Pesan Rahbar

Home » » Risalah Hak Asasi Wanita; Bab 2: Wanita Dalam Pandangan Dunia Islam

Risalah Hak Asasi Wanita; Bab 2: Wanita Dalam Pandangan Dunia Islam

Written By Unknown on Saturday, 29 October 2016 | 20:32:00


Ideologi dan pandangan dunia Islam mengenai wanita dan hak-hak asasi manusianya dipandang sebagai sebuah revolusi besar dan agung di dunia. Dengan menyatakan pandangan dunia ini, Islam menghindari semua gagasan yang menghinakan dan wawasan yang keliru ini. Sebagai gantinya, Islam menghadirkan kepada umat sebuah model baru dalam hubungan sosial dengan wanita.

Gereja memperkenalkan wanita sebagai makhluk rendahan, penjilat pria yang diciptakan dari tulang rusuknya; sedangkan pria adalah makhluk unggulan. Islam secara tegas mendeklarasikan bahwa pria dan wanita adalah sama dalam penciptaan dan sama-sama diciptakan dari ‘satu jiwa’.

Dalam ayat berikut al-Quran dengan jelas menyangkal semua pandangan yang jahil, khususnya sudut pandang akademis Kristen dan telah membuktikan semua kesalahan intelektual dunia, Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya diciptakan pasangannya... (QS an-Nisa: 1)

Dengan memberikan perhatian yang lebih kepada ayat al-Quran ini, akan mengajarkan kita banyak realitas.

Pertama, ayat ini ditujukan kepada manusia (nas)—yang melibatkan pria dan wanita secara sama—ini membuktikan bahwa bagi Allah, pria dan wanita adalah sama dalam martabat maupun kemanusiaannya.

Kedua, dalam ayat ini baik pria maupun wanita sama-sama diajak kepada kesalehan dan ketakwaan kepada Allah. Ini juga bukti bahwa wanita secara sama memiliki hak untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan karenanya menjadi bukti akan adanya bakat untuk pertumbuhan intelektual karena intelek merupakan syarat untuk melaksanakan dan menerima ibadah.

Ketiga, baik pria maupun wanita diciptakan dari satu jiwa, yang kedua jenis kelamin miliki bersama—dan wanita, sebagai organ dari kemanusiaan itu, merupakan pelengkap—dan bukan bawahan—pria. Ada hadis Nabi saw yang berbunyi, “Wanita sama dengan pria dalam martabat dan kehormatan.”

Secara umum pandangan Islam tentang wanita dapat dipandang dalam empat dimensi:
A. Sudut Pandang Islam Secara Umum tentang Wanita
B. Sudut Pandang Islam tentang Status Ibu
C. Sudut Pandang Islam tentang Status Istri
D. Sudut Pandang Islam tentang Anak Perempuan


A. Sudut Pandang Islam Secara Umum Tentang Wanita

Sebagaimana kami sebutkan mengenai persoalan ini, ada sejumlah besar ayat al-Quran dan hadis Nabi serta Ahlulbaitnya as. Semua tidak dapat diuraikan di sini secara detail sehingga kami cukup memberikan beberapa contoh saja.


a. Sudut Pandang al-Quran tentang Wanita

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memeliharakehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS al-Ahzab:35)

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa pria dan wanita sarna-sarna Muslim dan beriman. Ayat ini juga menunjukkan hal untuk memilih agama dan mencapai kebebasan yang utuh, dalam hal ini pertumbuhan intelektual dan persamaan pria dan wanita. Mereka sama dalam beribadah kepada Allah, yang merupakan praktik (ibadah) manusia yang paling tinggi. Mereka sama dalam kebenaran dan kesabaran, yaitu ideologi dan jihad (perang suci), yang merupakan aspek sosial manusia yang paling cemerlang. Mereka sama dalam kesederhanaan, bersedekah, dan kesalehan, yang di antaranya merupakan bentuk-bentuk ibadah praktis, kemerdekaan ekonomi, dan penitian Jalan Ilahi. Terakhir, Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar bagi keduanya. Ayat ini cukup untuk mengungkapkan sudut pandang Islam tentang wanita dan statusnya yang mulia.

Dalam ayat lain disebutkan, Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya, “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan...” (QS Ali Imran:195) Sebagaimana dalam ayat lain, di sini juga secara sama ditujukan kepada pria dan wanita. Dia telah menjanjikan pahala atas ‘amal’ mereka dan ‘jihad’ mereka tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Dalam ayat Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati... (QS al-Mulk:23). Al-Quran telah memandang pria dan wanita sama dalam memiliki ‘hati’ (dimana pemahaman manusia yang tersembunyi muncul dan, sebagaimana ditafsirkan oleh Allamah Thabatabha’i, sebagai intelek).

Dalam ayat lain dan dengan kalimat yang berbeda dikatakan, Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS al-Isra:36) Al-Quran memandang orang-orang yang memiliki organ-organ pemahaman, baik pria maupun wanita, dimintai pertanggungjawabannya. Secara alami, tanggung jawab merupakan cabang dari kemampuan. Ayat tersebut di atas telah mempertahankan bahwa tidak ada bedanya antara pria dan wanita dalam hal kemampuan mereka. Walhasil, tanggung jawab mereka dan pernahaman mereka yang tersernbunyi adalah sama.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruh, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS at-Taubah:71)

Menurut ayat ini, pria dan wanita sama-sama dapat saling mengawasi dan dengan kata lain, mereka memiliki hak untuk memeriksa amal perbuatan mereka satu sama lain. Dalam sosiologi ini disebut ‘inspeksi sosial’, berdasarkan pada masing-masing individu dapat memeriksa dan rnengawasi perbuatan baik dan buruk satu sama lain untuk menghindari segala hal yang melanggar asas-asas dalam masyarakat Islam.

Baik pria maupun wanita harus mendirikan shalat (bentuk ibadah yang paling mulia dan cara terbaik untuk berhubungan dengan Yang Dicintai). Mereka diwajibkan membayar zakat, merupakan tanda dari kemerdekaan ekonomi dan finansial. Mereka sama-sama diwajibkan untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan tanda menjadi anggota resmi administratif dan sistem politik dalam komunitas Islam. Allah akan menunjukkan rahmat bagi mereka berdua secara sama.

Untuk melarang Adam dan Hawa dari menyentuh pohon terlarang, Allah mengalamatkan kepada keduanya dan secara sama kepada mereka, ...jangan kamu dekati pohon ini... (QS al-Baqarah:35)

Dalam surah al-A’raf ayat 22, Dia secara gamblang mengatakan, Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu... Ayat ini bertentangan dengan Gereja yang menyatakan bahwa Hawalah yang bertanggung jawab dalam memperdaya Adam dan ayat ini menunjukkan bahwa mereka sama-sama andil dalam melanggar Perintah Tuhan. Teguran ini mengungkapkan persamaan mereka dan eksistensi intelek serta pemahaman mereka yang sama, baik laki-laki maupun perempuan.

Di seluruh ayat al-Quran, pada berbagai tahap, banyak kalimat yang berbunyi, Wahai orang-orang yang beriman ditemukan, yang tidak khusus untuk pria, tetapi meliputi pria dan wanita.

Selain itu, sejumlah dapat juga ditemukan dalam sejumlah ayat al-Quran yang membuktikan bahwa surga, anugerah dunia maupun dunia lainnya telah diciptakan baik untuk pria maupun wanita secara sama.

Bertentangan dengan sudut padang yang dipegang oleh Gereja Kristen, wanita bukanlah asal-muasal dosa atau suci secara fitrah. Wanita dapat membuktikan dirinya sebagai suri teladan, serupa dengan wanita-wanita yang disebutkan dalam al-Quran, sebagai makhluk suci dan besar seperti bunda Maryam, ibu Nabi Musa as atau seperti Khadijah (istri Nabi Muhammad) dan Fathimah (putri beliau as.); dan dalam kesalehan dan ibadah serupa dengan wanita-wanita lainnya yang hidup semasa datangnya Islam.

Dalam al-Quran nilai wanita begitu mulia sehingga ia dapat menerima Wahyu Ilahi. Ibu Musa dan Isa as dapat disebutkan sebagai contoh.

Dalam bukunya, the Rights of Women in islam, dalam hal ini asy-Syahid Muthahhari memberikan pembahasan mendetil dan mengatakan, “Tidak ada pria kecuali Nabi saw dan keturunannya, serta Imam Ali as, yang dapat mencapai status Hadhrat az-Zahra. Dia mengungguli putra-putranya, yang adalah para imam, dan semua nabi kecuali penutup para nabi saw.” [14]

Islam tidak membedakan antara pria dan wanita dalam perjalanan spiritual dari seorang makhluk menuju Kebenaran (al-Haq) (yakni menuju Allah). Satu-satunya perbedaan yang dipertahankan Islam adalah perjalanan spiritual dari Kebenaran kepada makhluk (min al-Haq ilal khalq). Ia kebalikan dari perjalanan dari Kebenaran menuju makhluk dan membawa tanggung jawab kenabian yang mengakui pria sebagai makhluk yang lebih pantas.” [15]

Sebagaimana Muthahhari katakan, salah satu sudut pandang yang menghinakan tentang wanita yang didorong dan dipropagandakan oleh gereja adalah perlunya menghindari pernikahan dan hidup membujang. Sudut pandang yang dipandang baik terhadap wanita inilah sebagai sebuah korupsi moral terbesar dan begitu juga pandangan menganjurkan pria untuk menjauhi wanita dan pernikahan.

Islam secara serius telah menentang sudut pandang jahiliah ini dan bahkan memerintahkan pemikahan.

Dalam sebuah hadis kita pelajari bahwa Nabi saw merasa bangga dengan jumlah keturunan yang banyak dari sebuah perkawinan.

Islam memandang perkawinan sebagai faktor tanggung jawab untuk memelihara agama dan menyatakan, “Barangsiapa yang menikah memperoleh separuh dari agamanya.” Berbuat baik terhadap wanita dipuji dalam Islam dan dipandang sebagai puncak kesempurnaan manusia. Islam memandang kebajikan ini serupa dengan ciri para nabi.

Melalui kata-kata Nabi, Islam mengatakan, “Mencintai wanita adalah akhlak para nabi.”

Ada sebuah hadis masyhur yang di dalamnya Nabi (saww) menyatakan: “...tiga hal yang dekat denganku di duniamu: parfum, wanita, dan shalat.” (Hadis Nabi).

Keadaan membujang secara serius dikecam oleh Islam. Berbagai hadis Islam telah mencela orang-orang yang tidak menikah. Dalam budaya dan keyakinan beberapa peradaban masa lalu, anak hanyalah milik ayah dan ibu yang hanya dianggap sebagai perantara untuk reproduksi. Akan tetapi al- Qur:an mengatakan, ..dan dari keduanya (pria dan wanita) Allah mengembangbiakan pria dan wanita yang banyak... (QS an-Nisa:l) dan menyatakan bahwa anak sama-sama milik kedua orangtuanya.


b. Sudut Pandang Hadis Tentang Wanita

Dengan mengambil sejumlah ayat al-Quran yang jelas mengenai kebangkitan hak-hak wanita dan gambaran gerakan revolusioner Islam dalam mempertahankan martabatnya, tidak perlu ada penekanan oleh Nabi saw dan keturunannya. ada sejumlah besar aturan dalam hadis yang menyinggung masalah pengenalan hak-hak dan status wanita. Di sini kami tidak dapat membahasnya dengan rinci, tetapi kami rujukkan pembaca kepada al-Mu’jam al-Fihris al-Ahâdis an-Nabî (daftar kitab- kitab hadis Suni dan Syi’ah) dan al-Ahâdis al-Ma’shûmîn (hadis dari para imam maksum). Di sini hanya kami kutip beberapa contoh saja.

1. Hadis-hadis yang secara tegas memperkenalkan wanita sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab, yang mengungkapkan status dan peranan sosialnya, bakat dan kemampuan manajerialnya dan juga kecakapannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bertanggung jawab:

“Wanita bertanggungjawab bagi urusan keluarganya di rumah.”

2. Ada banyak hadis yang terbentuk dalam kalimat yang berbeda-beda yang meriwayatkan bahwa perilaku baik dan bertindak lembut kepada wanita serta melarang berbuat buruk terhadapnya, mengungkapkan martabat dan keagungan ruh wanita.

“Jagalah perilakumu terhadap wanita,”; “Sebaik-baiknya di antara kamu adalah orang yang berperilaku sebaik-baiknya terhadap istrinya”, “Janganlah melarang istrimu pergi ke mesjid”, “Pria yang mulia yang menghormati wanita dan pria yang buruk yang menghinakan dan mencemarkan mereka”, “Takutlah kepada Allah di hadapan dua golongan: yatim-piatu dan wanita”. Nabi saw berkata, “Jibril berkomentar tentang wanita dengan cara bahwa andaikata aku menceraikannya tidaklah diperbolehkan.” [16]

3. Perilaku Nabi saw terhadap wanita, rasa hormatnya kepada mereka dan pemberian tanggung jawab sosialnya kepada mereka, adalah faktor-faktor yang meninggikan personalitas praktis wanita dalam Islam.

Martabat dan nilai sosial wanita ini terejawantahkan selama masa hidup Nabi saw ketika mereka ditunjuk sebagai para perawat bagi mereka yang terluka dalam perang selama kedatangan Islam. Ini diriwayatkan dalam hadis yang berbunyi, “Wanita membawa kembali yang terluka dan yang syahid ke kota”, “Wanita merawat yang terluka”, “Pengobatan yang terluka di meda perang oleh kaum wanita”. Oleh karena itu, Islam memperlihatkan prinsip perawatan oleh kaum wanita khususnya selama masa perang. Ini terjadi berabad-abad sebelum Barat dengan bangga mengklaim sikap ini.

Manifestasi lain nilai sosial wanita yang dijunjung oleh Nabi saw adalah beliau sendiri berkonsultasi kepada wanita. Almarhum Mahmud Syaltut, ulama besar Mesir, menulis, “Dalam perjanjian Hudaibiyah Nabi harus menahan diri untuk berhaji ke Mekkah dan kembali ke Madinah, beliau mendapat protes dari kaum Muslimin dan hal ini sangat mengganggu beliau. Maka dalam hal ini terlibatlah istrinya, Ummu Salamah, yang memberikan beberapa petunjuk kepada beliau bahwa beliau dapat melaksanakan korban, salah satu ritual haji, dan kembali ke Madinah tanpa mempersoalkan perintah apa pun bagi para sahabatnya.”

Atas dasar kebijakan ini, kaum Muslimin di bawah pengarnh keyakinan dan kecintaan mereka kepada Nabi saw, mengikuti beliau dan tidak ada didapati celah untuk menentang beliau. Oleh karenanya, dalih yang dipersiapkan untuk tidak taat diganti disingkirkan dengan kebijakan seorang wanita. Ini terjadi selama masa ketika wanita dipandang sebagai lemah dalam kekuatan mentalnya (dan bahkan kini, ini masih dipersoalkan).

4. Hadis yang mengajarkan manusia untuk memberi salam kepada wanita dan bahkan istri-istri mereka.

Perintah ini dikeluarkan dalam kondisi dan dalam suatu masyarakat tradisional era pra-Islam ketika wanita bahkan tidak dipandang sebagai manusia. Ketika kita membayangkan bahkan dalam era kontemporer, di kala mayoritas kaum pria tidak memandang martabat semacam ini kepada wanita, Islam memberi salam kepada wanita, dan menjadi jelas bahwa sampai batas tertentu tradisi ini adalah revolusioner dan kuat pada masa itu, dan meskipun demikian jalan tetap terbuka bagi budaya Islam karena pengaruh Islam di hati umat manusia.

Dalam sebuah hadis dari Imam ash-Shadiq as, Imam Keenam Syi’ah, diriwayatkan bahwa Nabi dan Imam Ali as memberi salam kepada wanita. Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa, “Aku bertanya kepada Imam ash-Shadiq as tentang konsep al-Quran yang menyatakan: ‘Ketika engkau memasuki rumah berilah salam pada dirimu sendiri?’ Dan beliau menjawab: ‘Itu artinya bahwa ketika laki-laki memasuki rumah mereka, mereka harus memberi salam kepada istri- istri dan anak-anak mereka.’” [17] Dalam hadis ini ‘memberi salam’ kepada istri telah secara jelas diperintahkan dan istri digambarkan sebagai anfusakum, yaitu ‘dirimu sendiri’, yang menunjukkan pria dan wanita satu kesatuan.


B. Sudut Pandang Islam Tentang Status Ibu

Salah satu pengejawantahan yang paling agung dan bernilai dari wanita adalah kemampuannya menjadi seoang ibu, yang secara relatif telah dihargai oleh semua budaya baik beradab maupun tidak. Peranan khusus ini dimainkan oleh wanita, yang asal-usulnya dari segala masyarakat dan memiliki nilai sejarahnya sendiri, dan mencapai puncaknya keagungannya dalam Islam. Dalam al-Quran menghormati dan berbuat baik kepada orangtua memiliki kepentingan akan ketaatan kepada Allah dan tauhid. Beberapa ayat dalam al-Quran memerintahkan kepada kita untuk berterimakasih kepada kedua orangtua dan bersyukur kepada Allah bagi mereka. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah engkau kembali. (QS Luqman [31]:14)

Ayat ini memandang penting sulitnya peranan yang dimainkan seorang ibu sebagai alasan berterimakasih kepadanya.

Sejumlah besar hadis memandang peranan penting ibu dan statusnya yang jauh lebih mulia daripada bapak. Sekali lagi bahwa mematuhi dan berbuat baik kepada ibu memiliki berkah yang besar. Dalam hadis lain diriwayatkan, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”


C. Sudut Pandang Islam Tentang Status Istri

Salah satu tahapan kehidupan sosial wanita adalah peranannya sebagai seorang istri. Tahapan ini dimulai dengan perkawinan dan mencapai puncaknya menjadi seorang ibu serta memainkan peran-peran penting lainnya dalam keluarga dan masyarakat.

Di sepanjang sejarah wanita telah menghadapi penindasan dan perbudakan selama tahapan ini. Islam sebagian besar menekankan rasa hormat kepada wanita dalam tahap ini.

Dalam al-Quran ayat-ayat yang secara jelas dan tegas dapat ditemukan mengenai hak-hak keluarga dan suami-istri. Kita baca, ...mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka... (QS al-Baqarah:187); ...mereka (wanita) memiliki hal yang sama dengan kamu (laki-laki)...(QS al-Baqarah:228) Ayat ini secara jelas menyingkapkan hak-hak dan kebutuhan timbal-balik dan juga kesatuan spiritual suami-istri.

Ayat lain disingkapkan mengenai perselisihan antara suami istri dan untuk menghindari pelanggaran atas hak-hak wanita. Di sini kita baca, ...kemudian bila kamu tidak menyukai mereka karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak... (QS an-Nisa:19)

Dan jika seorang wanita khawatir akan sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya (QS an-Nisa:128)

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki- laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu... (QS an-Nisa:35)

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya... (QS ath-Thalaq:7)

Kita juga membaca, Janganlah kamu keluarkan mereka mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang... (QS ath- Thalaq:1)

Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik... (QS ath- Thalaq:2)

Tempatkanlah mereka dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka... (QS ath- Thalaq:6)

...tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut... (QS al- Baqarah:234)

Dan bahkan dalam kasus perceraian al-Quran masih menasihati agar saling menghormati dan bersikap baik satu sama lain. Di lain tempat menggunakan kata-kata berikut: ...dan kerjakanlah (amal baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya... (QS al-Baqarah:223)

Al-Quran memerintahkan kepada kaum pria untuk memberikan prioritas kepada istri-istri rnereka dalam menikmati buah-buah kehidupan dan tidak memandang mereka sebagai makhluk terbelakang atau budak.

Ada sejumlah hadis yang menasihati para suami agar menghormati istri-istri mereka. Hadis itu berbunyi, “Jibril berkomentar tentang wanita dengan cara bahwa andaikan aku bercerai tidaklah diperbolehkan” mengutip hadis terdahulu. Yang lainnya adalah:

“Terkutuklah barangsiapa yang mencerca istrinya”; “Yang paling sempurna di antara orang yang beriman adalah yang lebih baik terhadap keluarganya”; “Berperilakulah sepatutnya terhadap istri-istri kalian”; “Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang berperilaku sebaik-baiknya terhadap keluarga mereka”; “Wanita sama dengan gadis molek sehingga mereka tidak boleh dihina” [18] dan “wanita itu mudah pecah seperti kaca, dimana kamu harus bersikap perhatian terhadap mereka.” [19]

Telah diriwayatkan bahwa Imam Ali bekata, “wanita serupa, dengan menagi yang manis dan bukan seperti juara...” [20]

Diriwayatkan Imam Shadiq berkata, “Allah memberkati orang-orang yang berbuat baik terhadap istri mereka...” [21] Ada kalimat lainnya, juga mengenai tanggung jawab wanita dalam keluarga, berkonsultasi kepadanya dan mempertimbangkan pandangan-pandangannya yang berhubungan dengan wanita.

Islam bahkan mengizinkan wanita untuk menerima upah atas pekerjaan yang ia kerjakan di rumah dan bahkan upah untuk menyusui anak-anaknya.

Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syi’ah telah ditekankan bahwa seorang suami harus membeli buah-buahan untuk istrinya, membahagiakannya dengan memberinya hadiah, dan meningkatkan aktivitas sang suami untuk menambah penghasilannya demi menyejahterakan istri dan anak-anaknya.


D. Sudut Pandang Islam Mengenai Anak Perempuan

Sudut pandang Islam mengenai fitrah dan kepribadian wanita serta berbagai kebutuhan emosionalnya untuk kebaikan, perhatian, toleransi atas kesalahan-kesalahannya dan kelemahannya, sangat terlalu umum untuk dibatasi kepada seorang ibu atau istri. Itulah kenapa Islam mewajibkan pria untuk memperhatikan anak perempuannya sebagaimana yang ia lakukan terhadap seorang wanita.

Sikap menindas yang ditunjukkan terhadapnya selama masa kanak-kanak oleh ayahnya, oleh saudara lelakinya atau kakak-kakaknya dan keluarganya pada umumnya merupakan alasan bagi keterbelakangan perasaan wanita di tengah masyarakat.

Islam memerintahkan kepada para ayah untuk berperilaku sepatutnya terhadap anak-anak perempuan mereka dan berperilaku sama dengan anak-anak lelaki mereka, agar wanita memperoleh mental yang baik untuk menjalani kehidupan yang sama dengan pria. Ini juga untuk menghindari perasaan terbelakang pada dirinya (ini selain dari menunjukkan kerendahan hati dan kelembutan di hadapan suaminya bahwa ia melakukannya demi keridhaan Allah dan kedamaian hatinya). Kaum pria diperintahkan untuk menghargai anak-anak perempuan mereka agar mereka tetap sama dan tidak tumbuh seperti budak di bawah dominasi saudara laki-lakinya. Dan akhimya, bakat, semangat dan intelek mereka diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang.

Nabi saw yang menghancurkan tradisi-tradisi zaman pra- Islam, sangat menghormati putrinya, Fathimah az-Zahra as dan berbuat baik kepadanya sampai-sampai hal ini membuat cemburu istri-istri beliau.

Ada berbagai hadis yang mengungkapkan usaha-usaha yang beliau lakukan dan juga para imam untuk mendidik para sahabat dan umat beliau untuk tidak lebih mendahulukan pria ketimbang wanita, tetapi justru sebaliknya. Misalnya, ada sebuah hadis yang menceritakan kisah Nabi Musa as bersama seorang lelaki spiritual yang berjalan bersama beliau. Lelaki itu membunuh seorang bocah lelaki, dan ketika Musa keheranan, beliau menjawab dengan berkata, Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya. (QS al-Kahfi:81).

Dijelaskan bahwa ini berarti Allah memberi mereka seorang anak perempuan sebagai gantinya, yang darinya tujuh puluh generasi para nabi dilahirkan dan inilah maksud dari perbuatannya itu.

Dalam hadis lain dikatakan bahwa seseorang menulis sepucuk surat kepada Imam al-Mahdi as, Imam keduabelas Syi’ah, dengan mengatakan bahwa Allah akan memberkatinya seorang anak dan meminta Imam untuk mendoakannya agar anaknya itu nanti laki-laki. Imam menjawab, “Seringkali anak perempuan itu lebih baik daripada anak laki-Iaki.”


Referensi:

14. Murtadha Muthahhari, the Rights of Women in Islam, hal.118.
15. Ibid.
16. Hadis Nabi.
17. Wasâ’ilusy Syî’ah, Hajj/2ll.
18. Wasâ’ilusy Syî’ah, jilid 2, Bab 86, hal.21 (edisi lama).
19. Bihârul Anwâr, jilid 16, hal.296. (edisi baru).
20. Nahjul Balâghah, Surat No.31.
21. Wasâ’ilusy Syî’ah.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: