Ketegangan Pancasila dan Islam kembali mengemuka wacananya menyusul kasus penodaan atas lambang dan dasar negara itu. Kasus ini pun menyeret Pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Syihab sebagai tersangka setelah dilaporkan Sukmawati.
Seperti diketahui, sebagian umat Islam meyakini problem Pancasila dan Islam telah selesai semenjak para pendiri bangsa ini bersama para ulama mencapai mufakat. Bagi para ulama NU dan Muhamamdiyah misalnya, Islam dan Indonesia dengan dasar negara Pancasila adalah “satu nafas”.
Namun kalangan lainnya masih mempermasalahkan dengan mengatakan Pancasila bukan Islam atau tidak diajarkan Al-Qur’an dan Hadist. Dengan mengusung konsep seperti khilafah atau negara Islam, tak jarang penentangan dilakukan dengan merusak modal sosial-budaya bangsa berupa tindakan terorisme karena dianggap “thagut”.
Bagi organisasi yang telah lahir di Indonesia sejak 91 tahun lalu (31/1), Nahdlatul Ulama menganggap sudah tidak relevan lagi mengusung jargon negara Islam di Indonesia. Alhasil, tokoh senior NU KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan, sudah selayaknya segala daya upaya untuk mengubah dasar negara atas nama agama tidak diperlukan lagi.
“Coba lihat Pancasila, apa yang tidak Islami? Substansi Islam itu ada di Pancasila. Kalau Islami itu ada dua unsur, justice dan syuro. Justice di sila kelima dan syuro di sila keempat. Syuro merupakan strategi dan justice tujuannya,” kata KH Masdar Farid Mas’udi dalam seminar nasional memperingati Bulan Bung Karno dengan tema Soekarno dan Islam di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa waktu lalu.
Adapun soal pengalaman NU menyetujui penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila juga pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Atas tuntutan sejumlah musyrikin Mekkah, Rasulullah rela mencoret tujuh kata yang tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah.
“Ini luar biasa. Ada kesamaan antara sejarah umat Islam dan Nahdlatul Ulama,” Kiai Masdar seperti dilansir nu.or.id
Masdar menjelaskan, sebelum dicoret Perjanjian Hudaibiyah memuat kata-kata “bismillahir rahmanirrahim” dan “rasulillah”. Sejumlah orang Mekah yang tidak terima menuntut penghapusan tujuh kata itu (bi, ism, Allah, ar-rahman, ar-rahim, rasul, Allah) untuk digantikan dengan redaksi yang lebih netral.
Penggalan sejarah ini, menurutnya, membuktikan bahwa sikap NU terhadap ideologi kebangsaan NKRI sudah ada di jalur yang tepat. KH Hasyim Asy’ari sendiri yang memberikan keberanian moral kepada putranya KH Wahid Hasyim untuk mencoret tujuh kata Pancasila yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyanya”.
“Melalui istikharah dan inayah dari Allah SWT, Hadratus Syaikh mengikhlaskan untuk mencoret tujuh kata. Ini adalah amal jariyah NU kepada bangsa ini,” katanya.
Kiai asal Purwokerto ini menambahkan, sikap ini berpijak pada ajaran pokok NU yang dalam hal kenegaraan di antaranya menganut prinsip keadilan dan permusyawaratan.
“Bagi warga NU secara konseptual Pancasila sudah Islami,” tegasnya.[]
(NU-Online/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email