Pesan Rahbar

Home » » Syi’ah Mencela Sahabat?? Rasul Mengatakan Bahwa Ammar Bin Yasir Akan Dibunuh Kelompok Pemberontak Ahli Neraka Yakni Kelompok Muawiyyah

Syi’ah Mencela Sahabat?? Rasul Mengatakan Bahwa Ammar Bin Yasir Akan Dibunuh Kelompok Pemberontak Ahli Neraka Yakni Kelompok Muawiyyah

Written By Unknown on Saturday 31 December 2016 | 21:10:00


Siapakah Ammar bin Yasir ??

Pada masa khalifah Umar, Ammar diangkat sebagai amir (wali negeri) di Kufah dan wazirnya adalah Abdullah bin Mas’ud. Jabatan tersebut tidaklah menambah kecuali zuhud, kesalehan dan juga kerendahan hatinya. Ia tak segan membeli sayur di pasar kemudian memanggulnya sendiri. Dan sebagaimana yang dilakukan Salman al Farisi, setelah menerima gaji (tunjangan)-nya sebagai amir, ia membagi-bagikan semuanya kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kebutuhan hidupnya, ia menjalin (membuat) bakul dan keranjang dari daun kurma dan menjualnya ke pasar.

Sepeninggal khalifah Umar bin Khaththab, yang mana Nabi SAW pernah menyebut Umar sebagai “kunci (gembok) Fitnah”, mulai terjadi fitnah dan perselisihan di antara umat Islam. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat selalu mengamati Ammar bin Yasir. Hal ini berawal dari sebuah peristiwa di masa awal hijrah ke Madinah, ketika sedang membangun Masjid Nabawi. Saat itu, sisi dinding di mana Ammar dan beberapa sahabat lainnya sedang bekerja tiba-tiba runtuh dan menimpa Ammar. Pada saat yang sama, Nabi SAW sedang mengamati Ammar, kemudian beliau bersabda, “Aduhai ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka…”.

Para sahabat yang mendengar sabda beliau itu menyangka beliau sedang meratapi kematian Ammar karena tertimbun dinding yang runtuh. Karena itu mereka menjadi ribut dan panik atas musibah yang dialami Ammar. Nabi SAW yang tanggap reaksi para sahabat tersebut, sekali lagi bersabda untuk menenangkan mereka, “Tidak apa-apa, Ammar tidak apa-apa…hanya saja, nantinya ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka!!”.

Jelas dan lugas, Nabi SAW tidak menyebut, “Ammar dibunuh kaum kafirin, musyrikin atau musuh Allah.” Tetapi beliau menyebutnya, “Kaum/golongan pendurhaka (fi-atul baaghiyah),” masih kaum muslimin, tetapi mereka yang durhaka dan menyalahi ajaran Islam. Seperti halnya anak yang durhaka kepada orangtuanya, ia tidak menjadi kafir, tetapi berdosa besar dan terancam laknat Allah, kecuali jika Allah mengampuninya.

Fitnah makin memuncak ketika khalifah Utsman terbunuh. Para sahabat utama Nabi SAW yang masih hidup dan mayoritas umat Islam lainnya memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan. Tetapi Muawiyah dan masyarakat Syam pada umumnya menolak untuk memba’iat Ali, bahkan ia yang sebelumnya hanya gubernur yang membawahi wilayah Syam, mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah menggantikan khalifah Utsman, yang memang masih kerabat dekatnya.

Dengan dalih menuntut balas kematian Utsman bin Affan, Muawiyah menggalang dukungan untuk mengukuhkan jabatannya tersebut. Dalam situasi konflik seperti ini, beberapa sahabat sempat mendukung Muawiyah, sebagian besar lainnya mendukung Ali bin Abi Thalib, dan ada juga sekelompok kecil sahabat yang abstain, tidak memihak keduanya, dan tidak ingin terjatuh pada perselisihan tersebut.

Ketika berbagai upaya damai yang dilakukan Ali bin Thalib gagal, tidak terelakkan lagi terjadinya bentrok senjata, yang terkenal dengan nama perang Shiffin. Dan Ammar bin Yasir, dengan segala ijtihad dan pengenalannya akan kebenaran, memilih untuk berdiri di pihak Ali bin Abi Thalib. Dengan pilihannya tersebut, para sahabat yang mendukung Ali bin Abi Thalib merasa tenang tentram, karena mereka meyakini sabda Nabi SAW, bahwa bersama Ammar bin Yasir, mereka berada pada pilihan yang benar. Sementara sahabat yang berdiri di fihak Muawiyah merasa was-was dan penuh keraguan.

Setelah berperang beberapa lama dalam perang Shiffin, ia menemui Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pada hari ini, dan itukah?”.

Yang dimaksud oleh Ammar adalah tentang sabda Nabi SAW : “Aduhai Ibnu Sumayyah, ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka”.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ali dengan bijak berkata, “Tinggalkanlah urusan tersebut…”Tetapi Ammar mengulang pernyataannya, dan Ali memberi jawaban yang sama pula sampai tiga kali. Kemudian Ali memberi minuman susu kepada Ammar, susu kental yang dicampur sedikit air. Setelah minum susu tersebut ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku bahwa seperti inilah minuman terakhir yang aku minum di dunia.”.

Ali jadi terkejut, ia tidak tahu menahu sabda Nabi SAW tentang minuman terakhir Ammar, dan tidak juga menjadi “Rahasia Umum” seperti tentang siapa pembunuh Ammar. Mungkin itu menjadi rahasia pribadi Ammar dan Rasulullah SAW semata. Dan jalannya takdir Allah memang tidak bisa dihalangi lagi jika telah tiba waktunya.Setelah itu Ammar terjun kembali dalam pertempuran. Di tengah pertempuran tersebut, Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf sempat mendengar seruan Ammar, “Sesungguhnya aku telah bertemu dengan Al Jabbar (yakni, Allah SWT), dan aku telah dinikahkan dengan bidadari. Pada hari ini aku akan bertemu dengan kekasihku, Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Beliau telah berjanji kepadaku, bahwa akhir bekalku di dunia ini adalah susu kental yang dicampur dengan sedikit air….”.

Memang, setelah itu Ammar tidak minum atau makan apapun lagi dan ia terjun ke medan pertempuran. Saat itu Ammar berjuang bersebelahan dengan Hasyim bin Utbah yang membawa bendera, dan akhirnya mereka menemui syahidnya bersama.


KHALIFAHNYA WAHABI ; MUAWIYAH SEBAGAI AHLI NERAKA…!!

Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.


Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !

Sabda Rasulullah SAW kepada Ammar: “Betapa kasihan Ammar, golongan pembangkang telah membunuhnya, padahal dia menyeru mereka kepada kebenaran (surga) sementara mereka menyeru kepada kesesatan (neraka)” (Hr. Bukhari, Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad).

Padahal Allah SWT menyatakan : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepada, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An Nisa ayat 93).

Juga sabda nya : “Anakku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar yang berselisih”. Dan sabdanya pada Abu Dzar bahwa ia akan mati sendirian dan terasing. Demikian pula dengan sabda nya : “Imam imam setelahku ada 12, semuanya dari Quraisy”.

Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).

Pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa ‘Ammar dibunuh kelompok pemberontak.

Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu alGhadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”. ( Ibn Qutaibah, AlMa’arif, hlm. 112 ).

Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu alGhadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as Saksaki ( Ibn Abil Hadid, Syarh NahjulBalaghah,jilid 10, hlm. 105. ).


SHAHIH BUKHARI NO.428 MERIWAYATKAN BAHWA RASUL MENGATAKAN BAHWA AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍفَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami ['Abdul 'Aziz bin Mukhtar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Khalid Al Hadza'] dari ['Ikrimah], Ibnu ‘Abbas kepadaku dan kepada Ali, anaknya, “Pergilah kalian bedua menemui [Abu Sa'id] dan dengarlah hadits darinya!” Maka kami pun berangkat. Dan kami dapati dia sedang membetulkan dinding miliknya, ia mengambil kain selendangnya dan duduk ihtiba`. Kemudian ia mulai berbicara hingga menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia mengkisahkan, “Masing-masing kami membawa bata satu persatu, sedangkan ‘Ammar membawa dua bata dua bata sekaligus. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya: “Kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga sedangkan mereka mengajaknya ke neraka.” Ibnu ‘Abbas berkata, “‘Ammar lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah tersebut.”.


SIAPAKAH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU..??

MASNAD AHMAD NO.17710:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَلَمَّا قُتِلَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ دَخَلَ عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ عَلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ قُتِلَ عَمَّارٌ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ فَقَامَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ فَزِعًا يُرَجِّعُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ مَا شَأْنُكَ قَالَ قُتِلَ عَمَّارٌ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ قَدْ قُتِلَ عَمَّارٌ فَمَاذَا قَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ دُحِضْتَ فِي بَوْلِكَ أَوَنَحْنُ قَتَلْنَاهُ إِنَّمَا قَتَلَهُ عَلِيٌّ وَأَصْحَابُهُ جَاءُوا بِهِ حَتَّى أَلْقَوْهُ بَيْنَ رِمَاحِنَا أَوْ قَالَ بَيْنَ سُيُوفِنَا.

Telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] ia berkata, Telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Thawus] dari [Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm] dari [Bapaknya] ia berkata, “Ketika Ammar bin Yasir di bunuh, [Amru bin Hazm] menemui Amru bin Ash dan berkata, “Ammar telah dibunuh! Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’” Amru bin Ash berdiri dengan penuh keterkejutan seraya mengucapkan kalimat tarji’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun), lalu ia mendatangi Mu’awiyah. Mu’awiyah pun bertanya padanya, “Apa yang terjadi denganmu?” [Amru bin Ash] menjawab, “Ammar telah dibunuh!” Maka Mu’awiyah berkata, “Ammar telah dibunuh, lalu apa masalahnya?” Amru bin Ash menjawab, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’” Mu’awiyah berkata, “Kamu berpihak pada anakmu! Apakah kami yang membunuhnya? Yang membunuhnya adalah Ali dan para sahabatnya, mereka membawanya lalu melemparkan di tengah-tengah tombak-tombak kami, -atau ia mengatakan, “di antara pedang kami.”.

JELAS KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU ADALAH KELOMPOK MUAWIYAH YANG BERUSAHA MENGATAKAN ALI DAN SAHABATNYA YANG MEMBUNUH AMMAR BIN YASIR, PADAHAL IMAM ALI TERPILIH SECARA DEMOKRASI LANGSUNG SAH SECARA DEMOKRASI MAUPUN TEOKRASI.


KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA INI HENDAK MENGATAKAN SESUNGGUHNYA RASULULLAH SAWW TELAH MEMBUNUH SAYYIDINA HAMZAH KARENA MENGIKUTSERTAKANNYA KE PERANG UHUD..NAUDZUBILLAH MIN DZALIK

‘Ammar ibn Yasir ibn ‘Amir al-’Ansi al-Madzhiji al-Makhzûmi masuk Islam di masa dini, dan Muslim pertama yang membangun mesjid dalam rumahnya sendiri di mana ia beribadat kepada Allah. (Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian I, h. 178; Usd al-Ghâbah, IV, h. 46; Ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 311).‘Ammar masuk Islam bersama ayahnya Yasir dan ibunya Sumayyah. Mereka mengalami siksaan di tangan kaum Quraisy karena masuk Islam. Ayah dan ibu ‘Ammar syahid dalam siksaan, lelaki dan wanita pertama yang syahid dalam Islam.Banyak hadis diriwayatkan dari Nabi (saw) mengenai kebajikan, perilakunya yang menonjol dan amal perbuatannya yang mulia, seperti hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh ‘A’isyah dan lain-lainnya bahwa Nabi telah bersabda, bahwa ‘Ammar dipenuhi dengan iman dari ubun-ubun kepalanya sampai ke tapak kakinya. (Ibn Majah, as-Sunan, I, h. 65; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, I, h. 139; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 295; al-Istî’âb, III, h. 1137; al-Ishâbah, II, h. 512).

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar,“‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270)Juga dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka. Pembunuhnya dan orang-orang yang merebut senjata dan pakaiannya akan berada di neraka.”Ibn Hajar al-’Asqalani (dalam Tahdzîb at-Tahdzîb, h. 409; al-Ishâbah, II, h. 512) dan as-Suyûthî (dalam al-Khashâ’ish al-Kubrâ, II, h. 140) mengatakan,“Riwayat hadis (tersebut di atas) ini adalah mutawâtir.” Yakni, hadis itu diriwayatkan secara berurut-turut oleh sekian banyak orang sehingga tidak ada keraguan mengenai keasliannya.

Ibn ‘Abdul Barr (dalam al-Istî’âb, III, h. 1140) mengatakan,“Hadis itu mengikuti kesinambungan tanpa putus dari Nabi, bahwa beliau berkata, ‘Suatu kelompok pendurhaka akan membunuh ‘Ammar,’ dan ini adalah suatu ramalan dari pengetahuan rahasia Nabi dan tanda kenabiannya. Hadis ini termasuk yang paling sahih dan yang tercatat secara paling tepat.”Setelah wafatnya Nabi, ‘Ammar termasuk penganut dan pendukung terbaik Amirul Mukminin dalam masa pemerintahan ketiga khalifah pertama. Dalam masa kekhalifahan ‘Utsman, ketika kaum Muslim memprotes kepada ‘Utsman terhadap kebijakannya dalam pembagian harta baitul mal, ‘Utsman berkata dalam suatu pertemuan umum bahwa uang yang berada dalam perbendaharaan adalah suci dan adalah milik Allah, dan bahwa dia (sebagai khalifah Nabi) berhak untuk membelanjakannya menurut yang dianggapnya pantas. ‘Utsman mengancam dan mengutuk semua yang hendak memprotes atau menggerutu atas apa yang dikatakannya. Atasnya, ‘Ammar ibn Yâsir dengan beraninya menyatakan keberatannya dan mulai menuduh kecondongannya yang telah mendarah daging untuk mengabaikan kepentingan rakyat umum; ia menuduhnya telah menghidupkan adat kebiasaan kaflr yang dihapus oleh Nabi. Atasnya ‘Utsman memerintahkan supaya ia dipukuli, dan beberapa orang dari kalangan Bani Umayyah, kerabat Khalifah, segera menyerang ‘Ammar yang mulia itu, dan khalifah itu sendiri menyepak kemaluan ‘Ammar dengan kaki bersepatu, yang menyebabkan ia menderita hernia. ‘Ammar pingsan selama tiga hari dan dirawat oleh Ummul Mu’minin Umm Salamah di rumahnya (Umm Salamah). (al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, V, h. 48, 54, 88; Ibn Abil Hadid, III, h. 47-52; al-Imâmah was-Siyâsah, I, h. 35-36; al-’lgd al-Farîd, IV, h. 307; ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 185; Târîkh al-Khamîs, II, h. 271).

Ketika Amirul Mukminin menjadi khalifah, ‘Ammar adalah salah seorang pendukungnya yang paling setia. la ikut serta dalam semua kegiatan sosial, politik dan militer dalam masa itu, terutama dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Namun, ‘Ammar gugur dalam Perang Shiffin pada 9 Safar 37 H. dalam usia lebih sembilan puluh tahun. Pada hari syahidnya, ‘Ammar ibn Yasir menghadap ke langit seraya berkata:

“Ya Allah Tuhanku. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa apabila aku mengetahui bahwa kehendak-Mu supaya aku menerjunkan diri ke Sungai (Efrat) dan tenggelam, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa apabila Engkau rida sekiranya aku menaruh pedang di dada dan menekannya keras-keras sehingga keluar di punggungku, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku! Aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi-Mu daripada berjuang melawan kelompok berdosa ini, dan apabila kuketahui bahwa suatu perbuatan lebih Engkau ridai, aku akan melakukannya.”.

Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami meriwayatkan,
“Kami hadir bersama Amirul Mukminin di Shiffln di mana saya melihat ‘Ammar ibn Yasir tidak memalingkan wajahnya ke sisi mana pun, atau ke wadi-wadi (lembah) Shiffin melainkan para sahabat Nabi mengikutinya seakan-akan ia merupakan suatu panji bagi mereka. Kemudian saya mendengar ‘Ammar berkata kepada Hasyim ibn ‘Utbah (al-Mirqal), “Wahai Hasyim, menyerbula ke barisan musuh, surga berada di bawah pedang. Hari ini saya menemui kekasih saya, Muhammad dan partainya.”

“Kemudian ia berkata. ‘Demi Allah, sekiranya pun mereka membuat kita lari hingga ke pepohonan kurma Hajar (sebuah kota di Bahrain), namun kita dengan yakin bahwa kita benar dan mereka salah.’

“Kemudian ‘Ammar melajutkan (berkata kepada musuh):

Kami menyerangmu (dahulu) untuk (beriman) pada wahyu

Dan kini kami menyerangmu untuk tafsirnya;

Serangan yang memisahkan kepala dari tumpuannya;

Dan membuat kawan lupa akan sahabat setianya;

Sampai kebenaran kembali kepada jalannya.”‘

Lalu ia (as-Sulami) berkata, “Saya tidak (pernah) melihat para sahabat Nabi terbunuh pada saat mana pun sebanyak terbunuhnya mereka pada hari ini.”

Kemudian ‘Ammar memacu kudanya, memasuki medan pertempuran dan mulai bertempur. la bersikeras memburu musuh, melancarkan serangan demi serangan, dan mengangkat slogan-slogan menantang sampai akhirnya sekelompok orang Suriah yang berjiwa kerdil mengepungnya pada semua sisi, dan seorang lelaki bernama Abu al-Ghadiyah al-Juhari (al-Fazari) menimpakan luka padanya sedemikian rupa sehingga tak dapat ditanggungnya lalu ia kembali ke kemahnya. la meminta air. Semangkuk susu dibawakan kepadanya.

Ketika ‘Ammar melihat mangkuk itu ia berkata, ‘Rasulullah telah mengatakan yang sebenarnya.’ Orang bertanya kepadanya apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu. la berkata, ‘Rasulullah telah memberitahukan kepada saya bahwa rezeki terakhir bagi saya di dunia ini adalah susu.’ Kemudian ia mengambil mangkuk susu itu, meminumnya, lalu menyerahkan nyawanya kepada Allah Yang Mahakuasa. Ketika Amirul Mukminin mengetahui kematiannya, ia datang ke sisi ‘Ammar, menaruh kepalanya ke pangkuannya sendiri dan mengucapkan elegi yang berikut:
“Sesungguhnya seorang Muslim yang tidak sedih atas terbunuhnya putra Yasir, dan tidak terpukul oleh petaka sedih ini, tidaklah ia beriman yang sesungguhnya.

“Semoga Allah memberkati ‘Ammar di hari ia masuk Islam, semoga Allah memberkatinya di hari ia terbunuh, dan semoga Allah memberkati ‘Ammar ketika ia dibangkitkan kembali.

“Sesungguhnya saya mendapatkan ‘Ammar (pada tingkat sedemikian) sehingga tiga sahabat Nabi tak dapat disebut tanpa ‘Ammar kecuali dia adalah yang keempat, dan empat nama dari mereka tak dapat disebut kecuali ‘Ammar sebagai yang kelima.

“Tak ada di antara para sahabat Nabi yang meragukan bahwa bukan saja surga sekali atau dua kali dilimpahkan dengan paksa kepada ‘Ammar, melainkan ia mendapatkan haknya atasnya (berkali-kali). Semoga surga memberikan kenikmatan kepada ‘Ammar.

“Sesungguhnya dikatakan (oleh Nabi), ‘Sungguh, ‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar.”‘

Lalu Amirul Mukminin melangkah maju dan melakukan salat jenazah baginya, dan kemudian dengan tangannya sendiri ia menguburkannya.

Kematian ‘Ammar menyebabkan gejolak besar pada barisan Mu’awiah pula, karena ada sejumlah orang terkemuka yang berperang pada pihaknya berpikiran bahwa peperangan Mu’awiah melawan Amirul Mukminin adalah perjuangan yang benar. Orang-orang itu mengetahui akan ucapan Nabi bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh suatu kelompok yang berada di pihak yang batil. Ketika mereka melihat bahwa ‘Ammar telah terbunuh oleh tentara Mu’awiah mereka menjadi yakin bahwa Amirul Mukminin pastilah di pihak yang benar. Kecemasan di kalangan para pemimpin maupun prajurit tentara Mu’awiah diredakan olehnya dengan argumen bahwa justru Amirul Mukminin yang membawa ‘Ammar ke medan pertempuran dan karena itu ialah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Ketika argumen Mu’awiah disebutkan kepada Amirul Mukminin, ia mengatakan bahwa seakan-akan Nabi harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Hamzah karena beliau yang membawanya ke Pertempuran Uhud. (ath-Thabari, at-Târîkh, I, h. 3316-3322; III, h. 2314-2319; Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 176-189; Ibn Atsîr, al-Kâmil, III, h. 308-312; Ibn Katsir, at-Târîkh, VII, h. 267-272; al-Minqarî, Shiffin, h. 320-345; Ibn ‘Abdil Barr, al-Istî’âb, III, h. 1135-1140; IV, h. 1725; Ibn al-Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 43-47; V, h. 267; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid V, h. 252-258; VIII, h. 10-28; X, h. 102-107; al-Hakim, al-Mustadrak, III, h. 384-394; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, IV, h. 340-343; al-Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, II, h. 381-382; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 292-298; al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf (biografi Amirul Mukminin), h. 310-319.

Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis !

Sunni menutupi kesalahan kesalahan para Sahabat dengan menyalahkan tokoh fiksi Abdullah bin Saba’, menyembunyikan hadis dan membuat buat hadis palsu jaminan Surga kepada musuh musuh ahlulbait

Pasca wafat Nabi SAW, para sahabat banyak mengembangkan ijtihad dari hasil pemikirannya sendiri, walaupun itu harus merubah hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul sebelumnya !


Muawiyyah si Pengingkar Hadis Nabi Saaw

Percayakah anda bahwa ada orang yang meninggalkan sunnah karena kebenciannya terhadap Imam Ali. Mau percaya atau tidak semuanya terserah kepada anda sendiri, saya hanya menampilkan riwayat yang memang menyebutkan hal yang demikian.

أخبرنا أبو الحسن محمد بن الحسين العلوي أنبأ عبد الله بن محمد بن الحسن بن الشرقي ثنا علي بن سعيد النسوي ثنا خالد بن مخلد ثنا علي بن صالح عن ميسرة بن حبيب النهدي عن المنهال بن عمرو عن سعيد بن جبير قال كنا عند بن عباس بعرفة فقال يا سعيد ما لي لا أسمع الناس يلبون فقلت يخافون معاوية فخرج بن عباس من فسطاطه فقال لبيك اللهم لبيك وإن رغم أنف معاوية اللهم العنهم فقد تركوا السنة من بغض علي رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin Husein Al ‘Alawiy yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy yang berkata:

telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id A Nasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad yang berkata menceritakan kepada kami ‘Ali bin Shalih dari Maisarah bin Habiib An Nahdiy dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair yang berkata “kami di sisi Ibnu Abbas di ‘Arafah, dan ia berkata “wahai Sa’id kenapa aku tidak mendengar orang-orang bertalbiyah, aku berkata “mereka takut kepada Mu’awiyah”. Maka Ibnu Abbas keluar dari tempatnya dan berkata “labbaikallahumma labbaik, dan celaka [terhinalah] Mu’awiyah, ya Allah laknatlah mereka, mereka meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Ali radiallahu ‘anhu [Sunan Baihaqi 5/113 no 9230].Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya tsiqat kecuali Khalid bin Makhlad dia salah satu syaikh [guru] Bukhari yang diperbincangkan tetapi perbincangan itu tidak menurunkan hadisnya dari tingkatan hasan. Pendapat yang rajih Khalid bin Makhlad seorang yang shaduq hasanul hadits.

* Abul Hasan Muhammad bin Husein bin Dawud bin ‘Ali Al ‘Alawiy An Naisaburi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Sayyid Muhaddis Shaduq Musnad Khurasan [Siyar ‘Alam An Nubala 17/98 no 60]. Dia adalah guru Baihaqi yang utama dimana Baihaqi telah menshahihkan hadisnya [Sunan Baihaqi 5/142 no 9408]. Pernyataan Baihaqi kalau sanadnya shahih berarti Baihaqi menganggap Abu Hasan Al ‘Alawiy seorang yang tsiqat.

* ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy termasuk seorang yang tsiqat dalam hadis. As Sam’aniy berkata “ia dalam hadis seorang yang tsiqat dan ma’mun” [Al Ansab As Sam’aniy 3/149]. Al Khalili menyatakan ia tidak kuat [Al Irsyad 2/471] tetapi jarh ini tidak memiliki alasan atau jarh mubham apalagi jarh laisa bil qawiy adalah jarh yang ringan dan bisa diartikan sebagai perawi yang hasanul hadits [tidak sampai ke derajat shahih]. Adz Dzahabi mengatakan kalau ia shahih pendengarannya [dalam hal hadis] dari Adz Dzahili dan yang satu thabaqat dengannya dan ia diperbincangkan karena sering meminum minuman yang memabukkan [Mizan Al I’tidal juz 2 no 4664]. Tetapi tuduhan ini masih perlu diteliti kembali karena besar kemungkinan yang diminum adalah nabiidz.

* Ali bin Sa’id An Nasawiy Abu Hasan dia seorang yang tsiqat dan tinggal di Naisabur ia mendengar hadis dari Abu Dawud, Abdus Shamad bin Abdul Warits dan Abu Ashim, telah mendengar darinya Ibnu Abi Khaitsamah [Al Irsyad Al Khalili 2/443].

* Khalid bin Makhlad Al Qazhwaniy adalah perawi Bukhari [termasuk guru Bukhari], Muslim, Abu Dawud dalam Musnad Malik, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ahmad berkata ia memiliki hadis-hadis mungkar. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya”. Abu Dawud menyatakan ia shaduq tasyayyu’. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada masalah padanya [yang berarti tsiqat]. Ibnu Adiy berkata “ia termasuk yang memiliki banyak riwayat, di sisiku insya Allah tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia mungkar al hadits dan berlebihan dalam tasyayyu’. Al Ijli berkata “ia tsiqat dan sedikit tasyayyu’ serta banyak meriwayatkan hadis”. Shalih bin Muhammad berkata “ia tsiqat dalam hadis hanya saja dituduh ghuluw”. Al Azdiy berkata “di dalam hadisnya terdapat sebagian yang kami ingkari tetapi di sisi kami ia termasuk orang yang jujur”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dimana Utsman bin Abi Syaibah berkata “tsiqat shaduq”. As Saji dan Al Uqaili memasukkanya dalam Adh Dhu’afa dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 221]. Ibnu Hajar berkata “dia shaduq tasyayyu’ dan memiliki riwayat afrad” [At Taqrib 1/263]. Adz Dzahabi berkata “Syaikh [guru] Bukhari yang syiah shaduq” [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 100].

* ‘Ali bin Shalih bin Shalih bin Hay Al Hamdaniy adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Utsman Ad Darimi dari Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat insya Allah hadisnya sedikit” [At Tahdzib juz 7 no 561]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/696].

* Maisarah bin Habib An Nahdiy termasuk perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah [itu berarti menurut Syu’bah ia tsiqat]. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Abu Dawud berkata “ma’ruf [dikenal]”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 691]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/232]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5752].

* Minhal bin ‘Amru Al Asdiy termasuk perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abdullah bin Ahmad berkata aku mendengar ayahku mengatakan Syu’bah meninggalkan Minhal bin ‘Amru. Wahab bin Jarir dari Syu’bah yang berkata “aku datang ke rumah Minhal kemudian aku mendengar suara tambur maka aku kembali tanpa bertanya kepadanya. Wahab bin Jarir berkata “bukankah sebaiknya kau bertanya padanya, bisa saja ia tidak mengetahui hal itu”. [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan shaduq dikatakan pernah salah [At Taqrib 2/216].

* Sa’id bin Jubair termasuk perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ia adalah tabiin murid Ibnu Abbas yang terkenal. Abu Qasim At Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia seorang yang faqih ahli ibadah memiliki keutamaan dan bersifat wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349].

Sudah jelas kalau hadis ini sanadnya hasan. Sebagian orang berusaha melemahkan hadis ini dengan melemahkan Abu Muhammad Asy Syarqi Abdullah bin Muhammad bin Hasan karena ia sering minum minuman yang memabukkan [muskir]. Anehnya jika mereka konsisten maka seharusnya mereka juga melemahkan dan menolak para sahabat yang meminum khamar seperti Mu’awiyah dan Walid bin Uqbah. Kenyataannya mereka tetap menerima riwayat kedua sahabat tersebut.

Dan bagi mereka yang akrab dengan kitab rijal maka hal-hal seperti ini cukup ma’ruf [dikenal ] yaitu terdapat beberapa perawi yang tetap dita’dilkan oleh ulama walaupun ia meminum minuman yang memabukkan. Hamzah As Sahmiy mendengar Abu Zur’ah Muhammad bin Yusuf Al Junaidiy pernah berkata tentang perawi yang bernama Ma’bad bin Jum’ah “ia tsiqat hanya saja ia memimum minuman yang memabukkan” [Tarikh Al Jurjani no 951]. Kemudian terkait dengan lafaz yang digunakan dalam kitab rijal, lafaz tersebut bukan “khamar” tetapi “muskir” dimana pada lafaz ini terdapat ulama yang mengatakan kalau yang mereka minum adalah nabiidz. Dan memang nabiidz ini dperselisihkan oleh sebagian ulama kedudukannya. Terdapat para ulama yang menghalalkan nabidz diantaranya An Nakhaiy dan ulama irak lainnya kemudian tetap banyak para ulama yang menta’dil mereka.

Hadis Ibnu ‘Abbas di atas juga dikuatkan oleh jalur lain yang tidak melewati Abu Muhammad Asy Syarqiy dari ‘Ali bin Sa’id dari Khalid bin Makhlad. Ali bin Sa’id An Nasawiy dalam periwayatannya dari Khalid bin Makhlad memiliki mutaba’ah yaitu Ahmad bin Utsman bin Hakim Al Kufy sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Nasa’i 2/419 no 3993 dimana Ahmad bin Utsman bin Hakin seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/42]. Selain itu Ali bin Sa’id juga memiliki mutaba’ah dari Ali bin Muslim As Sulamiy sebagaimana disebutkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 4/260 no 2830. Ali bin Muslim As Sulamiy adalah syaikh [guru] dari Ibnu Khuzaimah dimana Ibnu Khuzaimah menyebutnya Syaikh Al Faqih Al Imam dan menyatakan hadisnya shahih. Hadis ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak no 1706 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Haazim Al Ghifari dan Ali bin Muslim keduanya dari Khalid bin Makhlad dari Ali bin Mushir dari Maisarah bin Habib dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. [mungkin disini terjadi tashif dalam sanad Al Hakim yang benar bukan Ali bin Mushir tetapi Ali bin Shalih].


Penjelasan Singkat Hadis.

Atsar Ibnu Abbas ini mengabarkan kepada kita situasi yang terjadi di zaman pemerintahan Mu’awiyah. Tampak bahwa pada masa itu terdapat orang-orang yang takut kepada Muawiyah sehingga mereka enggan bertalbiyah padahal itu termasuk sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dari riwayat ini maka kita dapat memahami bahwa Mu’awiyah telah melarang orang-orang untuk bertalbiyah di arafah dengan maksud menyelisihi Imam Ali yang teguh melaksanakan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi wajarlah kalau orang-orang tersebut takut kepada Muawiyah.

Sikap Muawiyah dan para pengikutnya inilah yang diingkari oleh Ibnu Abbas dimana Ibnu Abbas menyebutnya sebagai “meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Imam Ali”. Hal yang seperti ini memang patut diingkari dan menunjukkan kepada kita bahwa memang Muawiyah dan pengikutnya konsisten untuk menunjukkan kebencian kepada Ahlul Bait sampai-sampai mereka rela meninggalkan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan melarang orang melakukannya.
*****

Bekasi – Husein bin Hamid Alattas akui dirinya tidak menganggap Muawiyah RA sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah RA boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.

“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” kata Husein Hamid Alattas di tengah acara dialog dan mubahalah antara ustadz Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim No. 36, Cibubur, Bekasi, Rabu (27/6).

Husein berpendapat, Muawiyah RA merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya orang beriman dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah RA dengan Ali bin Abi Tholib RA yang berujung dengan peperangan. Pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah. “Memecahbelah umat dan menguasai harta,” tambah Husein.

Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidaksepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh orang beriman, menurutnya adalah berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Sahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman),” ujar Husein.

Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan ustadz Haidar Bawazir, yakni seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan beriman hingga ia meninggal dunia.


Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh. Muawiyah dan Amru bin Ash, yang mengobarkan perang Shiffin melawan Imam Ali.

Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh mukmin secara sengaja, Neraka Jahanam adalah balasan bagi mereka. Allah mengutuk dan memurkainya, dan azab yang sangat pedih menantinya” (QS. an-Nisa :93).

Dengan demikian, apakah kita harus menghormati seluruh sahabat dan mengikuti mereka semua, meski di antara mereka telah dikutuk Allah dengan ayat diatas? Mengapa kita harus mencintai orang yang dimurkai oleh Allah, dan kenapa kita harus taat pada orang yang telah dijanjikan baginya neraka?

Dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka.”

Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar : “Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).

Tahukah anda bahwa Nabi Muhammad bersabda seperti yang diriwayatkan Musnad Ahmad ibn Hanbal: “Barang siapa yang mengutuk Ali secara terang-terangan, maka ia telah mengutuk aku, dan barangsiapa yang telah mengutuk aku, maka ia telah mengutuk Allah, dan barangsiapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparkannya ke neraka jahanam.”

Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis ! Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).

Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.


Baladzuri mencatat dalam Ansab al-Asyraf (3/ 403) :

حدثني الحسين بن علي بن الأسود، ثنا يحيى بن آدم عن وكيع عن إسماعيل بن أبي خالد عن شبيل اليحصبي قال: كانت لي حاجة إلى عمر بن الخطاب، فغدوت لأكلمه فيها، فسبقني إليه رجل فكلمه فسمعت عمر يقول له: لئن أطعتك لتدخلني النار، فنظرت فإذا هو معاوية.

“Aku mempunyai kebutuhan dari Umar bin Khatab, maka aku pergi kepadanya untuk bicara dengannya, namun seseorang laik-laki sebelumku berbicara kepadanya, aku dengar bahwa Umar mengatakan kepadanya : Jika aku ta’at kepadamu, kau akan membuatku masuk neraka”..lalu aku melihat dan itu (orang tsb) adalah Muawiyah”


Referensi:

1. Husain bin Ali al Aswad: Ibn Hajar berkata: “Shaduq” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.216).
2. Yahya bin Adam: Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.2 / h.296).
3. Waki: Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al-Tahdib, j.2 / h.284).
4. Ismail bin Abi Khalid: Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1 / h.93).
5. Syubail al Yahshabi : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.412).

tak diragukan kalau Imam Ali benar dalam tindakannya memerangi Muawiyah. Sebagaimana yang telah dengan jelas disebutkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok pemberontak [baaghiyyah]. Hanya saja beberapa orang dari pengikut salafy yang ghuluw mencintai Muawiyah tidak bisa menerima kenyataan ini, mereka dengan segenap usaha “yang melelahkan” membela Muawiyah. Tidak jarang demi membela Muawiyah mereka mengutip perkataan Imam Ali. Bagaimana sebenarnya pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah dan para pengikutnya?. Perhatikanlah hadis-hadis berikut:


Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya

حدثنا تميم بن المنتصر الواسطي قال أخبرنا إسحاق يعني الأزرق عن شريك عن حصين عن عبد الرحمن بن معقل المزني قال صليت مع علي بن أبي طالب رضوان الله عليه الفجر ” فقنت على سبعة نفر منهم فلان وفلان وأبو فلان وأبو فلان

Telah menceritakan kepada kami Tamim bin Muntashir Al Wasithiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ishaq yakni Al Azraq dari Syarik dari Hushain dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy yang berkata “aku shalat fajar bersama Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu maka ia membaca qunut untuk tujuh orang, diantara mereka adalah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2628].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.

1. Tamim bin Muntashir Al Wasithiy adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’I menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 958]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dhabit [At Taqrib 1/143-144].
2. Ishaq bin Yusuf Al Azraq adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shahih hadisnya shaduq tidak ada masalah dengannya”. Yaqub bin Syaibah berkata “ia termasuk orang yang alim diantara yang meriwayatkan dari Syarik”. Al Khatib berkata “termasuk tsiqat dan ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bazzar menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/87].
3. Syarik Al Qadhi adalah Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507].
4. Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 2 no 659]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
5. Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].

Riwayat di atas menyebutkan bahwa Imam Ali membaca qunut nazilah untuk beberapa orang pada shalat fajar. Terdapat riwayat lain yang menyebutkan kalau Imam Ali juga membaca qunut ini [nazilah] pada shalat maghrib;

حدثني عيسى بن عثمان بن عيسى قال حدثنا يحيى بن عيسى عن الأعمش عن عبد الله بن خالد عن عبد الرحمن بن معقل قال صليت خلف علي المغرب فلما رفع رأسه من الركعة الثالثة قال اللهم العن فلانا وفلانا وأبا فلان وأبا فلان

Telah menceritakan kepadaku Isa bin Utsman bin Isa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa dari Al A’masy dari ‘Abdullah bin Khalid dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata “aku shalat maghrib di belakang Ali ketika ia mengangkat kepalanya pada rakaat ketiga, ia berkata “ya Allah laknatlah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2627].

Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al A’masy.
1. Isa bin Utsman bin Isa adalah perawi Tirmidzi. Telah meriwayatkan darinya jama’ah hafizh diantaranya Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Nasa’I menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 8 no 410]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/772].
2. Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376].
3. Sulaiman bin Mihran Al A’masy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55].
4. ‘Abdullah bin Khalid meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy dan telah meriwayatkan darinya Sufyan dan ‘Amasy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 8812]. Al Fasawiy menyebutkan ia seorang yang tsiqat [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/104].
5. Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].

Kedua riwayat ini menyebutkan kalau Imam Ali membaca qunut nazilah pada shalat shubuh dan maghrib dimana Beliau mendoakan keburukan atau melaknat orang-orang tertentu. Siapa orang-orang tersebut memang tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Jarir tetapi tampak jelas kalau perawi [entah siapa] menyembunyikan nama-nama mereka karena tidak mungkin ada seseorang bernama fulan atau abu fulan. Alhamdulillah ternyata terdapat riwayat-riwayat yang menyebutkan nama beberapa diantara mereka.

حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه

Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050].

Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan kalau mereka tsiqat.

حَدَّثَنَا عُبَيد الله بن معاذ قَال حدثني أبي قَال حَدَّثَنَا شُعبة عن عُبَيد أبي الحسن سمع عبد الرحمن بن معقل يقول شهدت علي بن أبي طالب قنت في صلاة العتمة بعد الركوع يدعو في قنوته على خمسة رهط على معاوية وأبي الأعور

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ubaid Abi Hasan yang mendengar ‘Abdurrahman bin Ma’qil berkata “aku menyaksikan Ali bin ‘Abi Thalib membaca qunut dalam shalat ‘atamah [shalat malam yaitu maghrib atau isya’] setelah ruku’ untuk lima orang untuk Mu’awiyah dan Abul A’war [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/134].

Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib 2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan ‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.

Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata:

سمعت يحيى يقول أبو الأعور السلمي رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وكان مع معاوية وكان علي يلعنه في الصلاة

Aku mendengar Yahya [bin Ma’in] berkata “Abul A’war As Sulamiy seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia bersama Muawiyah dan Ali telah melaknatnya di dalam shalat” [Tarikh Ibnu Ma’in 3/43 no 175].


Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’ dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya, ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia [Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447].

Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya berada dalam kesesatan.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت عبد الله بن سلمة يقول رأيت عمارا يوم صفين شيخا كبيرا آدم طوالا آخذا الحربة بيده ويده ترعد فقال والذي نفسي بيده لقد قاتلت بهذه الراية مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث مرات وهذه الرابعة والذي نفسي بيده لو ضربونا حتى يبلغوا بنا شعفات هجر لعرفت أن مصلحينا على الحق وأنهم على الضلالة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Salamah berkata “aku melihat ‘Ammar dalam perang shiffin, dia seorang Syaikh yang berumur, berkulit agak gelap dan berperawakan tinggi, ia memegang tombak dengan tangan bergetar. Ia berkata “demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku telah berperang membawa panji ini bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiga kali dan ini adalah yang keempat. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya sekiranya mereka menebas kami hingga membawa kami kepada kematian maka aku yakin bahwa orang-orang shalih yang bersama kami berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kesesatan [Musnad Ahmad 4/319 no 18904].

Riwayat ini sanadnya hasan. ‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 5651.
1. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
2. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
3. ‘Amru bin Murrah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan shaduq tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair dan Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 8 no 163]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah [At Taqrib 1/745]
4. ‘Abdullah bin Salamah adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ai Ijli menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat termasuk thabaqat pertama dari ahli fiqih kufah setelah sahabat”. Abu Hatim berkata “dikenal dan diingkari”. Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. Ibnu Ady berkata “aku kira tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 5 no 421]. Ibnu Hajar berkata “shaduq mengalami perubahan pada hafalannya” [At Taqrib 1/498]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Al Kasyf no 2760], Adz Dzahabi juga memasukkannya dalam Man Tukullima Fihi wa huwa Muwatstsaq no 182. Ibnu Hibban telah menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080]. Ibnu Khuzaimah telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/104 no 208]. Al Hakim ketika membawakan hadis ‘Abdullah bin Salamah ia menyatakan hadis tersebut shahih sanadnya walaupun syaikhan tidak berhujjah dengan ‘Abdullah bin Salamah tetapi tidak ada cela terhadapnya [Al Mustadrak juz 1 no 541] itu berarti Al Hakim menganggap ‘Abdullah bin Salamah tsiqat. Pendapat yang rajih, ‘Abdullah bin Salamah adalah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit pembicaraan dalam hafalannya tetapi itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan.

Riwayat ini dengan tegas menyatakan kalau ‘Ammar dan orang-orang shalih di pihak Imam Ali adalah berada di atas kebenaran sedangkan mereka kelompok Muawiyah berada di atas kesesatan atau kebathilan. Kami tidak akan berbasa-basi seperti sebagian orang yang mengklaim kalau Muawiyah berijtihad dan walaupun salah ijtihadnya tetap mendapat pahala. Itu berarti Muawiyah yang dalam perang shiffin dikatakan mengajak orang ke neraka tetap mendapat pahala. Sungguh perkataan yang aneh bin ajaib.

Kami juga ingin menegaskan kepada orang yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.


Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ ، قَالَ : سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ ، فَقَالَ : قَتْلاَنَا وَقَتْلاَهُمْ فِي الْجَنَّةِ ، وَيَصِيرُ الأَمْرُ إلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayub Al Maushulliy dari Ja’far bin Burqaan dari Yazid bin Al Aasham yang berkata Ali pernah ditanya tentang mereka yang terbunuh dalam perang shiffin. Ia menjawab “yang terbunuh diantara kami dan mereka berada di surga” dan masalah ini adalah antara aku dan Muawiyah [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/302 no 39035].

Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih [As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].

Ada yang berhujjah sembarangan dengan hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan ‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.

Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat. Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Seandainyapun orang-orang tersebut menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah antara diri Beliau dan Muawiyah.

Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut, jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka karena sahabat tersebut telah berkhianat dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya yang lain.

Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib. Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas, bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka cela ada pada diri mereka sendiri.

Bukan nashibi namanya kalau tidak membela Muawiyah. Segala cara akan mereka lakukan untuk membela Muawiyah, apapun yang terjadi pokoknya Muawiyah harus dibebaskan dari segala perilaku buruk. Setiap perilaku buruk Muawiyah harus ditafsirkan sebagai akhlak yang mulia. Jika Muawiyah meminum minuman yang diharamkan maka harus ditafsirkan bahwa yang ia minum adalah susu. Jika Muawiyah menolak hadis dan menuduh sahabat berdusta maka harus ditafsirkan ia berijtihad. Orang yang berakal pasti akan merasa geli melihat ulah para nashibi yang menghalalkan segala cara untuk membela pujaan mereka Muawiyah.

Berkaitan dengan Muawiyah mencela Imam Ali, para nashibi [yang biasa terlibat di forum konyol kebanggaan mereka] menolak dengan sombongnya kalau Muawiyah mencela Imam Ali. Bahkan ada diantara mereka yang berlisan kotor menuduh orang yang tidak sependapat dengannya sebagai Dajjal. Na’udzubillah betapa buruknya akhlak para nashibi.

Kami sarankan agar para pembaca tidak terlibat diskusi dengan mereka karena kasihan itu hanya akan memperbanyak dosa mereka. Diskusi itu pada akhirnya hanya akan membuat para nashibi menghina anda bahkan menyebut anda Dajjal. Apalagi kalau anda tidak hati-hati dan terbawa emosi maka anda akan ikut ikutan menghina pula jadilah diksusi itu ajang caci mencaci dan hina menghina. Biarkanlah mereka hidup dengan tabiat mereka yang suka menghina, tidak lain itu warisan dari pujaan mereka Muawiyah yang suka mencaci Imam Ali,

حدثنا علي بن محمد . حدثنا أبو معاوية . حدثنا موسى بن مسلم عن ابن سابط وهو عبد الرحمن عن سعد بن أبي وقاص قال قدم معاوية في بعض حجاته فدخل عليه سعد فذكروا عليا . فنال منه . فغضب سعد وقال تقول هذا لرجل سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( من كنت مولاه فعلي مولاه ) وسمعته يقول ( أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي ) وسمعته يقول ( لأعطين الرأية اليوم رجلا يحب الله ورسوله ) ؟

Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya [Sunan Ibnu Majah 1/45 no 121 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah no 98].

Nashibi yang sok berasa paham ilmu hadis Ahlus sunnah setelah menukil riwayat ini, ia menyatakan bahwa riwayat ini dhaif karena inqitha’ atau sanadnya terputus. Ibnu Sabith tidak mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqash maka riwayatnya mursal. Pernyataan ini hanya bertaklid buta pada pendapat Ibnu Ma’in berikut yaitu dari riwayat Ad Duuriy,

سمعت يحيى يقول قال بن جريج حدثني عبد الرحمن بن سابط قيل ليحيى سمع عبد الرحمن بن سابط من سعد قال من سعد بن إبراهيم قالوا لا من سعد بن أبى وقاص قال لا قيل ليحيى سمع من أبى أمامة قال لا قيل ليحيى سمع من جابر قال لا هو مرسل كان مذهب يحيى أن عبد الرحمن بن سابط يرسل عنهم ولم يسمع منهم

Aku mendengar Yahya mengatakan Ibnu Juraij berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, dikatakan kepada Yahya, apakah ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Sa’ad?. Yahya berkata “Sa’ad bin Ibrahim?”. Mereka menjawab “bukan”, dari Sa’ad bin Abi Waqaash. Yahya berkata “tidak”. Dikatakan kepada Yahya, apakah ia mendengar dari Abu Umamah. Yahya menjawab “tidak”. Dikatakan kepada Yahya apakah ia mendengar dari Jabir. Yahya menjawab “tidak, itu mursal”. Mazhab Yahya adalah ‘Abdurrahman bin Saabith mengirsalkan hadis dari mereka dan tidak mendengar dari mereka [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 366].

Yahya bin Ma’in beranggapan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’ad, Abu Umamah, dan Jabir. Riwayat Ibnu Saabith dari ketiganya adalah mursal. Ini adalah pendapat atau mazhab Ibnu Ma’in dan ternyata terbukti keliru. Imam Bukhari berkata:

عبد الرحمن بن عبد الله بن سابط الجمحي المكي سمع جابرا روى عنه ليث وعبد الله بن مسلم بن هرمز وفطر

‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy mendengar dari Jabir, meriwayatkan darinya Laits, ‘Abdullah bin Muslim bin Hurmuz dan Fithr [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 5 no 985].

عبد الرحمن بن سابط الجمحى مكى روى عن عمر رضى الله عنه مرسل وعن جابر بن عبد الله، متصل

‘Abdurrahman bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy meriwayatkan dari Umar radiallahu ‘anhu mursal dan dari Jabir bin ‘Abdullah muttashil [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/240 no 1137]

Dan terdapat riwayat dari Ibnu ‘Adiim dalam kitabnya Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab menyebutkan riwayat dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [silakan lihat http://islamport.com/w/tkh/Web/363/1013.htm%5D

وأخبرنا أبو اسحاق إبراهيم بن عثمان بن يوسف الكاشغري -قدم علينا حلب- قال: أخبرنا أبو المظفر أحمد بن محمد بن علي بن صالح الكاغدي وأبو الفتح محمد بن عبد الباقي بن أحمد بن سلمان. قال أبو المظفر: أخبرنا أبو بكر أحمد بن علي بن الحسين بن زكريا، وقال أبو الفتح: أخبرنا أبو الفضل أحمد بن الحسن بن خيرون قالا: أخبرنا أبو علي الحسن بن أحمد بن ابراهيم بن شاذان قال: أخبرنا أبو محمد عبد الله بن جعفر بن درستويه قال: أخبرنا أبو يوسف يعقوب بن سفيان الفسوي قال: حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير قال: حدثنا أبي، قال حدثنا ربيع بن سعد عن عبد الرحمن بن سابط قال: كنت مع جابر، فدخل حسين بن علي رضي الله عنهما، فقال جابر: من سره أن ينظر الى رجل من أهل الجنة فلينظر الى هذا، فأشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله.

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kaasyghariy, yang mendatangi kami di Halab, yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muzhaffar Ahmad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Shalih Al Kaaghadiy dan Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan. Abu Muzhaffaar berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Husain bin Zakaria. Dan Abu Fath berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairuun. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far bin Durustawaih yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Yusuf Ya’qub bin Sufyan Al Fasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Rabii’ bin Sa’d dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata “aku bersama Jabir maka masuklah Husain bin Ali radiallahu ‘anhum. Jabir kemudian berkata “siapa yang ingin melihat seorang ahli surga maka lihatlah orang ini, aku bersaksi telah mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya [Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab 5/92].

Riwayat ini kedudukannya shahih telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Para perawi yang kami jelaskan berikut adalah yang kami cetak biru,
1. Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kasyghariy disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar yaitu Syaikh Mu’ammar Musnad Iraq. Ibnu Nuqtah berkata “pendengarannya shahih” [dalam hadis]. Ibnu Najjar juga mengatakan ia shahih pendengarannya [As Siyar Adz Dzahabi 23/148-149 no 03].
2. Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan biografinya disebutkan Ibnu Ad Dimyathiy dalam kitabnya Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad dimana disebutkan kalau Abu Fath seorang syaikh shalih shaduq dan terpercaya [Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad no 14].
3. Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairun disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar bahwa ia Imam Alim Hafizh Musnad Hujjah. As Sam’aniy menyatakan ia tsiqat adil mutqin [As Siyar Adz Dzahabi 19/105-106 no 60].
4. Abu Ali Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan disebutkan biografinya oleh Adz Dzahabiy dalam As Siyaar bahwa ia Imam Al Fadhl Shaduq Musnad Iraq. Al Khatib berkata “aku menulis darinya, shahih pendengarannya, shaduq”. Abu Hasan bin Zarqawaih menyatakan ia tsiqat [As Siyar Adz Dzahabi 17/416-417 no 273].
5. ‘Abdullah bin Ja’far Abu Muhammad adalah Ibnu Darastawaih, Adz Dzahabi menyatakan ia seorang Imam, Allamah dan tsiqat [As Siyar 15/531 no 309].
6. Yaqub bin Sufyan Al Fasawi disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/337]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6388].
7. Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat hafizh memiliki keutamaan [At Taqrib 2/100].
8. ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabiy menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024].
9. Rabi’ bin Sa’d Al Ju’fiy dikatakan Abu Hatim “tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 2077]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 6 no 7800]. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2216]. Ibnu Syahin dan Ibnu Ammar menyatakan ia tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 354].
10. Abdurrahman bin Saabith, Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/570]. Adz Dzahabiy menyatakan ia faqih tsiqat [Al Kasyf no 3198].

Riwayat Ibnu Saabith di atas menjadi bukti bahwa mazhab Ibnu Ma’in keliru. Perkataan Ibnu Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d, Abu Umamah dan Jabir disampaikan dengan satu lafaz perkataan dan menjadi mazhab Ibnu Ma’in. Jika terbukti bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir maka sangat wajar kita katakan pernyataan Ibnu Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d dan Abu Umamah sama tidak berdasarnya dengan pernyataan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Jabir. Satu-satunya yang mungkin Ibnu Ma’in mengatakan riwayat Ibnu Saabith dari mereka mursal karena menurut Ibnu Ma’in, Ibnu Saabith tidak menemui masa hidup mereka.

Dari riwayat tersebut Ibnu Saabith bertemu dengan Jabir bin ‘Abdullah radiallahu ‘anhu bahkan melihat Husain bin Ali [‘alaihis salam]. Imam Husain wafat pada tahun 61 H [Al Kasyf no 1097]. Maka peristiwa di atas terjadi sebelum tahun 61 H dan saat itu Ibnu Saabith sudah dewasa dan bersama Jabir radiallahu ‘anhu. Sa’d bin Abi Waqash wafat pada tahun 55 H [Al Kasyf no 1845] maka Ibnu Saabith bertemu dengan Sa’d bin Abi Waqash apalagi, Ibnu Saabith itu adalah orang Makkah dan peristiwa Muawiyah mencela Imam Ali terjadi ketika Sa’ad bin Abi Waqash sedang berada di Makkah. Bagaimana mungkin perawi yang berada dalam satu masa dan satu kota yang sama bisa dikatakan tidak mendengar dan riwayatnya mursal. Kesimpulannya mazhab Ibnu Ma’in dalam hal ini terbukti keliru.

Ibnu Hajar dalam Al Ishabah mengutip bahwa ada yang mengatakan kalau Ibnu Saabith tidak shahih mendengar dari sahabat Nabi dan ada yang mengatakan kalau ia tidak menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash [Al Ishabah 5/228 no 6691]. Kemungkinan orang yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut adalah Ibnu Ma’in. Lagipula terlepas dari siapa yang dikutip Ibnu Hajar tersebut pernyataan itu keliru. Ibnu Saabith terbukti mendengar dari Jabir radiallahu ‘anhu dan ia menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash.

Ad Dhiya’ Al Maqdisi dalam kitabnya Al Ahadits Al Mukhtarah [dimana ia menshahihkan hadis yang ia kutip] mengutip hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dengan judul “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d radiallahu ‘anhu” [Al Ahadis Al Mukhtarah no 1008]. Hal itu menunjukkan bahwa di sisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’ad adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d. Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah 7/376 juga membawakan hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d di atas dan ia berkata “sanadnya hasan” maka itu berarti disisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d,

عن عامر بن سعد بن أبي وقاص عن أبيه قال أمر معاوية بن أبي سفيان سعدا فقال ما منعك أن تسب أبا التراب ؟ فقال أما ذكرت ثلاثا قالهن له رسول الله صلى الله عليه و سلم فلن أسبه لأن تكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول له خلفه في بعض مغازيه فقال له علي يا رسول الله خلفتني مع النساء والصبيان ؟ فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبوة بعدي وسمعته يقول يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فتطاولنا لها فقال ادعوا لي عليا فأتى به أرمد فبصق في عينه ودفع الراية إليه ففتح الله عليه ولما نزلت هذه الآية فقل تعالوا ندع أبناءنا وأبنائكم [ 3 / آل عمران / 61 ] دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم عليا وفاطمة وحسنا وحسينا فقال اللهم هؤلاء أهلي

Dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya yang berkata Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad, lalu berkata “Apa yang menghalangimu untuk mencaci Abu Turab”?. Sa’ad berkata “Selama aku masih mengingat tiga hal yang dikatakan oleh Rasulullah SAW aku tidak akan mencacinya yang jika aku memiliki salah satu saja darinya maka itu lebih aku sukai dari segala macam kebaikan. Rasulullah SAW telah menunjuknya sebagai Pengganti Beliau dalam salah satu perang, kemudian Ali berkata kepada Beliau “Wahai Rasulullah SAW engkau telah meninggalkanku bersama perempuan dan anak-anak?” Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya Tidakkah kamu ridha bahwa kedudukanmu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Aku mendengar Rasulullah SAW berkata di Khaibar “Sungguh Aku akan memberikan panji ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya serta dicintai Allah dan RasulNya. Maka kami semua berharap untuk mendapatkannya. Lalu Beliau berkata “Panggilkan Ali untukku”. Lalu Ali datang dengan matanya yang sakit, kemudian Beliau meludahi kedua matanya dan memberikan panji kepadanya. Dan ketika turun ayat “Maka katakanlah : Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian”(Ali Imran ayat 61), Rasulullah SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “Ya Allah merekalah keluargaku” [Shahih Muslim 4/1870 no 2404].

Kami telah menjelaskan panjang lebar makna hadis ini dalam tulisan kami yang lalu, dimana kami membantah penafsiran An Nawawi terhadap hadis ini. Disini kami hanya ingin mengutip ulama yang menguatkan hujjah kami bahwa makna hadis riwayat Muslim di atas adalah Muawiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.

Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali. Dalam kitabnya Syarh Sunan Ibnu Majah, ketika menjelaskan lafaz “Fanala minhu” dalam hadis Ibnu Saabith di atas ia berkata:

قوله : ( فنال منه ) أي نال معاوية من علي ووقع فيه وسبه بل أمر سعدا بالسب كما قيل في مسلم والترمذي

Perkataannya “Fanala minhu” bermakna Muawiyah mencela Ali, berkata buruk tentangnya dan mencacinya kemudian memerintahkan Sa’ad untuk mencacinya seperti yang dikatakan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi [Syarh Sunan Ibnu Majah no 121].

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Manhaj As Sunnah ketika menyinggung hadis Sa’ad riwayat Muslim, ia berkata:

وأما حديث سعد لما أمره معاوية بالسب فأبى فقال ما منعك أن تسب علي بن أبي طالب فقال ثلاث قالهن رسول الله صلى الله عليه وسلم فلن أسبه لأن يكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم الحديث فهذا حديث صحيح رواه مسلم في صحيحه

Adapun hadis Sa’ad ketika Muawiyah memerintahkannya untuk mencaci dan ia menolak maka Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Ali bin Abi Thalib?” Sa’ad berkata “selama masih ada tiga hal yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentangnya maka aku tidak akan mencacinya. Seandainya aku memiliki satu saja diantara ketiganya maka itu lebih aku cintai dari segala macam kebaikan –al hadits-. Hadis ini adalah hadis shahih diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya [Manhaj As Sunnah Ibnu Taimiyyah 5/16].

Penafsiran kami terhadap hadis ini jelas bersandarkan pada teksnya. Lafaz pertama “Muawiyah memerintah Sa’ad” kemudian lafaz berikutnya Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab”. Maka orang yang paham dan punya akal pikiran dapat mengetahui bahwa hadis itu bermakna Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Ali tetapi Sa’d menolaknya maka Muawiyah bertanya “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab?”. Sedangkan apa yang dijelaskan oleh Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti secara buta oleh para nashibi [karena membela idola mereka] adalah penakwilan dan tidak berdasarkan pada lafaz hadisnya.

Berikut akan kami bawakan hadis lain sebagai bukti Muawiyah mencela Imam Ali dan menuduhnya dengan tuduhan konyol yang jika saja perkataan serupa ditujukan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin para nashibi akan mengkafirkan orang yang mengatakannya.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].

Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.

Tentu saja itu sama halnya dengan Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti para nashibi itu akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya. Mari kita lihat dalih dalih konyol para nashibi atas pembelaan mereka terhadap sahabat pujaan mereka Muawiyah.

(Scondprince/Syiah-Ali/Tour-Mazhab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: