Meski hanya digunakan untuk berfoto, namun bangunan ini memiliki nilai historis bagi Tasikmalaya.
Kecantikan Menara Eiffel di Paris sudah menjadi primadona negara Prancis sejak zaman dulu, sehingga banyak negara membuat replika bangunan tersebut, di antaranya Rusia pada 2005, dan China pada 2007. Namun, banyak orang tidak mengetahui bahwa negara yang pertama kali mereplika bangunan tersebut adalah Indonesia, tepatnya di Tasikmalaya.
Sembilan tahun setelah Menara Eiffel dibangun di Paris, tepatnya pada 1898, replikanya berdiri dengan ketinggian sekitar 40-50 meter diatas tanah Tasikmalaya. Dilansir dari merdeka.com, Selasa 31 Januari 2017, menurut sejarah, pada masa penjajahan Belanda, replika yang dibangun A.H Van Bebber ini untuk menghormati penobatan Ratu Wilhelmina pada tahun yang sama.
Berbeda dengan bangunan aslinya, replika di Tasikmalaya ini berbahan bambu. Dokumen berbentuk foto-foto replika Menara Eiffel itu disebutkan ada di Museum Tropen Belanda. Namun tak ada cerita bagaimana akhirnya replika Eiffel itu runtuh.
Dibangun kembali
Keberadaan bangunan sejarah tersebut banyak membuat penasaran masyarakat Tasik sendiri, hingga pada 2015 silam, pemuda dari komunitas Urg*Tsk (Urang Tasik) menjadi inisiator untuk membangun kembali replika tersebut di depan Kantor Pemerintah Daerah Tasikmalaya di Singaparna.
Menurut salah satu pendiri komunitas tersebut, Adith, ide membangun kembali replika tersebut muncul saat ia dan kedua temannya bertemu dengan Pak Mus dan Mang Yana, mereka adalah ayah dan anak yang menjadi perajin bambu di sana.
"Setelah itu, kami di komunitas mendirikan Bamboo Department, tujuannya untuk mewadahi berbagai kerajinan yang dihasilkan perajin bambu. Dari sini, kami menemukan sejarah adanya replika menara itu," kata dia.
Namun, kata Adith, pembangunan itu tidaklah mulus seperti kelihatan, karena ide mereka pernah diambil sepihak saat Festival Tasik 2015 pada Hari Jadi Kota Tasikmalaya. "Kami memang pernah membeberkan ide ini saat akan digelarnya festival tersebut, tetapi kalau sudah terjadi ya mau bagaimana lagi, kami legowo saja," ujarnya dikutip dari kabarpriangan.co.id, Selasa 31 Januari 2017.
Pembangunan tersebut tetap ia lanjutkan saat bertemu dengan Muhajir Salam dari Soekapura Institute yang mendanai kegiatan, dengan tinggi mencapai kurang lebih 35 meter. "Setelah sepakat, kami dan Pak Mus bahu membahu untuk merampungkan replika Eiffel bambu itu. Teknik penggabungan, penyambungan bambu, dan pengerjaan semuanya asli ide dari Pak Mus dan Mang Yana," ujarnya.
Dalam waktu kurang lebih 2 bulan, bangunan bambu ini selesai. Menara bambu setinggi 35 meter itu menyulap Bojongkoneng seolah-olah seperti Paris Prancis. "Meski hanya digunakan untuk berfoto, namun bangunan ini memiliki nilai historis di Tasikmalaya," ucap dia.
Sayangnya, kini masyarakat tidak bisa menikmati bangunan tersebut karena sudah runtuh, entah karena cuaca atau sebab lainnya.
(Merdeka/Otonomi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Replika Menara Eiffel di Tasikmalaya (wikimedia / Tropen Museum) (Foto: Otonomi.co.id)
Kecantikan Menara Eiffel di Paris sudah menjadi primadona negara Prancis sejak zaman dulu, sehingga banyak negara membuat replika bangunan tersebut, di antaranya Rusia pada 2005, dan China pada 2007. Namun, banyak orang tidak mengetahui bahwa negara yang pertama kali mereplika bangunan tersebut adalah Indonesia, tepatnya di Tasikmalaya.
Sembilan tahun setelah Menara Eiffel dibangun di Paris, tepatnya pada 1898, replikanya berdiri dengan ketinggian sekitar 40-50 meter diatas tanah Tasikmalaya. Dilansir dari merdeka.com, Selasa 31 Januari 2017, menurut sejarah, pada masa penjajahan Belanda, replika yang dibangun A.H Van Bebber ini untuk menghormati penobatan Ratu Wilhelmina pada tahun yang sama.
Berbeda dengan bangunan aslinya, replika di Tasikmalaya ini berbahan bambu. Dokumen berbentuk foto-foto replika Menara Eiffel itu disebutkan ada di Museum Tropen Belanda. Namun tak ada cerita bagaimana akhirnya replika Eiffel itu runtuh.
Dibangun kembali
Keberadaan bangunan sejarah tersebut banyak membuat penasaran masyarakat Tasik sendiri, hingga pada 2015 silam, pemuda dari komunitas Urg*Tsk (Urang Tasik) menjadi inisiator untuk membangun kembali replika tersebut di depan Kantor Pemerintah Daerah Tasikmalaya di Singaparna.
Menurut salah satu pendiri komunitas tersebut, Adith, ide membangun kembali replika tersebut muncul saat ia dan kedua temannya bertemu dengan Pak Mus dan Mang Yana, mereka adalah ayah dan anak yang menjadi perajin bambu di sana.
"Setelah itu, kami di komunitas mendirikan Bamboo Department, tujuannya untuk mewadahi berbagai kerajinan yang dihasilkan perajin bambu. Dari sini, kami menemukan sejarah adanya replika menara itu," kata dia.
Namun, kata Adith, pembangunan itu tidaklah mulus seperti kelihatan, karena ide mereka pernah diambil sepihak saat Festival Tasik 2015 pada Hari Jadi Kota Tasikmalaya. "Kami memang pernah membeberkan ide ini saat akan digelarnya festival tersebut, tetapi kalau sudah terjadi ya mau bagaimana lagi, kami legowo saja," ujarnya dikutip dari kabarpriangan.co.id, Selasa 31 Januari 2017.
Pembangunan tersebut tetap ia lanjutkan saat bertemu dengan Muhajir Salam dari Soekapura Institute yang mendanai kegiatan, dengan tinggi mencapai kurang lebih 35 meter. "Setelah sepakat, kami dan Pak Mus bahu membahu untuk merampungkan replika Eiffel bambu itu. Teknik penggabungan, penyambungan bambu, dan pengerjaan semuanya asli ide dari Pak Mus dan Mang Yana," ujarnya.
Replika Menara Eiffel di Tasikmalaya (Foto: otonomi.co.id/wisatajabar.com)
Dalam waktu kurang lebih 2 bulan, bangunan bambu ini selesai. Menara bambu setinggi 35 meter itu menyulap Bojongkoneng seolah-olah seperti Paris Prancis. "Meski hanya digunakan untuk berfoto, namun bangunan ini memiliki nilai historis di Tasikmalaya," ucap dia.
Sayangnya, kini masyarakat tidak bisa menikmati bangunan tersebut karena sudah runtuh, entah karena cuaca atau sebab lainnya.
(Merdeka/Otonomi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email