Pesan Rahbar

Home » » Doktrin Raj’ah Itu Tidak Benar? Berikut Jawabannya

Doktrin Raj’ah Itu Tidak Benar? Berikut Jawabannya

Written By Unknown on Sunday, 22 January 2017 | 09:06:00

Raj’ah adalah perkara masyhur dalam mazhab Syi’ah dan tidak dikenal di sisi mazhab Ahlus Sunnah [walaupun hakikatnya memang ada]. Seperti perkara-perkara lain yang sering dituduhkan kepada mazhab Syi’ah maka konsep Raj’ah ini juga telah disalahartikan dan dijadikan bahan celaan atas mazhab Syi’ah.

Mazhab Syi’ah bukan mazhab yang muncul kemarin sore. Mazhab Syi’ah sudah berkembang begitu lama bahkan hampir sama tuanya dengan mazhab Ahlus Sunnah. Jadi lucu sekali kalau ada sekelompok pencela mengesankan seolah mazhab Syi’ah tidak memiliki dalil shahih tentang Raj’ah di sisi mereka. Tulisan ini berusaha meluruskan ulah salah satu pencela Syi’ah yang cukup dikenal di kalangan pengikutnya yaitu Abul-Jauzaa’. Tulisan Abul Jauzaa’ tersebut dapat para pembaca lihat disitusnya dengan judul Doktrin Raj’ah Itu Tidak benar.

http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2015/03/doktrin-rajah-itu-tidak-benar.html
________________________________

Doktrin Raj’ah Itu Tidak Benar


Raj’ah menurut teologi Syi’ah maknanya adalah ‘kebangkitan kembali sekelompok manusia dan ummah Rasulullah Saww yang memang tinggal derajat keimanannya dan kedurjanaan, untuk menerima sebagian balasan mereka di dunia ini’. Ada cerita balas dendam di situ bahwa Ahlul-Bait dan musuhnya kelak akan dibangkitkan di dunia, lalu Ahlul-Bait akan membalas dan menghukum musuh-musuhnya (baca : Ahlus-Sunnah, terutama para penghulu shahabat radliyallaahu ‘anhum). Salah satu contoh riwayat (palsu) Syi’ah tentang hal ini diantaranya:

‘Abdullah bin Al-Mughiirah meriwayatkan dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata :

إذا قام القائم من آل محمد أقام خمسمائة من قريش فضرب أعناقهم ثم خمسمائة أخرى فضرب أعناقهم ثم أقام خمسمائة أخرى فضرب أعناقهم ثم خمسمائة أخرى حتى يفعل ذلك ست مرات. قلت: ويبلغ عدد هؤلاء هذا؟! قال جعفر الصادق: نعم، منهم ومن مواليهم

Apabila Al-Qaaim dari keluarga/keturunan Muhammad telah bangkit, ia akan membangkitkan lima ratus orang dari keturunan Quraisy, lalu ia akan memenggal leher mereka. Ia akan melakukan itu sebanyak enam kali”. Aku (‘Abdullah bin Al-Mughiirah) berkata : “Apakah jumlah mereka mencapai itu ?”. Ja’far Ash-Shaadiq menjawab : “Ya, mereka dan juga para pengikutnya” [Al-Irsyaad, hal. 364].

Dan kalangan Quraisy yang paling utama akan ‘diadzab’ oleh Mahdiy versi Syi’ah ini adalah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman karena dianggap telah merebut imamah/kekhilafahan. Kemudian setelah itu para istri Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam (terutama ‘Aaisyah dan Hafshah, dua putri dari tokoh yang mereka benci : Abu Bakr dan ‘Umar). Inilah ‘tugas besar’ yang harus dijalankan Al-Mahdiy.

Tapi sebenarnya, doktrin itu tidak benar. Dikatakan sendiri oleh imam Syi’ah dalam referensi mereka, yaitu:

عن محمّد بن الحسن بن الوليد ، عن الصفّار ، عن أحمد بن محمّد ، عن عثمان بن عيسى ، عن صالح بن ميثم ، عن عباية الأسدي ، قال : سمعت أمير المؤمنين ( عليه السلام ) وهو متكي وأنا قائم عليه : « لأبنينّ بمصر منبراً ، ولأنقضنّ دمشق حجراً حجراً ، ولاُخرجنّ اليهود والنصارى من كلّ كور العرب ، ولأسوقنّ العرب بعصاي هذه » فقلت له : يا أمير المؤمنين كأنّك تخبر أنّك تحيى بعدما تموت ؟ فقال : « هيهات يا عباية ذهبت في غير مذهب ، يفعله رجل منّي

Dari Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Waliid, dari Ahmad bin Muhammad, dari ‘Utsmaan bin ‘Iisaa, dari Shaalih bin Miitsam, dari ‘Abaayah Al-Asadiy, ia berkata : Aku mendengar Amiirul-Mukminiin (‘alaihis-salaam) – yang waktu itu ia sedang duduk bersandar dan aku berdiri – berkata : “Sungguh aku akan membuat sebuah mimbar di Mesir, dan aku akan merobohkan (benteng/tembok) Damaskus, batu demi batu. Aku juga akan mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari seluruh wilayah ‘Arab. Aku akan memimpin ‘Arab dengan tongkatku ini”. Aku bertanya kepadanya : “Wahai Amiirul-Mukminiin, sepertinya engkau mengkhabarkan bahwa engkau akan hidup kembali setelah kematianmu ?”. Ia menjawab : “Jauh sekali (engkau keliru) wahai ‘Abaayah. Hal itu akan dilakukan oleh seseorang dari keturunanku” [Ma’aanil-Akhbaar oleh Ash-Shaduuq. Lihat juga Bihaarul-Anwaar, 53/59-60].

Amiirul-Mukminiin di situ maksudnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.

Mari kita cermati bersama riwayat di atas. Ketika ditanya apakah ia akan hidup kembali setelah kematiannya, maka ‘Aliy bin Abi Thaalib membantahnya. Artinya, tidak ada raj’ah baginya (‘Aliy). Jika ia tidak akan hidup kembali – padahal ia adalah penghulunya imam Ahlul-Bait – tentu orang-orang selainnya terlebih lagi.

Perkataan yang disandarkan kepada ‘Aliy dalam riwayat di atas sesuai dengan firman Allah ta’ala – sedangkan firman Allah sebenarnya tidak butuh pada riwayat Syi’ah tersebut - :

حَتّىَ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبّ ارْجِعُونِ * لَعَلّيَ أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلاّ إِنّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىَ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampal hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 99-100].

وَقَالَ الّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ وَالإِيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللّهِ إِلَىَ يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَـَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَـَكِنّكُمْ كُنتمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): ‘Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)" [QS. Ar-Ruum : 56].

Dua ayat ini menjadi dalil yang jelas bahwa seseorang yang telah meninggal berada di alam kuburnya (barzakh) tidaklah dibangkitkan kecuali nanti di hari dibangkitkan setelah ditiup sangkakala.

Kita doakan agar orang-orang Syi’ah diberikan hidayah oleh Allah ta’ala untuk mengimani ayat Al-Qur’an di atas dan terbebas dari ‘aqidah fiktif yang diajarkan ‘Abdullah bin Saba’ yang penuh dendam kesumat. Amiin.....

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 23032015 – 23:34].
________________________________

Inti dari tulisan Abul-Jauzaa’ adalah menunjukkan bahwa doktrin Raj’ah itu tidak benar. Ia berhujjah dengan dua poin berikut:
1. Riwayat Syi’ah yang menurut Abul Jauzaa’ menafikan keyakinan Raj’ah.
2. Al Qur’anul Kariim yang menurut Abul Jauzaa’ bertentangan dengan Raj’ah.

Insya Allah kami akan membuktikan betapa lemahnya hujjah Abul Jauzaa’ tersebut dalam membantah doktrin Raj’ah dalam mazhab Syi’ah. Sebelumnya kami katakan bahwa kami meluruskan syubhat Abul Jauzaa’ bukan berarti kami membenarkan paham Raj’ah dalam mazhab Syi’ah tetapi kami tidak suka kepada orang yang membuat kedustaan atas mazhab Syi’ah.


Dalil Shahih Tentang Raj’ah Dalam Mazhab Syi’ah

Raj’ah secara lughah bermakna kembali ke kehidupan dunia setelah kematian. Hal ini diantaranya disebutkan oleh Muhammad bin Abu Bakar Ar Raaziy:

وفلان يؤمن ( بالرجعة ) أي بالرجوع إلى الدنيا بعد الموت

Dan Fulaan percaya Raj’ah yaitu kembali ke kehidupan dunia setelah kematian [Mukhtaar Ash Shihaah Ar Raaziy hal 99].

Dan di sisi Syi’ah makna Raj’ah seperti halnya makna lughah di atas hanya saja itu berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. Raj’ah sudah menjadi kesepakatan diantara sebagian besar ulama Syi’ah walaupun memang ada juga ulama Syi’ah yang menolak keyakinan Raj’ah. Diantara para ulama yang meyakini Raj’ah sebagian besar memahami maknanya secara zhahir sebagai kebangkitan fisik setelah kematian sedangkan sebagian kecil menakwilkannya sebagai kembalinya daulah atau kekuasaan Imam Ahlul Bait dengan kemunculan Imam Mahdiy.

Kami tidak akan menjelaskan secara rinci perbedaan-perbedaan tersebut. Kami lebih memfokuskan pada pendapat manakah yang benar dan sesuai dengan dalil shahih di sisi mazhab Syi’ah. Raj’ah dalam mazhab Syi’ah termasuk keyakinan yang ditetapkan melalui riwayat-riwayat Ahlul Bait. Cukup banyak riwayat Imam Ahlul Bait yang menyebutkan tentang Raj’ah dan sebagian besar riwayat tersebut dhaif sedangkan salah satu riwayat yang shahih adalah sebagai berikut:




حدثني محمد بن جعفر الرزاز، عن محمد بن الحسين بن ابي الخطاب واحمد بن الحسن بن علي بن فضال، عن ابيه، عن مروان بن مسلم، عن بريد بن معاوية العجلي، قال: قلت لابي عبد الله (عليه السلام): يابن رسول الله أخبرني عن اسماعيل الذي ذكره الله في كتابه حيث يقول: (واذكر في الكتاب اسماعيل انه كان صادق الوعد وكان رسولا نبيا)، أكان اسماعيل بن ابراهيم (عليه السلام)، فان الناس يزعمون انه اسماعيل بن ابراهيم، فقال (عليه السلام): ان اسماعيل مات قبل ابراهيم، وان ابراهيم كان حجة لله كلها قائما صاحب شريعة، فالي من ارسل اسماعيل اذن، فقلت: جعلت فداك فمن كان. قال (عليه السلام): ذاك اسماعيل بن حزقيل النبي (عليه السلام)، بعثه الله الى قومه فكذبوه فقتلوه وسلخوا وجهه، فغضب الله له عليهم فوجه إليه اسطاطائيل ملك العذاب، فقال له: يا اسماعيل انا اسطاطائيل ملك العذاب وجهني اليك رب العزة لاعذب قومك بانواع العذاب ان شئت، فقال له اسماعيل: لا حاجة لي في ذلك. فأوحى الله إليه فما حاجتك يا اسماعيل، فقال: يا رب انك أخذت الميثاق لنفسك بالربوبية ولمحمد بالنبوة ولاوصيائه بالولاية وأخبرت خير خلقك بما تفعل امته بالحسين بن علي (عليهما السلام) من بعد نبيها، وانك وعدت الحسين (عليه السلام) ان تكر الى الدنيا حتى ينتقم بنفسه ممن فعل ذلك به، فحاجتي اليك يا رب ان تكرني الى الدنيا حتى انتقم ممن فعل ذلك بي كما تكر الحسين (عليه السلام)، فوعد الله اسماعيل بن حزقيل ذلك، فهو يكر مع الحسين (عليه السلام

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far Ar Razzaaz dari Muhammad bin Husain Abil Khaththaab dan Ahmad bin Hasan bin ‘Aliy bin Fadhl dari Ayahnya dari Marwaan bin Muslim dari Buraid bin Mu’awiyah Al Ijliy yang berkata aku berkata kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “wahai putra Rasulullah kabarkan kepadaku tentang Isma’iil yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya dimana Dia berfirman “ceritakanlah kisah Isma’iil di dalam Al Qur’an, sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi”. Apakah ia adalah Isma’iil bin Ibrahiim [‘alaihis salaam]? orang-orang menganggap bahwa ia adalah Isma’iil bin Ibrahim. Beliau [‘alaihis salaam] berkata “Isma’iil wafat sebelum Ibrahiim dan sesungguhnya Ibrahim adalah hujjah Allah yang berdiri membawa syari’at maka kepada siapa Isma’iil diutus. Aku berkata “aku menjadi tebusanmu maka siapakah ia?”. Beliau berkata “ Isma’iil bin Hizqiil seorang Nabi [‘alaihis salaam] yang diutus Allah kepada kaumnya maka mereka mendustakannya dan membunuhnya dan mereka menguliti wajahnya maka Allah murka dan mengirimkan malaikat adzab bernama Isthathail. [Malaikat] itu berkata kepadanya “wahai Isma’il aku adalah malaikat adzab, Allah mengutusku kepadamu agar mengadzab kaummu dengan berbagai adzab jika engaku mau”. Isma’iil berkata kepadanya “aku tidak menginginkan hal itu” maka Allah mengirimkan wahyu kepadanya “apa yang engkau inginkan wahai Isma’iil”. Ia berkata “wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah berjanji dengan Dirimu dengan Rububiyah-Mu dan Kenabian Muhammad dan Wilayah para washiy. Dan Engkau telah mengabarkan kepada makhluk terbaik-Mu apa yang akan dilakukan umatnya kepada Husain bin ‘Aliy sepeninggal Nabi mereka. Dan sesungguhnya Engkau berjanji bahwa Husain akan kembali ke dunia hingga membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Maka aku menginginkannya wahai Tuhanku agar mengembalikanku ke dunia untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadapku sebagaimana Engkau mengembalikan Husain [‘alaihis salaam]. Maka Allah menjanjikan kepada Isma’iil bin Hizqiil bahwa ia akan kembali bersama Husain [‘alaihis salaam] [Kaamil Az Ziyaaraat Ibnu Quuluwaih hal 138-139 hadis no 163]

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu hadis dalam mazhab Syi’ah, berikut keterangan para perawinya
1. Muhammad bin Ja’far Ar Razzaaz ia adalah syaikh [guru] Ja’far bin Muhammad bin Quuluwaih dalam Kaamil Az Ziyaaraat maka ia seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 509].
2. Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang tsiqat yang tinggi kedudukannya, banyak memiliki riwayat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897]. Ahmad bin Hasan bin ‘Aliy bin Fadhl adalah seorang yang tsiqat dalam hadis hanya saja ia Fathahiy [Rijal An Najasyiy hal 80 no 194].
3. Hasan bin ‘Aliy bin Fadhl seorang yang tinggi kedudukannya, zuhud, wara’ dan tsiqat dalam hadis, awalnya ia seorang Fathahiy kemudian ruju’ [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 47-48].
4. Marwan bin Muslim adalah seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 419 no 1120].
5. Buraid bin Mu’awiyah termasuk sahabat Imam Baqir dan Imam Shadiq, seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 82].

Riwayat tersebut menyatakan dengan jelas kembalinya Husain bin ‘Aliy [‘alaihis salaam] ke kehidupan dunia. Maka sesuai dengan dalil shahih pendapat yang benar tentang Raj’ah di sisi mazhab Syi’ah adalah pendapat sebagian besar ulama Syi’ah mengenai kebangkitan fisik orang-orang tertentu ke kehidupan dunia sedangkan pendapat yang menakwilkan Raj’ah dan pendapat yang menolak adanya Raj’ah terbukti keliru.

Adapun mengenai siapa orang-orang yang akan mengalami Raj’ah tersebut maka hal itu tergantung dengan apakah ada riwayat shahih yang menyebutkannya. Seperti riwayat shahih di atas yang menyebutkan bahwa Husain bin ‘Aliy dan mereka yang menzhaliminya akan mengalami Raj’ah. Jika tidak ada riwayat shahih yang menyebutkannya maka tidak bisa ditetapkan apalagi jika riwayat tersebut dhaif di sisi mazhab Syi’ah seperti riwayat-riwayat yang menyebutkan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar [radiallahu ‘anhu] dan Aisyah [radiallahu ‘anha] akan mengalami Raj’ah dan menerima hukuman dari Imam Mahdiy. Anehnya justru riwayat-riwayat dhaif ini yang dijadikan hujjah oleh para pencela untuk merendahkan mazhab Syi’ah. Kami juga tidak menutup mata terhadap sebagian pengikut Syi’ah yang seenaknya berhujjah dengan riwayat dhaif tetapi kesalahan sebagian orang ini tidaklah pantas dijadikan tolak ukur untuk menghukum mazhab Syi’ah.


Syubhat Abul Jauzaa’

Syubhat pertama Abul Jauzaa’ adalah menggunakan riwayat hadis Syi’ah yang menurutnya menafikan keyakinan Raj’ah di sisi mazhab Syi’ah.

حدثنا محمد بن الحسن قال: حدثنا محمد بن الحسن الصفار. قال: حدثنا أحمد بن محمد، عن عثمان بن عيسى عن صالح بن ميثم، عن عباية الأسدي، قال: سمعت أمير المؤمنين عليه السلام وهو مسجل وأنا قائم عليه: لآتين بمصر مبيرا ولأنقضن دمشق حجرا حجرا، ولأخرجن اليهود والنصارى من [كل] كور العرب، ولأسوقن العرب بعصاي هذه قال: قلت له: يا أمير المؤمنين كأنك تخبرنا أنك تحيي بعد ما تموت! فقال: هيهات يا عباية ذهبت في غير مذهب يعقله رجل مني

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad dari ‘Utsman bin ‘Iisa dari Shaalih bin Maitsam dari ‘Abaayah Al Asadiy yang berkata aku mendengar Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] yang waktu itu ia sedang duduk bersandar dan aku berdiri [Beliau berkata] “Aku akan membuat sebuah mimbar di Mesir, dan aku akan merobohkan Damaskus, batu demi batu. Aku juga akan mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari seluruh wilayah ‘Arab. Aku akan memimpin ‘Arab dengan tongkatku ini”. Aku berkata kepadanya “Wahai Amiirul Mukminiin, seolah-olah engkau mengabarkan kepada kami bahwa engkau akan hidup kembali setelah wafat?”. [Beliau] berkata “Jauh sekali wahai ‘Abaayah. Hal itu akan dilakukan oleh seseorang dariku” [Ma’aaniy Al Akhbaar Syaikh Ash Shaduuq hal 406-407]

Setelah membawakan riwayat Syaikh Ash Shaaduq ini, Abul Jauzaa’ berkata:

Mari kita cermati bersama riwayat di atas. Ketika ditanya apakah ia akan hidup kembali setelah kematiannya, maka ‘Aliy bin Abi Thaalib membantahnya. Artinya, tidak ada raj’ah baginya (‘Aliy). Jika ia tidak akan hidup kembali – padahal ia adalah penghulunya imam Ahlul-Bait – tentu orang-orang selainnya terlebih lagi

Perkataan Abul Jauzaa’ tersebut bisa dikatakan sia-sia karena riwayat yang ia jadikan hujjah tidak shahih sanadnya sesuai dengan standar ilmu hadis mazhab Syi’ah. Berikut pembahasan kedudukan riwayat tersebut sesuai standar ilmu Rijal Syi’ah.

Dalam sanad riwayat Syaikh Ash Shaaduq terdapat perawi yang tidak dikenal dan tidak tsabit tautsiq terhadapnya salah satunya yaitu ‘Abaayah Al Asadiy. Berikut pembahasan tentangnya.

Sayyid Al Khu’iy dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadiits menyebutkan biografi ‘Abaayah bin Rib’iy Al Asadiy dan tidak menyebutkan adanya jarh dan ta’dil terhadapnya, hanya saja terdapat nukilan bahwa Al Barqiy memasukkannya dalam golongan sahabat khusus Imam Aliy [Mu’jam Rijal Al Hadiits 10/274-275 no 6228]

Sumber penukilan Sayyid Al Khu’iy adalah kitab Rijal Al Barqiy dimana penulisnya menyebutkan golongan sahabat khusus Imam Aliy dan salah satunya terdapat nama ‘Abaayah bin Rib’iy Al Asadiy [Rijal Al Barqiy hal 4-5].

Lafaz “sahabat khusus Imam Aliy” sebenarnya bernilai mamduh [pujian] tetapi yang menjadi masalah disini adalah kitab Rijal Al Barqiy tidak jelas siapa penulisnya. Sebagian ulama Syi’ah mengira ia adalah Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy tetapi berdasarkan pendapat yang rajih hal ini keliru dengan qarinah berikut
1. Penulis kitab Rijal Al Barqiy malah memasukkan nama Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy dalam golongan sahabat Imam Abu Ja’far Ats Tsaniy [Rijal Al Barqiy hal 56-57]. Termasuk hal yang aneh jika penulis kitab Rijal menyebut nama sendiri dalam kitabnya.
2. Penulis kitab Rijal Al Barqiy juga memasukkan nama murid Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy yaitu ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy dimana penulis kitab tersebut berkata “Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy dimana aku telah mendengar darinya” [Rijal Al Barqiy hal 60-61]. Maka jelas disini bahwa penulis kitab Rijal Al Barqiy adalah murid dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy.
3. Penulis kitab Rijal Al Barqiy juga memasukkan nama Muhammad bin Khalid Al Barqiy dalam kitabnya ke dalam golongan sahabat Imam Abu Hasan Al Awwaal dan Imam Abu Hasan Ar Ridhaa [Rijal Al Barqiy hal 55]. Abu ‘Abdullah Muhammad bin Khalid Al Barqiy adalah ayah dari Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy tetapi penulis kitab tersebut tidak menyebutkan bahwa Muhammad bin Khalid adalah ayahnya. Kalau untuk perawi seperti ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy ia menyebutkan dengan jelas telah mendengar darinya maka mengapa Ayahnya sendiri yang jauh lebih dekat dengannya tidak disebutkan dengan jelas bahwa itu ayahnya dan ia telah mendengar darinya.

Maka berdasarkan pendapat yang rajih dapat disimpulkan bahwa penulis kitab Rijal Al Barqiy bukanlah Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy seorang perawi yang tsiqat dan masyhur dalam mazhab Syi’ah.

Ulama Syi’ah Syaikh Ja’far As Subhaaniy menyebutkan bahwa kemungkinan penulis kitab Rijal tersebut adalah ‘Abdullah bin Ahmad Al Barqiy gurunya Al Kulainiy atau Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al Barqiy gurunya Syaikh Ash Shaduuq, dimana Syaikh merajihkan Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al Barqiy [Kulliyyaat Fii Ilm Ar Rijal Syaikh Ja’far As Subhaaniy hal 72].

Jika memang penulis kitab Rijal Al Barqiy adalah Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad Al Barqiy yaitu cucu dari Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy maka ia seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 31].

Penjelasan terperinci tentang siapa penulis kitab Rijal Al Barqiy ini sebenarnya membutuhkan pembahasan tersendiri jadi kami tinggalkan isu ini agar bisa didiskusikan disini oleh para penuntut ilmu dari kalangan orang-orang Syi’ah. Sejauh ini kesimpulan yang kami dapatkan kitab tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.

Maka lafaz “sahabat khusus Imam Aliy” untuk ‘Abaayah Al Asadiy tersebut tidak tsabit sebagai predikat mamduh [pujian] untuknya. Oleh karena tidak ada tautsiq serta mamduh [pujian] lain untuknya maka kedudukannya adalah majhul. Syaikh Muhammad Haadiy Al Maazandaraaniy pernah berkata:

وفي بعض النسخ عباية الأسدي، وهو عباية بن ربعى الأسدي، وهو مجهول الحال

Dan dalam sebagian naskah tertulis ‘Abaayah Al Asadiy dan ia adalah ‘Abaayah bin Rib’iy Al Asadiy seorang yang majhul hal [Kitab Syarh Furuu’ Al Kaafiy Syaikh Muhammad Haadiy Al Maazandaraaniy 2/322].

Syaikh Ash Shaaduq setelah membawakan riwayat di atas, ia mengatakan bahwa Imam Aliy sedang taqiyah terhadap ‘Abaayah dalam hadis ini.

قال مصنف هذا الكتاب – رضي الله عنه -: إن أمير المؤمنين عليه السلام اتقى عباية الأسدي في هذا الحديث وأتقي ابن الكواء في الحديث السابق لأنهما كانا غير محتملين لأسرار آل محمد عليهم السلام

Berkata penulis kitab ini [radiallahu ‘anhu] “Sesungguhnya Amiirul Mukminiin [‘alaihis salaam] taqiyyah terhadap ‘Abaayah Al Asadiy dalam hadis ini dan taqiyyah terhadap Ibnu Kawaa’ dalam hadis sebelumnya karena keduanya bukan pembawa rahasia keluarga Muhammad [‘alaihimus salaam]. [Ma’aaniy Al Akhbaar Syaikh Ash Shaduuq hal 407].

Pernyataan ini walaupun menurut kami bukan hujjah yang kuat tetapi bisa dimaklumi karena mungkin di sisi Syaikh Ash Shaduuq telah shahih berbagai riwayat tentang Raj’ah. Biasanya para pencela suka merendahkan argumen salah seorang ulama Syi’ah yang menyatakan suatu hadis sebagai taqiyyah. Para pencela mengatakan kalau dengan mudah dikatakan taqiyyah seenaknya maka bagaimana membedakan riwayat yang bukan taqiyyah dengan riwayat taqiyyah.

Orang jahil yang penuh kesombongan maka ia akan selamanya jahil, jika mereka para pencela itu mau meneliti dengan objektif maka sangat mudah untuk memahami kapan para ulama Syi’ah menyatakan suatu hadis sebagai taqiyyah. Prinsipnya adalah jika suatu hadis secara zhahir bertentangan dengan ushul mazhab Syi’ah dimana ushul mazhab tersebut berdiri atas riwayat shahih yang lebih kuat dan lebih banyak maka saat itulah hadis yang bertentangan tersebut dikatakan taqiyyah. Ini adalah ciri khas metode self defense suatu mazhab yang menopang dirinya sendiri.

Metode seperti ini yang bercorak self defense juga dikenal di dalam ilmu hadis mazhab Ahlus Sunnah. Para pembaca mungkin pernah mendengar kaidah perawi tsiqat dengan mazhab menyimpang atau penganut bid’ah di sisi Ahlus Sunnah seperti Syi’ah, Khawarij, Nashibiy, Qadariy, Jahmiy dan yang lainnya jika hadisnya menguatkan mazhab atau bid’ah yang mereka anut maka hadisnya tertolak. Metode ini jelas menopang diri mazhab itu sendiri karena walaupun perawi tersebut tsiqat dan hadisnya shahih tetapi jika hadisnya menguatkan bid’ahnya maka hadisnya tidak diterima. Dengan kata lain mazhab yang dikatakan bid’ah atau menyimpang oleh Ahlus Sunnah itu akan tetap dianggap sesat walaupun para perawi tersebut tsiqat dan memiliki bukti hadis shahih yang mereka punya atas keyakinan mereka.

Syubhat berikutnya yang dijadikan hujjah oleh Abul Jauzaa’ adalah menggunakan ayat Al Qur’an yang dalam pikiran waham khayal-nya menafikan Raj’ah. Abul Jauzaa’ berkata

Perkataan yang disandarkan kepada ‘Aliy dalam riwayat di atas sesuai dengan firman Allah ta’ala – sedangkan firman Allah sebenarnya tidak butuh pada riwayat Syi’ah tersebut – :

حَتّىَ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبّ ارْجِعُونِ * لَعَلّيَ أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلاّ إِنّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىَ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampal hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 99-100].

وَقَالَ الّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ وَالإِيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللّهِ إِلَىَ يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَـَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَـَكِنّكُمْ كُنتمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): ‘Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)” [QS. Ar-Ruum : 56].

Dua ayat ini menjadi dalil yang jelas bahwa seseorang yang telah meninggal berada di alam kuburnya (barzakh) tidaklah dibangkitkan kecuali nanti di hari dibangkitkan setelah ditiup sangkakala.

Sesungguhnya Al Qur’an tidaklah butuh dengan perkataan Abul Jauzaa di atas. Kedua ayat tersebut memang menyatakan orang-orang yang sudah meninggal akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat akan tetapi jika hal ini dijadikan alasan bertentangan dengan konsep Raj’ah maka itu keliru. Karena Al Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa atas izin Allah orang-orang yang sudah meninggal bisa hidup kembali, contohnya sebagai berikut:

وَإِذْ قُلْتُمْ يَامُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan [ingatlah], ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur [QS Al Baqarah : 55-56].

وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِ اللَّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dan [Ingatlah], ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu, dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan. Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati dan memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian berpikir.” [QS Al Baqarah: 72-73].

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka sebanyak ribuan orang karena takut mati, lalu Allah berfirman kepada mereka “Matilah kalian” kemudian Allah menghidupkan mereka kembali. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur [QS Al Baqarah : 243].

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Atau apakah [kamu tidak memperhatikan] orang yang melalui suatu negeri yang [temboknya] telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah ia hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Dia menjawab “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah kepada keledaimu [yang telah menjadi tulang belulang] Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya [bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati] diapun berkata “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS Al Baqarah : 259]

Contoh lain adalah diriwayatkan dari Imam ‘Aliy bin Abi Thalib dengan sanad yang jayyid bahwa Beliau pernah berkata tentang Dzulqarnain:

حدثنا وكيع عن بسام عن أبي الطفيل عن علي قال كان رجلا صالحا ناصح الله فنصحه فضرب على قرنه الأيمن فمات فأحياه الله ثم ضرب على قرنه الأيسر فمات فأحياه الله وفيكم مثله

Telah menceritakan kepada kami Wakii’ dari Bassaam dari Abi Thufail dari ‘Aliy yang berkata “Ia adalah hamba yang shalih, memberikan petunjuk [orang-orang] kepada Allah maka Allah memberikan petunjuk kepadanya. Maka [kaumnya] memukul kepalanya sebelah kanan maka ia mati. Allah menghidupkannya kembali kemudian [kaumnya] memukul kepalanya sebelah kiri maka ia mati kemudian Allah menghidupkannya kembali. Dan diantara kalian ada orang yang sepertinya [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 10/443-444 no 32511].

Sanad Atsar di atas jayyid para perawinya tsiqat dan shaduq. Wakii’ bin Jarraah seorang tsiqat hafizh ahli ibadah [Taqriib At Tahdziib 2/283-284]. Bassaam bin ‘Abdullah Ash Shairafiy seorang yang shaduq [Taqriib At Tahdziib 1/124]. Abu Thufail yaitu ‘Aamir bin Watsilah seorang sahabat Nabi yang paling akhir wafat [Taqriib At Tahdziib 1/464].

Atsar di atas juga disebutkan Ibnu Abi Aashim dalam As Sunnah no 1353 dan Al Ahaadu Wal Matsaaniy 1/141 no 168, Ath Thahawiy dalam Syarh Musykil Al Atsar 5/121 dengan jalan sanad Bassaam Ash Shairafiy dari Abu Thufail dari ‘Aliy. Bassaam dalam periwayatan dari Abu Thufail memiliki mutaba’ah dari:
1. Habiib bin Abi Tsabit sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 10/444 no 32512 dan Ath Thabariy dalam Tafsir Ath Thabariy 17/370, tanpa tambahan lafaz “dan diantara kalian ada orang sepertinya”
2. Qaasim bin Abi Bazzah sebagaimana disebutkan Ath Thabariy dalam Tafsir Ath Thabariy 17/370 dengan tambahan lafaz “dan diantara kalian pada hari ini ada orang yang sepertinya”
3. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abi Husain sebagaimana diriwayatkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Ahaadiits Al Mukhtaarah no 555 tanpa tambahan lafaz “dan diantara kalian ada orang sepertinya”.

Maka tidak diragukan lagi bahwa perkataan tersebut shahih dari Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam]. Sedikit catatan tentang lafaz “dan diantara kalian ada orang sepertinya”. Sebagian ulama mengisyaratkan bahwa lafaz ini merujuk pada diri ‘Aliy bin Abi Thalib sendiri. Atsar ini sering dijadikan hujjah oleh pengikut Syi’ah sebagai bukti bahwa Imam Aliy sendiri akan mengalami raj’ah sebagaimana Dzulqarnain di atas yang mati kemudian dibangkitkan kembali.

Sayangnya hujjah Syi’ah tersebut tidaklah kuat karena lafaz tersebut tidaklah sharih [tegas] dalam hal apa penyerupaan yang dimaksud tersebut. Apakah dalam keseluruhan sifat yang disebutkan atau hanya mencakup sebagian sifat saja?. Sebagian ulama seperti Ath Thahawiy menafsirkan makna lafaz tersebut serupa dalam hal kedudukan ‘Aliy bagi umat ini seperti kedudukan Dzulqarnain bagi umatnya bukan dalam hal dibangkitkan setelah mati [Syarh Musykil Al Atsar Ath Thahawiy 5/123]. Tidak ada qarinah yang menguatkan mana penafsiran yang paling benar oleh karena itu kami tidak berhujjah dengan lafaz tersebut.

Hujjah kami disini adalah pada fakta riwayat Dzulqarnain itu dihidupkan kembali setelah mati dan itu terjadi bukan pada hari kiamat. Apakah Abul Jauzaa’ tersebut akan mendustakan hal ini dengan ayat Al Qur’an sebelumnya yang ia kutip bahwa seseorang yang sudah mati tidak akan dibangkitkan kecuali pada hari kebangkitan. Hal ini membuktikan kesalahan Abul Jauzaa’ dalam berhujjah dengan ayat Al Qur’an tersebut. Ayat Al Qur’an yang ia jadikan hujjah tidaklah menafikan adanya kebangkitan hidup setelah mati bagi sebagian orang yang terjadi atas kehendak Allah SWT sebelum hari kiamat.


Pandangan Kami Tentang Raj’ah

Jika Raj’ah yang dimaksud bermakna adanya orang-orang yang hidup kembali setelah kematiannya maka ayat Al Qur’an dan atsar Imam Aliy bin Abi Thalib telah menetapkannya sebagaimana kami kutip di atas maka tidak diragukan lagi kami meyakini kebenarannya.

Tetapi jika Raj’ah yang dimaksud bersifat khusus yaitu sebagaimana yang dikatakan mazhab Syi’ah yaitu kebangkitan imam Ahlul Bait dan sebagian musuh-musuhnya yang zalim sebelum hari kiamat nanti maka kami tidak menemukan adanya riwayat-riwayat shahih di sisi kami yang dapat dijadikan hujjah maka kami tidak meyakini kebenarannya.

Yang ingin kami tekankan dalam tulisan ini adalah hujjah sebagian orang jahil bahwa Al Qur’an menentang konsep Raj’ah yaitu “adanya orang yang hidup kembali setelah mati” padahal justru Al Qur’an sendiri menetapkannya. Memang Al Qur’an tidak pernah menetapkan kalau imam ahlul bait dan musuh-musuhnya akan mengalami Raj’ah dan orang-orang Syi’ah sendiri berhujjah dalam masalah ini dengan riwayat-riwayat Ahlul Bait di sisi mereka.

Perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah dalam hal Raj’ah ini bukan terletak pada perbedaan hakikat Raj’ah yang bermakna hidup atau bangkit kembali setelah mati tetapi terletak pada individu-individu yang mengalami Raj’ah dan tujuan dari Raj’ah tersebut. Ahlus Sunnah menetapkan siapa saja yang pernah mengalami hidup kembali setelah mati itu berdasarkan dalil yang shahih di sisi mereka sebagaimana Syi’ah menetapkan siapa yang akan hidup kembali setelah mati berdasarkan dalil shahih di sisi mereka. Adapun orang-orang jahil sok mengatakan itu bertentangan dengan Al Qur’an padahal hakikatnya merekalah yang jahil dan dusta.

(Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI