Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh “imbauan”
untuk memaafkan Seoharto. Dalam imbauan itu, kita digiring untuk
mengenang jasa-jasa Seoharto dan kemakmuran hidup di era
pemerintahannya. Sebagai bangsa yang terkenal ramah dan sopan, kita
merasa terpanggil untuk memberi maaf pada almarhum Seoharto. Meski kita
tidak pernah tahu untuk apa memaafkan atau lebih tepatnya kesalahannya
yang mana yang mesti kita maafkan. Sebagai bangsa, kita merasa seperti
wajib memaafkannya. Ada perasaan kuat yang mendorong kita untuk
memaafkannya.
Nah, apa setelah memaafkannya kita bakalan terpilih
sebagai bangsa paling luhur di muka bumi? Apakah kita menjadi lebih
baik dan lebih luhur dibandingkan bangsa Iran yang tidak bisa memaafkan
Shah Reza Pahlevi? Kita tahu bahwa bangsa Iran tidak memaafkan Shah
sekalipun raja itu telah mati terkubur di tanah pengasingan, di Mesir.
Kita juga tahu bahwa bangsa ini juga tidak bisa memaafkan Amerika
Serikat yang menjadi pendukung dan patron rezim Shah, sampai detik ini
juga.
Tampaknya belum. Kita belum bisa menjadi bangsa
paling luhur. Karena, pemberian maaf atas seorang mantan penguasa yang
terkenal kejam dan korup ternyata bukan semata-mata monopoli kita. Ada
bangsa yang jauh di bawah kita dalam keramahan dan kesopanan tapi juga
memberi maaf kepada mantan diktatornya. Bangsa itu tak lain adalah
bangsa Arab. Saddam Husein mati di tiang gantungan sebagai terpidana
kasus pembantaian massal di Dujail. Tapi, sebagian besar bangsa Arab di
luar Irak, telah memberinya maaf. Bukan hanya memberinya maaf, mereka
juga telah menobatkannya sebagai “Syahid Hari Raya”. Salah seorang ulama
terkenal di Timur Tengah yang dinilai cukup moderat, Dr. Yusuf
Qardhawi, bahkan memberinya gelar sebagai pejuang kemerdekaan dan syahid
di jalan kebebasan.
Nah, ternyata kita pun belum bisa mengungguli
bangsa Arab dalam memberikan maaf dan menghormati mantan penguasanya.
Karena itu, mungkin, untuk bisa terpilih sebagai bangsa paling luhur di
muka bumi ini, kita perlu mengangkat Pak Harto dan semua mantan
pembantunya di era Orde Baru sebagai pahlawan nasional. Kita juga perlu
secara rela memberi tiap-tiap anggota keluarganya sebuah tanda jasa
karena telah menjadi anak atau cucu dari mantan penguasa tersebut.
Lebih dari itu, kita pun sepertinya harus bertobat
bersama-sama atas semua hujatan dan kelakuan tidak menyenangkan yang
telah kita timpakan kepada Seoharto, keluarga dan seluruh jajaran mantan
menteri Orba.
Mungkin juga kita perlu melangkah lebih dari itu
dengan mempersilahkan mereka untuk kembali memimpin negeri ini dan
mengembalikan negeri ini seperti di era kepemimpinan mereka. Dan
lantaran Pak Harto telah wafat, maka sudah sepatutnya anak cucu beliau
kita persilahkan dengan segala hormat untuk maju sebagai pemimpin bangsa
yang di masa mendatang. Di bawah naungan merekalah segala kemakmuran
dan pembangunan bangsa dan negara ini bisa terjamin.
Barulah setelah itu kita memberi komitmen nasional
bahwa kita tidak akan pernah lagi mau dipimpin oleh rezim lain,
mengingat hanya rezim itulah yang telah membawa semua kebaikan, berkah
dan rahmat bagi bangsa ini. Jangan pernah kita menjadi seperti bangsa
Iran, atau kurang ramah dan sopan dibanding bangsa Arab. Nau’dzubillahi
min dzalik!
Setuju…?
(ABNS)
(ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email