Pesan Rahbar

Home » , » Fatwa-fatwa ‘Dibunuh’ Dalam Kitab Ibn Taymiyah Yang Dipakai Wahabi Sekarang

Fatwa-fatwa ‘Dibunuh’ Dalam Kitab Ibn Taymiyah Yang Dipakai Wahabi Sekarang

Written By Unknown on Sunday, 6 November 2016 | 00:05:00


Wasekjen MUI Pusat, KH. Tengku Zulkarnain, menjadi sorotan di acara ILC kemarin menyusul menyebut hukuman bagi Gubernur DKI Basuk Tjahaja Purnama dibunuh dalam hukum Islam. Pandangan Tengku yang menjadikan tafsirnya atas suatu ayat itu sebagai dasar halalnya seseorang dibunuh ini pun sontak mendapat reaksi beragam, khususnya di media sosial.

Untungnya dalam Islam itu, menurut Tengku, kita disuruh taat pada kesepakatan. “Kalau menurut hukum Islam, Ahok ini dibunuh, atau dipotong tangan kakinya bersilangan. Minimal ia diusir dari Indonesia,” katanya sambil menyebut surat al Maidah 33 – 34 sebagai justifikasi.

Jika ditelusuri deretan kasus kekerasan atas nama keyakinan di Indonesia, tafsir hingga fatwa dari sosok yang dianggap tokoh agama dapat melahirkan legitimasi ‘halal’ bagi siapapun untuk menumpahkan darah orang lain. Mereka diusir dari kampung halamannya, bahkan dibunuh karena dituding melawan atau menyimpang dari agama. Alih-alih mematuhi konstitusi yang berlaku, para pelaku kekerasan pun kerap diringankan bahkan lolos dari jeratan hukum.

“MUI boleh mengelak tidak ada hubungan antara kekerasan dengan fatwa sesat, tetapi di lapangan situasi berbeda. Ahmadiyah hingga saat ini mengalami diskriminasi. Ratusan warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) kehilangan rumah sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dan ribuan warga Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, tidak mendapatkan E-KTP, karena mereka dianggap sesat!” kata Intelektual NU Zuhairi Misrawi di geotimes.co.id

Benarkah Nabi yang dikenal pembawa ajaran ‘rahmatan lil alamin’ mengajarkan seperti ini? Dari mana asal pandangan-pandangan garis keras seperti ini dalam dunia Islam?

Cendekiawan Timur Tengah, Tohir Faruq Zaid menyebut kafir, fasik, bid’ah, zindik, syirik, ialah tudingan yang dapat mengobarkan api kebencian dan hasutan untuk membunuh. Dan semua itu, kata Tohir, bisa dirujuk pada kitab-kitab warisan ulama seperti Ibn Taymiyah yang sangat banyak. Sedemikian sehingga membuat kita bertanya-tanya, apakah ini agama yang benar? Apa benar ini warisan manusiawi yang harus dilestarikan? Apa benar manusia ini normal? Atau ia sosok yang mungkin akalnya terinfeksi penyakit namun dibiarkan menyebarkan penyakitnya hingga masyarakat menjadi sakit?!

Syekh Ibn Taymiyah al Harrani wafat di abad ke- 8 hijriah diklaim sebagai imam pertama dan mursyid tertinggi yang pengikutnya kebanyakan ekstrim. Karya-karyanya menjadi dasar hukum pengadilan yang digunakan jamaahnya hingga ia digelari ”Syeikh Islam’ satu-satunya pada masanya dan tiada tandingannya sepanjang zaman…!

Siapa yang mengikuti karya-karyanya akan mendapatkan sejumlah hukum yang lahir dari tanggapan atas pertanyaan yang diajukan padanya seperti ‘Fatwa-fatwa Besar’ yang dikenal dengan ”Majmu’ al-Fatawa” atau ”Al-Fatawa al-Mishriah” dan ringkasannya. Ada juga karya-karya khusus masalah-masalah yang bersifat acak, namun bukan karya-karya metodologis seperti yang dilakukan orang-orang sezamannya yang mengikuti mazhab-mazhab umum pada masa itu.

“Diminta Bertaubat jika mau, jika tidak, dibunuh,” disebutkan di 193 judul dalam kitab-kitabnya.

Demikian jawaban favorit Ibn Taymiyah dalam masalah-masala cabang yang jika seseorang meninggalkannya tidak akan dikecam, namun bagi Ibn Taymiyah layak dihukum mati.

Berikut sebagian contoh-contoh masalah itu:

Dalam subjek pembahasan niat dalam ibadah dan hukum-hukumnya dan masalah melafalkannya, apakah sah atau tidak?

Dijelaskan dalam masalah itu bahwa hukum bagi yang melafalkan niat dan bersikeras untuk melakukannya adalah ia harus diminta untuk bertaubat, jika mau, dan jika tidak, dibunuh. Ia berkata, “Melafalkan niat dan mengulanginya ialah terlarang dan pelakunya buruk, jika ia percaya secara agama maka ia telah keluar dari kesepakatan Muslimin, maka ia harus diberitahu tentang hal itu, apa bila tetap bersikukuh melakukannya, maka dibunuh dan mengetahui hal itu adalah kewajiban. (Mukhtashar Fatwa Al-Misriyah, hal. 10)

Di tempat lain, ia berbicara tentang hukum ziarah kubur dan wali Allah dimana sebagian orang awam menamakan haji khayalan dan berkata, “Siapa yang pergi ziarah kubur dan pusara … sesungguhnya dia harus diminta bertaubat jika mau, jika tidak, dibunuh. (Al Mustadrak ‘ala Majmu’ al Fatawa, 252/3)

Dan di tempat ketiga, ia berbicara tentang pariwisata dan piknik dimana ia ditanya tentang hukum keabsahan wukuf di bukit Arafah selain hari-hari Arafah dan haji. Ia berkata, “Wukuf di Arafah tidak sah sama sekali kecuali pada waktu haji yang disepakati Muslimin, di waktu dan dengan cara yang telah ditentukan. Maka siapa berkata, “Saya wukuf dan tidak dalam keadaan haji maka ia telah keluar dari syariat Muslimin, bahkan jika ia meyakininya sebagai ajaran agama bahwa di sisi Allah akan diterima, maka sesungguhnya ia harus diminta bertaubat, jika mau, dan jika tidak, dibunuh. [Jami Masail li Ibn Taymiah (210/10)]

Bahkan siapa yang pergi hanya untuk menyaksikan tempat-tempat yang belum ia lihat sebelumnya, ia berkata, ‘Dan siapa yang meyakini keberangkatannya ke tempat-tempat itu untuk sekedar mengetahui lebih dekat maka ia telah sesat sesuai kesepakatan Muslimin, bahkan harus diminta bertaubat jika mau, jika tidak dibunuh (365/5)

Lebih parah lagi ketika ia berbicara tentang siapa yang memuliakan sebagian masjid untuk shalat dari masjid lain, seperti masjid Sayyidina Husain atau Sayyidah Zainab atau selain keduanya dari pusara yang tersebar di berbagai penjuru dunia, dia berkata:

“Janganlah seseorang memaksudkan shalatnya di kubur seseorang, baik itu nabi atau selain nabi. Dan setiap yang mengatakan: sesungguhnya shalat yang dimaksudkan di kuburan tertentu atau masjid yang dibagun di atasnya kubur atau pusara, atau lainnya adalah sesuatu yang sah, dan ia lebih menyukai dan memuliakan hal itu dibanding shalat di masjid yang tiada kuburnya: Maka ia telah keluar dari agama, dan bersebrangan dengan kesepakatan kaum Muslimin dan harus dimintai bertaubat jika mau, jika tidak, dibunuh. [Ra’sul Husain, Li lbn Taymiyah, hal:213)

Dia juga berbicara tentang seseorang yang menjaga shalatnya namun meninggalkan satu shalat atau kewajiban-kewajiban di dalam shalat maka hukumnya dibunuh. Ia berkata, “Seseorang yang balig jika meninggalkan satu shalat dari shalat 5 waktu atau sebagian dari kewajiban-kewajiban yang mutlak bagi shalat, maka ia harus dimintai bertaubat kalau mau, jika tidak, dibunuh (Majmu’ Al Fatawa, 429/3)

Seseorang diminta ke masjid, namun tidak hadir bersama jama’ah shalat dan berdalih menjaga tokonya. Jawabannya: diperintahkah shalat bersama Muslimin, jika ia tidak shalat maka ia harus diminta bertaubat jika mau, jika tidak dibunuh. (Al Fatawa al Kubra, 2/279)

Siapa yang menziarahi gereja Yerussalem dan meyakini ziarahnya itu untuk mendekatkan diri (pada Tuhan), maka ia telah kafir, jika ia Muslim maka ia murtad, harus diminta bertaubat jika mau, jika tidak dibunuh (Mukhtashar al Fatawa al Misriyah, 514/1)

Yang menjadi masalah, kata Tohir, ialah pembahasan ini mempengaruhi kehidupan kita, maka jadilah agama dimana mengamalkannya dianggap mendekatkan diri pada Allah, namun di sisi lain, kita akan mendapatkan darah mengalir dimana-mana, sedemikian begitu mudahnya harta dan harga diri dihalalkan, dan semua ini di bawah bayang-bayang fatwa-fatwa Ibn Taymiyah.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: