Pesan Rahbar

Home » » Dasar Epistemologi dan Konsep Islam Nusantara ; Dari NU Untuk Dunia

Dasar Epistemologi dan Konsep Islam Nusantara ; Dari NU Untuk Dunia

Written By Unknown on Friday 20 January 2017 | 00:16:00


DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA ; DARI NU UNTUK DUNIA[1]

Oleh : Ahmad Hilmy Hasan**

Prawacana

ISLAM adalah agama yang universal, sempurna, dinamis, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.[2] Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya.[3] Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan.[4]

Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.[5]

Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiyā/21 : 107.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.[6]

Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān/25 : 1.

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).[7]

Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-Waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia).[8]

Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual.[9] Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri.[10] Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian.[11] Sebagai agama Rahmatan Li al-‘Ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.

Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh Arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.

Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar.[12]

Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.

A.Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rais ‘Aam PBNU) mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. “Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?”. Kita dibingungkan oleh kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.

“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom. Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru Laknatan Lil ‘Alamin,”.

Untuk itulah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) membuat tema pada muktamar ke-33 lalu tentang Islam Nusantara “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. “Tapi pada geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,”.

Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang di gelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. Padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu. Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.

“Islam ngono iku seng digoleki wong kono, Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan, dan yang Rahmatan lil ‘Alamin. Walisongo memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Walisongo tidak hanya mengajak bil Lisan, tapi juga bil Hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,”.


PEMBAHASAN

DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA ; DARI NU UNTUK DUNIA

“Nusantara Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities–this is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasathiyyah character a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with Islamic legacy a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”.[13]


DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA

Dalam kajian filsafat ilmu, epistemologi membahas sumber, struktur, metode dan validitas satu pengetahuan. Epistemologi juga dipahami sebagai ilmu yang mengkaji keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks Islam Nusantara, kita perlu mengkaji historisitas pemikiran keislaman yang dikembangkan oleh NU, serta dinamikanya dari waktu ke waktu.

Kajian historis atas pemikiran keislaman NU sangat penting, karena Ormas yang mampu bertahan (survive) sampai hari ini memiliki pengalaman sejarah yang berbeda, dan unik. Selain itu, tipologi pemikiran keislaman yang dikembangkan satu ormas merupakan hasil dialektika antara ajaran Islam yang dikaji oleh komunitas, realitas sejarah di sekitar dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan oleh anggota ormas. Dari sini kemudian lahir interpretasi versi masing-masing ormas. Dalam pandangan penulis, lembaran panjang sejarah Islam di mana pun merupakan pergumulan masyarakat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang mereka kaji dalam ruang dan waktu tertentu.

Karena itu, kalau pun setiap ormas di negeri ini memiliki kesimpulan yang unik dalam melihat realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama, hal itu lebih disebabkan kecenderungan corak pemikiran (‘ideologi’) dan bahkan cara pandang (paradigma) atas dinamika yang sudah terbangun sejak lama, dan melatarbelakangi berdirinya satu ormas. Iya, sikap ormas adalah hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu.(Red-pen).

Konsep Islam Nusantara[14] belakangan nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air.

Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah ? Memang betul, Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan Nuṣūṣ al-Syarīah (Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan Maqāṣīd al-Syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-Syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian Istiqrāꞌ (penelitian).

Azyumardi Azra,[15] ketika menjelaskan tentang apa sesungguhnya makna terdalam dari konsep Islam Nusantara. Bagi Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter Wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.

Memang, filologi adalah salah satu pilar di antara pilar-pilar ilmu lain untuk menggali kekayaan sastra, budaya, dan tradisi intelektual Islam Nusantara. Dalam sebuah perbincangan via surat elektronik, Fachry Ali yang alumni FAH tahun 1984 itu menyapa Azra, katanya:

“…Now, as the dean of the Adab Faculty, using your own phrase on the obligation of developing philology at the UIN, it has become your Fardlu ‘Ain to make a thorough study on this subject matter: a Ciputat intellectual history…”.

Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said, konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara.

Dalam konsep tersebut kata dia, menggambarkan umat Islam Indonesia yang menyatu dengan budaya hasil kreasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Terang Kiai Said ;

“Kita harus menyatu dengan budaya itu, selama budaya itu baik dan tidak bertentangan itu semakin membuat indah Islam, kita tidak boleh menentang atau melawannya. Terkecuali budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti zinah, berjudi, mabuk dan lainnya,”

Dalam sebuah perbincangan ringan dengan Komaruddin Hidayat (saat masih menjabat Rektor UIN), Susilo Bambang Yudhoyono (saat telah lengser sebagai Presiden RI ke-6) bersaksi bahwa masyarakat Muslim internasional sangat banyak berharap agar Indonesia menjadi prototype peradaban Islam di era kontemporer, mengingat karakter masyarakatnya yang multikultural, multietnik, moderat, dan jauh lebih toleran dibanding negara-negara Muslim lain. Itu pula yang mendorong Komarudin Hidayat menggebu-gebu dan bermimpi Indonesia memiliki ikon pendidikan tinggi Islam yang disegani dunia.

Begitu dua kata yang tersusun dari entitas agama dan budaya ini ramai dibincangkan, barulah para tokoh NU berikhtiar merumuskan definisinya. Prof Isom Yusqi,[16] misalnya, menyebutkan bahwa Islam Nusantara merupakan “istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam”.[17] Kemudian, KH Afifuddin Muhajir,[18] memaknai Islam Nusantara sebagai “pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara” (NU Online, 27/6). Begitu juga Abdul Moqsith Ghozali, menyebut Islam Nusantara sebagai “Islam yang sanggup berdialektika dengan kebudayaan masyarakat”.[19]

Gus Mus juga menjelaskan, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara. “Tapi geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,” jelasnya.

Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu. Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.[20] Walisongo menurut Gus Mus, memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tegas Gus Mus.

Ketum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Khairul Anam Haritsah menilai, konsep Islam Nusantara dapat menjalankan program deradikalisasi dari pemerintah. Pasalnya, Islam Nusantara menonjolkan sisi kebhinekaan dan jauh dari doktrin-doktrin kekerasan.

Hal itu diungkapkan Khairul Anam dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan tema Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Jakarta, Senin (6/7). Kata Khairul ;

“Islam Nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu menasehati bukan menyakiti, dan Islam Nusantara itu mengajak bukan mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan agama,”.

Dia mengatakan, Islam Nusantara merupakan cara pandang Islam sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, Islam Nusantara memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengkafirkan.

Dirinya meyakini, konsep Islam Nusantara dapat menekan ancaman radikalisme di Indonesia. Apalagi banyak tokoh ulama dari Timur Tengah mempelajari relasi agama dengan negara seperti semangat Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan nasionalisme dengan Islam sebagai agama.

Menurutnya, konflik di Timur Tengah banyak terjadi lantaran tidak adanya sikap nasionalisme atau kecintaan Tanah Air sehingga rawan akan perang saudara.

Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR Zainut Tauhid menambahkan, NU di Indonesia secara konsisten melaksanakan ajaran Islam moderat, anti kekerasan. Bahkan Islam Nusantara pernah dinyatakan Gus Dur melalui konsep “Pribumisasi Islam” dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jelas Zainut ;

“Konsep yang ditekankan adalah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat tetapi juga tidak menolak nilai-nilai baru yang terus muncul sepanjang untuk kebaikan masyarakat,”

Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan[21] manusia di dunia dan akhirat.

Ulama Uṣūl Fiqh membagi Maslahat kepada tiga bagian, yaitu :
1. MaslahatMuʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah.
2. MaslahatMulghāh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka (warisan) antara anak laki-laki dan anak perempuan.
3. MaslahatMursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.

Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara Khilāfah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurut beliau,

 “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا” ; 

kepemimpinan Negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.

Sementara itu, Maqāṣīd al-Syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal :
1. Dalam memahami Nuṣūṣ al-Syarīah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan Maqāṣīd al-Syarīʻahakan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual-empirik.
2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alqur’an dan Sunnah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah; al-Qiyās, Istiḥsān, Saddu al-Zarīʻah, ʻUrf, dan Maṣlaḥah Mursalahseperti disinggung di atas.

Al-Qiyās ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.

Istihsān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.

Sadd al-Zarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan kepada mafsadat (kerusakan).

ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻUrf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (Maqāṣid) syariat.

Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻUrf sebagai Hujjah Syarʻiyyah pada fiman Allah,

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻrāf: 199)

Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻūd,

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”

Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūṭ :

الثابت بالعرف كاالثابت بالنص

“Yang ditetapkan oleh ʻUrf sama dengan yang ditetapkan oleh Nash.”

Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat Ilahiyah sementara yang kedua adalah Insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.

Selain Nuṣūṣ al-Syarīʻah dan Maqāṣīd al-Syarīʻah, Islam juga memiliki Mabādiꞌ al-Syarīʻah (prinsip-prinsip syari’at). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-Wasaṭhiyyah (Moderat). Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah SWT dalam firman-Nya,

وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”(al-Baqarah: 143)

Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Moderasi/Moderat memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-Wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti Taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan yang ideal.

Banyak kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip Wāqiʻiyyah, di antaranya:

الضرر يزال

اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى

دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم

Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa Yadkhulūna fī Dīn Allahi Afwājān). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Ada cerita masyhur, suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara Fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan

 “الله لا يعبد الا بما شرع” 

/ Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyari’atkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fikih muamalat mengatakan,

 “المعاملات طلق حتى يعلم المنع”

/ Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.

Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan Manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode berikutnya.

Sehingga, Islam Nusantara ialah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.


ISLAM MODERAT KONTEKS NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab mencatat bahwa ;

“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.[22]

Yang menjadi permasalahan adalah dapatkah dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri (Truth Claim), dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep “Islam moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep “Islam moderat” tidak ada rujukannya secara pasti[23], akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang sebenarnya, konsep “Islam moderat” tampaknya patut diaktualisasikan.

Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.

Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”.[24] Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.[25]

Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian/kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).[26]


AKAR ISLAM MODERAT INDONESIA SEBAGAI EMBRIO LAHIRNYA ISLAM NUSANTARA

Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia.

Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,[27] Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.

Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.[28]

Demikian pula dikatakan, bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.[29]

Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekstualisasikan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya, kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan dinamis/lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar Shalih Li kulli Zaman wa Makan[30] (cocok untuk setiap zaman dan tempat).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek Islam sebagaimana yang diajarkan Walisongo dan diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dapat disebut Islam kaffah atau Islam yang benar. Beragam pandangan pun muncul terkait dengan hal ini, baik dari beberapa golongan dalam Islam sendiri maupun para pengamat asing dan dalam negeri. Misalnya, Geertz adalah salah satu tokoh yang menyangsikan ke-Muslim-an mayoritas orang Jawa, karena fenomena sinkretisme begitu nyata di kalangan mereka.[31] Cliffort Geertz merupakan tokoh penting dalam studi Islam Jawa yang mengatakan praktek keagamaan orang Jawa campur aduk dengan unsur-unsur tradisi-tradisi non Islam. Menurutnya, kelompok priyayi dan abangan dengan jelas mencerminkan tipisnya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa. Bahkan, dalam pandangannya, kelompok yang diangap paling Islami, yaitu santri tidak terlepas dari pengaruh tradisi pra-Islam. Identitas ke-Islaman orang Jawa kurang lebih sama dengan “Islam Nominal”.[32]

Sebaliknya, pengamat lain menyebutkan, mungkin benar bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal, Islam nominal, atau Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya, yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak berarti tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya terlepas dari “tradisi besar” Islam. Bahkan, khususunya sejak abad ke-17, dapat disaksikan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan “tradisi lokal” Islam di Asia tenggara dengan “tradisi besar” (tradisi normatif dan idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah.[33]

Demikian pula, berdasarkan kesimpulan Mark Woodward, kalau ditelaah secara mendalam dan ditinjau dari segi perspektif Islam secara luas, didapati bahwa hampir seluruh ajaran, tradisi, dan penekanan yang bersifat spiritual yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa, pada dasarnya bersumber dari ajaran Islam di Timur Tengah. Apa yang dikenal dalam upacara keagamaan Jawa, seperti grebeg, selametan, kalimasodo, dsb adalah bagian dari ajaran Islam. Selain itu, doktrin Kawula Gusti, Martabat Tujuh[34] dan tradisi wayang yang dikenal dan dilestarikan dalam masyarakat Jawa, dapat ditelusuri asal usulnya dari tradisi tasawuf Islam.[35]

Sejalan dengan pernyataan Woodward dan Azra, dapatlah dibenarkan bahwa tidak satu pun budaya di dunia ini yang tidak sinkretik, karena semua budaya pasti memiliki aspek historisnya yang tidak tunggal dan dengan demikian bersifat sinkretik.[36] Baik agama maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana tercantum secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaannya semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami, ditafsirkan, dan diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting budaya, politik, dan ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayan.[37]

Menurut Fazlur Rahman, memang secara historis sumber utama Islam adalah wahyu Ilahi yang kemudian termuat dalam kitab yang di sebut al-Qur’an. Namun, kitab ini tidak turun sekaligus dalam jangka waktu berbarengan, melainkan turun sedikit demi sedikit dan baru terkumpul setelah beberapa puluh tahun lamanya. Oleh karena itu, wahyu jenis ini merupakan reaksi dari kondisi sosial-historis yang berlangsung pada saat itu. Hubungan antara pemeluk dan teks wahyu dimungkinkan oleh aspek normatif wahyu itu, adapun pola yang berlangsung berjalan melalui cara interpretasi (penafsiran). Teks tidak pernah berbicara sendiri, dan ia akan bermakna jika dihubungkan dengan manusia. Apa yang diperbuat, disetujui, dan dikatakan oleh Rasul adalah hasil usaha (ijtihad) Rasul memahami dimensi normatif wahyu. Sementara itu, upaya interpretasi Rasul terhadap teks dipengaruhi oleh situasi historis yang bersifat partikular pada masanya. Bahkan, tidak jarang Rasul sendiri sering mengubah interpretasinya terhadap al-Qur’an jika diperlukan.[38]

Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah begitu luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam interaksi dan dialog antara ajaran agama dengan budaya lokal yang lebih bersifat lokal itu, kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran agama yang universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah agama itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi sosial, budaya, maupun ekonomi yang mereka hadapi. Dari perspektif inilah dapat diterangkan mengapa, misalnya, gerakan Islam yang selama ini dikenal sebagai “modernis” yakni Muhammadiyah cenderung memperoleh dukungan yang kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU yang sering disebut sebagai golongan ”tradisional” memperoleh pengaruh luas di daerah pedesaan.[39]

Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah meskipun suatu agama itu diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi semakin agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganut serta semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan wajah dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan agama yang berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik, maka mau tidak mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial budaya yang sering kali tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama yang hendak dikembangkan.[40]

“Tidak ada satu pun agama yang tidak berangkat dari sebuah respon sosial. Semua bertolak dan bergumul dari, untuk, dan dengannya. Ketika agama yang merupakan titah suci Tuhan berdialektika dengan relitas sosial, berarti ia masuk pada kubangan sejarah, atau menyejarah. Sejarah, ruang, dan waktu adalah penguji kebenaran serta kekokohan eksistensi agama. Sebagai penguji, sejarah tentu memiliki seperangkat bahan ujian. Bahan itu adalah unsur-unsur budaya setempat, fenomena dan budaya baru, serta rasionalitas.”[41]

Sekali lagi, perselingkuhan antara agama dan tradisi adalah sunatullah. Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan atas teks-teks keagamaan yang sakral. Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan. Namun, tradisi bukanlah segalanya, ia tetap dalam ketidak sempurnaannya sebagai buah pemikiran yang amat sarat nilai. Ia harus disikapi secara proporsional dan tidak boleh dikurangi atau dilebih-lebihkan dari kepastian sebenarnya.[42]


MINIATUR ISLAM MODERAT

Fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. NU adalah organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang dimainkan. Oleh karena itu, kedua organisasi ini patut disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini. NU merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar.[43] Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide keislaman yang toleran dan damai.[44]

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, NU adalah organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. Dengan demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban.[45]

Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain.[46]

Perkataan Ahlusunnah waljama’ah dapat diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ (kesepakatan) ulama”.[47] Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga I‘tidal (bersikap adil), Tawazun (bersikap seimbang), dan Tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljama’ah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).[48]

Pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah- tengah masyarakat (Madzhab Hani, Malik, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.[49]

Model keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, mungkin tepat apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam merupakan suatu pendekatan yang bijak. Bukankah al-Qur’an menganjurkan sebuah metode yang bijaksana, yaitu “serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yag baik” (QS. An-Nahl: 125).32. Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal (local wisdom) dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.[50]


NILAI-NILAI AJARAN ISLAM NUSANTARA ; LAHIRNYA PANCASILA

Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah sangat Islami.[51] Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan Tauhid dalam akidah ke-Islaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi Syari’at.


Tabel 01.

Nilai-nilai Ajaran Islam dalam Pancasila

PANCASILA 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa Jika manusia mengakui kekuasaan yang tertinggi[1] konsep ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain adalah apa yang disebut dengan “Tauhid” demikian antara lain berbunnyi keputusan muktamar Nahdatul Ulama ke-26 di Situbondo pada tahun 1984. Tafsir ini tidak dimaksud untuk menafikan hak hidup agama-agama lain yang diatur di Indonesia. Karena “Tauhid” itulah keyakinan yang terdalam dan yang paling awal (perimordial) dari semua agama-agama yang ada di dunia. Al-Qur’an menyatakan sebagai berikut:“dan tidak pernah mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku“. (QS al-Anbiya‟ [21]: 25).

Akidah ke-Esan Tuhan (Tauhid) tersebut tidak tergoyahkan meskipun kita tahu masing-masing umat punya cara keberagamaan yang berbeda

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Manusia pertama kali diciptakan Allah adalah Nabi Adam As. Sebgai Abu Basyar dengan Siti Hawa sebagai Ummul al-Basyar. Kemudian keturunan nabi adam itu sebagai umat yang satu (ummatu wahidah) (Q.S. Al-Baqarah/2:212. Substansi ayat ini mengajarkan agar manusia hidup dan berada dalam kebersamaan. Berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang direalisasikan dengan berbagai macam aktifitas serta bermacam hubungan antara sesamanya. Kebersamaan merupakan sarana atau ruang gerak bagi manusia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya sendiri. Ketergantungan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, oleh Aristoteles disebutkan sebagai makhluk Zon Politicon.[2] karena esensi kemanusiaan yang bersifat Ilahiah itulah Allah Swt menegaskan harkat dan martabat manusia anak cucu Adam sebagai mengatasi makhluk-makhluk lainnya:Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan dilautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengankelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS al-Isra’[17]: 70).[3]

Dalam rangka menghormati martabat manusia,[4] nyawa manusia itu sakral dan tak bisa dilanggar dan setiap usaha harus di buat untuk melindunginya[5] Islam memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk berserikat menjalin persahabatan dan kerjasama dengan siapa pun, tanpa paksaan dari pihak lain,[6] setiap orang berhak diperlakukan sesuai dengan hukum, dan hanya sesuai dengan hukum, setiap orang berhak dan berkewajiban untuk membela hak-hak orang lain dan hak-hak komunitas secara umum, dalam membela hak-hak pribadi maupun publik, setiap orang tidak boleh diskriminasikan.[7] Dengan demikian, memuliakan manusia, sebagai gambar Allah dan khalifahnya pada hakikatnya adalah memuliakan Allah, Tuhan yang Maha Esa, Pun sebaliknya, menghinakan manusia dan kemanusiaan adalah penghinaan kepada Allah Swt. Dalam hidup bernegara Indonesia, dengan alasan apapun, tidak boleh terjadi pelecahan terhadap harkat dan martabat manusia.

3. Persatuan Indonesia Dari kata-kata „Satu‟ (Wahid dalam bahasa arab), “persatuan‟ (wahidah) menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam satu derap langkah bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa islam disebut dengan “Jama’ah” dalam islam nilai-nilai persatuan merupakan perintah Allah yang tertuang dalam al-Qur,an agar kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada aturan-aturannya dan tidak terpecah-pecah. Demikian pula perintah Allah Swt. agar kaum muslim tidak mengikuti sikap umat terdahulu (Jahiliyah) setelah datangnya petunjuk, seperti tertuang dalam ayat:Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.…….. (Ali imran: ayat 105)

Ajaran-ajaran ini benar-benar di pegang oleh kaum muslimin bukan hanya sekedar ajaran yang amalkan, akan tetapi sudah merupakan behavior yang berwujud dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan. Hal ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari berupa pengalaman shalat berjamaah shalat jum’ah dan terutama pada saat kaum muslimin bersama-sama berwukuf di’AROFAH, bernaung di bawah tenda yang sama dengan pakaian yang sama pula.Disinilah tanpak sekali anjuran islam tentang persatuan.

Persatuan merupakan perintah Allah Swt yang harus dipegang teguh oleh setiapmanusia, baik pada saat damai lebih-lebih pada saat berada dalam jurang perpecahan karena persatuan dipandang sebagai kekuatan. Apabila panitia Sembilan dan BPUPKI mencantumkan perinsip persatuan dalam pancasila dan dijabarkan dalam UUD‟ 45, bukan merupakan sesuatau yang baru, karena mereka yang duduk di dalam panitia-panitia tersebut sangat meamahami bahwa di samping persatuan merupakan perintah Allah juga merupakankekuatan yang sangat di perlukan dalam menuju cita-cita kemerdekaan.[8]

Persatuan saling berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan mulia ini sungguhsejalan dengan firman Allah sebagai berikut:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, (dalam kontekskeindonesiaan cita-cita menegakkan keadilan sosial) secara bersama-sama dan janganlahkamu bercerai berai, (QS Ali imran [3]: 103)

Dan saling kerjasamalah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlahbekerja sama dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya siksaan allah (akibat permushan keengganan bekerjasama dan tolong menolong) sagatlah keras adanya (QS. al-Maidah [5]: 2)

Upaya membangun berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk (plural) diatas bumi ini pertama kali dirintis oleh Muhammad Rasulullah SAW lebih 14 abad lalu, persisnya tahun 622 M di Madinah. Sebagaimana diketahui, pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah adalah pemerintahan/Negara yang dibangun diatas landasan penghargaan terhadap kebinekaan agama, tradisi dan suku. Prinsip ini tertuang dengan gamblang dalam naskah konstitusi Negara Madinah yang dikenal luas dengan sebutan[9] Piagam Madinah[10]

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan Di dalam al-qur‟an terdapat perintah supaya permus yawarahan dalam urusan dunia seperti:… Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…. (Ali-Imran: 159)

.… Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawrah antara mereka (al- Syura : 38)

Perinsip syura dalam islam tidak berbentuk demokrasi absolute melainkan demokrasiketuhanan (teodemokrasi) seperti termuat dalam al-qur;an dan hadis serta praktik yang telahdilaksnakan oleh nabi muhammad serta sahabat-sahabatnya. Demokrasi ketuhanan dalamajaran islam hanya berkisar mengenai urusan umat. Jadi penerapannya hanya yaitu urusan-urusan kesejahteraan, hidup bermasyarakat, bernegara, berperang, dan lain-lain yang brsangkut paut dengan umat. Dalam menyelesaikan urusan umat hendak mbermusyawarah mufakat yang dijiwai oleh prinsip-prinsip yang termuat dalam al-Qur‟an dan Sunnah.[11]

Tak ada satupun di dunia ini yang lepas dari pengetahuan, dan kasih sayang Tuhan.Ringkasnya, Tuhan mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan makhluknya, termasukmanusia. Namun demikian, kemaha kuasaanya dikendalikan oleh kasih sayang-Nya. AllahSwt bisa saja membuat semua manusia menjadi satu umat saja (QS.11: 118), tapi itu tidakdilakukannya dan dibiarkannya.[12] Hal demikian melambangkan bahwa tuhan sendirisebenarnya sebagai penguasa jagat raya tidak persifat otoliter meskipun memilki kekuasaanyang tidak sebanding dengan makhluk ciptaannya dengan memberi kebebasan kepada setiapmakhluk untuk memilih apa yang menjadi keinginannya. Konsekuensi dari ayat inimenciptakan perbedaan yang pada inti untuk menyelesaikan perbedaan itu diperlukanmusyawarah. Bahkan kisah yang tidak kala spektakuler ketika Nabi melakukan isra dan mi‟raj kesiratul muntaha yang terjadi dialok negosiasi dengan tuhan dalam hal minta keringananshalat lima waktu yang awalnya lima puluh sehari semalam menjadi lima waktu kejadian inimenyadarkan kita bahwa tuhan saja sebagai penguasa segala kehidupan di alam raya ini masihmelakukan musyawarah dengan Nabi Muhammad untuk menentukan hukum kepadahambanya.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Keadilan: dari kata al-‘Adl (adil) yang secara harfiah berarti “lurus”, “seimbang”.Dalam fiqih, “’Adil‟ pertama-tama berarti memperlakukan setiap orang secara setara, tanpadiskriminasi berdasarkan hal-hal yang bersifat subjektif. Dalam kitab al-Mufasshal fi Fiqh ad-Da’wah, Abul Qasim al-Amadi menulis :“keadilan adalah konsep yang merengkuh setiap orang, atau setiap komunitas; tanpadipengaruhi perasaan subjektif suka tidak suka, atau faktor keturunan, atau status soal kaya-miskin, kuat lemah; intinya menakar setiap orang dengan takaran yang sama dan menimbangdengan timbangan yang sama, sebagai manusia, hamba allah dan ciptaanya.”

Dengan kata lain, unsur pertama keadilan adalah „kesetaraan‟ perbedaan suku ras dan semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain keanekaragaman bahasa, budaya maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah Swt.

Dan di antara tandatanda kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 22)

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-aki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal


Seandainya kaum muslimin [saat itu] ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah

“درء المفاسد مقدم على جلب المصالح” 

/ Menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.

Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah sumringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.

Dalam kehidupan bernegara, lanjut Masdar, Gus Dur dan kiai NU lainnya tidak menganut adanya doktrin agama secara formal, yakni adanya negara Islam. Karena dalam pandangan Gus Dur dan para kiai NU, Islam itu ruh, esensi, dan nilai universal. Negara dengan berbagai sistem politik, sejarah, dan struktur kekuasaannya tidak menjadi penting, sebab yang terpenting adalah esensi nilai Islam yang dikandungnya.

“Kebernegaraan yang digarisbawahi Islam yang pertama adalah untuk menggelar keadilan bagi segenap rakyatnya. Yang kedua, strateginya harus dengan musyawarah, liberation,” kata pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 58 tahun lalu itu.

Dua hal pokok ini, kata Masdar, sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Bukan soal merek negara, batas, maupun sistem pemerintahan presidensial dan parlementer suatu negara.

Menurut Rais Syuriah PBNU itu, Islam yang terkait dengan ajaran kehidupan masyarakat Indonesia lebih bersifat terbuka. Dalam hal ini, formalitas keislaman menjadi sama sekali tidak penting, karena yang lebih penting adalah esensinya.

Maka dari pandangan kiai yang kemudian diartikulasikan lebih tajam Oleh Gus Dur, Indonesia dengan Pancasila sama sekali tidak ada masalah dari perspektif Islam. Karena yang terpenting bukan merek negara, tapi substansinya.

Perspektif kiai seperti ini, kata Masdar, tidak ada jarak sama sekali dengan konsep NKRI yang tidak menyebut negara Islam, meski semua landasan konstitusinya disebutkan dalam bahasa ke-Indonesia-an yang mengadopsi kultur lokal di dalamnya.

Sikap kebangsaan yang sejalan dengan ke-Islaman itu terkait erat dengan rumusan ‘Pribumisasi Islam’ yang digaungkan Gus Dur. Salah satu contohnya bisa dilihat dalam kehidupan pesantren.

Menurut Gus Dur, Islam yang berkembang di pesantren umumnya adalah Islam yang direbumikan, disesuaikan dengan budaya setempat. Islam dihayati dalam pola kehidupan masyarakatnya, diungkapkan dalam bahasa masyarakat, dan diamalkan sesuai konteks tempat umat Islam itu berada, terutama berkaitan dengan amaliyah non-ritual.

“Karena Islam tidak mengingkari eksistensi kebudayaan, kebangsaan, maupun kesukuan umatnya. Ini digarisbawahi oleh Alquran, ‘saya ciptakan kalian lelaki dan perempuan dan kami jadikan kaian bersuku/berbangsa,” ungkap Masdar.

Maka, menurut Masdar, jelas sekali konsistensi sikap Gus Dur pada kebhinekaan. Pesantren, yang sangat berpengaruh besar terhadap pemikiran Gus Dur, adalah tempat di mana tradisi untuk menghormati orang dari lingkungan apa pun, baik mazhab maupun agama berjalan dalam korior esensi nilai. Terlebih, lanjut Masdar, pesantren sangat populer dengan ucapan “wallahua’lam” yang bermakna Allah lebih tahu mana yang benar, setiap kali kiai atau santri menyampaikan tafsir keagamaan.[64]

Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi pengrusakan-pengrusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.

Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (ṣalāḥ). Tugas kita sebagai elit-elit muda Nahdlatul Ulama adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4)

KH A Mustofa Bisri mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. Ungkap Rais ‘Aam PBNU itu saat menyampaikan tausiyah di Pengajian Pitulasan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad (12/7) malam.

“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?”

Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia. “Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,” sindir Gus Mus.[65]

Karakter Islam Indonesia yang sedemikian memikat dunia itu tentunya tidak terbentuk tiba-tiba, melainkan diawali dengan lahirnya tradisi, budaya, dan kesusastraan Islam sufistis sejak awal abad ke-16. Michael Laffan,[66] menjelaskan bahwa wajah Islam Indonesia tidak mulai dibentuk pada masa kolonial seperti banyak diasumsikan oleh para sarjana. Ia adalah kelanjutan dan buah dari pertemuan beragam tradisi, budaya, intelektualitas, dan agama yang telah saling berinteraksi sejak awal masuknya Islam ke wilayah ini. Tradisi Arab, Cina, India, dan Eropa, semuanya berjalin berkelindan membentuk karakter Wasathiyah seperti dijelaskan Azra di atas.

Kalau masyarakat Muslim dunia berharap agar karakter Islam Nusantara menjadi inspirasi perdamaian global, lalu siapa di sini yang akan menjadi “guardian”nya ? Siapa yang akan menjaga, merawat, mewarisi, mengkaji, dan menyebarkan gagasan-gagasan Islam kultural tersebut serta menerjemahkannya dalam ranah yang lebih praksis agar memberikan kontribusi riil terhadap peradaban dunia ?


PENJELASAN BAGI YANG KONTRA

Wacana tentang Islam Nusantara telah memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam. Katib Syuriyah PBNU, KH Afifuddin Muhajir, mencoba memberikan penjelasan tentang apa itu sebenarnya maksud dari Islam Nusantara.

Dalam tulisannya yang dimuat dalam situs resmi NU http://www.nu.or.id, KH Afifuddin Muhajir, menyebutkan bahwa istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.

Menurutnya, kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. KH Afiffuddin memberikan jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara”.

Seperti jamak diketahui, kata KH Afifuddin[67], Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran.

Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan.

Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan Takhalli dan Tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji.

Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.

Yang pertama dan kedua, kata beliau, sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia.

Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.

Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah.

Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib.

Dikatakannya, penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum Qath’iyyat ini cukup rinci, detail, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum Qath’iyyat tersebut.

Sementara itu, hukum-hukum Iijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.

Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad SAW melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.

Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda supaya jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.

Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara.

Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.

Namun sayangnya, di tengah diskursus yang menarik tersebut, masih ada kesalahpahaman dari sementara kalangan, terutama pihak yang kontra terhadap topik Islam Nusantara ini. Menurut masyarakat yang tampaknya masih awam terhadap pengertian Islam Nusantara, misalnya, Islam Nusantara dianggap sesat dan menyesatkan, karena dikira anti-Arab dan hendak melakukan pribumisasi-nusantarasasi Islam yang bermuara pada sinkretisme. Dalam pemahaman mereka, sinkretisme yang ada dalam Islam Nusantara diwujudkan dalam, misalnya, wudhu dengan air kembang; membenci bahasa Arab sehingga adzan dan shalat dengan bahasa Indonesia; mengkafani jenazah dengan kain batik; arah kiblat dan pergi haji ke gunung atau candi di Indonesia; dan beragam tuduhan menggelikan lainnya.[68]

Sedangkan sanggahan yang lebih baik datang dari sebagian pihak yang lebih memiliki pemahaman, tetapi menolak Islam Nusantara – terutama, menurut hemat penulis, semata karena alasan berbeda afiliasi organisasi. Bagi kelompok ini, Islam Nusantara perlu ditolak karena terlalu Jawa-sentris, sehingga ketika dipaksakan justru dapat memicu disintegrasi antar sesama muslim di Indonesia. Menurut mereka, adanya Islam Nusantara yang Jawa-sentris dapat memicu juga lahirnya Islam Minang, Islam Aceh, Islam Makassar, Islam Lombok, dan lain-lain, sebagai sikap ketidakpuasan terhadap Islam Nusantara. Selain itu, Islam Nusantara juga dapat memantik munculnya Islam Malaysia, Islam China, Islam Eropa, Islam Amerika, dan lain-lain.

Kelompok terakhir ini sepertinya belum mengetahui, atau sekurangnya lupa, bahwa terdapat jaringan ulama Nusantara yang membentang luas secara geografis dari seluruh wilayah Indonesia saat ini, hingga Malaysia, Brunei Darussalam, dan Patani (Thailand). Pada masa Tanah Hijaz belum dikuasai oleh Kerajaan Saudi Arabia yang didukung oleh ulama Wahabi, ulama Nusantara berperan cukup penting di sana. Banyak ulama Nusantara yang belajar di tanah kelahiran Islam tersebut, dan tak sedikit pula yang menjadi pengajar di sana. Sebagai identitas terhadap orang-orang yang datang dari kawasan yang kini Asia Tenggara tersebut, diberikan nisbah sesuai negeri asalnya, al-Jawi. Bagi yang pernah membaca sekilas sejarah yang menyebut nama ulama al-Jawi ini, barangkali mengira bahwa yang dimaksud sebagai “Jawi” adalah Pulau Jawa saja.

Padahal, sebutan al-Jawi ini berlaku untuk semua orang yang berasal dari kawasan geografis yang membentang di Asia Tenggara kini. Sebagai contohnya, ada nama besar Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili di Aceh, Syekh Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falimbani di Palembang, dan Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani al-Jawi di Patani (Thailand). Semuanya memakai nisbah al-Jawi sekalipun tidak berasal ataupun tinggal di Pulau Jawa. Selain itu, Ahmad Baso (2012), mengungkapkan sejarah jaringan kyai-santri, guru-murid, baik secara langsung maupun melalui tulisan,terjalin secara luas mulai dari wilayah-wilayah yang penulis singgung di atas, bahkan hingga ke daerah Kepala Burung dan Fakfak di Pulau Papua. Luasnya cakupan geografis ini, sejak zaman dahulu memang lazim disebut sebagai “Jawi”, “Negeri Bawah Angin”, dan “Nusantara” – terma yang menjadi bahan diskusi hangat kali ini. Selain dari aspek kesejarahan yang menihilkan sangkaan Jawa-sentris terhadap Islam Nusantara, secara esensial pun Islam Nusantara tidak hendak melakukan Jawanisasi.

Dalam ukhuwwah (persaudaraan) yang terjalin antara ulama dari berbagai daerah di Nusantara, pada zaman dahulu maupun saat ini, tidak tampak adanya upaya radikal dari ulama Jawa untuk melakukan Jawanisasi di wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatera, misalnya, Islam sudah lebih dahulu berkembang daripada di Pulau Jawa, sehingga motif melakukan Jawanisasi Sumatera tidak menemukan bentuknya. Di Banjar Kalimantan, meskipun Islam masuk di sana sebagai syarat yang diberikan Sultan Demak atas dukungan politik pada Raja Banjar, tidak juga didapati upaya Jawanisasi Banjar yang berlebihan. Demikian juga di Lombok, yang mana Islamnya memiliki “citarasa” tersendiri dalam wujud Islam Wetu Telu, atau di Makassar, yang baru masuk Islam di awal abad ke-17 tetapi langsung gigih dalam menyebarkan agama tauhid tersebut. Sepanjang sejarah, harus diakui bahwa tidak ada upaya Jawanisasi terhadap model beragama yang ada di Nusantara.

Sebagai sebuah model keislaman, tentunya Islam Nusantara menjadi payung bagi “sub model” Islam Aceh, Islam Minang, Islam Jawa, Islam Lombok, Islam Banjar, Islam Makassar, Islam Melayu, Islam Patani, dan Islam-Islam “yang lain” di wilayahnya. Sebagai payung, Islam Nusantara akan menaungi dan mengayomi model keislaman yang berangkat dari tradisi dan kearifan lokal dalam koridor agama Islam, di manapun ia berada. Islam Nusantara bersifat lentur tetapi teratur. Terhadap hal ini, Zastrouw al-Ngatawi (2015), menyatakan bahwa sebenarnya Islam Nusantara tidak terbatasi oleh batasan-batasan geografis, karena ia dapat menjadi semacam “school of thought” dalam aspek apapun. Oleh karena itu, jika nantinya Islam Nusantara memancing lahirnya model keislaman yang lain, seperti Islam Arab, Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Tiongkok, dan lain sebagainya, tidaklah menjadi persoalan sepanjang tetap di dalam kerangka Islam sesuai ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW.[69]

Tertarik untuk mendengar kesimpulan Prof. Quraish Shihab menanggapi Islam Nusantara. Seperti banyak cendikiawan, beliau enggan untuk sebatas pro kontra, melainkan fokus pada substansi budaya dan memberi penjelasan yang mencerahkan bagi kita. Akulturasi antara budaya dan agama dapat dikategorikan menjadi tiga, menolak, merevisi atau membenarkan. Kadang Islam menolak budaya yang ada, budaya yang bertentangan dan tidak baik.

Dahulu perempuan Makkah lebih dulu berhubungan seks dengan 10 lelaki, lalu kalau hamil, dia bisa memilih salah satunya menjadi suami. Namun ada juga yang melalui proses lamaran, membayar mahar dan persetujuan dua keluarga. Islam kemudian menolak yang pertama dan menerima yang ke dua. Kadang Islam merevisi budaya yang sudah ada.

Sebelum Islam datang, orang Makkah sudah melalukan ritual thawaf mengelilingi ka’bah dengan telanjang, untuk melambangkan kesucian. Lalu direvisi menjadi memakai pakaian ihram. Kadang Islam menerima sepenuhnya. Seperti budaya pakaian Arab, lelaki berjubah, perempuan berjilbab. Begitu juga seperti yang dilakukan oleh Walisongo menanggapi budaya memberi sesajen, direvisi menjadi tasyakuran. Budaya Nyadran yang mengalirkan kerbau ke pantai juga direvisi menjadi kepalanya saja yang dihanyutkan. Budaya ini kemudian diartikan sebagai wujud syukur dan peduli pada sesama.

Inilah contoh ulama masa lalu dalam menerapkan dakwah dengan cara-cara yang damai sehingga Islam dianut oleh mayortas masyarakat Indonesia. Tentu tidak bisa dibayangkan jika Walisongo dulu menerapkan dakwah ala PKS, HTI dan FPI. Dikit-dikit kafir, bid’ah, harus pakai sorban, jubah karana sunnah, jilbab harus panjang (sebagian yang mengaku ustad, memanfaatkan, melabeli produknya sebagai jilbab syar’ie dsb). Mungkin sampai sekarang Islam tidak akan menjadi agama mayoritas di Nusantara.

Islam Nusantara Dari Kacamata Politik kita tidak bisa menutup mata bahwa efek pilpres masih terasa hingga saat ini. Sehingga apapun kebijakan dan isu yang terjadi di tanah air, pada akhirnya hanya terbagi menjadi nomer satu atau salam dua jari. Lihat saja saat pernyataan Menag soal tidak perlu ada paksaan (sweeping) menutup warung ketika ramadhan diplintir sedemikian rupa. Begitu juga dengan munculnya istilah Islam Nusantara, rakyat oposisi langsung menyebutnya baju baru dari liberal. Spesialisasi suara sumbang soal agama Islam muncul dari kelompok yang sama (PKS, HTI, FPI). Tiga kelompok mengatasnamakan Islam ini sangat bernafsu untuk menguasai NKRI. Bedanya PKS menerima jalur demokrasi dengan menjadi partai politik. Sementara HTI dan FPI tetap hanya menjadi ormas. Namun ketiganya mengusung visi yang sama, “Khilafah Islamiyah”.

Bukan sebuah kebetulan juga kalau ketiganya tergabung dalam gerbong yang sama. Kalaupun ketiganya sering mengekak dan menyatakan berbeda visi, tetap saja pada kenyataanya mereka satu semangat khilafah. Sealam dengan Kompasianer Mabuk Permanen. Beruntung Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama adalah organisasi terpisah dengan partai politik. Konsep yang hati-hati dan luar biasa sekali. Seberbeda apapun pilihan politik PAN dan PKB tidak akan merembet atau membawa-bawa islam dan menggunakannya sebagai komuditas politik. Sehingga tidak perlu heran kalau cendikiawan NU dan Muhammadiyah tetap bisa ‘balas pantun‘ di panggung Mata Najwa beberapa waktu lalu.[70]

Itulah sedikit wajah Islam Nusantara. Islam yang melebur dengan budaya tanpa perlu menghapusnya, namun merevisi agar tidak syirik dan sesuai syariat. Jadi kalau sekarang ada yang menyindir agar pakaian ihram diganti menggunakan kebaya atau batik, jelas orang seperti ini perlu mengaji dengan Kyai, atau butuh sedikit piknik agar otaknya tidak sempit dan penuh pikiran negatif. Begitu juga yang mengagungkan jubah, gamis serta surban namun kelewat batas dan mengklaim bahwa itu adalah pakaian Islam. Padahal semua itu adalah budaya yang tujuannya adalah untuk menutup aurat.

Beberapa orang hanya fokus pada dalil sunnah mengenakan jubah, gamis dan surban, namun kemudian lupa keharusan untuk tidak menonjolkan diri dari yang lain (takabbur). Nabi Muhammad meskipun datang membawa Islam, beliau tidak lantas berpenampilan berbeda. Tidak mentang-mentang nabi lantas mengenakan pakaian yang berbeda dengan mayoritas masyarakat sekitar. Tentu konteksnya menjadi berbeda ketika mengenakan jubah di desa yang mayoritas memakai sarung dan baju biasa. Ada kesan berbeda, menonjol. Nah hal seperti ini yang tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan kesan sombong dan berpotensi riya’ bagi yang mengenakannya. Jadi kalau ada orang yang masih kaku menangkap bahwa jubah dan surban itu sunnah dan titik, mereka juga perlu mengaji.

Ini jadi sama seperti pertanyaan apakah hukum melakukan sex ? Tentu saja halal jika sudah suami istri, dan melakukannya di dalam kamar atau ruang tertutup. Jangan sampai mentang-mentang suami istri, mentang-mentang halal, lantas bermain di pinggir jalan. Semua ada ruang dan waktunya. .

Sementara Nusron Wahid mewakili GP Ansor mengungkapkan bahwa selama ini para tokoh kita menghadirkan agama sebagai doktrin, bukan sebagai realitas sosial. Orang beragama itu seharusnya menggembirakan. Tapi hari ini seakan-akan menakutkan, orang sekarang seakan belum sah beragama jika belum mengatakan orang lain berdosa. Ya kita sama-sama tahu lah siapa yang dimaksud oleh Nusron.

Kita tentu rindu dengan sosok sepeti Gus Dur yang dengan candaannya selalu berhasil membuat orang berpikir, Kyai Hasyim Asyari yang tidak kaku dalam mengambil kebijakan dan Kyai Ahmad Dahlan yang begitu visioner serta revolusioner. Tapi kini zaman berubah. Prof. Quraish Shihab yang kemampuannya diakui dunia, begitu dihargai oleh rakyat Malaysia, Singapore dan Brunei, kemudian dituduh sesat oleh orang yang baru belajar Islam. Bagaimana bisa orang baru masuk Islam tiba-tiba dijadikan panutan lalu menyalahkan mufassir ternama, penulis buku berkualitas, pemikir dan meraih gelar pendidikan yang tinggi ? Atmosfer yang gila ini memang sudah tidak lucu lagi. Islam yang kita kenal damai dan selalu mau mendengar pendapat orang lain lalu menjadi kelompok keTuhanan yang mengkafir-kafirkan orang lain.

Buruknya sebagian orang ikut terpengaruh dengan istilah-istilah konspirasi yang dipromosikan oleh mereka. Kondisinya nyaris sama seperti isu pilpres dimana Kang Jalal katanya akan menjadi Menteri Agama, katanya Kementrian Agama akan dihapus, lalu kebijakan boleh mengosongkan kolom agama bagi penganut agama yang belum disahkan undang-undang lalu diplintir bahwa di KTP kita nanti tidak akan ada lagi kolom agama. Kini pola yang sama mereka terapkan pada Islam Nusantara selayaknya kampanye hitam (black campain), fitnah dan sejenisnya untuk menyerang kubu yang berseberangan, baik secara politik maupun ideologi.


INDONESIA BISA JADI PEMBAWA PESAN ISLAM DAMAI, KATA ULAMA AMERIKA[71]

Ulama dari Amerika Serikat Mohamad Bashar Arafat mengatakan Indonesia bisa menjadi pembawa pesan ke masyarakat global bahwa Islam adalah agama yang cinta damai (peacefull) dan anti kekerasan (not violance).
“Saya melihat Indonesia dapat menyampaikan pesan Islam yang damai karena masyarakat majemuk yang mengagumkan yang dimiliki negara ini,” kata Mohamad Bashar Arafat kepada Antara di Jakarta, Senin. Pendiri Civilizations Exchange and Cooperation Foundation (CECF) itu mengatakan Indonesia perlu maju untuk menunjukkan dan membawa pesan mengenai koeksistensi dan keragaman budaya dan agama yang terjalin dengan harmonis kepada masyarakat dunia.

Dia mengungkapkan bahwa serangan teroris yang menewaskan banyak orang di Paris belum lama ini, yang diklaim oleh kelompok ISIS, telah mencoreng citra Islam secara umum, terutama di negara-negara Barat.

“Setelah serangan di Paris itu, 63 persen warga Amerika setuju dengan pandangan-pandangan negatif tentang Islam. Hal ini berarti ada sesuatu (pandangan) yang salah dengan kita (Muslim) yang harus kita ubah,” ujar dia.

Arafat menekankan bahwa Islam bukan hanya tentang Timur Tengah, dan dunia Arab tidak merepresentasikan Islam secara utuh dan benar bila masyarakat di negara-negara Arab tidak bertindak sesuai dengan Al Quran. “Pidato dari Presiden Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) tahun lalu itu sangat baik. Kita harus memberitahu orang-orang bahwa Islam itu bukan hanya di Timur Tengah. Islam juga ada di Indonesia dan negara lain,” kata dia.

Oleh karena itu, dia kembali menekankan bahwa Indonesia dapat menjadi contoh sekaligus pembawa pesan yang menunjukkan Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Arafat juga mengatakan bahwa CECF akan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk bekerja sama menyuarakan Islam yang damai di masing-masing negara. “Kami akan menyerukan suara Islam dari NU dan Muhammadiyah di Amerika Serikat, dan sebaliknya kedua organisasi Muslim itu akan menyerukan suara Islam dari Amerika Serikat di Indonesia,” ujar dia.

Respon Internasional soal Islam Nusantara. Dalam diskusi tentang Islam Nusantara di PBB, Dr. James B. Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, menganggap Islam Nusantara sebagai gagasan yang layak dicontoh oleh dunia internasional. “Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh,” kata Dr. James.

Sementara Dr. Chiara Formichi[72], mengatakan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Islam di Indonesia. “Gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam,” katanya.[73]


ISLAM NUSANTARA, DARI NU UNTUK DUNIA

Sebagaimana diketahui, prinsip yang dianut oleh Nahdlatul Ulama Afganistan mengadopsi prinsip-prinsip yang dianut oleh NU berdasarkan petunjuk para ulama salaf (pendahulu).

Akhir-akhir ini panggung diskusi publik kita diramaikan oleh tema Islam Nusantara, terutama sejak kejadian pembacaan al-Qur’an dalam sebuah acara di Istana Negara oleh seorang Qori’ yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.Qiro’ah tersebut menjadi buah bibir masyarakat karena, sebagaimana disebutkan oleh pembawa acara, menggunakan langgam khas Nusantara, tilawah (cara membaca) al-Qur’an yang kurang lazim didengar oleh sebagian masyarakat.

Setelah kejadian tersebut, tak pelak timbul pro-kontra yang cukup panjang, apalagi Pemerintah, melalui Presiden Jokowi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan dukungannya terhadap tilawah tersebut. Dukungan yang diberikan Pemerintah sebenarnya tidak hanya terhadap Qiro’ah berlanggam Nusantara, tetapi lebih besar daripada itu, yakni dukungan terhadap Islam Nusantara. Menurut Presiden Jokowi, ia mendukung Islam Nusantara, karena merupakan “Islam kita, yang penuh sopan santun, tata krama, dan toleransi”.[74]

Ramainya panggung diskusi publik seputar Islam Nusantara ini juga seiring dengan rencana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadikan tema Muktamar NU ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus 2015 lalu. Menurut Ketua Muktamar tersebut, H Imam Aziz, dipilihnya tema tersebut tidak terlepas dari agenda jam’iyyah NU menjelang seabad usianya. Islam Nusantara, sebagai model keislaman yang dianut oleh Nahdliyin (warga NU), perlu untuk ditunjukkan posisi strategisnya sebagai agen Islam Rahmatan lil ‘Alamin di Indonesia dan di seluruh dunia. Terkait peran NU di Indonesia, tentu saja sudah menjadi pengetahuan umum bahwa NU yang lahir pada tahun 1926 merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, sehingga sudah barang tentu memiliki peran yang signifikan bagi perjalanan bangsa dan negara ini.

Kemudian, mengenai kiprah NU di panggung dunia, selain beberapa kali pengurusnya hadir dalam beberapa forum pro-perdamaian dan pro-toleransi Internasional, NU juga menginspirasi, antara lain, ulama Afghanistan untuk membentuk organisasi masyarakat yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Berawal dari pertemuan dengan PBNU pada 2013, saat ini ulama Afghanistan sudah membentuk Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA), organisasi masyarakat yang berprinsip tawasut (moderat), tawazun (seimbang-equal), adalah (keadilan), tasamuh (toleran),dan musyarokah (serikat-persatuan). Sebagaimana diketahui, prinsip yang dianut oleh NUA tersebut mengadopsi prinsip-prinsip yang dianut oleh NU berdasarkan petunjuk para ulama salaf (pendahulu).


DINAMIKA PROBLEMATIK DAN TANTANGAN ; NU DAN TANGGUNGJAWAB UMAT ISLAM NUSANTARA

Di tanggal 31 Januari 2015 lalu, NU telah berumur ± 89 tahun. Dan umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026 nanti. Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar di Indonesia ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaikan. Sehinga nama NU tidak sekedar formalitas/papan nama, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.

Setidaknya, ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU di usia satu abad ini.

Gelombang arus Globalisasi dan Neoliberalisme.

Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju dan yang menjadi korban dari sistem ini adalah negara-negara yang sedang berkembang tanpa terkecuali adalah Indonesia. Disini harus ditegaskan bahwa neoliberalisme bukan hanya ide-ide pasar bebas (free market) dan kenijakan pro perusahaan-perusahaan besar asing transnasional dan negara-negara maju,melainkan ia juga merupakan bagian dari upaya-upaya negara maju dan perusahaan-perasahaan besara negara maju untuk menguasai negara-negara miskin (seperti indonesia) dengan cara yang strategis dan halus, bukan dengan senjata.[75]

Beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, di samping masalah sosial, politik, dalam masalah ekonomi warga NU juga masih sangat memprihatinkan karena belum ada langkah yang solutif untuk sedikit mengangkat kesejahteraan ekonomi warganya (Jam’iyah maupun Jama’ah). Muncul juga fenomena dikalangan warga NU yang berlatar belakang ekonomi menengah ke atas hanya memanfaatkan kekayaan pribadi untuk kepentingan sendiri. Tidak berbanding linear dengan kondisi masyarakat menengah ke bawah, dimana ribuan bahkan jutaan TKI yang saat ini berada di luar negeri menjajakan jasanya menjadi PRT dan lain sebagainya dan mayoritas dari mereka adalah orang-orang atau warga NU, seberapa komitmen NU mendampingi-memayungi mereka terkait hukum dan HAM dan mafia ? Sehingga disinilah letak pentingnya merefleksikan kembali gerakan Nahdlatul Tujjar. Dan berbagai rintangan-rintangan juga hambatan warga NU lainnya di usia satu abad ini.[76]

Indonesia bersama dengan Malaysia, Philippines, Singapura, Thailand, Cambodia, Laos, dan Myanmar dan Vietnam akan dimulai Asean Free Trade Area pada tahun 2015 ini. AFTA sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN, menarik investor–investor asing untuk masuk pasar ASEAN, dan terakhir untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar yang kompetitif dan memiliki daya saing yang kuat di kawasan dunia. Dalam poin–poin yang terdapat dalam ASEAN SUMMIT 4 di Singapura, Indonesia setuju menjadi bagian dari AFTA. Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Presiden Indonesia menjadi wakil dari Indonesia dalam pertemuan tersebut. Kebijakan ini tentu amat berdampak pada pemerintah hari ini, dimana rezim pemerintahan pasca Soeharto memikul beban berat untuk menyiapkan Indonesia untuk menjadi bagian dari AFTA 2015. Hal itu bisa dilihat dalam berbagai kebijakan rezim pemerintah pasca Soeharto, seperti kebijakan Import bahan pokok hingga kenaikan upah buruh. Hingga hari ini, masih banyak terjadi pro-kontra terkait AFTA akhir 2015 nanti. Pro-kontra ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di banyak negara-negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam.

Namun terlepas dari pro-kontra yang terjadi, terdapat sebuah hal yang menarik untuk kita kaji lebih jauh yaitu pengaruh AFTA 2015 terhadap peta politik pendidikan Indonesia, dimana hal ini menjadi sebuah keharusan bagi IPNU-IPPNU sebagai organisasi Pelajar yang bergerak dalam ruang-dinamika pendidikan untuk mengetahui, memahami dan mengkritisi. Kebijakan AFTA 2015 ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pendidikan di Indonesia, terlebih di dalam perspektif kajian ekonomi-politik dan bisnis-politik. Dalam kajian ekonomi politik, perspektif liberalisme amat kental dalam kebijakan AFTA 2015 ini. Dimana sesuai dengan konsep liberalisme, dalam kebijakan AFTA 2015 banyak menekankan konsep produsen, perusahaan, dan konsumen sebagai sebuah aktor-aktor yang paling berperan dalam perdagangan.

Hal ini dapat dilihat dalam tujuan-tujuan AFTA yang saya sebutkan di atas, terlebih lagi tujuan untuk meningkatkan investor asing di dalam kawasan ASEAN. Hal ini tentu akan melemahkan peran negara dalam mengatur perdagangan, namun lebih mengedepankan peran aktor-aktor dalam perdagangan (produsen, konsumen, dan perusahaan) yang tentu saja akan membuka peluang investasi besar –besaran oleh perusahaan asing di Indonesia. Sistem pendidikan merupakan faktor utama dalam mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia, dimana sesuai dengan Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahannya yang ke-empat. Dalam pasal tersebut tercantum bahwa ; “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”..

Dari point diatas dapat dilihat besarnya tanggung jawab pemerintah terhadap setiap warga negara terhadap pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah landasan utama dalam pembangunan sebuah bangsa dan negara. Dalam era globalisasi yang semakin rumit ini, tidak dipungkiri bahwa pendidikan merupakan landasan awal warga negara untuk mendapatkan keahlian dan pengetahuan yang digunakan untuk bersaing dengan warga negara lain. Dengan kata lain, daya saing sebuah negara, dapat dilihat dengan kemampuan dan pengetahuan SDM-nya. Indonesia tentu memiliki kebijakan– kebijakan dalam pendidikan dalam menghadapi persaingan pasar bebas yang akan diberlakukan akhir 2015 nanti.

Hubungan antara sistem pendidikan dengan kesiapan Indonesia sebagai sebuah negara menghadapi persaingan pasar bebas tentu akan menjadi sebuah bahasan yang menarik. Pengaruh pasar bebas yang akan disusung 2015 nanti didalam sistem pendidikan Indonesia sudah dapat kita rasakan hari ini, dimana peran pemerintah yang akan dilemahkan dalam perdagangan bebas akan menjadi sebuah tantangan besar untuk membuat kebijakan-kebijakan baik untuk menyiapkan Indonesia maupun untuk melewati tantangan AFTA 2015. Hal ini dapat kita lihat dalam Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Dimana beban belajar 144 SKS harus diselesaikan mahasiswa dalam 4-5 tahun atau 8-10 semester. Bila sampai 5 tahun tidak kunjung lulus, mahasiswa terancam di drop-out (DO). Hal ini tentu akan sangat ganjil bagi beberapa-orang,yang mungkin bertanya_dimana hubungan peraturan kementerian tersebut dengan AFTA 2015.

Namun, hubungan ini akan terlihat jelas apabila kita melihat kesiapan Indonesia terhadap AFTA 2015, terutama kesiapan SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia dalam skema perdagangan bebas. Mahasiswa, terutama para Mahasiswa calon sarjana (S1) merupakan angkatan kerja tertingi di Indonesia, hal itu bisa kita lihat dalam jumlah sarjana di Indonesia yang bisa mencapai sekitar 360.000–500.000 per tahun (berdasarkan data tahun 2010-2013) dan masalah penyerapan tenaga kerja sarjana yang masih kurang di Indonesia. Maka kebijakan Menteri Pendidikan ini bisa disebut sebagai salah satu kebijakan untuk menghadapi tantangan kesiapan SDM untuk AFTA 2015.

AFTA 2015 sendiri akan menjadi ajang dimana para investor asing akan berlomba-lomba untuk dapat berinvestasi dikawasan ASEAN. Indonesia sebagai salah satu anggota AFTA juga akan menjadi sasaran para investor asing untuk berinvestasi. Dengan adanya investasi asing yang semakin besar, maka akan banyak perusahaan multinasional yang membutuhkan tenaga kerja lokal yang memiliki SDM yang mumpuni di bidangnya. Oleh karena itu, kebijakan Permendikbud nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dibuat untuk memenuhi permintaan tenaga kerja perusahaan multinasional yang akan berinvestasi di Indonesia saat AFTA 2015 nanti dimulai, hal ini juga dipengaruhi karena kurangnya tingkat penyerapan tenaga kerja dari dalam negeri.

Dengan adanya Pemendikbud 49/2014 tersebut, maka diharapkan pada tahun 2017-2019 Indonesia memiliki SDM dengan keahlian yang cukup untuk bersaing dalam AFTA 2015. Namun selain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM Indonesia untuk bersaing dalam AFTA 2015, kebijakan ini juga diberlakukan untuk menekan angka subsidi pendidikan ditingkat sarjana (S1) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang juga memiliki nilai cukup signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan dapat digunakan untuk membangun infrastruktur negara.

Terlepas dari masalah tersebut, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini dapat dinilai sebagai sebuah kebijakan yang amat pragmatis dalam menyelesaikan masalah kesiapan SDM dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, karena kebijakan ini tidak menyelesaikan apa yang menjadi masalah pokok penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan ini hanya menyentuh permukaan dari masalah pengangguran di Indonesia. Dalam perspektif merkantilis didalam ekonomi politik, tentu sajahal ini amat mengkhawatirkan. Karena, Angkatan kerja merupakan sebuah asset sebuah negara dan mengelola tenaga kerja merupakan tanggung jawab sebuah negara dan demi kepentingan negara. Angkatan kerja yang dikuasai oleh investor asing tentu amat merugikan sebuah negara,karena negara tersebut dapat dinilai lalai dan lemah dalam memperhatikan asset-asset nya.[77]

Munculnya Kelompok-kelompok Varian Islam Transnasional (Wahabi-Ikhwani).

Kelompok-kelompok varian Islam transnasional itu tidak seaqidah dengan NU. Mereka gencar masuk pada daerah-daerah jantung NU dan sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU pesantren. Jika dahulu salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah untuk menghadapi globalisasi wahabi, maka sekarang NU dikepung oleh berbagai kelompok Islam berjenis lain yang semakin bertambah besar dan massif gerakannya dan berpotensi menarik kelompok-kelompok baru bahkan menarik kelompok ulama’ yang tidak memiliki perangkat canggih dalam menata masa depan. Dan lebih dari itu, dalam konteks negara-bangsa mereka mempunyai misi besar (hayalan) merubah Indonesia menjadi negara Islam. Dimana dalam kesejarahan, atmosfer ini sudah muncul sejak insiden Perang Padri hingga muncul gerakan NII dan GAM.[78]

Selain itu, kritik-kritik yang muncul dari banyak kalangan elit muda yang tidak puas dengan gerak lamban NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibatnya, ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk Non Governance Organization (NGO) atau Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP). Munculnya Ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala itu.

Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh dari apa yang diharapkan warga NU.

Di samping itu, Empat rukun yang harus dipenuhi sebuah negara untuk menuju Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur, yaitu: Ulama, Pengusaha, Rakyat dan Pemimpin/Ulil Amri. Sayangnya, 4 rukun itu kini tumpang tindih saling mengambil alih kekuasaan masing-masing, saling melemahkan bahkan berusaha mematikan lawan sehingga berimplikasi bagi munculnya sindrom-sindrom kekalahan. Ulama NU yang seharusnya istiqamah di jalan dakwah agama (sesuai komitmen kembali ke Khithah), kini justru ikut campur di dunia politik dan bisnis. Pengusaha yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi kini juga ikut turun dalam urusan politik dan berubah menjadi kapitalis-kapitalis lokal sebagai pendukung kapitalis internasional. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik saham utama dalam sebuah negara, justru menjadi yang paling tertindas. Sehingga pemimpin yang diidam-idamkan tidak pernah lahir dari sistem yang ada. Lantas bagaimana mungkin kita mengidam-idamkan Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur jika rukun-rukunnya tak terpenuhi … ???

Tentu masih dan akan banyak lagi masalah-masalah yang akan muncul dalam perjalanan dinamika organisasi kedepan seiring perubahan masyarakat dan diperlukan sikap yang dewasa secara organisatoris untuk menyikapinya.


SIKAP DAN TINDAKAN ATAS DINAMIKA

Dalam kondisi yang demikian sulit dan rumitnya, para pengusung Islam Nusantara harus menyiapkan diri dan semakin memantapkan langkah dalam menerima pertanyaan, kritikan dan juga tanggapan sinis dari masyarakat. Semua itu ada manfaatnya, terutama untuk mengukuhkan bangunan epistemology dari Islam Nusantara sebagai brand baru, yang kemunculannya sudah dinanti oleh dunia.

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh NU sebagai pengusung konsep Islam Nusantara ;
1. Merumuskan bangunan pengetahuan Islam Nusantara. Ke depan, Islam Nusantara tidak terbatas menjadi topik pembicaraan di forum-forum informal dan bahan komentar di jejaring media sosial. Tetapi sangat mungkin menjadi bahan diskusi serius bagi para ilmuwan dunia. Karena itu, bangunan epistemology Islam Nusantara harus segera digali dan dirumuskan.
2. Melakukan sosialisasi yang terorganisir kepada publik. Hal ini supaya nama ‘Islam Nusantara’ tidak diplintir kesana dan kemari. Mengingat dewasa ini masih saja ada pihak-pihak yang secara sengaja menyebarkan informasi yang memancing emosi pembaca.
3. Mengajak beberapa elemen di Indonesia yang memiliki kesamaan visi dalam menampilkan wajah Islam yang ramah, damai. Sehebat apa pun gagasan dan konten Islam Nusantara tidak bisa hanya diusung oleh sebagian kecil pihak. Apabila orang-orang yang tidak bertanggung jawab jumlahnya lebih besar, maka pesan Islam Nusantara akan dipahami oleh masyarakat secara keliru. Karena itu, seluruh elemen yang dimiliki bangsa ini harus diajak dan libatkan dalam menawarkan wajah Islam Nusantara yang ramah dan menjawab problem dunia modern.
4. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.
5. Agar nu tidak larut dalam gerakan berbasis negara islam / khilafah, maka NU harus mencoba mengawinkan faham kerakyatan dengan aswaja dengan kerangka NKRI dalam rangka menghadapi liberalisme ideologi islam transnasional.
6. Nahdlatul ‘Ulama memilikimanhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain[79] :
7. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
8. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
9. FikrahIshlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).
10. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
11. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada Manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.

Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social-keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern.

7. Mentransformasikan nilai-nilai Aswaja dalam kehidupan modern untuk memetakan arah pergerakan NU ke depan dan menyiapkan kader-kader militan berspektif masa depan dalam menghadapi Asean Free Trade Area/ pasar bebas asia; menyiapkan ekonom-ekonom NU yang berspektif kerakyatan, calon-calon jenderal, guru, sarjana yang berbasis Aswaja NU dan ekonom-ekonom yang berani membangun dan mengembangkan koperasi di lingkungan masyarakatnya.
8. Menegaskan kerangka-kerangka ekonomi kerakyatan dan faham kerakyatan sesuai Anggaran Dasar NU. Dengan harapan dapat memandu kebangkitan faham kerakyatan atau ekonomi kerakyatan.
9. Elit muda NU harus berani mengubah sikap ketergantungan kepada Founding Agency, dan berani melakukan eksperimen-eksperimen untuk membentuk fraksi besar kaum muda yang konsolidatif, massif, berskala lokal maupun nasional agar ikut dapat serta dalam menentukan perubahan (transformasi) di tingkat politik dan ekonomi.

Penyusun prihatin dengan beberapa pihak yang kurang bijak dalam menawarkan dan menerima nilai-nilai atau pemikiran ke-Islaman dewasa ini. Fanatisme yang berlebihan dari penganut organisasi ke-Islaman terkadang justru melahirkan sikap ekstrim, permusuhan, dan kebencian dalam memandang kelompok lainnya yang justru menunjukkan cara Islam yang tidak Rahmatan Lil ‘Alamin. Tulisan ini penulis maksudkan sebagai ajakan untuk berfikir besar, menjadi muslim yang berkontribusi bagi kelangsungan umat manusia dunia. Dari Islam Nusantara untuk kelangsungan dunia.

Wallahu a’lam.

Selamat Belajar dan Berjuang,

Nilai Taqwa Tergantung Dua Proses tersebut


Referensi:

[1] Disampaikan untuk menyemangati agenda MAKESTA PAC. IPNU-IPPNU Kecamatan Badegan PK. IPNU-IPPNU Madrasah Aliyah “HASAN MUNADI” Pohsawit Karangan Badegan. Hari Selasa s.d Kamis, 15-17 Desember tahun 2015
**Ketua Umum Domisioner Dewan Kerja Ranting Gerakan Pramuka Kecamatan Mlarak Tahun 2004-2005, Sekretaris Umum Domisioner PAC. IPNU Kec. Badegan Masa Khidmad 2010 s.d 2012, Pengurus UKM Seni dan Budaya SEIBA Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa INSURI Ponorogo 2012 s.d 2013, Koord. Domisioner Departemen Pengembangan Jaringan & Informasi Pengurus Rayon Tarbiyah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tahun 2012-2013, Departemen Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PK. INSURI Ponorogo 2013-2014, Ketua 1 Bidang Keagamaan dan Dakwah Islamiyah, Advokasi dan Pengembangan Wirausaha dan Pengembangan Seni Budaya Pengurus Komisariat PMII Insuri Ponorogo 2014 s.d 2015, Bendahara 2 PAC. Gerakan Pemuda ANSOR Kec. Sampung Masa Khidmad 2013 s.d 2014, Departemen Pendidikan dan Kaderisasi PAC. Gerakan Pemuda ANSOR Kecamatan Badegan 2014 s.d Sekarang, Ketua Umum Karang Taruna “BHIRAWA” Desa Karangjoho Masa Bhakti 2014 s.d 2017.
[2] Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, masyarakat terus berkembang, masalah baru terus berkembang dan bermunculan dengan tiada akhirnya, sementara wahyu Allah dalam bentuk Alquran dan al-Sunnah telah berakhir setelah beliau wafat. Sedang agama yang memasuki zaman, situasi sosial dan kulturalnya berbeda dengan situasi tempat berdirinya, maka agama itu pasti menghadapi problematika baru. Jika ia mempertahankan autentisitasnya sesuai dengan aslinya sebagaimana yang dibawa oleh pendirinya sepanjang masa, dari masa ke masa dalam pagar kepranataan yang tidak tembus oleh pemikiran baru, maka charisma agama itu tidak tersentuh dan tidak akan berkembang. Lihat: Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 287-288.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.
[4] Lihat: Shāfī al-Rahmān al-Mubār Kafūrī, al-Rahīq al-Makhtūm: Bahts fī al-Sīrah al-Nabawiyyah ‘alā Shahibihā Afadal al-Shalah wa al-Salām (Cet. XXI; Mesir: Dār al-Wafā, 2010), h. 21. Lihat pula: Hamilton A. R. Gibb, Studies on The Civilization of Islam (USA:Beacon Press, 1962), h. 3.
[5] Lihat: ‘Umar ‘Abd al-Jabbār, Khulāshah Nūr al-Yaqīn fī Sīrah Sayyid al-Mursalīn (Surabaya : Sālim Nabhān, t. th.), h. 5. Lihat pula: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I ; Jakarta: Paramadina, 1992), h. 425.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 2007), h. 461.
[7] Ibid, hlm. 502
[8] Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. I; Bandung: Mizan, 2007), h. 330-331.
[9] Sebab, betapapun universalnya suatu ajaran, jika dikemas secara tekstual, apalagi jika berlabel agama, niscaya akan berubah menjadi parsial dan eksklusif yang justru akan mengaburkan makna universalitas agama itu sendiri. Lihat: Hamka, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Cet. I; Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 29-31.
[10] M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Cet. I; Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 132-133.
[11] Lihat: Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, diterj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an : Sebuah Biografi (Cet. I; Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.
[12] Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Cet. I; Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), h. 175.
[13] Islam Nusantara adalah Islam yang khas yang dihasilkan dari hidup, intens dan bersemangat interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi dan vernacularization Islam yang universal dengan sosial, budaya dan agama Indonesia realitas-ini Islam tertanam. Islam Nusantara ortodoksi (Asy’ariyah teologi, sekolah Syafi’i hukum, dan Ghazalian tasawuf) memelihara karakter Wasathiyyah Islam adil seimbang dan toleran. Islam Nusantara, tidak diragukan lagi, sangat kaya dengan warisan Islam harapan bersinar untuk kebangkitan peradaban Islam global
[14] Nahdlatul Ulama (NU) beberapa bulan yang lalu menggelar Muktamar ke-33 tahun di Jombang, Jawa Timur. Gelaran yang sudah dimulai sejak 1 Agustus hingga 5 Agustus 2015 itu mengusung tema utama “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.
[15] Cendekiawan Muslim Indonesia, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[16] Direktur Program Pascasarjana STAINU Jakarta,
[17] (NU Online, 25/6).
[18] Katib Syuriyah PBNU dan Guru Utama Fiqh-Ushul Fiqh di Pesantren Sukorejo, Situbondo
[19] (NU Online, 29/6)
[20]“Islam ngono iku seng digoleki wong kono, Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang-mentang), dan yang rahmatan lil ‘alamin,” terangnya.
[21] Kemaslahatan (Maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu Hifdẓu al-Dīn, Hifdẓ al-ʻAql, Hifdẓu al-Nafs, Hifdẓu al-Māl, dan Hifẓ al-ʻIrḍ.
[22] M. Quraish Shihab, (2007), Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, hlm.52.
[23] Hanya saja istilah “Islam moderat” mungkin lebih dekat dengan konsep umatan wasatan (menjadi umat yang tengah-tengah), terutama dalam amaliah keagamaan.
[24] Lihat buku Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan.
[25] Lihat M. Hilaly Basya, “Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia”, http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23 Juli 2009.
[26] Ibid
[27] Abdurrahman Mas’ud, (2006), “Dari Haramain ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren”, Jakarta: Kencana, hlm. 54-58.
[28] Ibid, hlm 67
[29] Abdul Mun’im DZ, “Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan”, dalam Badrus Sholeh (ed.), (2007), Budaya Damai Komunitas Pesantren, Jakarta: LP3ES, hlm. 41.
[30] M. Imdadun Rahmat, “slam Pribumi, Islam Indonesia”, dalam M. Imdadun Rahmat (et al.), (2003), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, hlm. xx-xxi.
[31] Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), op. cit, hlm. 60-61.
[32] Lihat Hendro Prasetyo, “Mengislamkan Orang Jawa: Antropologi Baru Islam Indonesia”, Islamika No.3, Januari-Maret 1994, hlm. 75.
[33] Azyumardi Azra, (2000), Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Rosdakarya, hlm. 8.
[34] Sufi lain yang juga terkenal adalah Syamsuddin Sumatrani (w. 1039 H/1630 M). Ia mungkin murid Hamzah Fansuri dan sebagai perumus ajaran martabat tujuh pertama di Nusantara beserta pengaturan nafas pada waktu zikir. Syamsuddin diduga berafiliasi dengan tarekat Syattariyyah, karena ia mengadopsi ajaran martabat tujuh
Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri (w. 1519 M) yang berafiliasi kepada tarekat Syattariyyah, melalui adaptasi dari teori emanasi Ibn al-’Arabi. Tarekat ini menjadi sangat populer di kalangan orang-orang Nusantara setelah kematiannya.
[35] Alwi Shihab, (1997), Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, hlm. 314.
[36] Ibid, hlm 79
[37] Bambang Pranowo, (1999), Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, Yogyakarta: Adicita, hlm. 20.
[38] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit, hlm. 80.
[39] Bambang Pranowo, (1999), op. cit, hlm. 19.
[40] Ibid, hlm 18
[41] Said Agiel Siradj, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan”, Republika, 2 Juni 2007.
[42] Ibid
[43] Novriantoni Kahar, ”Islam Indonesia Kini: Moderat Keluar, Ekstrem di Dalam?”, http://islamlib.com/id/artikel/islam-indonesia-kini-moderat-keluar-ekstrem-di-dalam/, diakses tanggal 23 Juli 2009.
[44] Ahmad Zainul Hamid. “NU dalam Persinggungan Ideologi: Menimbang Ulng Moderasi Keislaman Nahdatul Ulama”. Afkar, Edisi No. 21 Tahun 2007. hlm. 28.
[45] M. Hilaly Basya, op. cit.
[46] Mujamil Qomar, (2002), NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, hlm. 62.
[47] Zamakhsyari Dhofier, (1994), Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, hlm.148.
[48] Ibid, hlm. 65.
[49] Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Waljamaah: Yang Toleran dan Anti Ekstrem”, dalam Imam Baehaqi (ed.), (1999), Kontroversi Aswaja, Yogyakarta: LKiS, hlm. 40.
[50] Abdurrahman Mas’ud, (2004), Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, hlm. 9.
[51] Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) KH Masdar Farid Masudi, penerimaan ini merupakan pilihan by design, bukan pilihan by accident. Oleh NU, Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai jembatan antara kenegaraan dan ke-Islaman. Kata Masdar Farid saat ditemui Metro TV, 14 September 2012 :
“Gus Dur dan umumnya kiai menganggap Pancasila dan UUD 1945 sudah islami secara konsep. Di sana ada tujuan keadilan dan ada manhaj atau strategi mencapai keadilan, (contohnya) pada sila keempat. Malah masih ada tiga sila yang lain.”
[52] Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik Dalam Al-Qur’an, cetakan pertama, ( Jakarta : gema insane press, 2001) Hlm 57
[53] Said Husin Agil al-Munawar, “Fiqih Hubungan Antara Umat Beragam”, cetakan ketiga, (Jakarta : Ciputat Pres, 2005) hlm. 1
[54] Masdar Farid Mas‟udi, “Syarah UUD 1945 Perspektif Islam” , op, cit Hlm. 40
[55] Ibid, …
[56] Badri khaeruman, “Hukum Islam dalam Perubahan Sosial”, cetakan pertama (Bandung: Cv Pustaka setia, 2010) hlm. 307
[57] Masdar farid mas‟udi, loc, cit
[58] Badri khaeruman, “Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, op., cit Hlm. 308-30
[59] M. Abdul Karim, Mengali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam ,cetakan pertama (Yogyakarta: surya raya, 2004) Hlm, 75-76
[60] Masdar farid mas‟udi, Syarah UUD 1945 Perspektif islam, op, cit hlm43-44
[61] Disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw dengan wakil-wakil penduduk kota madinah tak lama setelah beliau hijrah dari mekkah keyastrib, nama kota madinah sebelumnya, pada 622 M. para ahli menyebut piagammadinah tersebut dengan berbagai istilah yang berlainan satu sama lain, lihat JimlyAsshiddiqie, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, cetakan kelima (Jakarta: pt: Rajagrafindo persada, 2013), hlm 85
[62] Ibid, hlm. 80-82
[63]The Wahid Institute Sending Plural and Peaceful Islam dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika Ma’arif, “Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, cetakan pertama (Jakarta : PT Desantara Utama Media, 2009) hlm. 114
[64] https://www.facebook.com/notes/kongkow-bareng-gus-dur/bagi-gus-dur-dan-kiai-nu-pancasila-sudah-islami/10152605676690165/
[65] “Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru Laknatan lil Aalamin,” tambah Gus Mus di hadapan ratusan hadirin
[66] Dalam bukunya The Makings of Indonesian Islam : Orientalism and the Narration of a Sufi Past (2011)
[67] Guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo
[68] Terhadap tuduhan kelompok ini, Rijal Mumazziq Z., Menyatakan bahwa Islam Nusantara tidak mungkin anti-Arab. Menyitir pendapat sastrawan Remi Sylado yang menyebut bahwa 9 dari 10 kosakata dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Asing, ia menegaskan bahwa masyarakat pesantren, pendidikan khas Islam Nusantara, masih menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab. Sehingga, terlepas dari tidak mungkinnya beragam tuduhan tadi dijalankan oleh umat Islam, sikap anti-Arab merupakan hal yang mustahil.
[69] Dawam Multazam, Santri Islam Nusantara STAINU Jakarta dalam NU Online
[70] Said Aqil : Saat itu hari raya di Indonesia serempak. Karena kebetulan baik secara hisab dan rukyatul hilal hasilnya sama. Lalu ada orang Madura nelpon, ya saya jelaskan. Lalu dia bilang ; “Loh NU ini kerjanya apa kok bisa sama ?” Abdul Mukti: mungkin yang membedakan tawarehnya, kalau Muhammadiyah 11 kalo NU 23. Said Aqil: “… ya sebenarnya Muhammadiyah juga 23, cuma diskon”. Lihatlah betapa tokoh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah selalu tenteram, damai, lucu dan yang terpenting bisa diterima oleh siapapun.
[71] Jakarta (ANTARA News)
[72] Pakar sejarah Islam di Indonesia dari Universitas Cornell di Ithaca, New York
[73] Dikutip oleh Maryati dari web NU Online
[74] (BBC Indonesia, 14/6)
[75] Tujuan imperialisme neoliberal adalah melakukan ekspansi finansial ke negara-negara miskin dan berkembang dengan maksud, sebagaimana dinyatakan oleh William K. Tabb (Tabb, 2001:109), untuk menghindari krisis domestik mereka. Dengan cara melakukan kolonialisasi finansial dan menguras kekayaan alam, pertambangan, laut, dan hutan dari negara-negara miskin itulah maka negara-negara maju akan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan energi mereka dan merekapun tetap bisa eksis dalam jangka panjang dan tetap menjadi pusat dunia. Dengan demikian, mereka bekerja dengantiga tingkatan ; level dunia internasional, level nasional negara-bangsa, dan level masyarakat bawah. Nur Khaliq Ridwan, NU dan Neoliberalisme ; “Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad”, cetakan pertama (Djogjakarta:2008) LkiS, Hlm. 154
[76] Ibid, hlm 125
[77] http://www.academia.edu/8980983/Pengaruh_AFTA_2015_dengan_Pendidikan_di_Indonesia
[78] Nur Khaliq Ridwan, “NU dan Neoliberalisme, Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad”, cetakan pertama (Djogjakarta, LkiS 2008) hlm. 2
[79] Yusuf Hasyim, Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji dalamhttp://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/ di akses Selasa, 8 Januari 2014.

(Hilmy-El-Hasan-95/Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: