Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengunjungi kamp pengungsian Kutapalong, di salah satu distrik di Kota Cox’s Bazar, Bangladesh yang menampung sekitar 19 ribu pengungsi etnis minoritas Muslim pada Selasa (20/12).
Retno menyatakan kunjungannya itu bertujuan untuk meninjau langsung situasi dan kondisi para pengungsi di perbatasan Bangadesh dan Myanmar, yang belakangan ini jumlahnya meningkat sejak serangkaian bentrokan dan kekerasan militer Myanmar terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya pada Oktober lalu.
“Kondisi para pengungsi cukup memprihatinkan, masyarakat internasional harus dapat melakukan lebih untuk membantu para pengungsi,” ungkap Retno
Retno merupakan menlu negara ASEAN
pertama yang mengunjungi kamp pengungsian itu. Kunjungannya ini dilakukan di tengah upaya Indonesia dan ASEAN membantu Myanmar menangani krisis kemanusiaan berkepanjangan yang mulai mengkhawatirkan stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Dalam kunjungan tersebut, Retno dilaporkan turut mendengarkan sejumlah cerita dari para pengungsi mengenai pengalaman dan perjalanan mereka. Mantan Dubes Indonesia untuk Belanda itu juga turut memantau fasilitas hidup dan tempat ibadah yang tersedia di kamp tersebut.
Menurut Retno, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia baik dari pemerintah Bangladesh, dan donor internasional seperti organisasi pengungsi PBB (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), menjadi tantangan pemenuhan kebutuhan para pengungsi di tempat itu.
“Dari cerita dan pengalaman para pengungsi, terlihat kompleksitas permasalahan di Rakhine, Myanmar [tempat kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya terjadi]. Namun, apapun penyebab mereka hadir di kamp Kutupalong, mereka hidup dengan kondisi yang sangat minim, dan sebagai sesama manusia kita harus berupaya lebih keras lagi untuk membantu mereka,” kata Retno.
Retno merupakan menlu negara ASEAN
pertama yang mengunjungi kamp pengungsian itu. Kunjungannya ini dilakukan di tengah upaya Indonesia dan ASEAN membantu Myanmar menangani krisis kemanusiaan berkepanjangan yang mulai mengkhawatirkan stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Dalam kunjungan tersebut, Retno dilaporkan turut mendengarkan sejumlah cerita dari para pengungsi mengenai pengalaman dan perjalanan mereka. Mantan Dubes Indonesia untuk Belanda itu juga turut memantau fasilitas hidup dan tempat ibadah yang tersedia di kamp tersebut.
Menurut Retno, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia baik dari pemerintah Bangladesh, dan donor internasional seperti organisasi pengungsi PBB (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), menjadi tantangan pemenuhan kebutuhan para pengungsi di tempat itu.
“Dari cerita dan pengalaman para pengungsi, terlihat kompleksitas permasalahan di Rakhine, Myanmar [tempat kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya terjadi]. Namun, apapun penyebab mereka hadir di kamp Kutupalong, mereka hidup dengan kondisi yang sangat minim, dan sebagai sesama manusia kita harus berupaya lebih keras lagi untuk membantu mereka,” kata Retno
Retno menegaskan, penyelesaiaan masalah pengungsi Rohingya harus dilakukan di negara asal. Untuk itu, Retno menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antar Bangladesh dan Myanmar guna mengatasi masalah pengungsian di perbatasan.
Pasalnya, Bangladesh merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Bangladesh kerap menjadi tempat pelarian bagi etnis minoritas Muslim Myanmar untuk melarikan diri dari kekerasan dan diskriminasi yang di negara asal.
Sebelum mengunjungi kamp pengungsian itu, Retno juga telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali di Dhaka. Kedua Menlu membahas upaya peningkatan kerja sama bilateral khususnya di bidang perdangangan dan investasi.
“Kerja sama Indonesia Bangladesh lebih dari kepentingan bilateral, tapi juga penting dalam penanganan masalah pengungsi di kawasan,” tutur Retno.
Sebelum melakukan lawatan ke Bangladesh, pada awal pekan ini Retno juga menghadiri pertemuan antar menlu ASEAN di Yangon, Myanmar yang khusus diselenggarakan untuk membahas situasi di Rakhine.
Dalam pertemuan itu, Retno meminta pemerintah Myanmar membuka akses kemanusiaan seluas-luasnya bagi negara anggota ASEAN untuk membantu pemulihan stabilitas di kawasan itu. Ia juga menyampaikan, pemerintah Myanmar perlu mengutamakan pendekatan inklusif dalam melindungi serta menghormati seluruh warganya agar konflik internal tidak terulang kembali.
“Perlindungan dan penghormatan HAM terhadap semua masyarakat, termasuk masyarakat Muslim, di negara bagian Rakhine harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan inklusif,” ucap Retno.
Sejak penyerangan pos polisi perbatasan di Rakhine oleh sekelompok bersenjata pada 9 Oktober lalu, militer Myanmar menuding “teroris Rohingya” yang melakukan aksi itu meski tanpa didasari bukti jelas.
Pasca penyerangan, militer Myanmar melakukan pengamanan ketat dengan di wilayah Rakhine dengan menggelar “operasi pembersihan.” Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, militer Myanmar dituding menyerang dan melakukan kekerasan kepada etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan 86 orang serta 30 ribu lainnya melarikan diri dari Rakhine.
(CNN-Indonesia/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email