Oleh: Ruhullah Syams
Di dalam kitab Manazil Sairin karangan Khojah Abdullah Anshari, sebuah kitab Irfan Amal, taubat menduduki tahapan kedua sesudah bab istiqadzah (bangkit). Ini didasari keniscayaan bahwa seseorang baru dapat melakukan taubat setelah menyadari bahwa dirinya selama ini tenggelam dalam lautan syahwat dan dunia yang membuat dirinya lalai dan alpa dari mengingat Wajib Wujud (Tuhan).
Pembagian tahapan ini pada dasarnya adalah tepat, tapi pada pembahasan bagaimana manusia mampu melakukan perjalanan spiritual, suluk di jalan haq, maka yang awal mesti dilakukannya adalah membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan pelanggaran pada haq di masa lalu yang telah lewat. Pembersihan diri dari dosa yang telah lewat inilah yang dikatakan taubat, kembali pada haq, kembali pada cahaya dan meninggalkan batil, meninggalkan kegelapan.
Taubat merupakan rahmat Tuhan yang besar pada manusia. Sebab pada hakekatnya seseorang yang bertaubat, dia mendapatkan dua keuntungan besar. Pertama rahmat dari Tuhan untuk mampu bertaubat dan kedua rahmat dari Tuhan berupa ampunan dari kesalahan dan dosa-dosa yang telah dia lakukan. Sebab makna taubat itu sendiri adalah menjadi bersih kembali dari dosa-dosa dan kembali dari jauhnya selama ini dari Tuhan menuju kedekatan pada Tuhan.
Taubat Berlaku Secara Umum Pada Setiap Maujud Insan
Bagi setiap manusia taubat adalah wajib dan berlaku secara universal yang dinisbatkan pada setiap pribadi dan dalam setiap kondisi. Oleh karena itu, ada tiga derajat taubat yang sesuai dengan masing-masing derajat manusia.
Pertama, taubat para pendosa yakni bertaubat dari maksiat-maksiat yang dia langgar dan kembali pada ketaatan.
Kedua, taubat para orang khusus yakni bertaubat dari meninggalkan amalan-amalan baik yang sifatnya mustahab.
Ketiga, taubat para auliya (orang-orang lebih khusus) yakni kembali hanya memandang pada Tuhan yang haq dan tidak memandang pada selain Tuhan.
Jadi taubat tidak bisa terpisahkan dari manusia pada setiap strata dan dimensi dimana dia sedang berada, sebagaimana Allah berfirman : “Bertaubatlah kamu semua kepada Allah.” (QS. Nur : 31).
Dari makna ayat ini terpahami bahwa setiap orang dinisbatkan pada derajat yang dia miliki, untuk melakukan taubat secara tersendiri dimana hal tersebut berlaku baginya. Maka sesuai dengan derajat-derajat taubat, seseorang tidak hanya cukup bertaubat menyadari kesalahan-kesalahannya, meninggalkan syahwat di masa datang, tetapi dia harus menghapus efek-efek kegelapan dalam cermin hatinya dan mencahayainya dengan ketaatan dan ibadat. Dan bagi para ahli suluk dan penapak spiritual, meninggalkan perhatian secara totalitas pada selain Tuhan yang menjadi tujuan mereka.
Kerendahan dan Kehinaan Bagi Orang Yang Tidak Bertaubat
Ketiadaan taubat bagi seseorang adalah alamat kegelapan dan kehinaan baginya. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak bertaubat pada hakekatnya dia telah menganiaya dan menzalimi dirinya, dan dia tergolong dari orang-orang zalim. Allah SWT berfirman : “Barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka adalah orang-orang zalim.” (QS. 49 : 11).
Cukuplah seseorang yang tidak bertaubat itu dikategorikan zalim, karena dia membiarkan dirinya binasa tertimpa kerendahan, kehinaan dan kegelapan di hadapan cahaya haq. Sementara sang pemilik cahaya haq senantiasa memancarkan dan menyebarkan cahaya-cahaya ampunan-Nya bagi setiap maujud yang ingin kembali dan bertaubat kepada-Nya.
Alangkah jahil dan zalimnya manusia, jika ia tak pernah menengadah pada Tuhan dan memohon ampunan-Nya, sedangkan bukankah luas ampunan Tuhan tak memiliki batas dan tepi? Sebagaimana dapat kita nukil dari salah satu manusia pilihan dari keturunan Rasulullah SAW (Imam Ali Zainal Abidin) bahwa rahmat Tuhan lebih luas dari pada murka-Nya. Ataukah dalam Doa Kumail dari Imam Ali (a.s) : “Ya Allah aku bermohon pada-Mu dengan rahmat-Mu yang luasnya meliputi segala sesuatu.”
Cara Bertaubat
Taubat hanya dapat diterima dan sempurna jika kesalahan dan dosa itu diketahui. Dan mengetahui dosa dapat dilihat dengan tiga pendekatan :
1. Ketika melakukan dosa, kita sudah keluar dan terlempar dari ishmah, hasilnya kita sudah tersesat dari jalan yang lurus (mustaqim), sebab Tuhan berfirman :
“Barangsiapa yang berpegang (I’tisham) pada Allah, maka sungguh telah ditunjuki shirat al-mustaqim.” (QS. 3 : 101).
Jadi setiap orang yang berbuat dosa dikarenakan tidak berpegang pada Tuhan, akan sesat dan berpaling dari shirat al-mustaqim. Tapi jika dia berpegang pada shirat al-mustaqim pasti Tuhan menjaga dan memeliharanya dari kesesatan dan kegelapan. Maka ketika dia melakukan dosa, dikarenakan efek dari penentangannya pada perintah Tuhan, dan bagi pendosa seperti ini wajib dia kembali pada Tuhan dan menyesuaikan dirinya dengan taklif-taklif syariat Allah SWT.
1. Kita harus menyadari bahwa kita ini telah berdosa dan kita tidak boleh senang dengan keadaan kita, malah kita harus mencela jiwa yang telah melanggar hak Tuhan dan memposisikan diri kita sebagai seorang pendosa yang sungguh mesti dikasihani.
2. Bahwa dari menyadari kesalahan dan dosa yang telah dilakukan, dan masih lalai untuk bersegera taubat, serta tidak ada indikasi usaha dan upaya untuk bertaubat, padahal ada keyakinan bahwa Tuhan senantiasa memandangnya, dan Dia mengetahui segala kekotoran jiwa sementara kita masih senang dalam kondisi demikian, maka akan timbullah kesedihan yang dalam pada diri kita dan rasa penyesalan pada kondisi itu.
Adapun syarat taubat menurut Khojah Abdullah Anshari ada tiga :
* Penyesalan
* Meminta maaf dan mencari ampunan
* Tercerabut dari masyarakat dan meninggalkan mereka (khalwat), dan ini asas yang besar dalam taubat.
Pada hakekatnya manusia haruslah bertaubat sampai tingkatan dan derajat yang bisa dicapai, sebab hanya dengan taubat dan kembali pada haq, manusia dapat mengawali penapakan spiritualnya untuk dekat kepada-Nya. Allah SWT berfirman :
“ Barangsiapa bersungguh-sungguh di jalan kami, niscaya akan kami tunjuki mereka jalan-jalan kami.”
Tak ada kata menunda taubat dan menenggelamkan diri pada lautan materi yang gelap. Sebab Tuhan pasti memancarkan cahaya-Nya pada hati-hati yang bersungguh-sungguh ingin kembali di jalan-Nya.
Pelajaran Akhlak dari Ayatullah Isytihordi
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji milik Allah SWT dan shalawat atas junjungan Nabi kita Abil Qasim al-Mustafa Muhammad SAW dan keluarganya, serta laknat selamanya atas musuh-musuh mereka.
“Dialah yang meperlihatkan pada kamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan rezeki dari langit bagi kamu, dan tidaklah terperingatkan kecuali orang yang bertaubat.” (QS. Al-Ghafir : 13)
Semua perbuatan-perbuatan Tuhan termanifestasi dalam satu jenis. Dan dunia juga adalah manifestasi Tuhan. “Dialah yang memperlihatkan pada kamu ayat-ayat-Nya.” Tuhan menampakkan ayat-ayat-Nya pada kita dalam bentuk alamat-alamat eksistensi atau sifat-sifat wujud.
Tuhan yang memperlihatkan ayat-ayat-Nya inilah yang mengirimkan rezeki bagi kita dari langit. Ini adalah salah satu dari sifat Tuhan sebagai pemberi rezeki. Dan jika seseorang ingin mengenal Tuhan, hendaklah dia mengetahui bahwa semua rezeki dari sisi Tuhan yang mengucur dari langit. “Dan Dia menurunkan bagi kamu rezeki dari langit.”
Poin penting yang terkandung dalam kedua topik ini terkadang menjadi terlupakan, oleh sebab itu ayat tersebut diikuti dengan keterangan bahwa orang-orang yang mengingat adalah mereka yang wajah qalbunya mengarah kepada Allah SWT. “Dan tidaklah terperingatkan kecuali orang yang bertaubat.”
Almarhum sayyid Hasyim Bahreni dalam Tafsir Burhan di bawah ayat ini berkata bahwa yang dimaksud ayat-ayat adalah Imam-Imam. “Dia yang memperlihatkan pada kamu aya-ayat-Nya” yakni Tuhan memperlihatkan pada kamu para Imam. Jadi para Imam itu adalah alamat Ilahi.
Jika manusia ingin mencapai kesempurnaan, mesti memandang pada perbuatan-perbuatan Imam Ali, ucapan-ucapan beliau, gerak-gerik beliau dan diam beliau. Adapun yang lain seperti apa yang dikatakan Lenin, apa yang dikatakan Stalin, dan yang lain, semua itu hanyalah kandungannya materi belaka.
Mari kita berusaha setelah mengenal ayat-ayat Tuhan, mereka itu kita teladani, bukan seperti ini bahwa tidak ada hubungan antara kita dengan mereka.
Berhati-hatilah, sebab terkadang perbuatan-perbuatan kita, termasuk juga zikir kita sebagiannya itu juga adalah dosa besar. Seperti perkataan Imam Khomeni sekitar 50 tahun yang lalu di madrasah ini, beliau berkata : “Terkadang kalimat LA ILAHA ILLALLAH mempunyai hukum dosa besar”, Dia berkata Tidak ada Tuhan selain Allah tetapi perkataannya itu adalah dosa besar.
Misalnya kamu menjadi tamu penting seseorang, setelah kamu keluar dari rumahnya kamu bercerita pada seseorang bahwa semalam saya berada di rumah si tuan A, jenis berasnya setengah biji (beras kualitas sangat rendah), kentangnya hanya setengah masak, dan apa yang saya bisa katakan tentang sayur biji-bijiannya, padahal saat yang sama dia mengucapkan zikir LA ILAHA ILLALLAH, yakni kekurangan-kekurangan yang lain juga kamu katakan. Ini ucapan Tidak ada Tuhan selain Allah dalam surat amal akan menjadi bagian dosa-dosa besar.
Ungkapan Imam Khomeini bahwa zikir ini adalah dosa besar, untuk menerimanya tidak butuh pada bentuk ta‘abbudi , bahwa kita katakan Imam Khomeini paham dan yang lain pandangannya tidak begini. Tidak ! Mereka semua memahami makna ini. LA ILAHA ILLALLAH ini bukanlah tauhid, orang tersebut tidak ingin mengatakan “Tidak ada yang memberi efek pada wujud kecuali Tuhan” tetapi dia ingin berkata : “Mengapa si tuan rumah begitu rendah sehingga tidak memberikan pada kita makanan yang sepantasnya.”
Mari kita lihat keadaan kita, mungkin zikir kita juga adalah dosa besar. Kemudian mari kita lihat kehidupan yang penuh cahaya para Imam Suci Keluarga Nabi sebagai ayat-ayat Ilahi, mari kita pikir kenyataan apa yang mesti kita lakukan dan bagaimana kita seharusnya.
Tuhan! Berilah taufik pada kami untuk menyaksikan ayat-ayat dan alamat-alamat-Mu.
Dan shalawat Allah SWT atas Muhammad SAW dan keluarga sucinya. Amin!
(Diterjemahkan oleh Ruhullah Syams).
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email