Pesan Rahbar

Home » , , , » Biografi Sayid Qutub

Biografi Sayid Qutub

Written By Unknown on Saturday, 17 January 2015 | 21:29:00


Biografi singkat seorang tokoh ternama Islam, Sayid Qutub:

Bagian Pertama:

Desa Mushe

Secara geografis, desa Mushe terletak di salah satu dataran tinggi Mesir dan di tepi sungai Nil yang mengalir deras. Desa tersebut diapit dua bukit yang tak begitu tinggi dan juga dikelilingi lahan pertanian. Dekatnya jarak antara sungai Nil dan lahan pertanian serta pengairan yang tak pernah henti membuat desa tersebut dipenuhi kebun-kebun hijau. Penduduk desa dengan mudahnya dapat memetik berbagai buah dan sayuran dari kebun-kebun tersebut. Desa yang subur, yang kekayaannya tak dapat dihitung dengan jari-jari penduduknya.

Budaya Setempat

Kebanyakan penduduk desa adalah Muslim. Sebagian kecil dari mereka beragama Kristen. Terdapat sebuah biara kuno yang terletak di kaki bukit dan berjarak sekitar 5 km dari desa yang disebut dengan biara Mushe. Tetapi orang-orang Kristen di desa itu jarang yang pergi ke biara tersebut karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Oleh karena itu mereka membangun gereja di dalam desa sebagai tempat beribadah.

Kondisi Ekonomi-Sosial

Desa Mushe adalah desa yang kaya, bersih dan maju. Jika dibandingkan dengan desa-desa di sekitarnya, desa Mushe memiliki kelebihan tersendiri. Rata-rata setiap keluarga di desa itu memiliki tanah pertanian. Mereka hidup dengan layak, sejahtera dan tercukupi. Suasana social cukup baik. Mereka selalu menunjukkan keramahan, kasih sayang, dan selalu menolong terhadap sesama. Tidak pernah terlihat perpecahan dan permusuhan di antara mereka, semuanya hidup dengan akur dan damai.

Orang Tua

Haji Qutub Ibrahim adalah kepala silsilah keluarga besar Qutub; ia mulai menjadi pembesar keluarga sepeninggal ayahnya. Salah satu kriterianya yang sangat terkenal adalah suka memberi. Keterikatan dengan agama dan martabat keluarga yang tinggi yang menjadi alasan kebaikan-kebaikannya. Ia selalu memberi sampai ia menjual ladang dan rumahnya sendiri. Satu lagi kriteria sang ayah yang selalu dikenang oleh Sayid Qutub adalah kerendahan hatinya. Sayid Qutub meulis:
“Orang-orang yang bekerja untuk ayahku selalu memanggilnya dengan sebutan sayyidi (tuanku). Ayah sangat bersedih dan berkata, “Yang lebih kecil panggil aku ammi al haji (paman haji) dan yang lebih besar panggil aku al haji (haji).”

Setiap tahun ia selalu memiliki kebiasaan yang sama; di hari-hari Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, 15 Sya’ban, hari Isra’ Mi’raj dan bulan Ramadhan ia mengumpulkan warga di rumahnya untuk mengkhatamkan Al Qur’an dan setelah itu dihidangkan makanan-makanan yang lezat untuk mereka.
Adapun kegiatan politik beliau, ia adalah anggota Hizbul Liwa’ Mesir dan rumahnya adalah markas perkara politik desa.

Dalam peristiwa revolusi tahun 1919 M. beliau termasuk orang yang membentuk perkumpulan-perkumpulan politik baik secara rahasia atau terbuka dan juga mengarahkan masyarakat setempat untuk terwujudnya revolusi.

Ibu Sayid Qutub adalah perempuan mulia yang berasal dari keluarga terpandang. Sebelum menikah dengan Haji Ibrahim, ia tinggal di Kairo. Kedua saudaranya adalah dosen di Universitas Al Azhar dan memiliki wewenang-wewenang tinggi. Salah satu kriteria ibu Sayid Qutub yang terkenal adalah, ia sangat suka mendengarkan tilawah Quran. Oleh karenanya ia membawa Sayid Qutub ke madrasah Qurani untuk mempelajari Al Quran dan bertilawah untuk ibunya.
Ibu Sayid Qutub meninggal di desa Mushe pada tahun 1940 M.[1]

Bagian Kedua:

Keluarga Pecinta Jihad

Haji Qutub Ibrahim menikah dua kali. Yang pertama menghasilkan seorang anak perempuan dan yang kedua tiga anak perempuan dan dua lelaki. Ketika anak-anaknya sudah besar, semuanya pernah mengalami pahitnya penjara karena bersengketa dengan pemerintah waktu itu. Anak-anak Haji Ibrahim dari pernikahan kedua adalah:

1. Nafisah

Lahir di desa Mushe. Setelah ia dewasa menikah dengan seorang pemuda yang bernama Bakr bin Syafi’. Mereka kemudian dikaruniai dua putera bernama Raf’at dan ‘Azmi.
Saat Sayid Qutub dipenjara karena usahanya menegakkan Islam, Nafisah, Raf’at dan ‘Azmi juga dipenjara bersamanya; mereka dianiaya dalam penjara. Tak lama kemudian Nafisah dibebaskan, namun Raf’at dan ‘Azmi tetap tinggal. Pemerintah dengan licik meminta Raf’at membunuh Sayid Qutub dengan hadiah kebebasan dari penjara, tapi ia tidak menurutinya. Akhirnya ia disiksa lebih berat dari sebelumnya hingga meninggal. Adapun ‘Azmi, akhirnya ia dibebaskan di kemudian hari.[2]

2. Aminah

Ia lebih muda dari Sayid Qutub. Ia juga lahir di desa Mushe. Sangat menguasai sastra Arab dan pandai menciptakan syair-syair indah. Bersama dengan saudaranya, Sayid, ia bekerja sama dalam menulis buku Al Atyaful Arba’ah.

Sayid Qutub pernah menulis tentangnya bahwa ia adalah seorang perempuan yang tenang. Ia adalah seorang penyair yang kekayaan intelektualnya lebih dari kesuastraannya. Ia tenggelam dalam harapan-harapan masa depan yang tak pernah tergapai dan juga masa lalu.

Aminah sangat pandai menulis cerita. Ia pernah menulis sebuah buku yang berjudul Fi Tiyaril Miyah (Di Tengah Ombak). Buku tersebut memiliki dua belas cerita, Ia menghadiahkan bukunya kepada dua saudaranya, Sayid dan Muhammad Qutub.

Sebagaimana halnya saudara dan saudarinya yang lain, karena kedekatannya dengan Sayid Qutub, Aminah juga sempat dipenjara dan merasakan siksaan-siksaan pedih. Lalu ia terbebaskan dari penjara. Sejak itu, ia lebih tangguh dari sebelumnya. Ia menulis buku yang berjudul Fit Tariq yang perhatiannya terhadap masalah-masalah Islam tertulis lebih jelas dalam buku tersebut.

Dalam pembukaan bukunya ia menulis:
“Buku ini aku beri judul Fit Tariq. Ini adalah buku kumpulan kisah-kisah keduaku. Ini adalah karya pertamaku yang berusaha menunjukkan kisah-kisah suci dan manusiawi. Mengandung cerita-cerita islami dan penuh keimanan.”

Pada tahun 1954 M. Aminah menikah dengan salah satu anggota Ikhwanul Muslimin yang bernama Kamal Assananiri. Pada suatu hari suaminya mendapat tuduhan bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin dan dijebloskan ke dalam penjara. Kamal Assananiri berniat untuk menceraikan istrinya agar sang istri tidak mengkhawatirkan keadaan suaminya dan juga masa depan dirinya sendiri. Namun Aminah menolak keinginannya.

Ia menunjukkan kesetiaannya terhadap sang suami.Kamal Assananiri meninggal dunia pada tahun 1981 M. dalam penjara. Kepedihan Aminah akan kematian suaminya telukis dalam 20 bait-bait syairnya yang ia kumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Rasail Ilas Syahid (Surat-Surat untuk Sang Syahid) kemudian mencetaknya.[3]

3. Hamidah

Ia adalah anak paling akhir. Ia tak kalah dengan kakaknya dalam bidang sastra. Ia juga bekerja sama dengan Sayid Qutub dalam menulis buku Al Atyaful Arba’ah. Banyak makalahnya yang ia tulis dan dicetak dalam dua majalah Al Muslimun dan Ikhwanul Muslimin. Sebagaimana saudara dan saudarinya yang lain, karena ia juga berjiwa reformis, ia dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan mengalami siksaan berat di dalamnya.
Setelah 6 tahun di penjara, ia dibebaskan dan menikah dengan Doktor Hamdi Mas’ud lalu mereka berhijrah ke Perancis. Mereka tinggal di Perancis dengan meneruskan perjuangan-perjuangan sebelumnya. Bersama Zainab Al Ghazali ia membentuk jaringan Akhwatul Muslimin.[4]

4. Sayid Qutub

Ia lahir di tempat yang sama pada tahun 1919 M. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di kampung halaman kemudian melanjutkannya di Kairo. Sejak kecil ia sudah pandai berbahasa Inggris. Di Universitas Al Azhar ia belajar di bidang Ilmu Pendidikan. Setelah duduk di bangku kuliah selama 4 tahun dan mendapatkan gelar sarjananya, ia mendapatkan sebuah jabatan di Kementrian Pendidikan Mesir. Pada tahun 1954 M. ia bersama beberapa kerabatnya dituduh bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin dan mereka dimasukkan ke dalam penjara. Tidak ada hukuman lain yang dijatuhkan kepadanya, oleh karena itu kemudian ia dibebaskan. Setelah bebas dari penjara, ia sibuk mengurus penerbitan Darun Nasyr. Untuk kedua kalinya ia dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh mencetak buku-buku Sayid Qutub. Ia mendapatkan siksaan yang berat dalam penjara sehingga banyak orang mengira ia telah meninggal dunia. Oleh karena itu ia dijuluki dengan sang syahid. Padahal ia masih tetap hidup. Setelah tujuh tahun bersabar merasakan siksa, ia dibebaskan dari penjara. Lalu ia berhijrah ke Saudi Arabia dan sibuk mengajar di Jami’atul Mulk Abdul Aziz.­­­­­­ Muhammad Qutub menikah pada usia 50 tahun dan dikaruniai beberapa anak. Puteranya yang pertama bernama Usamah. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini Muhammad Qutub masih hidup dan tinggal di Saudi Arabia sibuk mengajar dan menulis.

Karya-Karya Muhammad Qutub

Muhammad Qutub memiliki banyak karya tulis dalam bidang keagamaan. Seperti: Al Insan Bainal Maddiyah Wal Islam (Manusia dalam Pandangan Materialisme dan Islam), Syubahat Haulal Islam (Syubhat-Syubhat Seputar Islam), Fin Nafs Wal Mujtama’, Qabasat Minar Rasul, Ma’raqatut Taqalid, Manba’ut Tarbiah Al Islamiyah, Manba’ul Fannil Islami, Attathawur Wa At Tsubat Fil Hayatil Basyariyah… (dan masih banyak lagi—pent.)

Banyak sekali buku-buku ilmuan dunia Arab ini yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, seperti bahasa Parsi. Di antaranya seperti: Kemanusiaan di Ambang Dua Jalan, Jahiliyah Abad 20, Metode Pendidikan Islami, Individu dan Sosial, Kritikan Terhadap Freud dan Freudisime… (dan masih banyak lagi—pent.)

Pemikiran Muhammad Qutub

Salah seorang yang paling berpengaruh bagi pemikiran Muhammad Qutub adalah saudaranya, Sayid Qutub. Sayid Qutub begitu berpengaruh bagi Muhammad Qutub sehingga Sayid dapat disebut sebagai guru bagi saudaranya. Oleh karena itu Muhammad Qutub mirip dengan saudaranya dalam pertentangannya terhadap penjajahan dan merasa kecewa dengan perpecahan Muslimin dalam menghadapi tipu daya musuh Islam.
Mengenai pluralisme (keterpisahan agama dengan politik) Muhammad Qutub menulis:
“Penjajahan telah mencacah belah negeri-negeri umat Islam dan menciptakan perpecahan di antara mereka. Agama diasingkan dari permasalahan-permasalahan penting kehidupan sehari-hari dan setiap upaya untuk menegakkan agama selalu diperangi. Program-program pendidikan telah dirancang sedemikian rupa sehingga setiap pemuda kita asing dari sumber-sumber agama. Pemuda-pemuda kita dididik dan dibesarkan dengan budaya barat agar mereka menjauh dari agama. Para penjajah berhasil menjalankan semua program mereka. Tapi di Amerika sendiri, di tengah-tengah masyarakat berkulit hitam, terwujud sebuah kebangkitan islam yang pengikutnya mencapai dua ratus lima puluh ribu orang[5] bahkan lebih.”[6]

Masa Kecil dan Pendidikannya

Sayid Qutub lahir pada tanggal 9/10/1906 M. di desa Mushe, atau juga dikenal dengan desa Abdul Fattah, provinsi Asyuth, Mesir.

Setelah melalui masa kecilnya, kedua orang tua Sayid Qutub berencana memasukkannya sekolah. Tapi Sayid Qutub tidak punya keinginan untuk masuk sekolah, ia lebih suka tinggal di rumah. Akhirnya pada tahun 1912 M. dengan dorongan orang tuanya ia mau masuk sekolah. Pertama kali ia menginjakkan kakinya di sekolah, pada hari itu juga ia melihat seorang pengawas sekolah—yang dulunya bekerja sebagai tentara—sedang memukuli muridnya. Dengan melihat suasana itu Sayid Qutub lari dan pulang ke rumah. Ibu Sayid Qutub yang ingin sekali anaknya pergi sekolah meminta suaminya, Haji Ibrahim, untuk menasehati anaknya agar mau kembali ke sekolah. Sang ayah dengan lemah lembut menasehati anaknya dan pada akhirnya Sayid Qutub mau kembali ke sekolah.

Di desa ada seorang syaikh yang mengajar anak-anak kecil membaca dan menghafal Al Qur’an dengan cara tradisional. Dengan berjalannya waktu, apa lagi dengan dibangunnya sekolahan-sekolahan moderen, kebanyakan orang tua tidak membawa anak-anaknya ke madrasah tradisional (dalam bahasa Parsi disebut dengan Maktab Khane) itu. Tapi sebagian orang juga ada yang merasa benci terhadap sekolahan-sekolahan moderen dan menganggapnya bertentangan dengan Al Qur’an dan pelajaran-pelajarannya. Saat Sayid Qutub duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, syaikh yang juga teman dekat Haji Ibrahim datang dan meminta agar anaknya dipindahkan dari sekolah dasar ke Maktab Khane agar menghafal Al Qur’an dan mempelajari pelajaran-pelajaran agama. Haji Ibrahim berjanji kepadanya bahwa esok pagi ia akan mengirimkan anaknya kepada syaikh. Keesokan hari Sayid Qutub sesuai dengan nasehat ayahnya pergi ke Maktab Khane. Namun tak lama di sana Sayid Qutub tidak betah dan rindu dengan sekolahan dan teman-teman sekelasnya. Oleh karena itu ia kembali lagi ke sekolah. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa jika banyak orang mengira sekolahan bertentangan dengan Al Qur’an, maka ia harus membuktikan bahwa ia bias sekolah dan juga bisa menghafal Al Qur’an. Atas dasar tekat ini sejak kelas dua sekolah dasar ia mulai menghafalkan Al Qur’an dan berhasil mengafalkan seluruh Al Qur’an saat berusia sepuluh tahun.
Sejak kecil Sayid Qutub adalah orang yang sangat teliti. Ia tidak mudah menerima omongan orang sebelum ia ketahui kebenarannya. Ia sendiri pernah berkata:
“Pada suatu hari datang seorang alim dari Universitas Al Azhar ke desa kami untuk berdakwah. Setiap malam ia di atas minbar berceramah seputar tafsir. Pada suatu malam, saat ia menerangkan tafsir surah Al Kahfi, ia membaca ayat:

ذَالِکَ مَا کُنَّا نَبغِ

aku bertanya, “Wahai syaikh, mengapa huruf ya’ dihapus padahal tidak ada jazim-nya?”

Sejak kecil ia sangat mencintai buku dan suka membaca sampai ia dikenal sebagai kutu buku. Ada seseorang yang bernama Amu Shaleh; ia adalah penjual buku yang selalu datang ke desa setiap hari Jumat. Kebiasaan Sayid Qutub adalah, pada hari Jumat ia meminta uang dari ayahnya lalu berlari membeli buku dari Amu Shaleh. Terkadang saat ayah Sayid Qutub sedang tidak memiliki uang untuk diberikan kepada anaknya, Sayid meskipun tidak mampu membeli buku, ia meminjam buku dari Amu Shaleh lalu dikembalikan pada hari Jumat berikunya.

Bagitu ia gemar membaca sehingga ia sampai menghafal beberapa buku sejarah dan buku-buku syair seperti buku milik Tsabit Al Jarjawi.

Buku yang ia kumpulkan menjadi perpustakaan pribadinya. Saat itu bukunya masih berjumlah 25 jilid. Tetapi perpustakaan kecil itulah satu satunya perpustakaan di desa.
Sayid menyelesaikan sekolah dasarnya selama enam tahun dan lulus pada tahun 1918 M. dengan penuh keberhasilan dan nilai yang bagus.

Ayah Sayid Qutub termasuk anggot Wathanil Liwa’. Oleh karenanya setiap minggu di rumahnya diadakan perkumpulan dan dibahaslam permasalahan-permasalahan penting seputar Mesir dan bahkan dunia. Sayid Qutub selalu mengikuti perkumpulan itu dan bekerja sama dengan orang-orang yang lebih tua darinya. Pada peristiwa revolusi tahun 1919 M. ia bersama ayahnya berpidato di depan khalayak umum untuk memberi semangat dan dorongan berjihad; padahal saat itu umur Sayid Qutub masih 13 tahun.
Sayid Qutub selama dua tahun tidak dapat meneruskan jenjang pendidikannya akibat beberapa dampak yang timbul dari revolusi Mesir.

Menuju Kairo

Pada tahun 1920 M. Sayid Qutub pergi ke Kairo guna meneruskan pendidikannya. Di kota itu ia tinggal di rumah pamannya yang bernama Ahmad Husain Utsman; ia adalah dosen di Universitas Al Azhar dan seorang penulis surat kabar. Lalu akhirnya pada tahun 1922 M. ia masuk di Pusat Pendidikan Abdul Aziz Kairo.

Pusat Pendidikan Abdul Aziz Kairo berada di bawah pengawasan Kementrian Pendidikan Mesir. Di sana para pelajar dididik untuk menjadi guru-guru berbakat untuk dapat mengajar di kemudian hari di sekolah-sekolah dasar. Sayid Qutub menyelesaikan pendidikannya di situ selama tiga tahun, dan pada tahun 1924 M. ia mendapatkan sertifikat pengajaran yang dapat digunakan untuk mengajar di sekolah dasar.

Pada saat itu juga sebenarnya Sayid Qutub sudah bisa mengajar, namun ia lebih cenderung untuk meneruskan pendidikannya yang lebih tinggi. Pada tahun 1925 M. ia masuk ke Madrasah Darul Ulum dan menggali ilmu di situ selama empat tahun. Pada tahun 1929 ia lulus dan pada tahun itu juga ia mengikuti ujian untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi dan pada akhirnya diterima untuk masuk di Universitas Darul Ulum.
Saat Sayid Qutub seorang mahasiswa, pimpinan tertinggi Universitas pada waktu itu adalah Toha Husain. Sayid Qutub dengan penuh berani mengutarakan kritikan-kritikannya mengenai sistim pembelajaran kampusnya. Ia masih muda dan terbukti ucapan-ucapannya tidak begitu dihiraukan. Namun dengan berani ia berkata kepada Toha Husain:
“Jika enkau menyerahkan manajemen kampus kepadaku, aku akan melakukan banyak upaya dalam rangka peningkatan keilmuan di sini. Sebagai contoh, aku akan memperluas ajaran bahasa Arab dan ilmu-ilmu keagamaan; memperpanjang masa studi yang mulanya empat tahun menjadi enam tahun; mewajibkan pelajaran bahasa Inggris bagi setiap mahasiswa, karena aku memiliki keyakinan bahwa jika seorang mahasiswa tidak menguasai bahasa Inggris, maka ia akan tertinggal oleh pembahasan-pembahasan penting masa kini.”

Sikap Sayid Qutub sangat menakjubkan jika dilihat betapa muda usianya namun sudah berfikiran seperti ini.
Ia tidak seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya yang malas belajar dan tertekan dengan pelajaran. Sayid Qutub dengan penuh semangat menjalani hari-harinya di kampus. Ia tidak pernah melewatkan diskusi-diskusi dengan para dosen; baik seputar masalah sosial, ekonomi, dan masalah-masalah penting lainnya. Oleh sebab itu para dosen di kampus terkagum-kagum akan semangat Sayid Qutub dan mereka bahagia karenanya.
Pada tahun 1932 M., ketika Sayid Qutub berada pada tahun ajaran ketiga, rektor universitas mengadakan sebuah konferensi dimana Sayid Qutub berpidato di dalamnya. Dalam konferensi itu Sayid Qutub membacakan makalahnya (makalah sastra) yang berjudul Mahammatus Sya’ir Fil Hayah, Syi’rul Jailil Hadhir. Seusai pidatonya, salah satu dosennya yang bernama Muhammad Mahdi Allam berkata:
“Seandainya aku tidak memiliki murid selain Sayid Qutub saja, aku sudah merasa cukup, puas dan bahagia. Aku yakin ia pembawa amanat ilmu dan adab. Keberanian dan lantang suaranya membuatku tertarik kagum. Sifatnya ini lah yang membuatnya menjadi orang yang kita sukai. Ia adalah kebanggaan Darul Ulum.”

Rekan-Rekan Kuliah

Ada beberapa rekan kuliah Sayid Qutub yang mungkin menarik disebutkan di sini:

Sa’id Allubban
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum, ia menjadi pimpinan Universitas Darul Ulum dan kemudian menjadi Menteri Pendidikan.

Muhammad Ibrahim jabr
Ia adalah seorang guru yang kemudian menjadi kepala sekolah. Ia termasuk sahabat karib Sayid Qutub yang sangat dihormati.

Fayid Alamdusi
Seorang ahli sastra, penyair, penulis, ahli sejarah Mesir. Ia telah menulis beberapa judul buku seputar sejarah Mesir dan tokoh-tokoh Muslim.

Abdul Aziz Atiq
Ia juga seorang sastrawan, penyair, penulis, juga kritikus. Diwan Atiq yang pengantarnya ditulis oleh Sayid Qutub adalah salah satu karyanya.
Di kampus itu lah Sayid Qutub memulai aktifitas-aktifitas sosial dan politik. Sebelumnya ia mendapatkan beberapa informasi dari pamannya mengenai Partai Wafd. Oleh karenanya ia menjadi anggota partai itu dan tulisan-tulisannya banyak yang dicetak oleh media penerbitan partai tersebut.

Pada tahun 1932 M. Sayid Qutub mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Darul Ulum dalam bidang Sastra Arab dan pada tahun itu juga ia ikut serta dalam pembentukan suatu serikat yang disebut dengan Jamaah Darul Ulum. Salah satu tujuan dibentuknya kelompok yang anggotanya dipilih dari beberapa alumni Darul Ulum adalah menjaga dan mengawasi perkembangan sastra dan bahasa Arab. Tak lama kemudian mereka menerbitkan majalah dengan nama Darul Ulum.

Sayid Qutub pada tahun 1933 M. berkhidmat kepada kementrian pendidikan dan menjadi seorang guru di salah satu sekolah dasar yang bernama Madrasah Dawudiyah Mesir.

Ia juga mengajar di beberapa sekolah lainnya seperti Dimyath, Bani Sawif, dan Madrasah Ibtidai Halwan. Setelah enam tahun mengajar, ia bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Pusat Kementrian Pendidikan Mesir. Di sana ia meneruskan pekerjaannya sampai pada tahun 1948 M.


REFERENSI:
[1] Materi di atas adalah terjemahan dan rangkuman dari kitab yang berjudul At Thiflu fil Qaryah karya Sayid Qutub.
[2] As Syahid Sayid Qutub Minal Milad ilal Istisyhad, halaman 42.
[3] As Syahid Sayid Qutub Minal Milad ilal Istisyhad.
[4] Ibid, halaman 44.
[5] Kini jumlah mereka bahkan mencapai angka satu juta.
[6] Aya Ma Mosalman Hastim, halaman 22.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: