Pesan Rahbar

Home » » Muhammad Arkoun dan Gagasan “Desakralisasi Lembaga Agama Resmi”

Muhammad Arkoun dan Gagasan “Desakralisasi Lembaga Agama Resmi”

Written By Unknown on Monday, 16 January 2017 | 15:21:00


Meski pemikirannya acap kali melahiran perdebatan di lingkungan akademisi, umat Islam secara umum relatif tak mengenal siapa sosok intelektual Muslim, Muhammad Arkoun, apalagi pemikiran-pemikirannya. Di dunia intelektual Islam sendiri, jika belum bersentuhan dengan studi kritis Islam dan dialog lintas agama, nama Arkoun mungkin masih dianggap asing.

Seperti tercatat dalam sejumlah biografinya, pria yang telah wafat 6 tahun lalu ini lahir di Aljazair, tepatnya di desa Berbar, 2 Januari 1928. Meski berasal dari desa, warisan intelektualnya telah menembus batas-batas geografis dunia bahkan disebut turut mempengaruhi reformasi dalam dunia Islam belakangan ini.




Sebagai cendekiawan Muslim yang pernah menjadi guru besar di Universitas Sorbonne, kebanyakan karya Arkoun dalam bahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya. Di Sorbonne, ia dikenal juga sebagai pakar sejarah pemikiran Islam.

Intelektual Nahdlatul Ulama, Irwan Masduqi mencatat, di antara karya Arkoun ialah; Pengantar Etika dari Tahdzib al Akhlak, Humanisme Arab Abad IV H/ X M: Miskawayh Sebagai Filsuf dan Sejarawan, Esai-esai Pemikiran Islam, Menuju Kritik Nalar, Pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, dan lain sebagianya. Setidaknya ia telah menulis 100 karya, baik berupa buku maupun artikel.

Masih menurut Irwan, dari beberapa karyanya tersebut, wacana toleransi sangat menyita perhatian Arkoun di tengah-tengah maraknya terorisme. Untuk mengantisipasi radikalisme (deradikalisasi), Arkoun menawarkan solusi berupa “deideologisasi agama”.

Deideologisasi adalah upaya membedakan antara agama autentik dengan agama yang terideologisasi oleh kelompok-kelompok radikal. Agama autentik adalah agama yang terbuka dan toleran, sedangkan agama yang terideologisasi adalah agama ditafsirkan secara reduktif, manipulatif, dan subjektif hingga menjadi agama yang tertutup dan intoleran.

Di mata Irwan, pandangan ini ada benarnya. Dengan bukti, Yahudi autentik mengajarkan bahwa membunuh satu orang ibarat membunuh seluruh manusia. Agama Kristen autentik mengajarkan bahwa jika pipi kananmu ditampar, maka berikanlah pipi kirimu.

Rasulullah Saw, malah memberikan hal yang lebih baik dan bukannya balas dendam ketika disakiti. Nabi pernah menjenguk non-Muslim yang pernah meludahinya. Nabi bahkan sudi menyuapi pemeluk Yahudi buta yang sering mencibirnya di pinggir jalan.




Sayangnya, etika toleran dan akhlak mulia seperti ini hampir “tak terpikirkan” oleh kelompok-kelompok radikal. Deradikalisasi menuntut upaya desakralisasi terhadap lembaga agama resmi, sistem hukum, dan sistem politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi.

Desakralisasi inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan demi perubahan pada sistem hukum dan politik dengan menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan sosial. Ini tidak lain adalah proses demokratisasi yang memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan orientiasi politiknya yang sekuler.

Tetapi, sayangnya mayoritas masyarakat Muslim belum mampu melakukan revolusi pemikiran dan meninggalkan paradigma teokratis yang notabene merupakan warisan tradisi politik teosentris abad pertengahan. Kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi masih dikafirkan, sementara sistem khalifah dipaksakan oleh kaum fundamentalis.

Namun, diakui bahwa proses deradikalisasi, desakralisasi, dan sekularisasi membutuhkan waktu yang panjang seperti halnya pengalaman Eropa. Gagasan itu mula-mula ditentang keras oleh para agamawan dan, di tengah-tengah perjalanan sejarah yang diwarnai oleh pertentangan antara agamawan dan kaum sekuler, akhirnya muncul konsep toleransi di Eropa.

Dari latar belakang historis ini dapat dilihat bahwa konsep toleransi memiliki sejarahnya sendiri di Eropa. Dengan demikian, tampaknya kurang bijaksana jika ulama secara normatif mengklaim bahwa toleransi adalah murni konsep Islam.

Lalu adakah harapan bagi terwujudnya toleransi di dunia Islam? Arkoun dengan tegas menjawab bahwa “toleransi tidak akan bisa diwujudkan di dunia Islam kecuali setelah mendekontruksi bangunan ortodoksi teologi tradisional seperti yang pernah terjadi di Eropa modern.”

Kemunculan toleransi pada tahap berikutnya akan diikuti oleh munculnya apresiasi terhadap konsep HAM, yang di dalamnya semua manusia dinilai mempunyai hak individu tanpa melihat keyakinan agama dan rasnya.

Jika semua ini bisa terwujud, diskriminasi dan intoleransi dapat diminimalkan. Namun, realitas berkata lain: dunia Islam justru gagal menanam benih-benih toleransi akibat monopoli-monopoli kebenaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok konservatif.

Masing-masing agama dan sekte saling menyesatkan dan tanpa ragu-ragu bermain hakim sendiri dengan merusak tempat-tempat ibadah milik aliran lain. Untuk menyikapinya, negara harus menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan berpikir bagi seluruh agama, sekte, dan aliran filsafat.

Kebebasan berpendapat tidak boleh dikekang, meskipun berkaitan dengan hal-hal yang sakral menurut agama maupun sekte tertentu. Namun, di sisi lain, seorang penulis yang memiliki kebebasan berpendapat harus mempertanggungjawabkan pendapatnya secara akademis melalui dialog inklusif.

Selain itu, negara membutuhkan masyarakat madani yang kaya wawasan agar dapat memaklumi pandangan-pandangan yang kaya wawasan agar dapat memaklumi pandangan-padangan yang berlainan dan negara harus menegakkan kesetaraan hukum yang dapat mengayomi semua warganya.

Solusi inilah yang diterapkan di negara-negara demokrasi di Eropa, di sana, undang-undang anti penodaan agama sudah dihapus, sehingga setiap orang bebas mengemukakan pendapat dan argumentasi tapa rasa takut dianiaya.

Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa keyakinan merupakan wilayah privat yang tidak bisa diintervensi oleh orang lain maupun negara. Realitas tersebut sangat kontras dibandingkan dengan dunia Islam yang masih diwarnai oleh fenomena-fenomena pengkafiran dan pembunuhan, termasuk yang menimpa para pemikir Islam progresif.[]

Sumber: Berislam Secara Toleran (Mizan, 2011) dll

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: