DI HARI SOEHARTO meninggal, dua orang berdebat di sebuah chat room. Intinya soal perlu tidaknya bekas presiden itu diberi maaf. Saya hanya akan menyebut identitas mereka dalam warna. Begini debatnya.
“Sebagai bangsa,” kata Kuning, “saya kira kita memang harus memaafkan Pak Harto. Jasanya sangat besar.” Merah segera menimpali. “Hmm, apa tidak sebaiknya kita memberinya tanda jasa?” “Itu sudah pasti,” kata Kuning tak kalah cepat. “Tapi kita harus memaafkannya dulu.”
“Lho, lho. Tapi dia mau kita maafkan untuk kesalahan apa?” Kuning mulai sewot. “Ya untuk semua kesalahannya selama memimpin negara.” “Gimana seeeh??? Sebutkan dulu dong kesalahannya!” “Ya … semua kesalahannya selama memimpin negara!” “Enak aja,” kata Merah. “Kalau begitu semua orang juga bisa!” “Lalu bagaimana?” “Ya sebutin dong kesalahannya yang jelas. Baru kita pertimbangkan pemberian maafnya.” “Maksudnya?”
“Begini,” kata Merah. “Permintaan maaf atas tindakan tertentu berarti ada kesiapan dan tanggungjawab dari yang meminta maaf atas segenap risikonya. Dia siap menanggung hukuman. Ini berat, lho. Banyak orang memilih bunuh diri atau dicap pecundang oleh sejarah daripada meminta maaf dengan cara ini.” “Apakah itu tidak berlebihan?”
“Tidak,” kata Merah. “Menurut saya, itulah beban paling ringan yang mesti ditanggung oleh si pelaku kesalahan. Jika pelaku kesalahan masih merasa ingin menjaga gengsi dan membentengi egonya, maka permintaan maaf hanya akan menjadi pistol tanpa peluru. Pemberian maaf pun menjadi pohon tak berbuah.” “Tapi untuk apa harus rinci dan spesifik seperti itu? Lantas apa bedanya dengan proses hukum? Mana tahan donk orang dicermati begitu..”
“Begini lho. Penjelasan rinci perihal kesalahan itu memudahkan korban untuk memilih caranya sendiri dalam memaafkan. Misalnya, korban fitnah bisa meminta pelaku untuk merehabilitasi nama baiknya di mata khalayak. Dan semua ini memang berujung pada tegaknya hukum yang adil.” “Wah terlalu rumit itu!” “Lho memang rumit. Kesalahan pasti melahirkan kerumitan. Dan kini giliran pelaku mengalihkan kerumitan korban menjadi kerumitannya sendiri. Maka itu kita harus senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan, sekecil apapun.”
“Tapi, bukankah semua orang bersalah?” “Tidak! Tidak semua orang bersalah. Pandangan umum itu sangat konyol. Jika kita percaya dengan kekonyolan macam ini, maka untuk apa ada hukum, untuk apa ada maaf, bahkan untuk apa ada ‘salah’ dan ‘benar’ dalam kamus manusia.”
“Lha kan hanya Tuhan yang Sempurna?”
“Memang hanya Tuhan yang Maha Sempurna, dan semua makhluk memiliki kekurangan. Tapi ada dua jenis kekurangan. Kekurangan kodrati yang tidak bisa dihindari seperti mati dan kekurangan yang bisa bahkan harus dihindari. Bila tidak dihindari, kekurangan jenis kedua ini menjadi kesalahan dalam bahasa umum, pelanggaran dalam bahasa hukum dan dosa dalam bahasa agama.”
“Dengan meminta maaf, bukankah seseorang sudah berniat memperbaiki kesalahan?” “Ya iyalah… tapi cara meminta maaf itu juga harus mendukung upaya perbaikan. Dia harus siap menanggung semua beban kesalahan dan bersedia memperbaikinya semampu mungkin. Istilahnya, dia harus siap memikul beban hukum dari segenap kelakuannya.” “Mengapa tidak kita relakan saja semua kesalahan itu? Bukankah Pak Harto juga punya banyak jasa?!”
“Lagi-lagi Anda bicara jasa. Di mahkamah hati nurani, jasa seseorang tak mungin dilupakan, sebagaimana kesalahannya juga tidak bisa begitu saja diabaikan. Merelakan kesalahan bukanlah kebaikan. Malah ia bertentangan dengan tujuan pemberian maaf yang ingin memperbaiki dan mencegah berulangnya kesalahan.” “Kalau begitu, mengapa kita tidak melupakan saja semua kesalahannya? Ini kan lebih mudah daripada kita mundur ke belakang menggerumiti masalah demi masalah?”
“Lupa juga bukan sifat mulia, Mas. Karena itu, Allah tersucikan dari sifat lupa. Memaafkan dan mengampuni adalah tindakan mulia yang bertujuan memperbaiki. Orang yang memberi maaf itu berada dalam posisi kuat, berbeda dengan orang yang melupakan. Pelupa sama seperti juga pendendam adalah orang yang lemah, orang yang tak sanggup mengemban tugas perbaikan yang menjadi tujuan dari pemberian maaf.”
“Contohnya?”
“Allah meminta kita mengganti keburukan dengan kebaikan. Untuk dosa tertentu, seperti meninggalkan kewajiban, Dia meminta kita untuk segera menggantinya. Jadi, pemberi maaf harus menetapkan syarat dan langkah yang berujung dengan lahirnya perbaikan.”
“Tapi bagaimana dengan Pak Harto yang sudah meninggal?” “Keluarganya bisa mengambil alih tugas ini—kalau memang perbaikan itu ingin dilaksanakan. Bukankah amanah almarhum yang belum terlaksana bisa dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan?! Bukankah hutang-piutang juga menjadi tanggungan ahli waris? Nah, begitu pula ahli waris bisa mengambil tugas perbaikan atas kesalahan-kesalahan orangtua dan nenek moyang kita yang sudah meninggal.” “Tapi bukankah kita tidak boleh membongkar keburukan orang yang sudah meninggal?”
“Membongkar keburukan memang dilarang, tapi memperbaiki kesalahan justru diwajibkan. Garis pemisahnya jelas sekali. Misalnya, saat kita berhadapan dengan dokter, bukankah kita harus membongkar semua penyakit dan disfungsi pasien tanpa berusaha menutup-nutupinya?! Semakin terbuka kita dalam memberikan keterangan, semakin tepat diagnosis si dokter.” “Ah, rasanya tidak sopan membicarakan keburukan orang yang sudah mati, karena dia tidak lagi bisa mempertahankan diri?” “Justru mati itu adalah saat kita memberikan penilaian final tentang hidup seseorang, terutama bila orang itu adalah mantan pejabat dan penguasa. Sebelum mati, semua orang punya peluang untuk berubah, kesempatan untuk membalik tangan atau membanting setir. Begitu sudah berkalang tanah, orang tidak punya lagi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya. Semua orang, dalam hal ini adalah rakyat yang pernah dipimpinnya, punya hak memberikan penilaian, meskipun hanya Allah yang benar-benar mengetahui hakikat perbuatan orang.”
“Lantas bagaimana dengan orang baik yang dijelek-jelekkan setelah matinya? Bukankah kenyataan ini pernah menimpa manusia-manusia suci seperti Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Husein?” “Benar. Sejarah menunjukkan bahwa konspirasi menjelek-jelekkan orang baik yang telah mati tidak mungkin bertahan lama, sekalipun dilakukan dengan cara paling hebat. Ali bin Abi Thalib pernah dikutuk di mimbar-mimbar kaum Muslimin selama hampir 80 tahun akibat manipulasi Dinasti Bani Umayah. Tapi sekarang, tak ada lagi orang yang berani terang-terangan mencaci apalagi mengutuk Ali. Waktu pasti bakal membuka segenap rahasia manusia.”
“Namun, bukankah Nabi menyuruh kita untuk tidak menyebut keburukan-keburukan orang yang sudah mati?” “Hadis itu terkait dengan keburukan-keburukan pribadi orang, bukan keburukan yang berlaku di ruang publik. Semua orang buruk yang disebutkan al-Qur’an telah mati. Justru kematian mereka dalam keburukan itu menjadi peringatan bagi yang masih hidup.”
“Bukankah kita harus melampaui fase ini dan beranjak ke masa depan, melupakan keburukan rezim yang lampau dan memusatkan mata ke depan?” “Masa depan tanpa masa lalu seperti kepala tanpa badan. Ia menjadi harapan tanpa pijakan. Jika kita punya prinsip melupakan masa lalu, bukan saja keburukan orang yang kita lupakan tapi boleh jadi juga kebaikan dan kepahlawanan mereka orang pun kita lupakan.”
“Bagaimana dengan sikap positif dalam memandang hidup?” “Sikap positif itu tidak berarti melihat keburukan sebagai kebaikan, tapi melihat keburukan dengan tujuan memperbaiki. Orang sering bilang bahwa berpikir atau bersikap positif itu sama seperti sikap tidak membeda-bedakan antara kebaikan dan keburukan, padahal sikap acuh tak acuh seperti itu adalah salah satu sumber keburukan dan kerusakan. Sikap dan pikiran positif itu artinya harapan pada perbaikan dan keberanian mengambil langkah yang diperlukan untuk memperbaiki. Dan ini segaris dengan memberi maaf, sementara acuh tak acuh sama dengan melupakan.”
Sampai di sini, koneksi terputus. Tapi Merah masih mau melesakkan satu tendangan terakhir. Begini: “Kun, kita harus menjadikan seluruh perbuatan kita dalam lingkaran utuh demi memperbaiki kehidupan dan menegakkan keadilan. Jangan seolah-olah berbuat baik, padahal sebenarnya justru kita menyuburkan pohon keburukan di masa mendatang.” Tampaknya itulah akhir yang sulit buat Kuning, sehingga tidak salah bila Merah belakangan memberinya nama Kuning Pucat. Huh, dasar Merah tanpa.
Sekali Lagi tentang Maaf.
Di hari Soeharto meninggal, dua orang berdebat di sebuah chat room. Intinya soal perlu tidaknya bekas presiden itu diberi maaf. Saya hanya akan menyebut identitas mereka dalam warna.
Begini debatnya.
“Sebagai bangsa,” kata Kuning, “saya kira kita memang harus memaafkan Pak Harto. Jasanya sangat besar.”Merah segera menimpali. “Hmm, apa tidak sebaiknya kita memberinya tanda jasa?”
“Itu sudah pasti,” kata Kuning tak kalah cepat. “Tapi kita harus memaafkannya dulu.”“Lho, lho. Tapi dia mau kita maafkan untuk kesalahan apa?”
Kuning mulai sewot. “Ya untuk semua kesalahannya selama memimpin negara.”
“Gimana seeeh??? Sebutkan dulu dong kesalahannya!”“Ya … semua kesalahannya selama memimpin negara!”
“Enak aja,” kata Merah. “Kalau begitu semua orang juga bisa!”“Lalu bagaimana?”
“Ya sebutin dong kesalahannya yang jelas. Baru kita pertimbangkan pemberian maafnya.”“Maksudnya?”
“Begini,” kata Merah. “Permintaan maaf atas tindakan tertentu berarti ada kesiapan dan tanggung jawab dari yang meminta maaf atas segenap risikonya. Dia siap menanggung hukuman. Ini berat, lho. Banyak orang memilih bunuh diri atau dicap pecundang oleh sejarah daripada meminta maaf dengan cara ini.” “Apakah itu tidak berlebihan?”“Tidak,” kata Merah. “Menurut saya, itulah beban paling ringan yang mesti ditanggung oleh si pelaku kesalahan. Jika pelaku kesalahan masih merasa ingin menjaga gengsi dan membentengi egonya, maka permintaan maaf hanya akan menjadi pistol tanpa peluru. Pemberian maaf pun menjadi pohon tak berbuah.”
“Tapi
untuk apa harus rinci dan spesifik seperti itu? Lantas apa bedanya
dengan proses hukum? Mana tahan donk orang dicermati begitu..”
“Begini lho. Penjelasan rinci perihal kesalahan itu memudahkan korban untuk memilih caranya sendiri dalam memaafkan. Misalnya, korban fitnah bisa meminta pelaku untuk merehabilitasi nama baiknya di mata khalayak. Dan semua ini memang berujung pada tegaknya hukum yang adil.”“Wah terlalu rumit itu!”
“Lho memang rumit. Kesalahan pasti melahirkan kerumitan. Dan kini giliran pelaku mengalihkan kerumitan korban menjadi kerumitannya sendiri. Maka itu kita harus senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan, sekecil apapun.”“Tapi, bukankah semua orang bersalah?”
“Tidak! Tidak semua orang bersalah. Pandangan umum itu sangat konyol. Jika kita percaya dengan kekonyolan macam ini, maka untuk apa ada hukum, untuk apa ada maaf, bahkan untuk apa ada ‘salah’ dan ‘benar’ dalam kamus manusia.”“Lha kan hanya Tuhan yang Sempurna?”
“Memang hanya Tuhan yang Maha Sempurna, dan semua makhluk memiliki kekurangan. Tapi ada dua jenis kekurangan. Kekurangan kodrati yang tidak bisa dihindari seperti mati dan kekurangan yang bisa bahkan harus dihindari. Bila tidak dihindari, kekurangan jenis kedua ini menjadi kesalahan dalam bahasa umum, pelanggaran dalam bahasa hukum dan dosa dalam bahasa agama.”“Dengan meminta maaf, bukankah seseorang sudah berniat memperbaiki kesalahan?”
“Ya iyalah… tapi cara meminta maaf itu juga harus mendukung upaya perbaikan. Dia harus siap menanggung semua beban kesalahan dan bersedia memperbaikinya semampu mungkin. Istilahnya, dia harus siap memikul beban hukum dari segenap kelakuannya.”“Mengapa tidak kita relakan saja semua kesalahan itu? Bukankah Pak Harto juga punya banyak jasa?!”
“Lagi-lagi Anda bicara jasa. Di mahkamah hati nurani, jasa seseorang tak mungin dilupakan, sebagaimana kesalahannya juga tidak bisa begitu saja diabaikan. Merelakan kesalahan bukanlah kebaikan. Malah ia bertentangan dengan tujuan pemberian maaf yang ingin memperbaiki dan mencegah berulangnya kesalahan.”“Kalau begitu, mengapa kita tidak melupakan saja semua kesalahannya? Ini kan lebih mudah daripada kita mundur ke belakang menggerumiti masalah demi masalah?”
“Lupa juga bukan sifat mulia, Mas. Karena itu, Allah tersucikan dari sifat lupa. Memaafkan dan mengampuni adalah tindakan mulia yang bertujuan memperbaiki. Orang yang memberi maaf itu berada dalam posisi kuat, berbeda dengan orang yang melupakan. Pelupa sama seperti juga pendendam adalah orang yang lemah, orang yang tak sanggup mengemban tugas perbaikan yang menjadi tujuan dari pemberian maaf.”“Contohnya?”
“Allah meminta kita mengganti keburukan dengan kebaikan. Untuk dosa tertentu, seperti meninggalkan kewajiban, Dia meminta kita untuk segera menggantinya. Jadi, pemberi maaf harus menetapkan syarat dan langkah yang berujung dengan lahirnya perbaikan.”“Tapi bagaimana dengan Pak Harto yang sudah meninggal?”
“Keluarganya bisa mengambil alih tugas ini kalau memang perbaikan itu ingin dilaksanakan. Bukankah amanah almarhum yang belum terlaksana bisa dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan?! Bukankah hutang-piutang juga menjadi tanggungan ahli waris? Nah, begitu pula ahli waris bisa mengambil tugas perbaikan atas kesalahan-kesalahan orangtua dan nenek moyang kita yang sudah meninggal.”“Tapi bukankah kita tidak boleh membongkar keburukan orang yang sudah meninggal?”
“Membongkar keburukan memang dilarang, tapi memperbaiki kesalahan justru diwajibkan. Garis pemisahnya jelas sekali. Misalnya, saat kita berhadapan dengan dokter, bukankah kita harus membongkar semua penyakit dan disfungsi pasien tanpa berusaha menutup-nutupinya?! Semakin terbuka kita dalam memberikan keterangan, semakin tepat diagnosis si dokter.”“Ah, rasanya tidak sopan membicarakan keburukan orang yang sudah mati, karena dia tidak lagi bisa mempertahankan diri?”
“Justru mati itu adalah saat kita memberikan penilaian final tentang hidup seseorang, terutama bila orang itu adalah mantan pejabat dan penguasa. Sebelum mati, semua orang punya peluang untuk berubah, kesempatan untuk membalik tangan atau membanting setir. Begitu sudah berkalang tanah, orang tidak punya lagi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya. Semua orang, dalam hal ini adalah rakyat yang pernah dipimpinnya, punya hak memberikan penilaian, meskipun hanya Allah yang benar-benar mengetahui hakikat perbuatan orang.”“Lantas bagaimana dengan orang baik yang dijelek-jelekkan setelah matinya? Bukankah kenyataan ini pernah menimpa manusia-manusia suci seperti Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Husein?”
“Benar. Sejarah menunjukkan bahwa konspirasi menjelek-jelekkan orang baik yang telah mati tidak mungkin bertahan lama, sekalipun dilakukan dengan cara paling hebat. Ali bin Abi Thalib pernah dikutuk di mimbar-mimbar kaum Muslimin selama hampir 80 tahun akibat manipulasi Dinasti Bani Umayah. Tapi sekarang, tak ada lagi orang yang berani terang-terangan mencaci apalagi mengutuk Ali. Waktu pasti bakal membuka segenap rahasia manusia.”“Namun, bukankah Nabi menyuruh kita untuk tidak menyebut keburukan-keburukan orang yang sudah mati?”
“Hadis itu terkait dengan keburukan-keburukan pribadi orang, bukan keburukan yang berlaku di ruang publik. Semua orang buruk yang disebutkan al-Quran telah mati. Justru kematian mereka dalam keburukan itu menjadi peringatan bagi yang masih hidup.”“Bukankah kita harus melampaui fase ini dan beranjak ke masa depan, melupakan keburukan rezim yang lampau dan memusatkan mata ke depan?”
“Masa depan tanpa masa lalu seperti kepala tanpa badan. Ia menjadi harapan tanpa pijakan. Jika kita punya prinsip melupakan masa lalu, bukan saja keburukan orang yang kita lupakan tapi boleh jadi juga kebaikan dan kepahlawanan mereka orangpun kita lupakan.”
“Bagaimana dengan sikap positif dalam memandang hidup?”“Sikap positif itu tidak berarti melihat keburukan sebagai kebaikan, tapi melihat keburukan dengan tujuan memperbaiki. Orang sering bilang bahwa berpikir atau bersikap positif itu sama seperti sikap tidak membeda-bedakan antara kebaikan dan keburukan, padahal sikap acuh tak acuh seperti itu adalah salah satu sumber keburukan dan kerusakan. Sikap dan pikiran positif itu artinya harapan pada perbaikan dan keberanian mengambil langkah yang diperlukan untuk memperbaiki. Dan ini segaris dengan memberi maaf, sementara acuh tak acuh sama dengan melupakan.”
Sampai
di sini, koneksi terputus. Tapi Merah masih mau melesakkan satu
tendangan terakhir. Begini: “Kun, kita harus menjadikan seluruh
perbuatan kita dalam lingkaran utuh demi memperbaiki kehidupan dan
menegakkan keadilan. Jangan seolah-olah berbuat baik, padahal sebenarnya
justru kita menyuburkan pohon keburukan di masa mendatang.”
Tampaknya itulah akhir yang sulit buat Kuning, sehingga tidak salah bila Merah belakangan memberinya nama Kuning Pucat. “Huh, dasar Merah tanpa Putih, tak kenal damai…”
Post a Comment
mohon gunakan email