Pesan Rahbar

Home » » Mengapa Syiah Menolak Sebagaian Hadis Bukhari. Ini Faktanya!

Mengapa Syiah Menolak Sebagaian Hadis Bukhari. Ini Faktanya!

Written By Unknown on Saturday 31 December 2016 | 21:41:00


Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta.


Bukhari lebih banyak meninggalkan riwayat yang berasal dari Imam-imam Ahlulbait. Bukhari lebih mengandal kan Abu Hurairah, Marwan bin Hakam, Amr bin Ash dalam meriwayatkan Hadis Nabi. Padahal kredibilitas periwayatan mereka perlu dipertanyakan.

Penolakan Syi’ah terhadap sebagian riwayat Bukhari karena banyak menyembunyikan riwayat yang menerangkan keistimewaan Ahlulbait. Penolakan ini bukan berarti mengingkari hadis Nabi Saw, tetapi hanya menolak rijal (orang-orang) andalan Imam Bukhari.

Imam Bukhari takut pada tekanan, sehingga sedikit bergaul dengan alawiyyin pada masa Abbasiyah…Bergaul dengan alawiyyin akan membahayakan keselamatannya, masa itu mengaku sebagai orang kafir jauh lebih selamat nyawa daripada mengaku sebagai syi’ah…


Dalam Sahih Bukhari hadis no. 3 umpamanya kita dapat baca peristiwa ketika Rasulullah menerima wahyu yang digambarkan spt orang yg ketakutan dan tdk mengenal siapa yg mendatanginya. Hadis ini diriwayatkan dari Aisyah.

Ada keganjilan dalam hadis ini, baik dari sanad maupun matan :
1. Pada sanad riwayat disebutkan seorang bernama Al-Zuhri, Urwah bin Zubayr, dari Aisyah. Al-Zuhri adalah ulama penguasa yg berkhidmat kepada Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat terkenal membenci Imam Ali.
2. Ketika peristiwa turunnya wahyu itu, Aisyah belum dilahirkan. Dalam riwayat ini seolah-olah Aisyah mendengar sendiri. Dalam ilmu hadis seharusnya ia mengatakan :’ Aku mendengar Rasulullah saw bersabda….dst.
3. Rasulullah digambarkan tidak faham dengan pengalaman ruhani yang dia alami. Padahal beliau adalah Insan Kamil.

Salah satu kritik yang disampaikan oleh beberapa pihak terkait dengan otentisitas hadits adalah adanya praktik pemalsuan hadits. Kesimpulan yang sering dibuat bahwa banyaknya pemalsuan hadits menyebabkan susah mencari hadits yang otentik sehingga bisa disimpulkan tidak ada hadits yang otentik.


Hadits masa Umayyah, dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri

William Muir, orientalis asal Inggris, dalam literatur hadits, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan (the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities). Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadits yang dianggap shahih oleh Imam Bukhārī, paling tidak separuhnya harus ditolak.



Doktrin Aswaja ikut dibentuk oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan cara :
1. Menyetir perawi perawi hadis agar membuang hadis yang merugikan mereka dan membuat hadis hadis palsu untuk kepentingan mereka.
2. Membungkam perawi perawi yang tidak memihak mereka dengan segala cara.
3. Mereka secara turun temurun membantai anak cucu Nabi SAW , menteror dan menyiksa pengikut/pendukung mereka (syi’ah).
4. Mereka mempropagandakan dan menanamkan dalam benak umat bahwa syi’ah itu rafidhah sesat berbahaya dan agar umat menjauhi anak cucu ahlul bait.


Berikut salah satu contoh hadis shahih yang tidak shahih

ABU HURAiRAH hadis tentang peristiwa nabi Musa berlari dalam keadaan bugil dihadapan Bani Israil sehingga nampak kemaluannya oleh mereka, itu beliau lakukan hanya bertujuan untuk menangkal sangkaan buruk mereka terhadap beliau. (Shahih Bukhari Jil:4 Hal:126 dan pada bab Bad’u al-Khalq Jil:2 Hal:247)…dsb, yang semuanya merupakan kisah-kisah penghinaan atas pribadi para nabi Allah.

Dari situlah akhirnya Fakhru ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabir menyatakan: “tiada layak dihukumi pribadi yang berbohong atas nama para nabi kecuali dengan sebutan Zindiq”. Dalam kesempatan lain ia menyatakan: “Menyatakan bohong atas perawi hadis tadi (yaitu: Abu Hurairah) lebih tidak berbeban ketimbang menyandarkannya (kebohongan) pada khalil ar-Rahman (yaitu: Ibrahim as)”. (Lihat: at-Tafsir al-Kabir Jil:22 Hal:186 dan Jil:26 Hal:148).

Apakah hanya karena riwayat-riwayat bohong itu terdapat pada kitab shahih Bukhari sehingga kita dipaksa turut serta mendeskriditkan dan menginjak-injak kehormatan para nabi Allah, demi menjaga kesakralan kitab karya Imam Bukhari sebagai kitab Shahih, paling Shahihnya kitab pasca al-Quran?

Penelitian Hadits yang dilakukan oleh ulama klasik (terutama Imam Bukhari) tidak semua dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu menurut saya karena para ulama sunni lebih banyak menggunakan metode Kritik Sanad, dan kurang menggunakan metode Kritik Matan.

Karenanya, saya kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan yang Mencakup Berbagai aspek seperti tekanan politik penguasa, sains, sosio kultural, akhlak sahabat dan lain – lain.

Imam Bukhari ternyata menetapkan Hadits-hadits yang tidak shahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiyah, karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja.

Ada Hadis yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dimana menurut kami: Bukhari hanya melakukan Kritik Sanad dan tidak melakukan Kritik Matan. Sehingga setelah dilakukan Kritik matan, Hadits itu ternyata palsu.

Kritik Matan Hadis Sunni Belum Mencakup Berbagai aspek seperti tekanan politik penguasa, sains, sosio kultural, akhlak sahabat Nabi SAW dan lain–lain.. Contoh: Kita harus memposisikan sahabat Nabi SAW sebagaimana layaknya para perawi yang lain..

Seorang sahabat bisa saja melakukan perbuatan sesuai dengan karakter manusia biasa.. Diantara para sahabat Nabi SAW mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam menjaga moralitas dan integritasnya..

Kalau sahabat yang mempunyai moralitas tinggi, bagi saya tidak menjadi masalah, tapi bagi para sahabat yang moralitasnya rendah, maka tidak layak untuk menjadi perawi hadis atau setidaknya hadisnya perlu disaring ketat.

”Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan pada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih.”.

Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, yakin dan percaya bahwa kitab hadis Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari adalah sebuah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis paling sahih. Karena keyakinan itu pula, sebagian besar ulama pun turut meyakini dan menempatkannya pada urutan pertama kitab hadis sahih.

Benarkah demikian? ”Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu benar-benar sahih. Terdapat beberapa hadis yang termasuk kategori lemah dan palsu, terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab sunni”

”Hadis palsu berlabel shahih bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,”.

Benarkah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari itu semuanya masuk kategori hadis sahih?

Tidak. Tidak semua hadis yang terdapat dalam kitab itu masuk dalam kategori sahih. Terdapat beberapa hadis palsu dan lemah (dlaif).

Perlu diketahui, sebelumnya pengungkapan hadis palsu dan lemah dalam karya Imam Bukhari itu juga sudah pernah diungkapkan para pemikir dan peneliti hadis lainnya. Misalnya, Fazlurrahman (1919-1988 M), Abu Hasan al-Daruquthni (306-385 H), al-Sarkhasi (w 493 H/1098 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935 M), Ahmad Amin (w 1373 H/1945 M), dan Muhammad Ghazali (w 1416 H/1996 M).

Bisa dicontohkan, beberapa hadis palsu yang Anda temukan dalam kitab tersebut?
Misalnya, hadis palsu yang terdapat dalam kitab itu, setelah diteliti, ternyata ada yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Misalnya, tentang Isra Mi’raj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mi’raj itu sebelum jadi Nabi. Faktanya, Isra Mi’raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.

Apa kriterianya sehingga ungkapan itu dikatakan benar-benar hadis Nabi, padahal menurut Anda, itu bukan hadis sahih?

Dalam penelitian yang kami lakukan, ada beberapa kriteria dalam menilai sebuah hadis itu dikatakan sahih atau tidak, mutawatir atau tidak, ahad, atau lainnya.

Dalam kitab Bukhari, beliau sendiri tidak memberikan keterangan perinci mengenai kriteria kesahihan hadis. Bukhari hanya mengatakan bahwa semua hadis yang ditulisnya dalam al-Jami’ al-Shahih itu sebagai hadis, dari seleksi sekitar 300 ribu hadis. Dan, satu-satunya yang dapat ditemukan dari Al-Bukhari adalah kriteria keharusan adanya pertemuan (al-Liqa`) antara satu perawi dengan perawi terdekatnya.

Menurut beberapa ahli hadis, seperti al-Naysaburi (w 405 H/1014 M), al-Maqdisi (w 507 H), al-Hazimi (w 584 H), dan lainnya, kriteria hadis sahih yang dipakai Bukhari adalah kesahihah yang disepakati, diriwayatkan oleh orang yang masyhur sebagai perawi hadis dan minimal dua orang perawi di kalangan sahabat yang tsiqah (adil dan kuat hafalan), serta lainnya.

Padahal, para ulama hadis lainnya menyusun sejumlah kriteria dalam menilai hadis sebuah dapat dikatakan sahih dan tidak, mulai dari segi sanad (tersambungnya para perawi hadis), matan (isi hadis), serta kualitas dan kuantitas para perawi hadis. Bagaimana tingkat hafalannya, keadilannya, suka berbohong atau tidak, dan lain sebagainya.

Karena itu, kami menilai, kriteria yang dirumuskan oleh al-Bukhari mengandung beberapa kelemahan, terutama bila diverifikasi terhadap kitab al-Jami’ al-Shahih itu sendiri.

Kelemahan itu, antara lain, tentang minimal jumlah perawi hadis yang harus meriwayatkan hadis. Di dalam kitab tersebut, ditemukan cukup banyak hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.

Begitu juga, dalam hal persambungan sanad hadis juga terdapat kelemahan. Di antaranya, seperti diakui sendiri oleh al-Bukhari, di dalamnya ada hadis yang muallaq, mursal, bahkan munqathi` (terputus).

Juga, ada perawi hadis yang tidak tsiqah, bahkan dituduh majhul (tidak diketahui identitasnya), dianggap kadzab (berbohong), dan lainnya.

Bisa disebutkan beberapa contoh perawi hadis yang diketahui tidak tsiqah atau lemah dalam Shahih Bukhari itu?

Misalnya, Asbath Abu al-Yasa` al-Bashri. Ia tidak diketahui identitasnya atau majhul, dan menyalahi riwayat orang-orang tsiqah.

Lalu, ada Ismal bin Mujalad, seorang perawi yang dlaif (lemah) dan tidak termasuk orang yang kuat hafalannya.

Kemudian, ada Hisyam bin Hajir, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Abu al-Hasan al-Harani, dan Salamah bin Raja’ sebagai perawi dlaif. Begitu juga, dengan Ubay bin Abbas, dikenal sebagai perawi yang tidak kuat hafalannya dan munkir al-Hadits.

Secara spesifik, saya tidak menyebutkan berapa jumlah hadis palsu atau lemah di dalam kitab tersebut. Namun, al-Daruquthni menyatakan, terdapat sekitar 110 hadis palsu di dalam kitab tersebut dari sejumlah 6.000-an hadis. Muhammad al-Ghazali menyebutkan lebih banyak lagi.
Beberapa di antara hadis yang kami nilai lemah dan palsu, yakni tentang hadis masalah poligami, tentang kehidupan dalam rumah tangga, tentang pernikahan. Misalnya, di dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW menikahi Maimunah pada saat berihram.

Ini bertentangan dengan hadis Nabi sendiri yang melarang melakukan pernikahan selama masa haji atau berihram. Kemudian, pernyataan Rasulullah menikahi Maimunah pada waktu ihram itu juga bertentangan dengan hadis yang ditulis al-Bukhari di dalamnya kitabnya itu, yang menyatakan Rasulullah menikahi Maimunah ketika usai bertahalul.

Dari hasil penelitian Anda, bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hadis dalam Shahih Bukhari benar-benar sahih ?

Ya.. Tidak semuanya bisa dikatakan sahih. Sebab, Bukhari sendiri ada yang disebutkannya hadis mursal, hasan, dan lain sebagainya.

Ketidaklayakan disebut sebagai hadis sahih itu meliputi adanya pertentangan atau ketidaksesuaian dengan nas Alquran, fakta sejarah dan akal sehat… Materi hadis bertentangan dengan keadaan dan Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), bertentangan dengan fakta sejarah, adanya materi hadis yang mengandung prediksi atau ramalan dan bersifat politis, serta mengandung fanatisme kesukuan.

Lalu, bagaimana sikap umat untuk menggunakan hadis-hadis yang terdapat dalam Shahih Bukhari itu?

Saran saya, umat Islam hendaknya berhati-hati setiap akan menggunakan atau mengamalkan sebuah hadis Nabi. Sebab, sahih menurut perawi hadis A, belum tentu sahih menurut perawi hadis B. Demikian pula yang lainnya. Telitilah kembali sebelum menggunakan dan mengamalkannya.

Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man Kadzdzaba alayya muta’ammidan fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar.



Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi SAW. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis.


KELOMPOK MUHADDIS

Ketika Anda melihat berbagai persekongkolan yang telah dilakukan terhadap hadis, dan penggantian hakikat-hakikatnya, niscaya Anda akan merasa pentingnya pandangan Syi’ah. Yaitu pandangan yang mengatakan, mau tidak mau harus ada seorang pemimpin yang maksum yang menjaga syariat Allah dan mengokohkan pilar-pilarnya. Jika dia tidak maksum dan tidak terbebas dari dosa maka dia akan memanfaatkan agama untuk melayani tujuan dan kepentingan-kepentingan politiknya, dan memutar-balikan hadis untuk kepentingannya.

Ini pun jika penulisan dan penyebaran hadis tidak dilarang dan diperangi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ketiga orang khalifah —yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman— yang mana mereka telah melarang periwayatan hadis, dan bahkan membakar hadis-hadis yang dimiliki kaum Muslimin, serta menahan para sahabat untuk tetap berada di kota Madinah, sehingga mereka tidak menyebarkan hadis di tempat lain. Imam Ali berkata tentang hal itu, “Para penguasa sebelumku telah melakukan perbuatan yang menentang Rasulullah saw. Mereka secara sengaja menentangnya, melanggar janjinya dan merubah sunahnya.”.

Saya tidak akan membahas periode ini di dalam pasal ini. Saya akan mencukupkan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan sebelumnya. Melainkan di sini saya akan membahas masa pembukuan hadis yang di kalangan Ahlus Sunnah dianggap sebagai masa keemasan hadis, dengan disertai isyarat-isyarat yang menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah di dalam membuat hadis-hadis palsu dan menyembunyikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.


Hadis Pada Masa Muawiyah

Kita dapat menelusuri periode Muawiyah seperti yang telah dinukil oleh al-Mada’ini di dalam kitab al-Ahdats. Al-Mada’ini berkata, “Muawiyah menulis satu naskah dan mengirimkannya kepada para gubernurnya sesudah “Tahun Jamaah”, untuk memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan sesuatu tentang keutamaan Abu Turab —yaitu imam Ali as— dan Ahlul Baitnya. Maka berdirilah para khatib diseluruh pelosok desa dan diseluruh mimbar melaknat Ali dan memakzulkannya, serta mencaci maki dia dan keluarganya. Masyarakat yang paling keras tertimpa bencana pada saat itu adalah para penduduk kota Kufah, disebabkan banyaknya Syi’ah Ali di kota tersebut. Muawiyah menempatkan Ziyad bin Sumayyah atas mereka, dan juga menyerahkan kota Basrah kepadanya. Ziyad mencari dan menangkapi orang-orang Syi’ah, karena dia mengenal mereka, disebabkan dia pernah menjadi bagian dari mereka pada masa Imam Ali. Ziyad membunuhi mereka di mana saja ditemukan. Dia memotong tangan dan kaki mereka, dan mencungkil mata mereka serta menyalib mereka di batang-batang pohon kurma. Dia mengusir mereka dari bumi Irak, sehingga tidak tersisa yang dikenal dari mereka.

Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya di seluruh negeri, supaya mereka tidak memperkenankan kesaksian seorang pun dari pengikut Ali dan Ahlul Baitnya. Serta Muawiyah menulis kepada mereka supaya memperhatikan para pengikut dan pecinta Usman, dan orang-orang yang meriwayatkan keutamaan-keutamaannya. Muawiyah memerintahkan kepada para anteknya untuk mendatangi majlis-majlisnya dan memuliakan mereka. Muawiyah berkata kepada antek-anteknya, ‘Tulislah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh salah seorang dari mereka, dan juga tulislah nama orang tersebut beserta nama ayahnya dan nama keluarganya.’ Maka orang-orang pun berlomba-lomba menulis dan memperbanyak keutamaan-keutamaan Usman, disebabkan berbagai hadiah yang diberikan Muawiyah kepada mereka.”.

Al-Mada’ini melanjutkan, “Kemudian Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya, ‘Sesungguhnya hadis tentang Usman telah begitu banyak dan telah begitu tersebar di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, manakala suratku ini sampai kepadamu maka serulah manusia untuk meriwayatkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan keutamaan-keutamaan dua khalifah yang pertama. Dan jangan biarkan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab, karena yang demikian itu berarti menentang sahabat. Dan lumpuhkan hujjah dan argumentasi Abu Turab serta Syi’ahnya, dan kuatkan pujian-pujian akan keutamaan Usman.”.

Al-Mada’ini melanjutkan, “Kemudian Muawiyah menulis sepucuk surat kepada para gubernurnya di seluruh pelosok negeri, “Perhatikanlah, siapa saja yang terbukti mencintai Ali dan Ahlul Baitnya, maka hapuslah dia dari diwan, dan putuslah rezeki dan pemberian untuknya.’ Muawiyah menambahkan, ‘Siapa saja yang kamu duga mengikuti mereka maka timpakanlah bencana kepadanya, dan han-curkanlah rumahnya.’”.

Tampak jelas bagi Anda begitu kerasnya persekongkolan yang dilakukan untuk menyelewengkan dan memalsukan kebenaran, hingga sampai tarap mereka menghalalkan berbohong atas nama Rasulullah saw. Semua ini disebabkan rasa pemusuhan yang begitu besar yang dimiliki Muawayiyah terhadap Ali dan para Syi’ahnya. Oleh karena itu, Muawiyah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi Ali dan Syi’ahnya. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh Muawiyah ialah dengan melucuti Imam Ali as dari segala keutamaan, dan tidak hanya cukup sampai di situ, melainkan dia juga melaknatnya di atas mimbar selama delapan tahun. Adapun langkah yang kedua ialah dengan membangun pagar yang indah yang mengelilingi sekelompok sahabat, sehingga mereka menjadi simbol dan panutan, sebagai ganti dari Imam Ali as. Berbagai ancaman dan bujukan Muawiyah telah menjadikan sekelompok orang munafik berkhidmat kepadanya dengan cara membuat hadis-hadis palsu, dengan menyebut diri mereka sebagai sahabat Rasulullah saw.

Abu Ja’far al-Iskafi berkata, “Muawiyah memerintahkan sekelompok orang dari para sahabat dan tabi’in untuk membuat riwayat-riwayat yang menjelekkan dan memakzulkan Ali. Muawiyah mengiming-imingi mereka dengan hadiah dan pemberian yang mereka sukai. Maka mereka pun melakukan apa yang diinginkannya. Di antara para sahabat yang demikian ialah Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, Mughirah bin Syu’bah, sementara di antara para tabi’in ialah ‘Urwah bin Zubar…”.

Demikianlah, mereka telah menjual akhirat mereka dengan dunia Muawiyah. Inilah Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-A’masy, “Ketika Abu Hurairah datang ke Irak bersama Muawiyah pada “Tahun Jamaah”, dia datang ke mesjid Kufah. Tatkala dia melihat banyaknya manusia yang menyambut kedatangannya, dia berlutut di atas kedua lututnya sambil memukul bagian botak kepalanya berkali-kali sambil berkata, ‘Wahai penduduk Irak, apakah kamu mengira saya berdusta atas Rasulullah saw, dan membakar diri saya dengan api neraka? Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya tiap-tiap nabi mempunyai haram (tempat yang disucikan), dan sesungguhnya haram-ku ialah di antara ‘Air dan Tsawr.Barangsiapa yang ber-hadats di dalamnya, maka Allah, para malaikat dan seluruh manusia akan melaknatnya.’ Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya Ali telah ber-hadats di dalamnya.’ Ketika ucapan Abu Hurairah itu terdengar oleh Muawiyah, maka Muawiyah pun memberinya hadiah, menghormatinya dan mengangkatnya sebagai penguasa Madinah.

Berikut ini adalah Samurah bin Jundub, contoh lain dari antek Muawiyah di dalam membuat hadis palsu. Di dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah Ibnu Abil Hadid disebutkan bahwa Muawiyah memberikan seratus ribu dirham kepada Samurah bin Jundub supaya dia mau meriwayatkan bahwa ayat ini turun pada Ali, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehdiupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, pada-hal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan” (QS. al-Baqarah: 204), dan ayat yang kedua turun pada Ibnu Muljam —pembunuh Ali bin Abi Thalib, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. al-Baqarah: 207).

Samurah bin Jundub tidak mau menerima. Muawiyah menambah pemberiannya menjadi dua ratus ribu dirham, namun Samurah bin Jundub tetap tidak mau menerima. Tetapi, tatkala Muawiyah menambahnya lagi menjadi empat ratus ribu dirham, Samurah bin Jundub menerimanya.

Thabari meriwayatkan, “Ibnu Sirin ditanya, ‘Apakah pernah Samurah membunuh seseorang?’ Ibnu Sirin menjawab, ‘Tidak terhitung orang yang telah dibunuh oleh Samurah bin Jundub. Dia mengganti Ziyad di Basrah, dan kemudian Kufah, dia telah membunuh delapan ribu orang.’” Juga diriwayatkan bahwa Samurah bin Jundub pernah membunuh sebanyak empat puluh tujuh orang hanya dalam satu pagi, yang kesemuanya adalah orang yang telah mengumpulkan Al-Qur’an.

Thabari berkata, “Ziyad meninggal dunia sementara Samurah sedang memegang kendali atas Basrah. Muawiyah memperdayakannya selama berbulan-bulan, dan kemudian menurunkannya. Samurah berkata, ‘Semoga Allah melaknat Muawiyah. Demi Allah, seandainya aku taat kepada Allah sebagaimana aku taat kepada Muawiyah, niscaya Dia tidak akan mengazabku selama-lamanya.”‘.

Adapun Mughirah bin Syu’bah, dia terang-terangan mengakui berbagai tekanan yang diberikan oleh Muawiyah kepada dirinya. Thabari meriwayatkan tentang Mughirah bin Syu’bah, “Mughirah berkata kepada Sha’sha’ah bin Shuhan al-’Abdi —ketika itu Mughirah tengah menjadi penguasa Kufah yang diangkat oleh Muawiyah— ‘Jangan sampai engkau mencela Usman di hadapan siapa pun; dan begitu juga jangan sampai engkau menyebut sebuah keutamaan Ali secara terang-terangan, karena tidak ada satu pun keutamaan Ali yang engkau sebutkan yang tidak aku ketahui. Bahkan aku lebih tahu dari kamu tentang itu, namun sultan ini —yang dia maksud adalah Muawiyah— telah memerintahkan kepada kami untuk menampakkan kekurangan-kekurangannya —yaitu Ali— ke hadapan manusia. Kami banyak meninggalkan apa yang telah diperintahkan kepada kami, namun kami terpaksa menyebutkan sesuatu yang kami tidak menemukan jalan untuk lepas darinya, untuk membela diri kami dari mereka. Jika engkau ingin jika menyebutkan keutamaannya (Ali) maka sebutkanlah di tengah-tengah sahabatmu, dan di dalam rumah-mu secara rahasia. Adapun menyebutkannya secara terang-terangan di mesjid adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dan dimaafkan oleh khalifah…’”.

Begitulah sekelompok para sahabat dan tabi’in memenuhi permintaan Muawiyah. Barangsiapa yang menolak maka dia dibunuh. Seperti Syahid Hujur bin ‘Adi, Maitsam at-Tammar dan yang lainnya.

Oleh karena itu, pada periode tersebut muncul beribu-ribu hadis palsu yang merangkai keutamaan-keutamaan dan kepahlawanan para sahabat, terutama para khalifah yang tiga, yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman. Kemudian hadis-hadis palsu tersebut dinukil generasi demi generasi, hingga kemudian dibukukan di dalam kitab-kitab referensi yang dijadikan pegangan.


*****


Di beberapa media, Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat, menyatakan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah terletak pada hadits. Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairah, sedang hadits Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW).


Ringkasan Pertanyaan:

Kenapa Syiah menerima sebagian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang nota bene tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan menolak sebagian lainnya?


Pertanyaan:

Kenapa Syiah menerima beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari tetapi menolak sebagian lainnya? Sekiranya benar Syiah mnolak keIslaman Bukhari sebagai perawi Adakah Syiah sekadar mengambil sesuatu Ilmu Islam yang bersesuaian dengan ajaran Syiah saja dan menolak sebagian yang lain walau pun diriwayatkan oleh perawi yang sama?


Jawaban Global:

Salah satu kumpulan hadis kaum Muslimin adalah al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillâh Shallallahu ‘alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi yang lebih dikenal sebagai “Shahih Bukhâri” yang berasal dari mazhab Ahlusunnah.

Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhari sebagai kitab paling shahih Bukhari setelah al-Quran, terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini; seperti kritikan banyaknya nukilan secara makna dalam kitab ini, di samping itu kelemahan rijalinya dan kandungannya.

Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar pada status mazhab “Syiah” atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.

Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (kutub al-Arba’ah) – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini yang dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.


Jawaban Detil:

Mengenal dan memperkenalkan kumpulan-kumpulan hadis (jawâmi’ hadis)[1] Syiah dan Sunni sebagai cabang dari sejarah hadis, secara umum kitab-kitab dan karya-karya yang merekonstruksi studi-studi tentang hadis, sebagai satu kepentingan mendesak y ang tidak dapat dihindari.

Salah satu dari kumpulan hadis kaum Muslimin dari kalangan Ahlusunnah adalah al- al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillâh Shallallahu ‘alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi yang lebih dikenal sebagai “Shahih Bukhâri.” Pada kesempatan ini, kita akan meninjau secara ringkas terhadap biografi penulisnya yaitu Bukhari dan kitab hadisnya sehingga menjadi jelas dimana dan mengapa ulama Syiah terkadang tidak menerima sebuah riwayat dari kitab Shahih Bukhari. Hanya bersandar pada dalil-dalil hadis dan semata-mata status sebagai Muslim tidak akan menjadi dalil bagi kita untuk menerima seluruh pemikiran dan tulisannya.


Memperkenalkan Muhammad bin Ismail Bukhari.

Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Bukhari lahir pada tahun 194 H di kota Bukhara.[2]
Ia melewati sebagian dari usianya dengan belajar di kotanya sendiri dan untuk melanjutkan pelajarannya dan belajar dari guru-guru (masyaikh) hadis ia melakukan perjalanan ke beberapa kota terkenal seperti Khurasan (Iran), Irak (Bashrah), Hijaz (Mekah dan Madinah) dan Syam (Suriah).[3]

Ia juga sering pergi ke kota Baghdad dan disebabkan ia banyak memiliki hadis dan mahir dalam bidang ilmu hadis, ia mendapatkan penghormatan ulama semasanya.[4] Bukhari belajar hadis dari ulama masyhur seperti Makki bin Ibrahim Balkhi, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Abu Ashim al-Syaibani,[5] Ishaq bin Rahwahi,[6] dan Ahmad bin Hanbal.[7]
Bukhari wafat pada tahun 256 H[8] di desa Khartand salah satu desa di Samarkand.[9]


Motivasi Bukhari dalam menulis kitab Shahih

Bukhari sendiri ketika berbicara tentang alasannya menulis Shahih berkata, “Suatu hari saya berada di sisi guru saya Ishak bin Rahwahi yang berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kita menyediakan kitab ringkasan tentang sunnah Nabi!” Hal ini menarik hatiku dan mulai menghimpun kumpulan riwayat sahih dan kitab sahih saya kumpulkan dari enam ratus riwayat.”[10]

Ia berkata, “Saya menghapal seratus ribu hadis sahih dan dua ratus ribu hadis non-sahih.”[11] dan hal ini menunjukkan banyaknya riwayat dan juga lemah dan palsunya kebanyakan hadis lainnya dari riwayat-riwayat pada masa Bukhari.[12]

Bukhari memilih riwayat-riwayat berdasarkan syarat-syarat periwayatannya yang antara lain, “Bersambungnya sanad hingga level sahabat, keadilan (‘adâlah), kredibilitas para perawi (baca:dhabit).[13] Meski Bukhari tidak menyatakan metode periwayatannya ini secara lugas, namun syarat-syarat ini sebagai metode periwayatannya dapat disimpulkan dari kitabnya.[14]


Kedudukan Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah

Shahih Bukhâri memiliki kedudukan sangat istimewa di kalangan ulama Ahlusunnah, sedemikian sehingga Shahih Bukhâri dipandang laksana al-Quran dan kitab paling sahih setelah Kitabullah.

Syafi’i berkata, “Kitab hadis pertama adalah Shahih Bukhâri dan setelah itu adalah Shahih Muslim dan kedua kitab ini merupakan kitab paling sahih setelah a-Quran.”[15]

Nawawi berkata, “Ulama dengan suara bulat meyakini bahwa kitab paling sahih setelah al-Quran adalah Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim. Umat seluruhnya menerima dua kitab ini. Kitab Bukhari dibandingkan dengan Shahih Muslim lebih sahih dan lebih banyak manfaatnya.”[16]Dua pernyataan yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis paling terkenal Ahlusunnah sehingga dapat disimpulkan bahwa semuanya memandang Shahih Bukhâri merupakan kitab paling standar setelah al-Quran dan menyebut Shahih Muslim pada level ketiga.”[17]

Akan tetapi terdapat beberapa faktor yang membuat Shahih Bukhâri menyandang kedudukan tinggi di kalangan ulama Ahlusunah; faktor-faktor seperti kepribadian penyusun, sebagai kitab senior, ketelitian dan kehati-hatian dalam penulisan kitab ini.[18]


Shahih Bukhâri dan beberapa kritikan

Meski ada pembelaan Bukhari terkait dengan keabsahan riwayat-riwayat dalam kitabnya dan juga penegasan banyak ulama Ahlusunnah yang memandang Shahih Bukhâri sebagai kitab paling sahih setelah al-Quran, namun terdapat kritikan yang patut mendapat perhatian dari sebagian ulama Sunni dan ulama Syiah atas kitab hadis ini.


Berikut ini kami akan sampaikan beberapa kritikan yang dilontarkan oleh sebagian ulama Sunni dan Syiah sebagai contoh:

1. Tidak sempurnanya kitab ini ditulis pada masa hidup Bukhari: Abu al-Walid Baji dalam mukadimmah kitabnya “Fi Asma Rijâl al-Bukhâri” menulis, “Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Mustamili berkata, “Saya mengopi kitab Bukhari dari naskah asli yang berada di tangan Muhammad bin Yusuf Faryabi dan menjumpai beberapa hal yang belum tuntas, masih belum memiliki halaman, sebagian nama perawi yang tidak memiliki riwayat hidup atau hadis-hadis yang kondisinya tidak jelas.”[19]

2. Banyaknya nukilan secara makna dalam kitab ini: Meski menukil secara makna dengan menjaga seluruh pakem dipandang boleh oleh para pemimpin agama namun hal ini tidak bermakna keungulan riwayat-riwayat yang mengandung nukilan secara makna atas riwayat-riwayat yang didalamnya menyebutkan nash redaksi-redaksi maksum; karena boleh jadi dalam nukilan secara makna telah menghilangkan pelbagai indikasi-indikasi lafzi atau secara dasar disebabkan kesalahapahaman periwayat menukil riwayat secara keliru. Karena itulah mengapa nukilan secara makna dinilai sebagai sebuah kekurangan dan memiliki cela.[20] Apa yang dikatakan tentang Bukhari menunjukkan klaim ini bahwa ia menulis riwayat-riwayat tanpa bersandar pada tulisan-tulisan dan semata-mata bersandar pada hafalannya serta mengandalkan metode nukilan secara makna.[21]

Khatib Baghdad dalam hal ini mengutip sendiri dari Bukhari, “Boleh jadi saya mendengar sebuah riwayat di Bashrah dan saya menulisnya di Syam. Dan boleh jadi saya mendengar sebuah riwayat di Syam kemudian menulisnya di Bashrah! Dikatakan kepadanya, “Apakah engkau menulisnya secara utuh? Ia tidak menjawab dan hanya diam.”[22]

Muhammad bin Azhar Sajistani berkata, “Saya hadir di majelis pelajaran Sulaiman bin Harb dan Bukhari bersama kami mendengarkan pelajarannya namun ia tidak menulis (pelajaran itu). Sebagian hadirin bertanya, “Mengapa Bukhari tidak menulis?” “Tatkala saya pulang ke Bukhara saya akan menulisnya berdasarkan hafalanku.”[23] Jawab Bukhari.

Diamnya Bukhari bermakna ia sendiri menerima bahwa meski ia memiliki hafalan kuat namun tidak mampu merefleksikan seluruh lafaz riwayat yang ia dengarkan dan terkadang sebagian besar riwayat itu ia tulis berdasarkan nukilan secara makna. Metode seperti ini tentu saja akan mengurangi bobot pekerjaan, bahkan hal ini tidak dapat diterima bagi orang-orang yang menyertai Bukhari.

* Riwayat-riwayat yang bersanad lemah: Meski terkait dengan riwayat yang yang dikumpulkan Bukhari dalam Shahih disebutkan, “Kullu man ruwiya ‘anhu al-Bukhari faqad jawaza al-qanthara;[24] (Siapa saja yang dinukil oleh Bukhari maka ia telah melewati jembatan (jarh dan ta’dil ahli Rijal).”[25] Namun fakta menunjukkan bahwa ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dari orang-orang fasik, fajir, khawârij dan nashibi, dan dari orang-orang yang menjual agama untuk dunianya; orang-orang seperti Amru bin Ash, Marwan bin Hakam, Abu Sufyan, Muawiyah, Mughirah bin Syu’bah dan lain sebagainya. Namun Bukhari sama sekali tidak menukil hadis dari orang-orang lurus dan merupakan sumber mata air pengetahuan Islam serta guru-guru budaya Islam dan hadis, atau apabila ia menukilnya maka hadis-hadis tersebut berjumlah sangat minim dibanding dengan yang lain.[26]

Salah satu kritikan utama Syiah terhadap Shahih Bukhâri adalah bahwa nukilan riwayat melalui jalur para Imam Syiah dan anak-anak mereka sangat kurang. Meski Bukhari semasa dengan minimal dua orang dari Imam Syiah yaitu Imam Hadi As dan Imam Askari As namun ia hanya meriwayatkan beberapa gelintir hadis dari Amirul Mukminin Ali As, Imam Hasan Mujtaba As dan Imam Baqir As. Sebagai bandingannya, riwayat-riwayat dari orang-orang Khawarij dan Nashibi seperti Ikrimah dan Imran bin Hatthan yang bahkan kebanyakan ahli hadis Sunni melemahkan mereka, disebutkan dalam sanad-sanad hadis-hadis Bukhari.

Terlepas dari ulama Syiah, Shahih Bukhâri juga mendapatkan kritikan dari pembesar Ahlusunnah karena lemah dalam menyebutkan perawi-perawi. Dalam hal ini kami hanya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan dua contoh sebagai berikut:

Ibnu Hajar Askalani berkata, “Para penghafal meragukan 110 hadis Bukhari dan memandangnya tidak sahih serta delapan puluh orang dari empat ratus periwayat yang secara eksklusif disebutkan dalam Bukhari telah dilemahkan.”[27]

Ibnu Shalah berkata, “Bukhari berargumentasi dengan bersandar pada orang-orang seperti Ikrimah, Musa bin Abbas, Ismail bin Abi Uwais, Ashim bin Ali, Amru bin Marzuq dan lainnya dimana orang lain sebelum Bukhari telah mencela (jarh) mereka.”[28]

3. Lemahnya kandungan riwayat Bukhari: Terlepas dari beberapa kritikan yang telah disebutkan di atas kritikan terpenting yang dapat dilontarkan atas Shahih Bukhari adalah nukilan riwayat-riwayat yang dari sisi mana pun bertentangan dengan budaya dan ajaran al-Quran, Rasulullah Saw dan Ahlulbait As bahkan pandangan sebagian ulama besar Ahlusunnah. Tanpa ragu apabila kita mengklaim bahwa Shahih Bukhâri sangat memainkan peran penting dalam proses pembentukan pemikiran-pemikiran keliru teologis, fikih dan menjauhkan umat Islam dari budaya murni Islam dan al-Quran sebagai literatur riwayat terpenting maka klaim ini bukanlah pepesan kosong.[29] Sebagai contoh, Shahih Bukhâri pada sisi tauhid, menyebut sosok Tuhan yang memiliki jasad, anggota badan, dapat dilihat dan seperti makhluk-makhluk biasa, memiliki tempat dan mempunyai sifat-sifat yang dapat binasa.”[30]


Kriteria Syiah dalam menerima dan menolak riwayat

Orang-orang Syiah memilliki satu prinsip dan kriteria rasional (aqli) dan referensial (naqli)[31] dalam menerima atau menolak satu riwayat dan bagi Syiah dalam prinsip dan kriteria-kriteria ini; tidak bersandar hanya pada status mazhab “Syiah” atau Sunni seorang perawi dalam menerima atau menolak sebuah riwayat.

Setiap orang harus bersikap fair, jujur dan harus diketahui bahwa dari pandangan ahli Rijal Sunni, kecendrungan kepada Syiah dan wilayah Ahlulbait As sebagai penghalang serius periwayat untuk dikutip riwayatnya dan riwayat perawi seperti ini tidak dapat dijadikan sandaran; namun dalam Syiah tidaklah demikian. Pakar Rijal Syiah memandang riwayat Sunni apabila memiliki witsâqat (dapat diandalkan dan dipercaya), pada derajat setelah shahih, hasan, sebagai hadis muattsaq dan dapat dijadikan sebagai sandaran.[32]

Karena itu, ulama Rijal dan hadis Syiah; seluruh kitab – bahkan kitab-kitab empat (Kutub al-Arba’ah)[33] – tetap dikaji dan dianalisa serta tidak memberikan label sahih pada empat kitab induk ini. Kitab Bukhari juga tidak terkecualikan dalam hal ini. Di samping itu, terdapat banyak riwayat dari kitab ini dinukil dan diterima dalam karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian Syiah.

Namun demikian, sudah merupakan suatu hal yang natural dalam tataran pembahasan dan dialog, manusia harus bersandar pada sumber-sumber yang boleh jadi bukan merupakan hujjah bagi dirinya namun menjadi hujjah bagi pihak lainnya dan demikianlah salah satu contoh jadâl ahsan. Karena itu, pihak Syiah semenjak dulu hingga kini sama sekali tidak bermaksud mencari keuntungan dalam masalah keyakinan. Apabila Syiah tidak menerima sebuah riwayat maka hal itu berdasarkan dalil-dalil rasional dan referensial tidak menerima riwayat tersebut.


Referensi:

[1]. Jawâmi’ Hadits adalah kumpulan kitab hadis yang tidak terbatas pada satu bidang dan domain riwayat tertentu serta mencakup seluruh atau bagian pokok bab-bab hadis. Ali Nashiri, Âsynâi bâ Jawâmi’ Haditsi Syi’ah wa Ahlusunnah, hal. 17, Intisyarat Jami’at al-Mustafa Saw al-’Alamiyah, Qum, Cetakan Kedua, 1388 S.

[2]. Abu al-Fida Islami bin Umar Ibnu Katsir Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 11, hal.25, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H; Ibnu Jauzi, Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali, al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Riset oleh Muhammmad Abdul Qadir ‘Atha, Mustafa Abdul Qadir, jil. 12, ha. 113, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1412 H.

[3]. Abdul Hayyi bin Ahmad Ibnu Imad Hanbali, Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, Riset oleh al-Arnauut, jil. 1, hal. 24, Dar Ibnu Katsir, Damaskus, Beirut, Cetakan Pertama, 1406 H; Ibnu Asakir Abu al-Qasim bin Hasan, Târikh Madinat Dimasyq, jil. 52, hal. 54, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H.

[4]. Al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, ha. 117; , Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 24.

[5]. , Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 24.

[6]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 11, hal. 26.

[7]. Al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, hal. 113.

[8]. Syadzarât al-Dzahab fi Akhbâr min Dzahab, jil. 1, hal. 25.

[9]. Al-Muntazham fi Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 12, ha. 119.

[10]. Syamsuddin Dzahabi Dimasyqi, Siyar A’lâm al-Nubalâ, jil. 12, hal. 401-402, Muassasah al-Risalah, Beirut, Cetakan Kesembilan, 1413 H.

[11]. Syamsuddin Dzahabi Dimasyqi, Tadzkirat al-Huffâzh, jil. 2, hal. 556, Dar Ihya al-Turats al-’Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.

[12]. Ali Nashiri, Hadits Syinâsi, jil. 1, hal 137, Intisyarat Sanabil, Qum, Cetakan Pertama, 1383 S.

[13]. Dhabit adalah mempunyai kesempurnaan berpikir, tidak pelupa dan cerdas serta tangkas. Hafalannya kuat dan mudah mengerti apa yang diterima.

[14]. Ibid.

[15]. Sesuai nukilan dari Abu Abdillah Hakim Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, hal. 20, Dar al-Afaq al-Jadidah, Beirut, 1400 H.

[16]. Sesuai nukilan dari Siyar A’lâm al-Nubalâ, jil. 12, hal. 567.

[17]. Hadits Syinâsi, jil. 1, ha. 138.

[18]. Silahkan lihat, ibid, hal. 138 dan 139.

[19]. Sesuai nukilan dari Siyar A’lâm al-Nubalâ, jil. 14, hal. 488, Catatan Kaki

[20]. Silahkan lihat, Muhammad Ridha Husaini Jalali, Tadwin al-Sunnah al-Syarifah, hal. 508-516, Maktab al-I’lam al-Islami, Qum, 1413 H.

[21]. Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 140.

[22]. Sesuai nukilan dari Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ ‘ala Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 315, Ansariyan, Qum, 1416 H.

[23]. Ibid.

[24]. Burhanuddin Halabi, al-Kasy al-Hatsits, hal. 112, Maktabat al-Nahdha al-’Arabiyah, Cetakan Pertama, 1407 H.

[25]. Jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang cacat dan adilnya rawi dengan lafaz-lafaz khusus dan tingkatan-tingkatan lafaz tertentu. Ilmu ini termasuk bagian cabang ilmu rijalil hadis.

[26]. Silahkan lihat Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 141-143.

[27]. Sesuai nukilan dari Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 318; sesuai nukilan dari Fath al-Bâri, jil. 1, hal. 81.

[28]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 324-326.

[29]. Hadits Syinâsi, jil. 1, hal. 144.

[30]. Dalam hal ini silahkan lihat Kitab al-Tauhid Shahih Bukhâri.

[31]. Silahkan lihat, Identifikasi dan Seleksi Hadis-hadis Shahih, Pertanyan 1937.

[32]. Âsynâi bâ Jawâmi’ Haditsi Syiah wa Sunni, hal. 239.

[33]. Silahkan lihat, Indeks: Hadis-hadis Standar dalam Pandangan Kulaini, Pertanyaan 1933; Hadis-hadis Kitab al-Kafi, Pertanyaan 1528.

(Islam-Quest/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: