Mayjen (Purn) Kivlan Zein membantah bermufakat dengan kelompok Rachmawati Soekarnoputri melakukan makar terhadap pemerintahan Jokowi-JK dengan mendompleng aksi unjuk rasa 212.
Namun, ia mengakui seaspirasi dengan misi Rachmawati dkk perlunya mencabut mandat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melalui Sidang Istimewa MPR sebagaimana UUD 1945 versi lama atau sebelum amandemen.
Demikian disampaikan Kivlan Zein saat ditemui Tribunnews.com di Hotel Borobudur, Jakarta, Sabtu (3/12/2016).
Kivlan mengatakan, tidak pernah berniat maupun mengikuti rapat-rapat khusus yang digagas oleh adik Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekanoputri dkk, untuk melakukan makar.
Ia mengaku tidak hadir dalam pertemuan Rachmawati dkk di Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta, pada 20 dan 30 November 2016 maupun pernyataan sikap Racmawati dkk di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, pada 1 Desember 2016 atau sehari jelang aksi 212.
"Waktu ada rapat dipimpin oleh Sri Bintang Pamungkas yang menyatakan akan merebut MPR dengan revolusi, saya juga enggak hadir. Jadi, saya enggak hadir pertemuan antara mereka," ujarnya.
Ia pun mengaku tidak mengetahui perihal kabar adanya pertemuan pimpinan FPI dan beberapa tokoh di kediaman mantan Panglima TNI era Presiden SBY, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, Bambu Apus, Jakarta Timur, pada 20 November 2016, atau beberapa hari jelang aksi 25 November 2016 yang batal dilaksanakan.
"Itu juga saya enggak hadir. Saya enggak tahu itu. Karena saya baru pulang dari Manila."
Kivlan pun mengaku kurang mengetahui atas tindakan, kegiatan atau ucapan apa dirinya bisa disangkakan melakukan permufakatan makar.
Namun, ia menduga status tersangka makar disematkan oleh kepolisian kepadanya lantaran dirinya berteman dengan kelompok Rachmawati dan mempunyai tujuan sama untuk mendesak dikembalikannya pemberlakuan UUD 1945 versi lama dan digelarnya Sidang Istimewa MPR yang berujung desakan pencabutan mandat Presiden Jokowi dan Wakil Prediden Jusuf Kalla.
Selain itu, ia menduga dijadikan tersangka makar karena dianggap mempunyai pengaruh kepada massa untuk menduduki Gedung DPR/MPR pada aksi 212. Sebab, salah satu poin pernyataan kelompok Rachmawati dkk pada 1 Desember 2016 adalah rencana menduduki Gedung DPR/MPR.
"Mungkin karena saya salah seorang ikon, dan kalau besoknya (aksi 212) saya hadir, maka mereka akan mengarah kemana setelah jam 1 untuk merebut MPR. Karena dari pernyataan pertemuan di UBK pada 30 November dan 1 Desember ada pernyataan sikap di Hotel Sari Pan Pasific, bahwa mendukung Ahok ditangkap, tegakkan keadilan, dan pernyataan bahwa mendesak supaya dilakukan Sidang Istimewa (MPR) untuk merubah UUD 1945. Tapi, saya enggak hadir di kedua pertemuan itu," paparnya.
Kivlan menduga kepolisian khawatir dirinya akan memimpin massa seusai aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016. Dan ia pun mengakui siap memimpin massa 'Bela Negara' jika aparat pemerintahan Jokowi-JK melakukan tindakan represif, seperti penembakan, terhadap Rizieq Shihab dan peserta pada aksi 411 dan 212.
"Rencananya, waktu 212 itu saya juga mendampinginya (Imam Besar FPI, Rizieq Shihab). Kalau ada masalah-masalah, saya akan dampingi dia. Tapi, mungkin mereka takut kalau saya memimpin akan terjadi revolusi. Tapi, saya enggak ada apa-apa," ujarnya.
Kivlan menegaskan dirinya tidak pernah berniat mempengaruhi massa aksi 212 untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Ia pun tidak pernah terlibat dalam perencanaan melakukan makar terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Namun, ia mengakui seaspirasi dan satu misi dengan kelompok Rachmawati tentang perlunya Indonesia kembali pada UUD 1945 yang lama dan digelarnya Sidang Istimewa MPR guna mencabut mandat Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Namun, ia tidak sejalan dengan kelompok Rachmawati. Sebab, ia ingin misi tersebut dilakukan dengan konstitusional yakni dengan mengajukan ke DPR dan MPR. Pencabutan mandat Presiden dan Wakil Presiden bisa dilakukan oleh MPR jika Indonesia kembali ke UUD 1945 versi lama.
Dan sikap politik dan kekritisannya tersebut telah disampaikan dalam bentuk karya tulis hingga pernyataan di media massa, dan bukan dengan cara kekerasan dan paksaan.
"Kalau cabut mandat boleh kalau tidak sesuai dengan UUD 1945 yang lama, bisa dong," kata dia.
Ia menegaskan, sikap dan aspirasinya sama dengan kelompok Rachmawati dkk. Namun, cara pelaksanaannya berbeda.
"Jadi, saya satu aspirasi dengannya, tapi saya tidak mau dengan cara-cara berbentuk kekasaran untuk merebut MPR hingga clash. Kalau saya melalui tulisan saran, itu boleh," kata Kivlan.
Menurutnya, Indonesia perlu kembali pada UUD 1945 yang lama dan MPR bisa mencabut mandat Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebab, kepemimpinan kedua tokoh tersebut sudah tidak sesuai dengan UUD 1945 versi lama dan butir Pancasila tentang penegakan keadilan dan kebenaran.
Itu terlihat dengan banyaknya utang pemerintah Indonesia kepada negara asing, sistem sosial dan budaya tidak sesuai dengan UUD 1945, ekonomi Indonesia lemah meski mengklaim ada pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen.
"Padahal, pertumbuhan itu karena utang. Bukan pertumbuhan karena pendapatan dari perdagangan dan investasi. Ini ekspor turun, investiasi turun, konsumsi turun, pendapatan dalam APBN turun, capaian pajak cuma dapat 60 persen, bagaimana pertumbuhan 5 persen, yah karena pinjam utang jadi investasi," kata Kivlan.
"Jadi, sebenarnya tidak ada pertumbuhan. Jadi, cuma main tipu-tipu aja," sambungnya.
Ia menambahkan, dirinya tidak kapok untuk menyuarakan pemikiran dan aspirasinya ini ke pemerintah. Ia pun tidak takut untuk berkumpul dengan Rachmawati dkk.
"Masih lah, enggak masalah ketemu kawan-kawan untuk membela kejujuran kebenaran dan keadilan," kata dia.
"Cuma caranya kalau saya dengan soft, kalau mereka dengan cara kekerasan. Saya pakai kritik di koran, ajukan permintaan dan saran. Makanya saya sarankan pemerintahan sekarang lebih baik tegakkan kejujuran, keadilan dan kebenaran dengan kembali ke UUD 1945 yang lama. Caranya dengan proses dan manajemen yang benar. Jangan ada Bab III langsung Bab V, itu kan ga benar. Harusnya III, IV, V," paparnya.
"Kemudian nyatakan UUD yang sekarang itu UUD 2002, bukan UUD 1945. Jadi dari UUD 1945 sudah ngibul. UUD 2002 dibilang UUD 1945, kan ngibul namanya. Bilang aja UUD 2002. Pemerintah bagaimana sih," kata dia.
(Tribun-News/Berita-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email