Pernikahan mut’ah merupakan salah satu tradisi dalam Islam yang dinyatakan kebolehannya dalam al-Quran dan tiada seorang pun yang mengklaim keharusannya sehingga harus dinyatakan dalam bentuk perintah. Ayat mulia ini hanya menjelaskan kebolehan secara syar’i dan kehalalal pernikahan ini sehingga orang-orang beriman dapat melakukannya apabila membutuhkan dan ingin melangsungkan pernikahan dengan model seperti ini.
Sunnah yang baik ini berlangsung di tengah masyarakat Muslim pada masa Rasulullah Saw dan khalifah pertama serta sebagian masa khalifah kedua hingga khalifah kedua sendiri yang melarangnya.
Dalam sejarahnya, para Imam Maksum As senantiasa memotivasi masyarakat untuk melakukan pernikahan ini; karena pada masyarakat di masa itu, sunnah Ilahi ini diharamkan dan diperkenalkan sebagai perbuatan bid’ah sehingga dengan perintah dan pelaksanaannya merupakan sejenis perlawanan atas perbuatan yang digolongkan bid’ah ini. Karena itu, dianjurkannya nikah mut’ah dalam mazhab Syiah adalah disebabkan karena masalah ini yaitu ingin melawan perbuatan bid’ah yang mengharamkam sesuatu yang halal. Hal ini juga telah disebutkan dalam beberapa riwayat.
Sehubungan dengan penentangan Imam Ali As atas larangan khalifah kedua harus dikatakan bahwa Imam Ali As sendiri di Kufah melakukan pernikahan ini.
Dalam praktik nikah mut’ah tidak dibatasi jumlah berapa banyak wanita yang ingin dinikahi secara mut’ah dan izin istri pertama tidaklah menjadi syarat baik itu dalam nikah mut’ah atau nikah daim.
*****
Pertanyaan Anda akan dijawab berdasarkan urutannya sebagai berikut:
Islam sebagai agama paling sempurna membolehkan dan mensyariatkan pernikahan sementara (mut’ah) yang boleh jadi disebakan oleh pelbagai persoalan yang dihadapi sebagian orang sehingga tidak mampu melangsungkan pernikahan tetap. Pernikahan mut’ah dapat digunakan sebagai remedi (obat sementara) di tengah masyarakat. Hal ini merupakan salah satu poin positif dan progressif ajaran Islam yang di samping menjawab kebutuhan seksual secara permanen, juga menyodorkan solusi sementara dan beraturan kepada masyarakat.[1] Al-Quran dalam hal ini menyatakan:
«وَ أُحِلَّ لَكُمْ ما وَراءَ ذلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنينَ غَيْرَ مُسافِحينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَريضَةً وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَريضَةِ إِنَّ اللهَ كانَ عَليماً حَكيماً»
“Dan dihalalkan bagimu selain wanita-wanita yang telah disebutkan itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Nisa [4]:24).
Ayat ini merupakan ayat-ayat madani yang diturunkan kepada Rasulullah Saw pada masa-masa pertama Hijrah di Madinah. Pada masa itu, kaum Muslimin melangsungkan nikah mut’ah, namun sebagian dari mereka tidak menyerahkan mahar. Kemudian ayat ini turun yang menyatakan bahwa sekiranya kalian telah nikahi secara mut’ah maka berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna sebagai sebuah kewajiban.[2]
Nikah mut’ah merupakan salah satu pernikahan yang telah mentradisi pada masa jahiliyah dan sebelum kedatangan Islam. Islam banyak menghapus tradisi-tradisi dan aturan-aturan jahiliyah, namun tetap menerima sebagian darinya dengan syarat-syarat dan pakem-pakem tertentu. Nikah mut’ah merupakan salah satu tradisi yang telah diramu dan diperbaiki dan pada masa-masa itu mut’ah dikenal dengan lafaz dan istilah ini.
Ayat pun turun berdasarkan percakapan dan terma yang berkembang pada masyarakat saat itu. Dalam buku “Târikh al-Jahiliyah” sehubungan dengan nikah mut’ah disebutkan, “Nikah sementara di lakukan dalam bentuk akad personal antara pria dan wanita yang tidak perawan pada masa jahiliyah dimana dengan penikahan itu pria menyerahkan sejumlah uang kepada wanita sebagai ganti manfaat yang diperoleh. Pernikahan ini berakhir seiring dengan berakhirnya masa perjanjiannya.[3]
Akan tetapi pada sebagian perkara, terdapat sebagian pria yang tidak menyerahkan mahar atau upah yang telah disepakati. Allah Swt dalam ayat ini mengingatkan penyimpangan ini dan berfirman bahwa apabila kalian telah nikah mut’ah maka hendaknya kalian menyerahkan upah kepada wanita yang telah kalian peroleh manfaat darinya.
Ayat ini berada pada tataran menjelaskan kebolehan, kehalalan, syarat-syarat sahnya pernikahan ini dan bahwa pernikahan ini dipraktikan masyarakat sebelum kedatangan Islam. Allah Swt tetap memperkenalkan pernikahan ini sebagai sesuatu yang halal dan memperbaikinya dengan menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Karena itu, pada ayat ini yang mengemuka adalah pembahasan keabsahan dan kebolehan pernikahan semacam ini bukan keharusan (wujub) dan adanya anjuran melakukannya sehingga tidak perlu dinyatakan dengan kata kerja perintah (fi’il amr).[4]
Kebolehan nikah mut’ah dan syarat-syarat lainnya disebutkan dalam banyak riwayat. Dalam Wasâil al-Syiah terdapat lebih dari 32 hadis dalam masalah ini yang akan kami singgung sebagian di antaranya sebagai contoh:
1. Imam Shadiq As bersabda, “Nikah mut’ah adalah urusan yang tentangnya (kehalalalnya) diturunkan sebuah ayat al-Quran dan (nikah mut’ah ini adalah) sunnah Rasulullah Saw.”[5]
2. Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang tidak meyakini kehalalan mut’ah maka ia bukan dari kami.”[6]
Sebagian riwayat juga menunjukkan adanya anjuran (istihbâb) atau masalah ini. Karena Syiah memandang bid’ah dalam agama mereka yang mengharamkan nikah mut’ah sehingga dalam Syiah, nikah mut’ah dipandang mustahab sebagai upaya untuk melawan bid’ah ini. Melakukan nikah mut’ah sendirinya merupakan sejenis upaya menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. Hal ini berulang kali disebutkan dalam pelbagai riwayat. Misalnya sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa kalian tidak boleh meninggalkan dunia ini kecuali kalian sebelumnya telah menghidupkan sunnah Ilahi ini.[7]
Salah satu syarat dan tipologi nikah mut’ah adalah dibolehkan bagi pria untuk nikah mut’ah lebih dari empat – meski ia telah memiliki istri dari pernikahan daim (permanen). Banyak riwayat yang menyebutkan hal ini. Di antaranya adalah Zurarah yang meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Imam Maksum As, “Berapa orang dibolehkan dalam nikah mut’ah?” “Berapa pun yang engkau suka.” Jawab Imam pendek.[8]
Demikian juga, dari sudut pandang syariat Islam, izin dan restu istri pertama tidak diperlukan baik untuk nikah daim atau nikah sementara,[9] kecuali disyaratkan dan dinyatakan sebelumnya dalam akad.
Sehubungan dengan pertanyaan apakah para Imam Maksum As juga melakukan praktik nikah mut’ah atau tidak? Disebutkan dalam riwayat dari Imam Shadiq As yang bersabda bahwa Rasulullah Saw juga melakukan praktik nikah mut’ah.[10] Demikian juga sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali As menikah mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nahsyal di Kufah.[11]
Dengan memperhatikan riwayat dan nikah mut’ah ini, kemungkinan besar beliau melakukan nikah mut’ah pada masa pemerintahannya di Kufah yang merupakan pusat pemerintahan Imam Ali. Karena sebelumnya Imam Ali tinggal di Madinah. Riwayat ini dapat menjadi dalil atas praktik nikah mut’ah dan menghidupkan secara dengan praktik nikah mut’ah ini. Di samping itu, Amirul Mukminin Ali As tidak pernah mau menerima sirah Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) kecuali dalam pelaksanaan salat tarawih berjamaah yang mula-mula ditentang oleh Imam Ali As; namun masyarakat dengan hiruk pikuk dan melontarkan syiar penentangan sehingga mereka sendiri memilih imam jamaah untuk mereka dan salat ini dikerjakan secara berjamaah.
Referensi:
[1]. Diadopsi dari Pertanyaan 347 (Site: 353), Indeks: Problematikan Pelaksanaan Nikah Mut’ah Di Tengah Masyarakat.
[2]. Muhammad Ridha Dhamiri, Darsnâmeh Fiqh Maqârin, Pasuk be Syubhat-e Fiqhi, hal. 285, Cetakan Pertama, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy Madzhahib Islami, Qum, 1384 S.
[3]. Umar Farukh, Târikh al-Jâhiliyah, hal. 156, Cetakan Kedua.
[4]. Untuk telaah lebih jauh terkait dengan dalil-dalil ayat ini atas nikah mut’ah dan jawaban-jawaban atas pelbagai syubhat dalam hal ini silahkan lihat, “Darsnâmeh Fiqh Maqârin, Muhammad Ridha Dhamiri, Pasuk be Syubhat-e Fiqhi, hal. 285, Cetakan Pertama, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy Madzhahib Islami, Qum, 1384 S.
[5]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 6, Muassasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.
[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 8.
[7]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 13.
[8]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 18.
[9]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 807.
[10]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 13.
«قَالَ الصَّدُوقُ وَ قَالَ الصَّادِقُ ع إِنِّي لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَمُوتَ وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَأْتِهَا فَقُلْتُ فَهَلْ تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ ص قَالَ نَعَمْ وَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلى بَعْضِ أَزْواجِهِ حَدِيثاً إِلَى قَوْلِهِ ثَيِّباتٍ وَ أَبْكاراً».
[11]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 10.
«قَالَ وَ رَوَى ابْنُ بَابَوَيْهِبِإِسْنَادِهِ أَنَّ عَلِيّاً ع نَكَحَ امْرَأَةً بِالْكُوفَةِ مِنْ بَنِي نَهْشَلٍ مُتْعَةً.»
(Islam-Quest/Isyraq/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email