Pesan Rahbar

Home » » Pro-Kontra Sertifikasi Ulama dan Sejarah Kelam Ordonansi Guru

Pro-Kontra Sertifikasi Ulama dan Sejarah Kelam Ordonansi Guru

Written By Unknown on Wednesday 8 February 2017 | 02:05:00


Dalam diskusi bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai,” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyatakan negara Singapura dan Arab Saudi berhasil melakukan deradikalisasi dengan cara membuat sertifikasi ulama. Pernyataan tersebut menuai kontroversi karena BNPT dianggap mengusulkan sertifikasi ulama. BNPT membantah dan berdalih sekadar memberi contoh.

Wacana sertifikasi ulama mengingatkan pada Ordonansi Guru yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Menurut peraturan yang diberlakukan di Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar, dan setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.

“Peraturan itu dimaksudkan untuk mengawasi aktivitas para guru agama (kiai, ulama) yang selama ini menentang penguasa,” tulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia.

Ordonansi itu, Mahmud Arif menambahkan, secara khusus untuk membatasi gerakan guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam.

“Dengan kata lain, pemerintah kolonial bersikeras, melalui berbagai kebijakannya, menolak peran Islam dalam kehidupan publik,” catat Mahmud Arif dalam Pendidikan Islam Transformatif.

Karena selalu didesak oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan adanya rencana untuk memberlakukan peraturan itu di luar Jawa dan Madura, maka pada 1925 dikeluarkan peraturan guru yang baru.

“Ordonansi ini diperlunak dengan hanya mempersyaratkan para ulama untuk melapor kepada pejabat pemerintah, tidak lagi meminta izin,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998.

“Rupanya peraturan baru tersebut dikeluarkan dengan tujuan yang sama dengan sebelumnya,” tulis Shaleh, “mengawasi guru agama, termasuk guru mengaji dan mubalig.”

Tak lama kemudian, pemerintah mengusahakan ordonansi yang sudah diperlunak ini diterapkan di seluruh Nusantara, termasuk di Sumatera Barat.

“Tetapi, para ulama Minangkabau yakin bahwa apabila ordonansi ini diberlakukan, maka kemerdekaan menyiarkan agama, bertablig, mengaji, berpondok, dan apa saja urusan agama akan hilang dengan sendirinya,” catat Kahin.

Perlawanan sengit terhadap ordonansi itu datang dari ulama terkemuka Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amarullah. Ayah Buya Hamka ini memandang ordonansi tersebut sebagai ancaman langsung terhadap pengajaran dan penyebaran agama Islam. Dia mendesak Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain untuk menentang ordonansi itu. Pada 19 Agustus 1928 –Kahin menulis Agustus 1927– diadakan rapat akbar yang dihadiri sekira 800 ulama –Kahin menyebut lebih dari 2000 ulama– berpengaruh dari seluruh tanah Minangkabau.

“Haji Rasul menyampaikan pidatonya tentang bahaya perpecahan di kalangan ulama dan mengingatkan adanya perlawanan terhadap Islam,” tulis Shaleh. “Pertemuan akhirnya memutuskan untuk menolak ordonansi guru tersebut.”

Kendati gagal menerapkan Ordonansi Guru pada 1928, pemerintah kolonial memperkenalkan Ordonansi Sekolah Liar pada September 1932 untuk mengendalikan sekolah-sekolah swasta. Menurut Shaleh, penolakan ordonansi tersebut lebih luas, tidak terbatas pada kelompok Muslim saja, tetapi juga kelompok atau organisasi lain yang menyelenggarakan sekolah swasta.

Penolakan berbagai kalangan, mulai dari organisasi Islam moderat sampai radikal, terhadap sertifikasi ulama, mengulang sejarah: “… kalangan tradisionalis dan modernis, kelompok radikal dan kelompok moderat bekerja sama menentang kebijakan pemerintah tersebut (ordonansi guru),” tulis Kahin.

(Historia/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: