budaya dan ekonomi. Faktor penting ini memilih-untuk memenuhi sasaran-sasarannya-wanita yang dirinya menjadi korban pertama peristiwa-peristiwa semacam ini.

Sebagai akibat dari liberalisme ini, wanita kehilangan martabat dan harga dirinya lebih dari apa yang ia peroleh darinya. Beberapa undang-undang dibuat untuk menyenangkannya dan sekelompok wanita mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sambil menjaga harkatnya. Oleh karena itu, mereka termasuk dalam ruang lingkup para guru, penanam modal, para pemimpin wanita mengenai hak-hak asasi atau para politisi. Bagaimanapun, secara umum, pada hakikatnya ia kehilangan peran yang sesungguhnya dan nilai kewanitaannya serta sendi masyarakat. Ia hidup sebagai makhluk metamorfosis dan netral yang bukan pria ataupun wanita dan dibubuhi oleh Barat sebagai ‘jenis kelamin ketiga.’

Tahap keempat adalah tahap dimana wanita menemukan dirinya hari ini. lnilah tahap revisi status wanita yang tidak stabil dan tahap pertimbangan hak-hak manusianya yang sesungguhnya. Suatu tahap yang beberapa abad lalu disebut modernitas gagal dan tahap kembali kepada fitrah manusia dan aturan-aturannya. Permulaan dari tahap ini dapat dilihat di antara para intelektual di Barat.

Barat dan dunia yang mengikutinya, dalam usaha terakhir mencari status wanita yang sesungguhnya dan hak-hak wanita semua manusia akhirnya akan mencapai Islam. Kita harus sanggup memuaskan dahaga mereka dengan presentasi yang benar dan dengan pendahuluan praktis dan hak-hak teoritis wanita dalam Islam dan hak-hak yang benar bagi semua man usia.

Tahap kelima adalah ideologi Islam yang menghidupkan dan hak-hak asasi di bawah panji yang dapat mengklaim bahwa umat manusia dan khususnya wanita dapat mencapai status yang sesungguhnya dan alamiah. Persoalan ini bersifat inspirasional dan akan terpenuhi di masa depan meskipun fajarnya dan tanda-tandanya yang menjanjikan telah muncul.

Telaah perbandingan tentang hak-hak wanita di Barat dan dalam komunitas Islam menunjukkan bahwa kecenderungan- kecenderungannya jauh lebih ruwet di Timur. Menyusul Revolusi lndustri di Eropa, berbagai perkembangan terjadi dalam budaya dan aspek sosial orang-orang Eropa. Baik budaya baru maupun lama, bagaimanapun, bersumber dari masyarakat yang sarna. Negara-negara Islam, derigan serangan peradaban industri Eropa dan budaya borjuis lewat orang Eropa dan Yunani kuno, pribumi dan budaya Islam di negara.negara Muslim dan komunitas Muslim sangat menderita dan banyak prestasinya yang bermanfaat dijarah.

Lewat perbedaan ini dan rekaman sejarah dan sosialnya, kita. dapat mensketsa kecenderungan hak-hak wanita dan wawasan sosial terhadap wanita sebagai berikut:

Tahap pertama: Kesimpulan utama kelompok tak beradab bahwa wanita wanita adalah sebuah alat yang dimiliki pria.

Tahap kedua: Pemilikan besar oleh tuan-tuan feodal dan kekuasaan penguasa-penguasa merdeka dan para pemimpinnya dimana wanita melayani pria sebagai budak.

Tahap ketiga: Munculnya Islam dan puncak martabat wanita dan kebangkitan sepenuhnya hak-hak kemanusiaannya.

Tahap keempat: Tekanan yang digunakan oleh budaya nasional dan tradisional dan suatu pengembalian kepada adat- istiadat era pra Islam di negara-negara Muslim di bawah pengaruh feodalisme yang diperbaharui dengan suatu pengembalian relatif bagi wanita ke tahap kedua.

Tahap kelima: Serangan budaya Barat dan pengaruhnya yang merusak di budaya pribumi dan budaya pra Islam berawal dengan dualisme dan kontradiksi-kontradiksi psikologi sosial komunitas ini yang akhimya mengakibatkan pengasingan wanita.

Tahap keenam: Kemunculan kembali Islam. Kita sedang berdiri di ambang tahap ini, tahap Islam sejati dan revolusioner meninggalkan penghiasan-penghiasan masa lalu dan mengangkat hak-hak wanita yang sesungguhnya, yang alami dan Ilahiah.


Referensi:

10. Syahid Muthahhari, The Rights of Woman in Islam, hal.115.
11. al-Bahi al-Khuli, Al-Islam wal Mara’t al-Mus’asiriyyah, hal.10, dikutip dalam Hasan Shadr, Rights Women in Islam, hal.60.
12. Women’s Strategy in Islam, hal.15.
13. Women’s Strategy in Islam, hal.15.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: