Oleh Farid Esack
Banyak di antara kita yang akan memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada perkumpulan peribadatan seperti maulud dan hajatan, hukum fiqh (yurisprudensi Islam), ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari.
Jadi banyak di antara kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam masjid atau di daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli.
Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya. Berapa banyak di antara kita yang dapat mengingat wajah penjaja surat kabar yang kita lihat setiap hari; apalagi memahami kenyataan di balik wajah tersebut?
Kami bukan membuat pembelaan dengan menekankan bahwa tauhid memiliki dimensi pribadi, sosial, dan politik. Meskipun demikian, para aktivis Muslim harus menjaga diri mereka dari ketidakseimbangan Islam mereka. Islam tidak hanya merupakan sebuah sistem politik atau memberikan solusi-solusi politik.
Ketika kita mendukung Islam yang holistik maka kita juga merujuk kepada misalnya hubungan kita dengan bumi; kepada kerukunan semua makhluk sebagai bagian dari ekosistem; perlindungan laut, gunung, hutan, dan hewan-hewan liar.
Kita berbicara tentang bagaimana kita berurusan dengan teman, hubungan antarpribadi kita. Kita merefleksikan kualitas dan frekuensi shalat kita serta sikap kita terhadap azan. Itu baru merupakan beberapa pokok persoalan yang terkait dengan Islam yang komprehensif.
Kita harus melakukan semuanya dan tidak hanya beberapa yang kita anggap bisa dilakukan. Kita tidak boleh masuk ke dalam jebakan yang sama seperti mereka yang mengatakan atau bertindak seolah-olah Islam itu murni bersifat spiritual. Apabila kita mengatakan atau bertindak seakan-akan Islam itu murni bersifat politis, maka kita juga telah bersalah karena berpegang kepada sebagian dari Kitab Suci dan menolak sebagian yang lain.
Kamu percayai sebagian Kitab dan menolak yang sebagian lagi? Ganjaran orang yang berbuat demikian di antara kamu tak lain hanyalah kehinaan dalam kehidupan dunia ini dan pada hari kiamat mereka dikembalikan ke dalam azab yang berat. Dan Allah tiada lengah akan segala yang kamu lakukan.
Jadi sekarang kita telah berkumpul untuk merefleksikan hubungan antara tauhid dan pembebasan. Apa makna tauhid dalam konteks penindasan? Masyarakat seperti apakah yang Allah inginkan kita untuk mewujudkannya, dalam kaitannya dengan filsafat dan realitas tauhid? Orang seperti apakah yang memiliki kepribadian tauhid? Apakah tauhid bermakna lebih daripada apa yang selama ini kita pahami?
Keesaan Allah begitu pentingnya sehingga Dia mengutus sekitar 124.000 Nabi ‘alaihim al-salam untuk memproklamirkannya. Tidak hanya itu, tetapi mereka juga terkena ujian, penyiksaan dan bahkan kematian yang mengerikan untuk menegakkan kesatuan ini. Mengapa Allah mengutus begitu banyak orang pilihan-Nya dan mengapa mereka mengalami begitu banyak penderitaan?
Apakah hal itu hanya karena Ketunggalan-Nya secara matematis?
Apa dampak dari Ketunggalan ini sehingga menimbulkan antagonisme yang sengit dan berlarut-larut dari kaum yang berkuasa terhadap para nabi?
Apakah tauhid ada dengan sendirinya, dengan nilai-nilai intrinsik yang hanya memerlukan sebuah pengakuan verbal, tanpa adanya keharusan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikannya di sini dan sekarang?
Apakah menjadi persoalan Allah itu satu atau tiga atau seribu apabila hal itu hanya meminta sebuah pengakuan verbal dan hubungan budaya yang luas dengan orang lain yang juga telah melakukan hal tersebut?
Perkataan berikut akan terdengar seperti sebuah sindiran:
Apakah buah pohon ek yang jatuh di hutan akan menimbulkan bunyi apabila tidak ada orang yang mendengar kejatuhannya?
Bukankah mendengar adalah prasyarat dari keberadaan suatu bunyi?
Analogi matahari mungkin akan lebih dekat dengan tauhid.
Matahari ada dengan semua cahaya terangnya, tetapi apa artinya buat saya ketika saya mengalami dingin atau panas sebagai akibat dari keberadaannya?
Allah ada di sana, selalu ada di sana dan akan terus ada di sana, tetapi bagaimana saya merasakan Kesatuan-Nya.
Sampai akhir-akhir ini, perdebatan filosofis mengenai tauhid hanya dibatasi kepada Kesatuan Allah secara matematis; apakah Tangan-Nya adalah tangan yang riil; Apakah Singgasana-Nya bersifat fisik, dsb. Dengan demikian, perdebatan itu dibatasi hanya kepada 'dunia yang lain' atau murni bersifat ortodoks-yang berlawanan dengan ortopraxis.
Keyakinan Anda harus baik dan keyakinan adalah sesuatu yang tertinggi dan sederhana, dengan sebuah pengakuan verbal. Selalu terdapat elemen-elemen penting, terutama para pengikut Abdul Wahab Najdi dan Ibnu Taimiyyah, yang menyamakan ortodoksi - keyakinan yang benar - dengan ortopraksis - tindakan yang benar. Mereka juga beranggapan bahwa yang pertama akan hampa tanpa yang terakhir.
Meskipun demikian, para cendekiawan pada masa kemudian, seperti Fazlur Rahman Anshari, Muhammad Iqbal, Khalifah Abdul Hakim dan Ali Syari’ati menjelaskan bahwa tauhid terdapat dalam keseluruhan kosmos, dan umat manusia, sebagai bagian dari kosmos tersebut, harus mengatur kehidupan pribadi dan sosialnya sesuai dengan tauhid. Jadi kami menyatakan bahwa keesaan Allah hanya akan berarti untuk saya apabila saya menjadi seorang prajurit di dalam perjuangan untuk mengaktualisasikan sebuah tata tertib tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial-ekonomi saya.
Adakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” padahal mereka tidak diuji? Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan Allah pasti tahu siapa yang benar dan pasti tahu siapa yang berdusta.
Kami kemudian diberitahu bahwa sebuah pernyataan verbal tidaklah cukup dan harus diikuti oleh sebuah perjuangan untuk membenarkannya. Hal ini direfleksikan lebih lanjut dalam hadis berikut:
Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah dia mencegah dengan tangannya, bila tidak mampu hendaklah dia mencegah dengan lisannya dan bila tidak mampu juga hendaknya dia mencegah dengan hatinya, dan itu (hatinya) adalah selemah-lemahnya iman.
Versi lain dari hadis yang sama menambahkan: “dan setelah itu tidak akan ada sebiji keimanan yang tertinggal.” Kita belajar dari hadis ini bahwa keadaan keimanan kita terkait langsung dengan tingkat di mana kita siap untuk menentang kemunkaran, dan ketika Nabi saw menyatakan bahwa “setelah itu tidak akan ada sebiji keimanan yang tertinggal,” maka itu berarti bahwa hati yang kosong dari perlawanan terhadap kemunkaran dan penindasan adalah hati yang kosong dari keimanan.
Hadis berikut - “barang siapa meninggal dunia tanpa pernah berjuang untuk Islam atau memiliki niat berjuang untuknya, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahilliyyah (kebodohan atau keadaan tidak beriman pra-Islam)” - menekankan hal ini lebih lanjut.
Lalu apa hubungan antara tauhid dengan pembebasan pribadi dan antara tauhid dengan pembebasan politik? Apa maksudnya ketika kita diminta untuk membentuk sifat-sifat kita sesuai dengan Allah?
Tauhid dan Pembebasan Pribadi
Sebuah kepribadian tauhid adalah sebuah makhluk yang terintegrasi dan harmonis, yang menjadi satu dengan dirinya, lingkungan alamnya dan dengan Allah. Ia tidak dapat dan tidak akan membagi hidup ke dalam kehidupan yang religius dan sekuler, privat dan publik, spiritual dan politik, karena hal itu melanggar filsafat integrasionis yang melekat dalam tauhid.
Sebuah kepribadian tauhid tidak akan menundukkan kepalanya kepada Allah di masjid dan kepada kapital di pasar bursa di luar masjid. Ia tidak akan mengucapkan Allah-Allah di rumah dan menjadi seorang Freudian di kampus. Ia tidak bisa tetap berpuasa di bulan Ramadhan dan kemudian mendukung sistem sosial-ekonomi yang menindas, baik secara aktif ataupun diam-diam. Ia tidak hanya mengamati dan menentang sistem yang menciptakan dan mengekalkan kelaparan atau kekuatan sosiologis-cum-industrial yang memunculkan sikap permisif yang tak bermoral, tetapi juga mengamati dan menentang perannya di dalam sistem atau kekuatan tersebut.
Kepribadian tauhid tidak akan sibuk dengan tari kupu-kupu eskapisme yang sia-sia dan penyimpangan dari pencapaian kesatuan dengan diri. Perjuangan untuk mempribadikan tauhid juga mengimplikasikan perjuangan untuk mengaktualisasikannya secara sosial.
Nabi saw telah menyatakan bahwa kufur merupakan sebuah sistem tunggal.
Jadi kufur bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan tetapi juga sebuah pola perilaku. Anda tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid.
Anda tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko.
Inilah yang dimaksud oleh Nabi saw ketika ia menyatakan bahwa ia tidak khawatir para pengikutnya akan melakukan syirik (pemberhalaan) yang nyata, tetapi khawatir bahwa mereka akan melakukan syirik yang tersembunyi, yaitu bahwa kita akan menganggap Allah sebagai tuhan kita di masjid tetapi membiarkan diri rendah kita berkuasa sebagai bos di diskotik. Ini adalah syirik. Itu tidak hanya syirik, tetapi juga sakit. Pertama-tama, hal itu akan mengarah kepada kepribadian yang terbelah dan kemudian kepada disintegrasi kepribadian.
Tauhid dan Pembebasan Sosial-Ekonomi
Sebuah masyarakat tauhid bermakna kesatuan semua makhluk karena kesatuan Penciptanya. Umat manusia tidak bisa mengeksploitasi semua sumber daya bumi dan beranggapan bahwa sumber daya itu tidak terbatas.
Kita tidak boleh memperkosa dan menjarah bumi dengan memandang rendah lingkungan kita sepenuhnya, memburu, memakan, dan mengeksploitasi seolah-olah tidak akan ada hari esok. Kita tidak bisa terlibat dalam industrialisasi yang tak terkontrol tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang terkait dengan limbah industrial dan kerusakan ekosistem. Umat manusia adalah bagian dari lingkungan alam dan kita tidak boleh menganggap diri kita sebagai lawan darinya.
Sebuah masyarakat tauhid tidak hanya berarti bahwa umat manusia menjadi satu dengan alam, tetapi yang paling penting adalah bahwa kita menjadi satu dengan umat manusia lainnya. Dengan demikian, kita tidak hanya berjuang melawan semua model pembangunan yang berupaya membuat kita menjadi penguasa asing di bumi, tetapi kita harus mencapai kesatuan dengan umat manusia lainnya, karena “Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu!”
Dr. Ali Syari’ati sebagai seorang syahid berpendapat bahwa masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari tauhid. Maulana Fazlur Rahman Anshari juga berpendapat bahwa sebuah masyarakat tauhid bersifat “non-rasial, non-kesukuan, tanpa kasta dan tanpa kelas.” Masyarakat tauhid adalah sebuah masyarakat egalitarian yang melampaui kekakuan egalitarianisme menuju masyarakat persaudaraan.
Nilai dari masyarakat itu diwakili dalam al-Quran dan konsep “falâh,” yaitu kesejahteraan, yang dalam kaitannya dengan tauhid haruslah bersifat kolektif dan integralistik, yaitu secara politik, ekonomi, moral, fisik, spiritual, dsb.
Jadi anggota masyarakat yang seperti itu tidak hanya disebut sebagai orang yang setara secara ekonomi, tetapi juga sebagai saudara dan saudari, yang serba-mencakup. Hal ini biasanya dengan senang diakui oleh semua Islamis dan ini agak mengganggu. Hal itu mengganggu, karena cukup banyak Islamis yang berasal dari sebuah kelas yang akan kehilangan banyak apabila masyarakat yang seperti itu benar-benar terwujud.
Bisa saja komitmen mereka terhadap perwujudannya bersifat total, sehingga mereka melupakan implikasi ekonominya atau mereka menganggap bahwa sebuah Afrika Selatan yang baru akan dibangun dengan pemilik yang sekarang tetap menjadi penjaga, yang akan menjangkau kaum tak berpunya dengan ramah, sebuah kedermawanan yang paternalistik.
Apa yang perlu kita tanyakan adalah bisakah kita berbicara tentang kemauan untuk bergerak menuju sebuah masyarakat tauhid yang fraternalistik, apabila kapitalisme dan konsumerisme seumur hidup serta dua ratus tahun industrialisasi telah mengeraskan hati orang-orang beriman yang tak sadar dalam “tauhid yang melangit.”
Kemudian kita merasa bahwa kita harus memberontak dan menghancurkan semua sistem yang membelah rakyat atas dasar apapun kecuali takwa (kesalehan) karena “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab atau orang non-Arab atas orang Arab kecuali dengan takwa.”
Inilah makna tauhid dalam kehidupan kita. Tauhid bukanlah persaudaraan yang lemah dan emosional, yang ditunjukkan oleh para apologis Muslim kepada dunia non-Muslim.
Lihatlah dalam masjid kita, di mana kaum miskin dan kaya shalat bersama!
Lihatlah dalam haji, di mana kaum kulit hitam dan kulit putih menjalankan thawaf Kabah bersama-sama, kita semua dalam pakaian ihram yang sama! Itu hanyalah tauhid simbolik yang harus kita lampaui.
Apa gunanya kesatuan Arafah ketika Anda kembali ke rumah dan kulit hitam dipisahkan lagi dari kulit putih? Juga beberapa di antara kita mati karena tidak cukup makan sementara yang lain mati karena kekenyangan?
Apa gunanya kita berdiri bersama-sama sebagai saudara dalam masjid apabila setelah shalat Anda pulang ke rumah megah Anda sementara sang muazzin harus merangkak masuk ke dalam kamarnya yang kecil?
Maulana Yusuf, amir kedua dari Tablighi Jama'at berpendapat bahwa adalah suatu penindasan apabila beberapa di antara kita tinggal di istana sementara yang lainnya tinggal dalam gubuk. Bekerja untuk menghilangkan rintangan-rintangan ini adalah bekerja untuk membangun tauhid di bumi.
Ketika Sayyidina ‘Ali mengatakan bahwa tidak mungkin beberapa orang mendapatkan sejumlah besar kekayaan kecuali yang lain mati kelaparan; ketika Sayyidina Abu Dzar al-Ghiffari mengatakan: “Seandainya aku berkuasa, maka aku akan pergi ke semua orang kaya dan mengambil dengan paksa kelebihan harta mereka serta membagikannya kepada orang-orang miskin.”
Ketika Sayyidina ‘Umar mengatakan: “Seandainya sebelumnya aku tahu apa yang kuketahui sekarang, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengambil kelebihan harta kaum Anshar dan membagikannya kepada kaum Muhajirin yang miskin.”
Semua ini menunjukkan perjuangan para pendahulu kita untuk mewujudkan tauhid dalam bidang sosial-ekonomi. Tetapi bagaimana dengan Nabi Sulaiman dan Hazrat Utsman?
Bukankah mereka itu kaya?
Kekayaan mereka pada hakikatnya tidak pernah terkait dengan keseluruhan sistem penindasan dan eksploitasi. Lagipula, mereka adalah raksasa-raksasa spiritual. Kekayaan mereka ada di tangan mereka dan keimanan mereka dengan kuat melekat di hati mereka.
Ketika muncul kebutuhan terhadap kekayaan mereka, maka mereka akan mengeluarkannya dengan sukarela. Dan ketika cinta kepada isi tangan mereka mengancam isi hati mereka, maka mereka melepaskan isi tangan mereka untuk melindungi keimanan mereka.
Mereka diasingkan oleh masyarakat apabila mereka memperlihatkan keengganan untuk melakukan hal itu. Nabi saw tidak menjawab ucapan salam mereka dan bahkan istri mereka diperintahkan untuk dipisahkan dari mereka. Contoh khusus adalah Murarah bin Rabi, Hilal bin Ummayah dan Ka’ab bin Malik.
Mereka menunda keikutsertaan mereka ketika panggilan jihad datang. Kebun kurma mereka sedang berkembang penuh dan karena pada saat itu adalah musim panen, maka mereka takut kehilangan hasil panen yang sangat besar, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka tinggal dan beranggapan bahwa mereka akan mengikuti ekspedisi setelah selesai memanen.
Tetapi ekspedisi tersebut pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Mereka semua mendatangi Nabi saw untuk menyatakan alasan mereka. Nabi saw mengabaikan mereka, tidak menjawab ucapan salam mereka, memerintahkan masyarakat untuk mengasingkan mereka dan memerintahkan istri mereka untuk dipisahkan dari mereka selama empat puluh hari.
Manusia modern - dan juga termasuk umat “Muslim” - duduk dengan kekayaan di hatinya dan keimanan di tangannya - ketika isi hati mereka terancam, mereka akan melepaskan apa yang ada dalam tangan mereka.
Manusia modern, yang merupakan tikus spiritual, tidak dapat membandingkan diri mereka dengan Nabi Sulaiman as atau Hazrat Utsman karena mereka tidak bisa dipercaya dengan keimanan mereka sendiri.
Selanjutnya, tidak bisa dipercaya, bahwa mereka berpegang pada kekayaan mereka di hadapan kemiskinan di sekitar mereka. Jadi kita, tanpa merasa malu, memilih kaum miskin dan tertindas. Kita mengambil pilihan ini karena Allah sendiri dan semua nabinya as mengambil pilihan ini.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada mereka yang tertindas di bumi; dan akan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan mereka para ahli waris; (Lebih jauh lagi, hendak) Kami kukuhkan mereka di bumi ini, dan hendak Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman, serta pasukannya, apa yang mereka khawatirkan.10
Apabila kita harus memilih antara perspektif Abu Dzarr dan Utsman maka kita harus memilih satu yang dekat dengan pembebasan. Di sebuah negara di mana 10 anak meninggal tiap jam karena kekurangan gizi, maka kita dipaksa untuk mengikuti perspektif Abu Dzarr. Islam, sebagai agama yang dinamis, memang mengakui perubahan dalam urusan manusia dan menjawab tuntutan sah masyarakat yang muncul dari waktu ke waktu.
Pembatalan Umar ra terhadap aturan memberikan zakat kepada mereka yang hatinya condong kepada Islam adalah sebuah contoh. Beberapa orang di antara kita meminta untuk membatalkan instruksi tegas Nabi saw bahwa perempuan tidak boleh dihalangi untuk sering mengunjungi masjid, karena menurut mereka, waktu telah berubah. Perubahan-perubahan ini semuanya dapat diterima karena tidak menyentuh apa yang paling menyakitkan - rekening bank kita.
Nabi saw telah mengidentifikasi dirinya dengan kaum tertindas dengan konsisten. Marilah kita jujur. Kita sama sekali tidak bisa percaya bahwa dalam etos Makkah atau Madinah terdapat lemari es yang penuh di tengah-tengah kelaparan.
Bahkan ketika orang tidak sekarat karena kelaparan, maka masih tidak bisa dipahami bahwa Nabi saw akan mengizinkan penimbunan makanan untuk enam bulan berikutnya, karena takut Allah sendiri akan mengetahuinya. Kita harus percaya kepada Allah ketika kita mengikat unta kita.
Tetapi mengikat unta kita di Makkah atau Madinah tidak pernah berarti terserang panik karena bayangan kelaparan di masa depan. Tauhid bermakna pembebasan rakyat dari ketidakamanan ini dengan lenyapnya ketamakan.
Pilihan yang kita ambil sekarang ini, untuk kaum miskin, harus berarti bahwa kita mempertanyakan cara yang kita coba untuk melindungi masa depan kita. Terdapat beberapa orang yang membangun rumah-rumah besar sehingga anak-anak mereka, yang beberapa di antaranya masih merangkak sementara yang lainnya belum lahir, akan memiliki kamar atau tempat tinggal mereka sendiri lima belas tahun kemudian, sementara para pekerja mereka, yang cukup tua untuk menjadi ibu saya dan Anda, hidup dengan seluruh keluarga mereka di satu bagian dari garasi kita.
Asuransi jiwa telah menjamin masa depan keluarga kita setelah kita meninggal, sementara kita mengabaikan kehadiran mereka yang bekerja untuk kita ketika kita masih hidup. Seolah-olah Allah Swt akan bertanya kepada kita tentang berbagai peristiwa yang terjadi setelah kita meninggal.
Karena kita diciptakan tidak hanya untuk bertahan hidup, kita adalah sebuah umat “yang dilahirkan untuk segenap manusia” sehingga kita mesti menjawab tangisan umat manusia. Tanggapan terhadap kebutuhan rakyat jelas merupakan jawaban terhadap undangan Allah untuk membangun sebuah masyarakat yang adil, damai, setara, mencintai dan benar.
Dinyatakan dalam salah satu hadis qudsi Nabi saw bahwa pada Hari Kiamat Allah akan mengatakan kepada hamba-Nya, “Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Si hamba akan bertanya, “Bagaimana aku harus menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta.” Setelah itu Allah akan menjawab, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Seandainya kamu menjenguknya (untuk menghibur dan membantu) pasti kamu dapati Aku di sisinya.” Ia akan bertanya lagi, “Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.” Si hamba akan menjawab, “Bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?” Allah kemudian akan mengatakan, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan? Seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati Aku di sisinya.” Allah akan bertanya lagi, “Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.” Si hamba akan menjawab, “Bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?”, Allah akan mengatakan, “Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati Aku di sisinya.”
Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.[]
Catatan Kaki:
1. Ceramah ini disampaikan di Roshnee pada bulan November 1984.
2. QS 2:85.
3. QS 29:2-3.
4. Bukhari dan Muslim.
5. QS 4:1.
6. Lihat lebih lanjut Qur'anic Foundation and structure of Society oleh Fazlur Rahman Anshari, Karachi 1976, jilid 1, hlm. 157-198.
7. Muslim, Bukhari dan Tarmidzi.
8. Ibn Hazur, Vol. IV, hlm. 158.
9. Kisah ini diceritakan dengan sangat terperinci dalam “Stories of Sahabah” oleh M.M. Zakariyyah.
10. QS. 28: 5-6.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email