Pedagang berlian peranakan Arab di Surabaya, 1900. (Foto: KITLV).
Tak semua orang Arab-Hadramaut berhasil di perantauan. Sebagian gagal dan ingin pulang ke negeri asal.
Di Nusantara, umumnya orang Arab berbisnis sebagai pedagang perantara, dengan membeli barang dalam partai besar dan kemudian menjualnya eceran, baik langsung maupun melalui orang lain. Pusat perdagangan besar orang Hadrami adalah Batavia, Semarang, dan Surabaya. Beberapa orang Hadrami yang bisa menabung lalu mengivestasikan uangnya dalam bidang kredit hingga real estate.
Menurut van den Berg, seorang Hadrami yang datang ke Nusantara, walaupun tanpa perlindungan dari orang kaya, dapat memperoleh kekayaan cukup cepat dibandingkan kecilnya penghasilan mereka di kampung halamannya atau dengan penghasilan penduduk pribumi. “Saya kira tidak ada orang Arab Hadramaut di Nusantara, kecuali yang malas, yang berpenghasilan kurang dari 20 gulden setiap bulan, artinya dua kali lipat jumlah yang dibutuhkan untuk hidup di Hadramaut secara memadai,” tulis van den Berg.
Seorang Hadrami yang sudah hidup mapan biasanya mengundang saudara-saudaranya di kampung halaman untuk ikut bergabung dan tinggal di koloni tempat mereka tinggal. Di sisi lain, mereka juga memberi kontribusi bagi perekonomian Hadramaut. Menurut Ulrike Freitag, sebelum perang, sekira 70.000 Hadhramis (dari total sekira 100.000 migran) mengirimkan uang lebih dari £ 600.000 per tahun. “Selama perang dan setelah kemerdekaan, migrasi menurun drastis. Pada 1956, jumlah Hadhrami di Indonesia meningkat menjadi sekitar 100.000, tapi mereka tak lagi memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Hadhrami,” tulis Freitag.
Orang-orang Hadramaut –yang mau bekerja keras– akhirnya menemukan “cincin Nabi Sulaiman” di Indonesia. Mereka hidup lebih layak daripada di tanah kelahirannya, Hadramaut.
Adakah kerinduan pada tanah leluhur? Menurut Linda Boxberger, para imigran Hadrami kerap mengenang keindahan tanah air mereka. Sebuah puisi yang ditulis seorang emigran Hadhrami di Hindia mengungkapkan kerinduan pada kampung halaman. Bukan hanya menyesal telah meninggalkan tanah airnya, penyair itu memuji melimpahnya gandum dan kurma, menyamakan jemawut dengan mutiara, dan betapa nikmat melonnya.
“Tema puitis semacam itu lebih banyak menggambarkan nostalgia dari para emigran seputar tanah air mereka,” tulis Linda Boxberger. “Hadhramaut sudah lama mengalami produktivitas pertanian yang rendah dan sering kelaparan, suatu realitas yang jauh berbeda dari puisi mengenai alam yang berlimpah.”
Toh, keturunan Hadrami di Indonesia sudah mendapatkan tanah air yang baru: Indonesia.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email