Pesan Rahbar

Home » » Agus, SBY Adalah Suatu Contoh Buruk Dinasti atau Warisan Kekuasaan

Agus, SBY Adalah Suatu Contoh Buruk Dinasti atau Warisan Kekuasaan

Written By Unknown on Tuesday, 27 December 2016 | 16:28:00


Dua kali absen debat terbuka di teve nasional bukan sebuah kebetulan atau hal kecil yang bisa kita lewatkan begitu saja. Sangat tidak masuk akal ketika seorang calon Gubernur yang diberi kesempatan dan panggung untuk mempromosikan dirinya, kemudian berhalangan hadir tanpa alasan yang jelas. Ini jadi mirip kucing yang diberi ikan segar, namun tidak dimakan. Hil yang mustahal.

Namun setelah direnungkan cukup lama, menurut hitung-hitungan elektabilitas, ternyata memang lebih baik Agus tidak tampil di acara debat tersebut. Sebab tampil di acara debat berarti bertaruh untuk sesuatu yang tidak dipahami. Lihat saja Anies Baswedan, siapa yang menyangsikan kepintarannya dalam dunia pendidikan? Rektor dan mantan Menteri. Kita juga tak bisa tutup mata dengan Sandiaga Uno, pengusaha muda papan atas di Indonesia dengan segala kecerdasannya. Tapi ketika berdebat soal Jakarta dengan Ahok sebagai Gubernur DKI, Anies benar-benar terlihat sangat bodoh sekali, Sandiaga pun hanya berputar-putar di soal sembako dan pengangguran.

Silahkan diperhatikan, Anies hanya mampu beretorika dengan kalimat-kalimat puitis, “kita ingin pendidikan yang layak” dan seterusnya, tapi bagaimana caranya? Tak pernah bisa dijelaskan. Anies juga kerap salah kaprah mengusulkan sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh Ahok, seperti ingin agar transportasi murah, kesejahteraan, pendidikan dan seterusnya.

Begitu juga dengan Sandiago wakilnya, ingin agar sembako murah, Ahok sudah jalankan. Setiap warga pemegang KJS dipastikan bisa beli daging dan sembako karena disubsidi oleh Pemprov.

Sementara Ahok dan Djarot begitu detail menyebut sekian ribu meter trotoar, MRT, transjakarta, subsidi 2.5 triliun untuk pendidikan anak-anak, sehingga Ahok dengan penuh percaya diri mengatakan “anda kalau perhatikan, tidak ada anak-anak Jakarta yang pakaiannya kusut. Karena apa? Semua kami subsidi penuh.”

Tidak mudah memang untuk hadir dan melawan seorang Ahok yang sudah pernah menjadi gubernur, sementara Anies dan Sandiaga masih baru belajar dan menganalisa data. Silahkan perhatikan, tidak satupun materi dari Ahok yang bisa dibantah. Ahok begitu hafal dan sangat detail.

Jadi kesimpulannya, jika seorang Anies mantan menteri dan rektor, sementara Sandiaga adalah pengusaha aktif, masih kalah telak jika membahas Jakarta dengan segala peraturan dan progamnya, apalagi Agus yang ‘belum lulus’ dari TNI? berdebat dan adu gagasan bukanlah sesuatu yang bisa dihafalkan seperti pidato. Seseorang harus paham bagaimana menjadi pimpinan, harus tau permasalahan dan solusinya, dan yang terpenting harus bisa merespon apa yang dikatakan lawannya seketika itu juga. Tak ada PR dan bisa dikerjakan di rumah.

Tapi untungnya Agus punya orang tua yang pintar, sehingga meskipun dengan basic lebih rendah dari Anies dan Sandiaga, elektabilitasnya tetap lebih unggul. Salah satu pilihan yang tepat dan cerdas adalah dengan tidak menghadiri acara debat terbuka.


Contoh buruk bagi ayah dan anak di Indonesia

Dari lubuk hati yang paling dalam, jujur saya merasa kasihan dengan Agus. Dia ini sejatinya memang tak tau apa-apa dan tanpa bekal apa-apa untuk maju sebagai calon Gubernur. Lihat saja saat ditanya soal program, jawabannya rahasia atau tidak penting apa programnya. Di dunia, mungkin hanya Agus yang bisa begitu.

Namun melihat suara Demokrat yang sedang anjlok, Agus adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan partai gurem ini. Demokrat tidak bisa memajukan Ibas, sebab citranya sudah terlanjur buruk. Bukan hanya sekedar tidak pernah memakai kemeja lengan pendek, tapi Ibas merupakan satu-satunya pimpinan Demokrat yang tidak dipenjara karena kasus korupsi. Padahal Anas, Nazarudin dan Anggie yang merupakan wakil sekjen Ibas sudah masuk penjara semua. Jadi mustahil mengorbitkan seorang Ibas, terlalu beresiko. Inilah kenapa Ibas sekarang tidak menjadi pimpinan Demokrat lagi.

Sementara Agus masih bersih dari isu korupsi. Jadi meski belum selesai di TNI, Agus diusung menjadi Cagub DKI. Jika menang dia akan bisa langsung menantang Jokowi pada 2019, namun jika kalah, Agus sudah dikenal masyarakat. Dan Demokrat bisa segera memiliki pemimpin baru, sebab SBY sudah terlalu lama memimpin partai tersebut.

Tapi untuk itu semua, seorang Agus harus menghadapi banyak hal yang menurut saya cukup tidak menyenangkan. Agus harus absen dua kali debat terbuka. Agus tak bisa menjawab logika sederhana; bahwa dirinya tak akan bisa maju sebagai Cagub jika bukan anak SBY. Satu Indonesia pun tak akan mampu menjawab opini dari logika sederhana tersebut.

Nah hal inilah yang menurut saya tidak baik untuk dicontoh. Tidak mudah menjadi anak Presiden, menteri atau yang setingkat dengannya. Tidak mudah menjadi anak dari pengusaha kaya raya dengan warisan perusahaan. Tapi lebih tidak mudah lagi memaksa seorang anak untuk menggantikan posisi atau menjadi seperti orang tuanya. Inilah yang menurut saya sedang terjadi pada Agus, Demokrat dan SBY. Mangkir dua kali debat terbuka dan hanya bisa menjawab “rahasia” atau “tidak penting programnya” saat ditanya program jika nanti menjadi Gubernur, adalah faktor logis dan kongkrit bahwa Agus sebenarnya terlalu dipaksakan untuk jadi Cagub.

Saya sendiri punya beberapa teman dari pimpinan pesantren besar dengan ribuan santri, orang tuanya seorang tokoh penting dan diperhitungkan. Saya juga punya teman yang merupakan anak dari pimpinan perusahaan ternama dengan aset milyaran rupiah. Berteman juga dengan beberapa pimpinan perusahaan. Semuanya memiliki masalah dengan pertanyaan yang sama, siapa yang akan meneruskan jika bukan anak saya? Masa orang lain?

Pertanyaan seperti itu akan berakhir buruk jika sudah ada yang memaksakan. Entah dari sisi anak atau orang tuanya. Sehingga penerus sebuah perusahaan atau pesantren diisi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak cukup berkompeten. Akan jadi jauh lebih buruk ketika warisan kekuasaan ini menyangkut pejabat publik. Di desa-desa ada banyak anak Kepala Desa yang jadi Kepala Desa setelah orang tuanya berkuasa dua periode. Bahkan ada Bupati yang menggantikan ayahnya setelah dua periode. Dan diakui atau tidak, inilah salah satu faktor kenapa negeri ini hanya jalan di tempat, karena orang-orang yang tidak berkompeten menempati posisi strategis, melanjutkan jabatan orang tuanya.

(Seword/Detik-Share-7/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: