Di hadapan lebih dari 200 ulama senior se-dunia yang menghadiri Muktamar Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Guru Besar Al Azhar Mesir Syekh Ali Jum’ah menegaskan bahwa Aswaja tidak mengkafirkan siapapun. Kecuali orang yang mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam, juga orang yang keluar dari barisan umat Islam.
“Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang salat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram),” katanya seperti dirilis portal resmi NU dari Muktamar bertajuk “Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah?” di Chechnya, 25/8.
Berbeda dengan paham ekstrimis atau radikal, menurut Syekh Ali, Aswaja menerima perbedaan dan menjelaskan dalil-dalil setiap permasalahan, serta menerima kemajemukan dan keragaman dalam akidah, atau fiqih, atau tasawuf.
“Disamping memahami teks wahyu dan memahami realitas, Aswaja juga menambahkan unsur penting ketiga, yaitu tata cara memanifestasikan atau menerapkan teks wahyu yang absolut kepada realitas kejadian yang bersifat relatif,” kata salah satu anggota Dewan Ulama Al-Azhar ini.
Aswaja membedakan antara teks wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), penafsiran dan penerapannya, dalam upaya melakukan tahqīq manāth (memastikan kecocokan sebab hukum pada kejadian) dan takhrīj manāth (memahami sebab hukum).
“Metodologi inilah yang melahirkan Aswaja,” katanya.
Semua metodologi ini, lanjut pria 65 tahun ini, ditulis dengan jelas oleh ulama Aswaja, dan dijalankan hingga saat ini. Mereka bukan hanya memahami teks wahyu saja, tapi mereka juga menekankan pentingnya memahami realitas kehidupan.
Mengutip Al-Qarāfī dalam kitab Tamyīz Al-Ahkām, Syekh Ali menjelaskan, “Kita harus memahami realitas kehidupan kita. Karena jika kita mengambil hukum yang ada di dalam kitab-kitab dan serta-merta menerapkannya kepada realitas apapun, tanpa kita pastikan kesesuaian antara sebab hukum dan realitas kejadian, maka kita telah menyesatkan manusia,”
Inilah yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompak radikal, kata pria yang pernah menjabat Grand Mufti Mesir ini. Mereka tidak memahami teks wahyu. Mereka meyakini bahwa semua yang terlintas di benak mereka adalah kebenaran yang wajib mereka ikuti dengan patuh.
“Mereka tidak memahami realitas kehidupan. Mereka juga tidak memiliki metode dalam menerapkan teks wahyu pada tataran realitas.”
Oleh sebab itu, meski Aswaja menyerukan pada kebajikan, melarang kemungkaran, mereka tetap waspada dalam menjalankan agama. “Mereka tidak pernah menjadikan kekerasan sebagai jalan.”
Seperti diketahui, Mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah belakangan ini sering diklaim oleh kelompok tertentu yang meganggap dirinya paling benar sendiri. Klaim ini kemudian membingungkan publik dan berakibat pada saling lempar tuduhan yang tidak produktif di tengah-tengah umat. Untuk itu, sejumlah ulama senior dari kalangan Aswaja pada Kamis 21 Dzulqa’dah 1437 H berkumpul di Grozny untuk memperingati haul al-Syahid Presiden Syaikh Ahmad Haji Kadyrov, (25/8).
Selain memperingati haul, acara itu juga berlangsung sebagai muktamar untuk mendefinisikan siapakah Aswaja yang sebenarnya, sebagai sebuah upaya penyelamatan dari penyalahgunaan yang selama ini berlangsung.
Muktamar ini menjelaskan kembali “Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah; Akidah, Fikih dan Akhlak serta Dampak Penyimpangan darinya di Tataran Realitas”. Pertemuan akbar para ulama ini terselenggara berkat dukungan dari Presiden Ramadhan Ahmed Kadyrov hafizahullah, dengan dihadiri oleh Grand Shaikh Al-Azhar, para mufti dan lebih dari dua ratus ulama dari seluruh dunia. []
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email