Pesan Rahbar

Home » » Revolusi Al-Husain: Perjuangan Nilai-Nilai Universal

Revolusi Al-Husain: Perjuangan Nilai-Nilai Universal

Written By Unknown on Monday 2 January 2017 | 21:59:00


Sebuah Refleksi Mengenang Syahidnya Sayyidina Husain Cucu Rasulullah SAW

Pada setiap bulan Muharram yang dijadikan momentum pergantian tahun baru Islam, setidaknya terdapat dua peristiwa besar, yaitu Hijrah dan Asyura. Peristiwa pertama oleh sebagian besar kaum muslimin disebut sebagai awal kebangkitan Islam dimana sebelumnya dipahami berada di bawah bayang-bayang ketakutan, penindasan dan pengusiran. Hijrah kemudian menjadi momentum untuk membangun masa depan Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Peristiwa kedua adalah peristiwa yang tidak begitu banyak diketahui orang, yakni hari dimana terbantainya kebenaran dan kemanusiaan, terbunuhnya pengawal risalah Ilahiah Sayyidina Husain, yang kemudian disebut sebagai Hari Asyura atau Tragedi Karbala. Di Karbala inilah pada tanggal 10 Muharram tahun 61 hijrah, terjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang paling mengenaskan dalam bentangan panjang sejarah umat manusia. Betapa tidak, di atas bumi Karbala tersebut Sayyidina Husain putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang juga sekaligus cucu Rasulullah SAW, dibantai secara keji bersama belasan orang keluarganya serta 72 orang sahabatnya oleh penguasa zalim, despotik dan otoriter, dibawah komando Yazid putra Muawiyah.

Di Padang Karbala, selain menjadi saksi bisu tertumpahnya darah suci Ahli Bait (keluarga) Nabi yang merupakan tambang risalah dan bahtera keselamatan, juga sekaligus sebagai tempat ditancapkannya tonggak perjuangan dalam menentang segala bentuk penindasan demi menegakkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Tragedi ini sendiri berusaha untuk dikaburkan dan ditutup-tutupi dari sejarah perjuangan umat Islam, khususnya bagi orang-orang yang tidak sanggup menerima kenyataan sejarah. Namun lewat fakta sejarah ini pula, tersingkaplah kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran hakiki dan sejati, dimana sebelumnya tampak samar-samar oleh perlakuan orang-orang yang mengejar kekuasaan dengan mengatasnamakan agama, mengatasnamakan kebenaran dan mengatasnamakan Islam. Dan pada konteks inilah Sayyidina Husain bangkit melawan segala bentuk tipu daya, ketidakadilan serta penindasan.

Tragedi Karbala menjadi sebuah peristiwa sejarah yang besar dan agung, karena di dalamnya terdapat beberapa faktor yang mendukung antara lain :

Pertama, pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya, yaitu Sayyidina Husain, keluarga dan sahabatnya yang setia. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nila-nilai luhur seperti kesucian, keiklasan, kesetiaan, pengorbanan dan senantiasa komitmen dan konsisten terhadap misi perjuangan yang diembannya. Dalam ruang yang terbatas ini, rasanya tidak cukup untuk menguraikan satu persatu dari pribadi-pribadi agung dalam peristiwa monumental tersebut. Namun sebagai contoh, kita coba telusuri sosok Sayyidina Husain. Sayyidina Husain salah satu dari Ahli Bait Rasulullah SAW yang disucikan, sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan “Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan noda dan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait serta mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab : 33), maka Sayyidina Husain memang menjadi sentral dari seluruh rangkaian episode perjuangan yang terjadi. Sebagai seorang pemimpin, beliau telah menjalankan peran dengan sempurna yakni melindungi kehormatan, harta dan darah mereka-mereka yang dipimpinnya. Itulah perjanjian yang mengikat pemimpin dengan pengikutnya, sekaligus menjadi kontrak sosial yang pada gilirannya mengikat pengikut untuk menaati dan mengikuti perintahnya. Jika kontrak ini dilanggar maka gugurlah kewajiban menaatinya. Sebagai penggantinya, kita harus menentangnya, melawannya, dan bahkan memeranginya. Karena pemimpin semacam ini oleh Sayyidina Husain dikategorikan telah memutuskan janjinya. Sayyidina Husain melakukan perlawanan kepada penguasa zalim, karena komitmennya untuk menaati Tuhan. Bukan perebutan kekuasaan yang mendorongnya mengangkat bendera perjuangan, bukan kerakusan akan kekayaan yang menyebabkannya menabuh genderang peperangan. Ia hanya ingin menjalankan perjanjiannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Inilah yang menjadi spirit gerakan dan perjuangan di Karbala. Pesan tersebut terangkum dalam khutbah Imam Husain ketika menegaskan misi sucinya : “Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan keangkuhan dan mencari perang. Sungguh aku keluar kesini untuk mencari ishlah demi kepentingan umat datukku Muhammad SAW. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku ‘Ali al-Murthada…”

Ketiga, Kesyahidan atau syahadah. Hal ini sebagai konsekuensi dari perjuangan yang menjadi pilihan kesadaran. Karena itu, ketika tekad sucinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan tersebut diancam oleh musuh-musuh Allah, Sayyidina Husain menjawab dengan kalimat terkenalnya yang kemudian menggerakkan seluruh semangat pejuang Islam yang datang setelahnya. “In kana dinu Muhammad lam yastaqim illa bi qatly, faya suyufu khudzini…” Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa tegak kecuali dengan merenggut nyawaku, maka aku rela bersimbah darah demi tegaknya agama Muhammad SAW.


Ketika kita mencoba merefleksikan peristiwa asyura tersebut dalam konteks sekarang ini, sebagaimana yang sementara berlangsung dalam kehidupan sosial politik kekinian, maka muncul pertanyaan-pertanyaan serta rasa skeptis terhadap realitas yang terjadi. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain :

Pertama, sulitnya saat ini menemukan pemimpin atau tokoh yang mempunyai kepribadian luhur, integritas, kepekaan sosial, keberpihakan terhadap masyarakat atau orang yang dipimpinnya. Fenomena tersebut semakin diperparah oleh gerakan perubahan yang terjadi dengan tanpa arah dan orientasi yang jelas. Pergeseran kekuasaan dari orde baru ke orde reformasi di tahun 1998, justru menyisakan problem baru dengan bermunculannya figur-figur pahlawan kesiangan, berjiwa opurtunistik, bermental korup serta gila kekuasaan. Hal ini menyebabkan gagalnya agenda reformasi dan perjuangan dalam melakukan perubahan tatanan menuju ke arah yang lebih baik. Kegagalan seperti ini akan terus kita alami, manakala estafet kepemimpinan selalu diserahkan kepada orang-orang yang tidak tercerahi baik secara intelektual maupun secara spiritual. Karena itulah Sayyidina Husain mengajarkan pada kita bahwa sebelum menyatakan kepatuhan pada perjanjian kita dengan pemimpin, kita harus mengetahui dahulu kualitas pemimpin tersebut.

Kedua, Pola kepemimpinan tidak berlandaskan pada nilai-nilai tetapi pada kekuasaan. Oleh sebab itu sama sekali tidak memiliki spirit perjuangan. Hal ini bisa dilihat dari pemahamannya yang dangkal tentang nilai-nilai universalitas dan juga aspek moralitas. Kalaupun masalah nilai-nilai tersebut diperbincangkan itu hanya sekadar ‘lip service’ belaka, dan tidak berusaha untuk diimplementasikan dalam realitas. Karena orientasi dan sasarannya adalah kekuasaan, maka tidak mengherankan kalau segala cara ditempuh demi pencapaian target yang didambakan. Sebagai contoh belakangan ini adalah kasus hiruk pikuknya mafia hukum, money politic dalam berbagai penyelenggaraan pemilu di berbagai daerah, serta sejumlah kebohongan dan janji-janji yang tak pernah ditepati dari para pemimpin dan pejabat negeri ini di hampir semua level, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Ketiga, tidak mempunyai jiwa patriotisme dan pengorbanan, oleh karenanya mereka senantiasa berusaha mempertahankan ‘status quo’. Akibatnya mereka itu kadangkala tidak sanggup menerima kenyataan bila suatu saat harus digantikan, diturunkan apalagi digulingkan. Lihatlah betapa pemimpin negeri ini pada setiap tingkatan kekuasaan, yang senantiasa berusaha bertahan pada singgasana kekuasaan, tanpa berpikir sedikit pun untuk melakukan proses transformasi dan alih generasi sesuai dengan tuntutan zaman dalam perubahan tatanan yang sedang berlangsung. Kata Ali bin Abi Thalib k.w. “hasbul mar-u min ‘irfanih, ‘ilmuhu bizamanih”, cukuplah sebagai tanda kearifan seseorang, yaitu pengetahuannya mengenai tanda-tanda zamannya.


Di Karbala Sayyidina Husain membawa pesan Islam Muhammadi, yakni kemurnian Islam Muhammad SAW. Beliau menentang Islam Umawi, yakni Islam Bani Umayyah yang mencampuradukkan antara haq dan batil. Bagi Al-Husain, agama Islam tidak boleh dijadikan alat untuk kepentingan kalangan elit atau kelas tertentu. Pesan suci Nabi tidak boleh dipelintir untuk kepentingan nafsu-nafsu setan. Ajaran Allah tidak boleh dijual dengan harga yang murah. Dalam logika Al-Husain, kita harus berani mengatakan tidak untuk setiap kebatilan, apalagi kebatilan yang berimplikasi luas terhadap kehidupan kemanusiaan. Tapi bagaimana? Awalnya harus dengan membangkitkan semangat misi revolusi Ilahiah yang ada dalam hati dan akal pikiran kita. Pahlawan agung kita Husain bin Ali boleh hilang. Namun spiritnya jangan pernah lenyap dari jiwa kita. Biarkan ia menyala dan berkobar-kobar membakar seluruh eksistensi kita, untuk kemudian memberikan nyawa kepada jutaan manusia lain yang tertindas. Itulah sebuah kemenangan yang maha dahsyat yang terus menuai hasilnya dari generasi ke generasi, dari abad ke abad. Dan kemenangan itu pula yang melestarikan perjalanan Islam Muhammadi, Islam yang dibangun di atas pembelaan hak-hak kaum tertindas dengan darah dan air mata.

Revolusi Imam Husain di Padang Karbala yang meskipun terjadi kurang lebih empat belas abad yang telah lalu, tampaknya masih memiliki relevansi dalam konteks kehidupan kita sekarang ini, terutama berkenaan dengan kandungan nilai-nilai yang terdapat di dalam peristiwa tersebut. Nilai-nilai universal seperti kesucian, keluhuran, keadilan dan kemanusiaan memang sangat kita butuhkan dalam membangun bangsa ini yang sementara mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan. Karena itu, sudah semestinya Tragedi Karbala dengan segala substansinya, berusaha untuk kita jadikan pelajaran (ibrah) untuk kemudian ditarik masuk dalam realitas sosial kita dan selanjutnya diterjemahkan dan diartikulasikan dalam berbagai macam aspek serta dimensi kehidupan yang ada. Demikianlah makna dari ungkapan : “Setiap Hari adalah Asyura, Setiap Tempat adalah Karbala dan Setiap Waktu adalah Muharram”.

(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: