Pesan Rahbar

Home » » Snouck Hurgronje dan Nasib Sebuah Bangsa

Snouck Hurgronje dan Nasib Sebuah Bangsa

Written By Unknown on Saturday, 15 November 2014 | 22:55:00


Mayoritas orang Islam di Indonesia menganggap haji adalah sesuatu yang elit. Memang tidak semua orang Islam menganggapnya begitu, apalagi ketika zaman globalisasi seperti saat ini. Namun menjadi seseorang yang sudah menunaikan rukun Islam ini, secara tidak langsung (atau bahkan secara langsung) menaikan derajat sosial orang itu. Ada prestise tersendiri ketika sesorang memakai gelar haji di depan namanya.

Dr. Martin van Bruisen, seorang peneliti Islam di Indonesia, punya catatan yang menarik mengenai haji. Menjelang pertengahan abad ke-17, para penguasa kerajaan Islam di Jawa  mulai mencari legitimasi politik atas kekuasaannya dari para Syarif Mekah. Pada tahun 1630-an, Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram saling bersaing mengirim utusan ke Mekah untuk meminta pengakuan dan gelar sultan. Rombongan utusan Banten pulang pada tahun 1638. Sedangkan utusan dari Mataram baru pulang tahun 1641 dengan membawa banyak kenang-kenangan dari Syarif Besar Mekah. Pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran dari Kerajaan Islam di Jawa menunaikan ibadah haji. Ia adalah Abdul Qohar dari Kerajaan Banten, yang lebih masyhur disebut Sultan Haji.

Saat Indonesia dikuasai Belanda dengan VOC-nya, tidak ada perubahan dengan haji. Haji tetap menjadi kelas sosial tersendiri di mata masyarakat. Kebanyakan orang yang berhaji berasal dari kalangan-kalangan lapisan atas masyarakat, seperti para ulama, keluarga muslim yang kaya, dan para sultan. Masalahnya, haji orang Indonesia rupanya tidak hanya sekedar thawaf, wukuf, atau jumrah saja. Naik haji merupakan kesempatan untuk memperdalam ilmu sekaligus membangun kesadaran menentang penjajahan. Alhasil, banyak sekali haji-haji yang menjadi inspirator perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Inilah yang kemudian membuat pemerintah kolonial agak sedikit was-was.

Berbagai regulasi untuk menekan orang yang berhaji mulai diterapkan, seperti Resolusi 1825 dan 1831. Pada Resolusi 1825, setiap calon jamaah haji harus membayar f 110 (110 gulden) untuk mendapatkan paspor haji. Resolusi 1825 ini kemudian diubah dengan Resolusi 1831. Dalam aturan ini, para pelanggar yang tidak memiliki paspor haji akan didenda f 1000. Jumlah denda di kemudian hari berubah menjadi f 220. Tahun 1852 kedua resolusi tersebut dicabut, tetapi aturan untuk memiliki paspor tetap diwajibkan meski pembayarannya tidak terlalu mahal.

Barulah saat ide Pan-Islam menjadi kekuatan baru penentang kolonialisme, Belanda kembali menetapkan aturan-aturan mengenai haji yang lebih ketat. Haji menjadi momok bagi pemerintah kolonial waktu itu. banyak sekali perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah dipimpin oleh para haji. Maka, pemerintah segera memberlakukan Ordonansi Haji yang berisi; harus memiliki surat keterangan dari bupati serta bekal yang cukup selama pergi berhaji dan bagi keluarga yang ditinggalkan; diadakan ujian bagi yang telah datang dari haji; bila telah lulus ujian baru jamaah haji bisa memakai gelar haji dan memakai busana khusus haji.
Sepintas aturan ini terlihat sangat konyol. Namun perlawanan terhadap penjajahan semakin meningkat. Ini memaksa Belanda lebih bersikap paranoid terhadap haji. Sampai-sampai konsul Belanda di Jeddah pun diinstuksikan untuk menghambat pelaksanaan haji.

Ordonansi Haji, terutama aturan mengenai sertifikat haji dan busana haji, ternyata merupakan hasil dari penelitian mendalam dari seorang orientalis masyhur bernama Snouck Hurgronje. Para peminat sejarah di Indonesia pasti akan bertemu nama ini. tidak bisa tidak, sejarah perkembangan Islam di Indonesia berhubungan erat dengan Snouck Hurgronje karena beberapa kebijakan-kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda berasal dari pemikirannya.

Snouck melihat ide-ide pan-islamisme yang dibawa para jamaah haji seringkali bertentangan dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Snouck paham betul vitalnya peran ibadah haji di Mekah dengan penyebaran ide pan-islam ini. Snouck sendiri pernah melakukan sesuatu yang sampai sekarang masih bisa membuat kita menggelengkan kepala. Dengan nekat, demi mengkaji Islam lebih mendalam untuk kepentingan orientalis, Snouck menyusup ke Mekah yang terlarang bagi non-muslim seperti dirinya. Bahkan dia bersyahadat dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim dengan nama Abdul Ghafar. Dalam salah satu suratnya bertanggal 1-8-1885 kepada Th. Noldeke, gurunya, ia menyatakan tujuannya pergi ke Mekah adalah mengamati cara berpikir, cara bertindak, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama untuk menelaah Islam di pusat kehidupan orang Islam.

Dalam bukunya yang terbit kemudian tentang Mekah, tampak dengan jelas bagaimana pandangan Snouck tentang orang Jawa (baca: Indonesia) yang ia temui di Mekah. Ia menganggap bahwa orang Jawa adalah kelompok manusia yang paling tereksploitasi di Mekah. Di samping itu ia juga memiliki pandangan yang sangat sinis tentang sejumlah ulama Indonesia yang ia temui di sana, contohnya ulama karismatis Syekh Nawawi Banten. Ia mengejek, meskipun Syekh Nawawi berpuluh tahun hidup di Mekah, bahasa Arab dan cara melafalkan ayat Al-Quran masih memiliki aksen Jawa yang medok.

Snouck tertarik memperhatikan gerak-gerik jemaah haji asal Aceh. Ia menganggap, dibandingkan dengan jemaah haji Nusantara lainnya, jemaah haji Aceh lebih memiliki sikap radikal dan fanatik. Di Mekah, seperti disaksikan Snouck Hurgronje, mereka mencari dukungan dari ulama-ulama di sana tentang bagaimana hukumnya berjihad melawan Belanda. Hurgronje mengikuti pengajian para ulama Aceh di Mekah, “mendaras bersama”, memohon kemenangan Perang Aceh. Para jemaah melantunkan teks-teks hadis Bukhari; inilah teks yang dianjurkan oleh pemerintah dan ulama Turki kepada warganya saat Rusia akan menyerang Kerajaan Ottoman.  Di mata Snouck, Mekah adalah pemompa darah segar Islam di Hindia Belanda. Dia juga tercengang melihat orang Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. “Solidaritas Islam begitu kuat,” pikirnya. Muncul keinginannya menyumbangkan usulan ilmiah kepada pemerintah guna menundukkan Islam dan Aceh.

Snouck memang memiliki tugas utama “membersihkan Aceh”. Karena itu pulalah ia menjadi semacam legenda di kalangan orientalis. Bagi pemerintah Belanda dia merupakan pahlawan yang membuat mereka menundukan Aceh. Sebelum kedatangan Snouck ke Aceh, Belanda sama sekali tidak berkutik dalam menghadapi Perang Aceh. Mereka bertanya-tanya betul atau salahkah strategi mereka selama ini. Maka, saat Snouck memberikan naskah berisi saran-saran mengenai kebijakan terhadap Aceh kepada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie van Kolonieën), pemerintah Belanda segera bergerak cepat menugaskan Snouck untuk mendalami masalah ini lebih lanjut.

Dengan berpijak pada konsep-konsep hasil penelitian Snouck di Aceh, Belanda berhasil menundukan Aceh, meski tidak total karena masih banyak perlawanan-perlawanan separatis pasca menyerahnya Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1903. Dan tidak hanya Aceh. Pemikiran-pemikiran Snouck juga dijadikan pijakan kebijakan politik Islam Hindia Belanda di daerah lainnya. Snouck menjabat sebagai Penasihat Urusan Pribumi dan Arab dari tahun 1892 sampai tahun 1906.

Penelitian yang dilakukan di Mekkah dan di Aceh memberi kemungkinan kepada Snouck Hurgronje untuk membuat kategorisasi pola perbuatan keagamaan umat Islam Nusantara dalam rangka menggariskan politik Islam pemerintah kolonial. Ia membagi persoalan Islam kepada tiga kategori yaitu bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan (muamalah), dan bidang politik. Ketiga bidang ini memiliki alternatif pemecahan yang berbeda. Terhadap yang pertama, pemerintah harus memberikan kebebasan penuh kepada penganutnya, bahkan jika perlu harus dibantu. Terhadap yang kedua, pemerintah harus menghormati institusi-institusi yang sudah ada, dan tidak boleh dihalangi kelangsungannya. Namun terhadap yang ketiga, pemerintah harus menghalanginya dan kalau perlu harus disikat habis.

Kebijakan politik Islam Snouck Hurgronje, tampaknya didasarkan pada asumsinya tentang kondisi real umat Islam di Hindia Belanda waktu itu. Ia melihat umat Islam lebih memperhatikan persoalan Islam sebagai agama dalam bentuknya yang sempit (seperti perkawinan, hubungan keluarga, dan peraturan yang berhubungan dengan waris), sedangkan aspek politik dan sosial kurang mendapat perhatian.

Snouck Hurgronje yakin bahwa umat Islam akan berbahaya bagi pemerintah kolonial jika kebebasan dan kemerdekaan mereka beragama diganggu. Semakin dilarang untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyah, mereka semakin fanatik untuk mengerjakannya. Bahaya lebih besar akan mengancam pemerintah, bila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama umat Islam terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa, lalu mendirikan perkumpulan-perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil yang mungkin tidak dapat diketahui secara cepat.

Semangat keislaman juga bisa bangkit, jika umat Islam merasa terganggu dalam urusan muamalat, seperti urusan perkawinan, warisan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Oleh karenanya, pemerintah harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku, dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda. Jika urusan ubudiyah dan muamalat sudah diatur, maka yang perlu diawasi adalah hubungan umat Islam dengan dunia luar.

Paparan diatas mengggambarkan bahwa Snouck Hurgronje membuat kategorisasi yang tajam terhadap pola perbuatan keagamaan umat Islam di Hindia Belanda. Ia menganggap ketiga aspek tersebut terpisah antara satu dengan lainnya, bukan sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dari gambaran tersebut jelas, bahwa esensi sesungguhnya dari pemikiran politik Snouck Hurgronje adalah depolitisasi Islam.

Ide pan-islam adalah salah satu contoh dari sudut pandang Snouck mengenai Islam secara politik. “Masukan penting yang disampaikan Snouck kepada pemerintah Belanda: pemerintah harus mengawasi para jemaah haji yang baru pulang dari Mekah. Sering mereka ini membawa ide Pan-Islamisme yang bertentangan dengan kepentingan Belanda,” kata pakar Islam Jajang Jahroni. Maka diberlakukanlah Ordonansi Haji yang salah satunya berisi peraturan konyol tentang ujian haji sebagai syarat berbusana haji.

Snouck juga berusaha membatasi asimilasi antara orang Arab dan “pribumi”. Itu disebabkan salah satu pemimpin perang Aceh yang pertama adalah orang Arab: Habib Abdurrachman Al-Zahir. “Beliau adalah ulama dari Yaman yang datang ke Aceh, diangkat Kesultanan Aceh menjadi duta dan dikirim ke Turki untuk meminta pertolongan guna menghadapi Belanda, tapi kemudian dia menyerah ke Belanda,” kata Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Meski misinya ke Istanbul tidak berhasil, ia tetap balik ke Aceh dengan menyamar sebagai orang keling, mencukur rambut dan jenggotnya.

Menurut almarhum Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab Belanda, Snouck mengupayakan agar orang Arab dan orang Indonesia bermusuhan. Di antaranya adalah dengan menjadikan orang Arab-di samping orang Cina-sebagai vreeemde osterlingen (orang asing Timur Jauh) yang menempati strata kedua dalam strata sosial masyarakat.

Imigrasi para imigran keturunan Arab ke Indonesia juga dipersulit, dari keberangkatan, di perjalanan, turun kapal, sampai keinginan menetap. Di mata Snouck, cara-cara tersebut bisa menghambat laju Pan-Islam. Beberapa media sempat memprotes kebijakan ini, seperti koran Maklumat (30/8/1889) dan Moe’ajjad (5/4/1899) dari Turki, dan majalah Tha-maratal-fumun Singapura (21 Rajab 1315).

Pemikiran lain Snouck yang sampai saat ini masih berpengaruh adalah “teori receptie”.  Sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hokum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasipemerintahan.

Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yangmenulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.

Siasat ‘Devide et Impera’ Snouck Hurgronje yang Terus Diupdate

Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936)

Siapakah Snouck Hurgronje.?
Barangkali bagi sebagian besar generasi muda Islam, belum mengetahui secara lengkap siapakah sosok Snouck Hurgronje itu sebenarnya? serta kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya terhadap Islam dan umat islam (Indonesia, khususnya Aceh)? baiklah dalam kesempatan ini akan kami bahas dan kupas tentang sepak-terjang Snouck Hurgronje serta siasat ‘Devide et Impera’ atau ‘politik pecah-belah dan kuasai’ yang dilakukannya terhadap umat islam Indonesia.

Christiaan Snouck Hurgronje (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah orientalis Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah, 1884. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrahman Azh-Zhahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian “dibeli” Belanda dan dikirim ke Mekkah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.

Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.

Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara.

Sosok Snouck memang penuh warna. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.

Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama.

Demikianlah sosok Snouck Hurgronje yang dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh.

Awal penelitian
Pengamatan Snouck terhadap Aceh sebenarnya sudah dimulai saat ia berada di Mekkah. Dia tertarik melihat orang Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. Orang Aceh cukup banyak dan begitu fanatik dalam melawan Belanda. Ia ingin sekali menyumbangkan usulan ilmiah kepada pemerintah guna menundukkan Aceh. Hal yang segera disampaikan kepada pemerintah Belanda, adalah mengusahakan pemisahan Islam dan politik di negeri jajahan. Para jamaah haji diawasi, karena berpotensi membawa ide pan-Islamisme ke Aceh. Ini bertentangan dengan kepentingan Belanda.

Setelah kembali ke Leiden selama dua tahun, Snouck menawarkan diri untuk ditugaskan ke Aceh. Dia pun masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun berjalan tanpa penghalang.

Snouck segera berangkat. Tempat yang dituju adalah Aceh. Sayang, begitu sampai di pelabuhan Penang (Malaya), Gubernur H.K.F. van Teijn melarangnya masuk Aceh, pada tanggal 1 April 1889. Alasannya, Snouck bergaul dengan kaum pelarian dan berusaha masuk ke Aceh secara gelap. Akhirnya Snouck meluncur ke Batavia (kini Jakarta) dan tiba pada tanggal 11 Mei 1889.

Sebenarnya, Snouck mau melakukan tugas penting ke Aceh (1889) atas perintah Belanda. Ini sangat rahasia, ia naik kapal pos Inggris sampai ke pantai Sumatra. Melalui Pelabuhan Penang ia masuk pedalaman Aceh sampai ke istana sultan dengan cara memanfaatkan tradisi menghormat sesama Muslim yang dikenalnya di Mekkah. Tapi di pihak lain, perjalanan itu dianggap mata-mata oleh militer Belanda di Aceh. Mereka keberatan, maka ia harus dipulangkan.

Di Batavia, Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah. Snouck langsung akrab dengan pribumi Batavia, termasuk ulama. Ini membuat Direktur PAP terkesan dan mendesak Gubjen Cornelis Pijnacker Hordijk agar mengabulkan permohonan penelitian itu. Keluarlah beslit yang mengizinkan Snouck melakukan penelitian selama dua tahun, sejak 16 Mei 1889, disusul beslit Raja Belanda pada 22 Juli 1889. Bahkan ia diangkat menjadi Penasihat urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam sejak 15 Maret 1891.

Sejak menjadi penasihat itu, naluri politik Snouck mulai memengaruhi posisinya sebagai ilmuwan. Meja kerja penasihat terus menggiring pemikirannya untuk selalu menyertakan tendensi politis di setiap analisisnya. Sifat seorang ilmuwan yang mengedepankan objektivitas dalam diri Snouck mulai luntur. Menurut Schroder, ilmuwan Belanda, tangan kotor Snouck telah jauh terlibat dalam fungsi politik kolonial.

Pada tanggal 9 Juli 1891, Snouck ke Aceh, bahkan menetap di Kutaraja (kini Banda Aceh). Ia menjadi orang “kepercayaan” Joannes Benedictus van Heutsz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909). Pengamatannya menghasilkan tulisan Atjeh Verslag, berisi laporan kepada Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Sekitar tujuh bulan kemudian kembali ke Batavia. Pekerjaannya bertambah menjadi Penasihat urusan Pribumi dan Arab. Lembaga yang didirikan 1899 ini bisa dipandang sebagai cikal bakal Departemen Agama.

Perang Aceh.


Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.

Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.

Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.

Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam.

Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.

Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.

Kembali ke Belanda.

Keluarga Snouck Hurgronje.

Snouck Hurgronje menikah 4 kali. Yang pertama adalah dengan seorang wanita di Jeddah. Pada tahun 1890, ia menikah dengan Sangkana, puteri Raden Haji Mohammad Taik, penghulu di Ciamis dan dikaruniai 4 orang anak. Sayang, pada tahun 1896, saat mengandung anak ke-5, Sangkana keguguran dan meninggal bersama bayi yang dikandungnya.

Tak sampai 2 tahun kemudian, Snouck Hurgronje menikah lagi. Kali ini dengan Siti Sadiah, puteri Kalipah Apo, wakil penghulu di Bandung. Dari pernikahan itu mereka dikarunai seorang anak bernama Raden Joesoef. Namun setelah itu, Snouck Hugronje dipanggil pulang ke Belanda. Raden Joesoef sendiri memiliki 11 orang anak. Yang paling sulung adalah Eddy Joesoef, pemain bulu tangkis yang pada tahun 1958 berhasil merebut Piala Thomas di Singapura.

Pengembaraannya berakhir 1906 dan kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin dengan Ida Maria, putri seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia menekuni profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban hingga akhir hayatnya, 16 Juli 1936.


Perkembangan Siasat ‘Devide Et Impera’ ala Snouck Hurgronje.

Kebencian terhadap Islam semakin bertambah, tatkala musuh-musuh Islam memanfaatkan isu terorisme untuk mempreteli simbol-simbol Islam yang dianggap berpotensi melahirkan terorisme. Perang melawan teroris pun menjelma menjadi perang melawan Islam. Spionase disebar, propaganda ditebar, umat dibelah, jihad dikaburkan, gerakan Islam dicurigai.

Secara sistematis, awalnya mereka memojokkan pesantren dengan tuduhan sarang teroris. Sunnah pun di bawah ancaman, ketika jenggot, cadar, gamis, celana di atas mata kaki dicap wahabi, habitat teroris. Tidak hanya itu, ajaran Jihad didalam Islam pun dicurigai sebagai ajaran yang menanam benih radikalisme.
Untuk meredam radikalisme itu, mereka mencari-cari jalan untuk memperlemah Islam melalui berbagai cara. Pesantren diberi kucuran dana oleh negara-negara Barat, seperti AS, Inggris, Australia, dengan maksud agar mengubah kurikulum pesantren. Atas nama kerjasama kebudayaan, mereka juga menawarkan program beasiswa bagi santri, kiai dan dosen-dosen perguruan tinggi Islam untuk belajar studi Islam ke pusat-pusat studi orientalisme di Eropa dan Amerika. Termasuk, memberi buku-buku propaganda berkedok peradaban untuk menyebarkan virus pemikiran liberal pada civitas pesantren dan lembaga tinggi Islam lainnya.

Merebaknya Islamphobi dirasakan umat Islam, tidak hanya datang dari luar, melainkan dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Mereka tak ingin melihat Islam berkembang di Indonesia, khususnya dan dunia umumnya. Tesis Samuel Huntington tentang Clash of Civilization (perang peradaban) antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam dan Cina), saat ini terbukti kebenarannya. Target semua itu adalah menghabisi Islam secara tuntas melalui politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.

Menebar Spionase.

Untuk merealisasikan kehancuran Islam itu, ditebarlah spionase-spionase yang menjadi kaki tangan Barat ke seluruh negeri berpenduduk muslim, termasuk Indonesia. Dari mulai Snouck Hurgronje, Sydnes Jones, hingga Ulil Abshar Abdalla. Jika dahulu, Belanda punya spionase Snouck Hurgronje, Inggris merekrut Thomas Edward Lawrence alias Lawrence of Arabia, Israel pun punya Johann Wolfgang Lotz. Agen-agen resmi negara, seperti CIA (AS), Mossad (Israel), M16 (Inggris) dan agen swasta lainnya punya andil untuk menghancurkan Islam.

Lawrence Arabia, misalnya, ia ditugaskan untuk memprovokasi para kepala suku dan mengobarkan pemberontakan terhadap Monarki Turki, lalu terjadilah Revolusi Arab.

Sedangkan, Christian Snouck Hurgronje adalah spionase Belanda yang mempelajari Islam dan menyebarkan fitnah di tengah masyarakat Muslim. Dengan menggunakan pengetahuan tentang Islam dan sejarahnya, Snouck menjalankan siasat busuknya untuk mencari kelemahan umat Islam dari dalam.

Di balik ”penelitian ilmiah” itulah, ia melakukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah dan melanggengkan kekuasaan kolonial. Dengan cara manipulasi, pengkhianatan, dan pura-pura masuk Islam, Snouck berganti nama menjadi Abdul Ghaffar, mempelajari Islam di Mekkah Al Mukarramah, bahkan menunaikan ibadah haji.

Selama di Hijaz, ia berbaur dengan masyarakat Indonesia yang mukim di sana, dan menjalin hubungan erat dengan para ulama Mekkah dan Indonesia, khususnya asal Jawa, Sumatera, dan Aceh. Banyak data-data penting dan informasi yang diperoleh, saat ia memata-matai gerakan anti penjajahan, terutama ihwal rencana para ulama Indonesia yang akan menyerukan jihad melawan Belanda di Tanah Air.

Seperti diketahui, dahulu, musim haji adalah waktu yang tepat berkomunikasi dan saling tukar informasi diantara pemimpin umat dari berbagai belahan dunia. Saat kembali ke Indonesia, Snouck menikahi dua wanita Muslimah, salah satunya anak kiai asal Bandung. Kemudian ia menawarkan diri kepada pemerintah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Yang jelas, banyak informasi yang disuplai Snouck kepada Belanda. Ia membuat laporan panjang yang berjudul ”Kejahatan-kejahatan Aceh”. Laporan ini menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapi masalah Aceh.

Jaringan intelijen yang dibangun Snouck adalah merangkul mata-mata dari kalangan pribumi, diantaranya ulama Jawa yang membantu pencitraan dirinya sebagai saudara seiman. Ia juga dibantu oleh seorang asisten dari keturunan Arab, yaitu Sayyid Utsman Yahya bin Aqil Al Alawi. Sayyid adalah penasihat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum muslimin.

Snouck lalu merekomendasikan, bahwa yang berada di balik perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena ia yakin tokoh-tokoh itu hanya memikirkan duniawinya, mengamankan posisinya.

”Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Islam membangkitkan kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda,” begitu statemen Snouck. Itulah sebabnya, ia meyakinkan pemerintah Belanda, kekuatan di Aceh bisa ditaklukkan bila ulamanya ”dibersihkan”.

Politik Devide et impera, siasat pecah belah dan kuasai yang dilancarkan Snouck Hurgronje rupanya menjadi inspirasi dan terus di up-date oleh musuh-musuh Islam di era globalisasi sekarang ini. Terbukti, spionase kaki tangan Barat, kini ditanam di setiap organisasi pergerakan Islam, dengan cara menebar virus sekuler-liberalisme ke dalam otak interlektual muslim, menebar kebencian dalam bentuk stigmatisasi, termasuk menunggang para mujahid yang ingin berjihad dengan cara yang salah.

(Sejarah-kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: